Rena menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, ia lupa jika hari ini ada jadwal kelas pagi, dan semalam ia justru bergadang nonton drakor, akhirnya ia bangun kesiangan.
"Rena, kenapa buru-buru ayo sarapan," ajak Dinda yang saat itu masih duduk manis di depan meja makan.
"No Mommy, aku sudah telat," teriak Rena sembari berjalan keluar.
Dinda menggelengkan kepalanya, "Biarkan saja, paling nanti juga makan di kampus," ujar Rava yang saat itu tengah menikmati sarapannya.
Dinda hanya membalasnya dengan menganggukan kepalanya.
"Daddy, Mommy aku berangkat ke kantor dulu ya." Davis yang merupakan kakak kandung Rena bangkit dari kursinya, untuk berpamitan pada kedua orang tuanya.
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Nadilla sayang," tanya Dinda membuat Davis kembali menoleh.
Rava menatap tak suka akan kekepoan istrinya itu, "Mom!" panggilnya penuh tekanan.
Davis tersenyum, "Tenang Mommy, semua akan berjalan sesuai apa yang Mommy mau." Meski pada akhirnya aku akan terluka,, karena hingga detik ini hati Nadilla sama sekali bukan untukku,
"Aku berangkat dulu," sambungnya.
****
Unversitas Negeri XX
Rena memarkirkan mobilnya dengan tergesa-gesa.
Brak!!
"****.. sial. Aku menabrak mobil depan," umpatnya.
Rena memejamkan matanya sejenak berusaha berfikir jalan keluarnya.
"Kabur saja lah pura-pura tidak tau," gumamnya,
Tok! tok! tok!
Namun ternyata ia terlambat untuk kabur, karena kini kaca mobilnya sudah terlihat diketuk oleh seseorang dari luar. Dengan terpaksa Rena membuka kaca mobilnya.
"Ada apa?" tanyanya tanpa dosa.
"Turun!!" perintah seorang pria berpakaian kemeja polos berwarna navy menatap tajam dirinya kini.
"Ck!" decak Rena, ia pun membuka pintu mobilnya dengan menenteng tas miliknya.
Pria itu memegang tangan Rena, "Apa-apaan sih pegang-pegang!" cetus Rena
"Diam!" bentak sang Pria.
"Lihat mobil saya akibat ulahmu, apa kau tidak bisa mengendari mobilmu dengan benar. Kau bisa berparkir dengan hati-hati, tanpa merusak mobil milik orang lain," ucap pria itu menunjuk bagian mobilnya yang rusak.
"Ya ampun om cuman karena ini, okelah saya ganti rugi. Berapa yang harus saya bayar!" ucap Rena ia membuka tas miliknya, bermaksud mengganti rugi dengan uangnya.
Pria itu menatap Rena sinis, "saya tidak butuh uangmu! Tak semua apa pun dapat kau beli dengan uang. Perempuan yang tak beretika! Kau pasti hanya seorang anak yang manja!"
"What?!" pekik Rena terkejut, dikata anak manja tentu saja ia tidak terima. Selama ini tidak pernah ada yang meremehkan ataupun mengejek dirinya, dan pria itu baru bertemu sekali sudah berani mengejek dirinya. In tidak bisa dibiarkan.
Melirik ke arah samping, ternyata pria itu sudah tidak ada. Ia sudah berjalan meninggalkan Rena begitu saja.
Berdecak kesal, lalu melihat sebuah kaleng minuman kosong di depannya, sekuat tenaga Rena menendang botol itu.
"Rasakan ini!" ejek Rena
Tuk!
Kaleng itu tepat mengenai kepala pria itu membuat ia mengeram kesal.
Rena tertawa terbahak-bahak, "Emangnya enak."
Memutar tubuhnya pria itu menatap Rena dengan tajam. Seakan ia
Siap menerkam Rena dengan habis.
"Mati aku. Badak bercula dua mulai ngamuk." Rena berlari dengan terbirit-birit memasuki kelasnya.
****
Bugh!
Rena mendudukan dirinya dengan nafas yang masih naik turun.
"Ren, tumben baru datang?" tanya Nella
"Iya kesiangan!" jawab Rena.
"Kau kenapa, habis laraton kaya dikejar-kejar maling?"
"Bukan, habis dikejar Badak bercula dua malah," sahut Rena kesal.
Nella tergelak, meski bingung tapi ia mengangguk saja, "Ren dengar-dengar ada Dosen baru lho, katanya sih ganteng aku jadi tidak sabar untuk bertemu di kelas kita," ucap Nella dengan senyum berbinar, kelihatan otaknya sudah traveling kemana-mana.
"Dasar genit," celetuk Rena
"Ih sembarangan," sahut Nella dengan kesal.
"Di mana Nena?" tanya Rena.
"Absen gak masuk dia, lagi sakit."
"oh..."
Semua mahasiswa dan mahasiswi kembali masuk dengan tergesa-gesa, mereka mengatakan jika dosennya akan masuk.
Tap... tap..
Bunyi sepatu fantovel terdengar semakin dekat masuk ke dalam ruangan.
Semua para kaum hawa melongo melihat siapa yang masuk, Rena masih asyik membaca buku miliknya.
"Selamat pagi semua, perkenalnya nama saya Alby Darmawan. Kalian bisa panggil saya Pak Alby. Saya dosen baru di sini, untuk menggantikan Ibu Silma," tutur Alby dengan senyum ramahnya.
Suara itu, Rena seperti pernah mendengarnya. Tapi kapan?
Rena memberanikan diri menatap ke depan, matanya membulat sempurna.
"Diakan-" pekiknya, ia menelan ludahnya dengan susah. Ingatannya kembali muncul akam perdebatan tadi dengan pria itu karena Rena menabrak bamper mobilnya.
"Bapak ganteng banget sih?"
"Udah punya pacar?"
"Saya mau daftar jadi istri kedua juga boleh..."
Begitulah bisik-bisik para kaum hawa,
"Wek!" Rena ingin sekali muntah mendengarnya.
Sedangkan Nella tak henti-hentinya menatap Alby tanpa berkedip, ingin sekali Rena colok mata sahabatnya itu.
"Baiklah sesi perkenalan ini selesai, kita mulai masuk ke mata kuliah. Saya akan membahas tentang Ilmu Bedah dalam bidang Kedokteran."
Alby mulai menerangkan mata kuliah yang ia bawa saat ini. Bukannya fokus Rena malah merasa ngantuk, efek semalam bergadang atau karena ia terlalu sebal dengan dosennya akibat pertemuan sebelumnya.
"Kamu-" tunjuk Alby pada Rena.
"Ren." Nella mencolek Rena, menyadarkan sahabatnya itu.
"Apa sih?" sahut Rena tak mengerti.
"Dipanggil Pak Alby tuh."
Rena melirik ke arah Alby, "Siapa namamu?" tanya Alby dengan tatapan tajam.
"Rena!" jawabnya datar. Biasanya ia selalu bersikap sopan pada Dosen yang mengajarnya, tetapi melihat wajah Alby dan teringat kejadian tadi membuat Rena menjadi malas.
"Oke, bisa kamu maju dan jelaskan tentang apa yang tadi saya bahas," perintah Alby.
Glekk!
Rena menelan ludahnya dengan susah, mau jelasin apa coba, bahkan sejak tadi ia hanya sibuk menguap karena merasa sangat ngantuk, otaknya blank.
Alby mengenyit menatap Rena, "Rena!panggilnya penuh tekanan.
Rena menggaruk kepalanya, "Nyerah deh Pak, gak ada satu kata pun yang Bapak jelaskan masuk ke dalam otak saya," jelas Rena dengan senyum canggungnya,
Semua teman-teman yang mendengarnya melongo, padahal biasanya Rena termasuk anak yang paling cepat tanggap dalam setiap mata kuliah, tapi hari ini, dia benar-benar aneh.
"Ya ampun Ren, gak segitunya juga kali. Mentang-mentang dosennya ganteng, kamu bisa gagal fokus," ejek salah satu temannya.
"Sial!" umpat Rena
"Diam!" teriak Alby, matanya kembali menatap tajam Rena.
"Para Dosen di sini bilang, kamu adalah anak yang cerdas, dan membanggakan. Tapi saya baru pertama ngajar, dan kamu sudah buat kecewa saya," tutur Alby.
"Ye elah, Pak saya juga manusia kali. Masa iya benar dan sempurna terus," dumel Rena, kesal tentu saja.
"Keluar!" perintah Alby.
Rena masih berdiri mematung, tak percaya.
"Keluar saya bilang!" Alby kini menatap tajam Rena.
"Ta...tapi.. Pak.."
"Saya tidak ingin membuang waktu saya, untuk mengajar anak seperti dirimu yang sama sekali tidak menghargai saya," sambung Alby.
Rena berdecak mengambil tas miliknya, "Sombong! Dasar Dosen killer," gumamnya sambil berjalan keluar meninggalkan kelasnya.
Rena duduk di kantin, mulutnya tak hentinya mendumel, hingga mengeluarkan sumpah serapah untuk dosen baru itu.
"Kenapa?" tanya Alena, salah satu teman Rena yang berbeda jurusan tiba-tiba duduk di hadapan Rena.
"Bete aku!" sahut Rena.
Alena mengerutkan keningnya, menatap Rena dengan tatapan bingung. "Gak sengaja tadi lewat kelas mu. Masih ada mata kuliah kan, yang mengisi materi juga dosen baru. Kok kamu bisa di sini sih? Hello seorang Rena Nugraha anaknya Tuan Rava Nugraha kok bisa sampai bolos kuliah, ini benar-benar sesuatu yang-"
Ucapan Alena terhenti ketika Rena dengan cepat menyumpal mulutnya dengan kerupuk di depannya.
"Berisik tau mulutmu! Dah tau aku lagi bete malah ngoceh mulu. Teman gak ada akhlak!" cebik Rena seraya memutar sedotan yang berada dalam gelasnya.
Alena mengambil kerupuk di mulutnya, lalu tersenyum masam, "ah elah Ren. Aku tau kau lagi Bete. Tapi, ya jangan pelit-pelit amat sih, nyumpal mulut aku cuma pake kerupuk doang, kira-kira kek pake apa?" Alena memasang muka melas, tetapi kerupuknya kembali ia makan.
Rena berdecak, ia tau banget apa mau teman satunya itu yang paling banyak makan, tetapi anehnya badannya tetap kurus. Kadang Rena berfikir mungkin Alena terkena gizi buruk. Oh tidak! Mungkin karena saat Alena makan, ada setan yang membantunya. Entah apapun itu, Rena tak mau ambil pusing.
"Pesanlah yang kamu mau!" perintah Rena akhirnya.
Alena tersenyum senang, "oke! Kamu emang sahabat aku yang paling tau apa mauku!"
Rena menggelengkan kepalanya, sementara Alena memanggil pelayan kantin. "A mie ayam satu setengah porsi ya, kasih sayuran yang banyak, kasih kuah sedikit. Cepat ya, jangan pake lama. Lapar ini pake banget!" pintanya.
"Iya buat Eneng Alena apa sih yang enggak. Bahkan sayur satu gerobak aja bakal Aa Samsul berikan!" jawab Samsul dengan senyum menggodanya, membuat Rena terkikik geli.
"Buru atuh! Eneng laper ini." Alena mengusap perutnya.
"Minumannya mau apa Neng. Susu murni, apa susu buatan?" tawarnya.
"Susu kedelai hitam!"
"Malika dong!" jawab Samsul yang teringat iklan merek salah satu kecap terkenal di televisi.
"Es jeruk."
"Baik! Tunggu sebentar ya Neng geulis!"
Sepeninggal Samsul, Alena pun kembali menoleh ke arah Rena yang masih terkikik. "Sialan! Kenapa kau ketawa?"
Rena menggeleng, "gak! Cocok banget kamu sama si Samsul!"
"Kira-kira dong Ren. Ya kali kamu doain teman kamu yang cantik ini jadi pelakor!" dengus Alena. Tak lama kemudian Samsul tiba dengan membawa pesanan Alena. Gadis itu mengucapkan terimakasih, matanya berbinar bahagia ketika melihat mie ayam yang ia pesan penuh dengan sayuran sawi hijau.
Rena terdiam membiarkan temannya itu menikmati makanannya. Sementara dirinya sibuk memikirkan kira-kira ada sanksi gak karena ia tidak mengikuti kelas dosen baru itu, sebagai anak yang rajin Rena merasa khawatir. Tapi, ia berharap tidak.
Sementara itu tidak jauh dari tempatnya Rena duduk, seorang anak kecil dengan bando unicorn rambutnya lurus, memiliki bola mata coklat dan bulat, kulitnya putih seputih susu, tengah menatap ke arah Rena. Tiba-tiba senyum tersungging di bibirnya, lalu ia berkata.
"Bunda!"
Dengan binar bahagia di wajahnya, anak kecil itu berlari ke arah Rena, membuat rambut lurusnya bergoyang ketika tak sengaja diterpa angin.
"Bunda, ternyata selama kau ada di sini!" Anak itu langsung memeluk Rena dengan erat, membuat tubuh Rena membeku kebingungan.
Uhuk! Uhuk!
Sementara Alena langsung tersedak mie ayam yang tengah ia makan, sontak ia langsung mengambil minuman di depannya.
"Hei sayang." Rena mengurai dekapannya setelah beberapa saat sebelumnya ia berusaha menenangkan diri. Ia membingkai wajah anak kecil itu dengan kedua tangannya.
"Misel nyariin Bunda selama ini, tapi kenapa Buna tidak pernah pulang," ucap Misel dengan wajah sendu.
Di detik itu Rena pun paham, jika anak itu tengah mengira dirinya adalah ibu kandungnya.
Alena membeliakkan kedua matanya, "Ren, sejak kapan kau sudah punya anak? Kok nikah gak undang aku sih!" ujarnya, entah gadis itu tengah mengejek dirinya atau bagaimana.
"Ngomong sama ember!" celetuk Rena kesal, membuat Alena mengerucutkan bibirnya dengan kesal.
"Sayang, apa yang kau katakan. Kakak ini bukan Bunda mu," terang Rena mencoba menjelaskan dengan kata selembut mungkin. Tentu saja ia tak ingin, anak itu sakit hati terhadap perkataannya.
Misel menggeleng, "tidak! Kamu itu Bundaku!" kekehnya.
Alena semakin menikmati pemandangan di depannya, ia merasa lucu ketika melihat temannya itu tengah berusaha menjelaskan siapa dirinya. Tetapi, anak kecil di depannya terus bersikekeh menganggap Rena adalah ibunya. Ah, kenapa semua jadi seperti sebuah drama, Alena bahkan hampir saja tak percaya. Mendadak mie ayam yang masih setengah porsi di depannya sudah tak nikmat lagi, karena terkalahkan dengan drama di depannya kini. Ketika Rena bertanya mengapa, Misel menganggap dirinya adalah ibunya. Jawaban anak itu membuat Rena dan Alena melongo.
"Karena Ayah selalu mengatakan. Bundaku itu cantik, rambutnya panjang!"
Oh Tuhan! Mendengar penjelasan itu seketika Alena ingin tertawa. Sementara Rena rasanya ingin menenggelamkan dirinya ke dalam bantal. Bukankah itu hanyalah alasan klise, perempuan cantik berambut panjang itu banyak, tetapi kenapa harus dirinya. Entah bagaimana lagi Rena harus menjelaskan bahwa dirinya adalah Rena, bahkan ini adalah pertemuan pertama keduanya, bukan ibu dari anak itu. Tetapi, Misel tetap kekeh bahkan kedua matanya pun terlihat mengembun.
"Bunda jahat! Bunda tidak mau menganggap aku putrimu," teriak Misel dengan air mata yang berlinang. Seketika Rena menjadi panik, ia bingung harus melakukan apa. Beruntunglah suasana kantin itu masih sepi. Jika keadaan ramai, pasti orang akan mengira jika dirinya telah menjahati anak itu.
Di saat Rena hendak membuka suara kembali terdengar seorang wanita berlari ke arahnya dengan memanggil Misel.
"Lho Non Misel ternyata di sini. Nany cariin dari tadi lho, ayo Non kita pulang!" ajak seorang wanita dengan seragam baby sitter.
Misel menyembunyikan tangannya, seraya menggeleng dengan kuat, "tidak mau! Aku mau pulang jika Bunda pun ikut pulang."
Pengasuh Misel nampak terkejut mendengarnya, ia memberanikan diri menatap ke arah Rena, mencoba mencari kemiripan antara perempuan itu dengan ibu kandung Misel. Hasilnya nihil, ia pikir anak majikannya itu hanya tengah berhalusinasi.
"Non katanya mau ketemu Ayah. Tapi, ayahnya Non Misel kan masih sibuk, jadi ayo kita pulang!" bujuknya lagi.
Lagi, Misel tetap menggeleng dengan kuat, bahkan kedua tangannya kini beralih memegangi pakaian Rena seolah tak ingin terpisahkan dengannya.
Rena tentu saja bingung harus melakukan apa, sementara ia meyakini bahwa sebentar lagi pasti kantin akan ramai. Dirinya tentu tak ingin menjadi tontonan banyak orang di sana. Akhirnya, dengan terpaksa Rena mencoba membujuk anak itu dengan sedikit berbohong.
"Misel, kamu pula aja dulu. Soalnya aku masih harus belajar?"
"Bunda masih sekolah?" tanyanya dengan polos.
Rena mengangguk, "iya sayang! Jadi A-aku, em Bunda belom bisa pulang bareng Misel. Tidak apa kan, nanti Buna nyusul," dustanya. Mana mungkin ia lakukan hal itu kenal dan tau rumahnya saja tidak. Yang pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya supaya anak itu segera pergi darinya, meski harus menggunakan kebohongan.
"Baiklah, aku percaya! Aku akan menunggu Bunda di rumah," balasnya dengan senyum binar bahagia.
Malam hari di sebuah rumah minimalis berlantai dua, seorang anak kecil terus merengek sambil menangis. Sang pengasuh pun bahkan sampai dibuat kalut untuk memenangkannya.
"Non! Non Misel tenang ya, ini sudah malam waktunya Non tidur," bujuk pengasuhnya yang bermana Ratri.
Anak kecil itu menggeleng terus terisak, "gak mau Nany. Aku mau tidur sama Bunda, aku mau nunggu Bunda. Bukankah tadi Nany dengar sendiri kalau Bunda akan pulang!" kekehnya bahkan ia sampai menghentakkan kakinya.
"Non, maksud Non itu Kakak yang tadi di tempat Ayah Non ngajar?" tanya Ratri. Perempuan yang sudah berusia 30 tahun itu, tengah mencoba mengingat pertemuannya tadi siang dengan perempuan asing yang dipanggil oleh anak majikannya dengan sebutan Bunda.
Misel mengangguk, "iya! Dia bukan kakak, dia itu Bundaku. Bunda pasti pulang kan Nany. Dia tidak mungkin kembali membiarkan Isel menunggu," lirihnya penuh harap, matanya nampak berkaca harapannya begitu besar untuk bisa berjumpa dengan ibunya. Tetapi, Misel tak mengerti keadaan sesungguhnya, bahwa ia telah salah sangka. Hanya karena paras Rena seperti yang Ayahnya katakan membuat ia berfikir dan langsung mengklaim bahwa Rena adalah ibunya.
Sementara itu, di bawah seorang lelaki tampan, kulit putih, hidung mancung baru tiba di rumahnya. Seorang pelayan membukakan pintu untuknya.
"Apakah putriku sudah tidur?" tanyanya begitu masuk ke dalam rumahnya, dan melihat suasana rumah dalam keadaan sepi.
"Sepertinya baru saja, Tuan!" sahutnya.
Pria itu mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya berniat untuk mengunjungi kamar putrinya, akan tetapi langkahnya terhenti, ketika mendengar suara perempuan paruh baya memanggil dirinya.
"Alby, kau baru pulang?"
"Iya, Bu?" sahutnya. Pria itu memilih mengurungkan niatnya, dan menghampiri ibu kandungnya. Lalu mengulurkan tangannya menyalaminya secara lazim, "kapan ibu datang?" imbuhnya kemudian kembali bertanya.
"Tadi sore, ibu kangen sekali dengan Misel," jawab Soraya sembari melangkah ke sofa yang terdapat di ruang tengah. Alby mengikuti langkahnya ibu kandungnya, mendudukan dirinya di sebrang meja.
"By, kapan kamu akan menikah?" tanya Soraya dengan menatap putranya penuh harap.
Alby menghentikan gerakan tangannya yang tengah melipat lengan kemejanya, menatap ke arah ibunya sejenak. "Bu, bukankah hal seperti ini sudah sering kali kita bahas. Aku tidak menginginkan sebuah pernikahan. Cukup sekali aku gagal," pungkasnya.
Soraya menyentak nafasnya, beberapa kali ia kerap meminta putranya itu untuk menikah kembali, tetapi jawabannya selalu sama. Tapi, apakah ia tidak pernah berfikir, bahwa putrinya membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
"Tapi, Misel membutuhkan seorang ibu?" ujar Soraya serius.
Alby memalingkan mukanya ke arah lain, jika berbicara tentang pernikahan dan seorang ibu untuk Misel, pria itu merasa begitu malas. Andai bukan ibu kandungnya mungkin ia lebih baik pergi saat itu juga.
"Bu, Misel hanya seorang anak kecil. Sejak kecil tidak tau apa itu seorang ibu, jadi biarkan saja. Aku masih mampu untuk bayar pengasuh!" ujar Alby.
Soraya memijat keningnya, "ibu tau kau banyak uang. Kau bahkan bisa memberikan banyak pengasuh untuk putrimu. Tetapi, yang ia butuhkan bukan itu. Seorang ibu, kau tentu paham apa bedanya. Nak, ibu ini sudah tua, umur bahkan tidak ada yang tau akan bertahan sampai kapan? Tapi, ibu merasa belum tenang jika kau belum menikah, dan Misel belum mempunyai seorang ibu!"
Alby menatap ibunya dengan tak percaya, ia sama sekali tak menyukai pembicaraan ibunya, jika sudah membicarakan soal usia.
"Bu-"
"Kau bahkan tidak tau bagaimana keseharian putrimu kan. Ibu tidak tau, sejak pulang sekolah putrimu itu merengek terus dengan memanggil Bunda. Bahkan pengasuh yang kau gaji sampai bingung menenangkannya. By, andai kau bisa melihat sendiri keadaan putrimu lebih dalam lagi. Kau pasti akan paham apa yang diinginkan putrimu saat ini!"
Alby memilih diam dibandingkan harus menjawab dan kembali berdebat dengan ibunya, ia mengatakan bahwa ia lelah dan butuh istirahat. Akhirnya, Alby memilih untuk berpamitan pergi, dengan dalih untuk istirahat. Soraya hanya menghela nafasnya seraya mengelus dadanya menghadapi sifat dingin putranya.
Sementara Alby yang telah sampai di lantai dua, ia bukannya pergi menuju kamarnya, melainkan kamar putrinya. Ratri yang saat itu baru selesai menidurkan Misel pun menoleh melihat pintu kamar terbuka.
"Apa ada telah terjadi sesuatu?" tanya Alby pada pengasuh putrinya setelah sebelumnya ia mendaratkan kecupan singkat di kening Misel.
"Iya Tuan, sejak pulang dari kampus di mana tadi Tuan mengajar, Non Misel terus merengek memanggil Bunda. Ia bilang, ia tidak mau tidur karena menunggu Buna." Ratri menjelaskan tanpa ada yang ia tutup-tutupi.
Alby mengerutkan keningnya, tadi ia pikir apa yang di ucapkan ibunya adalah bohong, ia hampir tidak percaya. "Kenapa bisa? Memang siapa yang dia maksud?"
Kemudian Ratri pun menjelaskan pertemuan Misel pada majikannya. Alby hanya mengangguk meski saat itu juga ia dalam keadaan bingung menebak siapa gadis yang dimaksud Misel. Dalam hati berharap semoga esok setelah bangun Misel akan melupakannya.
****
Sementara Rena masih terjaga, perempuan itu tengah mempersiapkan barang apa saja yang harus ia bawa. Besok ia harus kembali ke rumah sakit, untuk melakukan seminar. Harusnya hal itu sudah ia persiapkan sejak tadi, tapi entah kenapa kejadian tadi siang terus mengusik dirinya. Dalam benaknya ia merasa bersalah pada anak kecil itu.
Rena takut jika anak itu benar-benar menunggu dirinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mempunyai perasaan iba padanya. Mungkin hanya karena dia anak kecil.
Ketika menatap kedua mata anak itu, Rena bisa melihat sebuah kerinduan yang begitu dalam.
"Sebenarnya anak siapa dia? Masa sih anak sekecil itu tidak mempunyai ibu!" gumamnya. Rena menyingkirkan tas miliknya, kemudian kembali duduk menghidupkan laptop miliknya. Beberapa detik kemudian ia menganga, saat menerima sebuah email dari seorang dosen.
"Gila ini dosen ya!" decaknya, ketika ia tahu ada sebuah email masuk yang berisi sebuah tugas dari dosen baru yang bernama Alby Darmawan. Rena kesal begitu banyak tugas yang ia dapat hanya karena baru satu kali ia tak mengikuti kelas dosen itu. Di tambah kalau Rena menolak tugasnya, dosen itu akan mengancam untuk memberikan nila C pada Rena.
"Baiklah masih ada waktu sehari, besok setelah urusan seminar dan pekerjaan di rumah sakit selesai, aku bisa mulai mengerjakannya, sekarang otakku benar-benar tidak bisa berfikir!"
Tok! Tok!
"Ren, belum tidur?" tanya sang ibunda dari luar.
Rena menghela nafasnya, kemudian melangkah ke arah pintu, ia membuka tampak seorang wanita setengah baya yang masih cantik berdiri dihadapannya.
"Ada apa, Mom?"
Dinda menggeleng, "tidak ada. Mom, cuma pengen lihat kamu saja. Kamu seharian mengurung diri di kamar, Mom kira kamu sedang tidak enak badan."
Rena tersenyum melihat raut wajah khawatir Mommynya. "Kata siapa? Aku sudah keluar tadi, Mom saja yang tidak tau. Karena Mom sibuk dengan urusan pernikahan Kak Rava!" sungutnya.
"Masa sih? Duh iya, Mom mau yang terbaik untuk kakak kamu itu. Nanti pernikahan kamu juga ya, Mom juga akan melakukan hal itu!" ucap Dinda.
Rena menggeleng, "aku belum kepikiran!"
Dinda menghela nafasnya, setelah itu ia meminta putrinya untuk segera istirahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!