Mereka datang saat menjelang tengah malam, mengusik tidurku, dan pergi saat menjelang subuh, membuatku merasa kesepian sekalipun di sekitarku ramai oleh orang yang terjebak dalam rutinitasnya sehari-hari. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan memiliki teman-teman seperti mereka yang menceritakan kisahnya sewaktu aliran darah, nafas dan detak jantung menjadi pemacu hidupnya.
Semula aku merasa terganggu dengan kehadiran mereka ... menggoyang tempat tidurku, menarik kaki-kakiku juga selimut yang menutupi badanku saat dingin menusuk tulang, menggerakkan barang, menyalakan peralatan elektronik dan lain sebagainya. Aku berlagak tidak peduli bahkan sempat membentak, memarahi dan juga melempari mereka dengan barang-barang seadanya. “Bisakah kalian diam dan tidak lagi mengganggu kami !!” itulah yang terucap di bibirku saat darahku sedang naik. Mereka tidak marah ataupun balas menghardikku. DIAM TAK BERSUARA.
Dan aku mulai mencoba untuk membuka diri, mendengar apa yang hendak mereka sampaikan. Walau sebenarnya aku sendiri takut menatap wajah dan perwujudan mereka yang menyeramkan. Datang silih berganti. Aku heran, mengapa hanya aku sendiri yang bisa melihat dan berbicara dengan mereka, padahal yang kutahu dari silsilah keluargaku, tak ada yang memiliki kemampuan tersebut. 23 tahun hidupku, tak pernah sekalipun mempelajari hal-hal yang berbau MISTIS atau DUNIA ROH.
MEREKA INGIN DIDENGAR. Itulah saran dari beberapa sahabat paranormal. Saat salah satu atau beberapa dari mereka datang kepadaku, kusiapkan pena dan buku kosong, bagai wartawan di sebuah media cetak, tanya jawab terjadi. Terkadang sulit bagiku untuk mengerti bahasa mereka, karena berasal dari berbagai tempat yang memiliki kultur budaya juga sejarah sendiri-sendiri. Mau tak mau imajinasiku pun turut bercerita, dan kebetulan sama dengan apa yang mereka ceritakan.
Perbedaan dunia nyata dan dunia gaib, hanyalah setipis kertas. Kertas yang secara sengaja maupun tidak sengaja tersobek / terkoyak dan memungkinkan para penghuninya bisa saling berkunjung. Di mata mereka yang tinggal di dunia lain / gaib, kita adalah tamu demikian pula sebaliknya.
Ini adalah buku pertama yang saya tulis, berdasarkan pengalaman pribadi juga orang lain yang mengalami kejadian yang bagi orang awam, tidak masuk akal. Tapi, itulah kenyataan yang tak terbantahkan oleh saya. Mereka yang tak kasat mata berbicara, saya menulis sesuai dengan apa yang patut saya tulis dengan bantuan imajinasi saya, sebab, tak jarang saya kesulitan untuk mengerti atau memahami apa yang mereka maksud. Mereka datang dan pergi seenaknya, tapi ada juga yang masih ingin bercerita sampai larut malam. Di rumah maupun di ruang kerja saya. Kata demi kata membentuk sebuah kalimat. Kalimat demi kalimat membentuk sebuah cerita dan tanpa sadar, kertas-kertas kosong, selama masih bisa dibuat menulis mendadak penuh dengan goresan tinta atau pensil.
Mereka bercerita banyak, mereka takkan pernah mau berhenti bercerita apabila sejarah dimana saat nafas dan detak jantung masih menjadi pemacu kehidupan mereka di masa lalu terkuak.
Mereka hanya ingin bercerita, tanpa mau ditulis nama yang sebenarnya. Hanya saya yang tahu... siapa nama mereka sesungguhnya. Maka, apabila ada kesamaan nama, judul, atau kejadian yang sama dengan pengalaman mereka, itu adalah kebetulan saja. Sama sekali tak ada niat dari saya untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu. Sekali lagi itu hanya kebetulan saja.
Saya harap buku pertama yang saya tulis ini, bisa menjadi penghibur atau sekedar pengisi waktu luang Pembaca Yang Budiman di kala jenuh dengan aktivitas sehari-hari. Mungkin juga bisa dijadikan sebagai pelajaran. Sebab, di dalam cerita-cerita yang saya tulis juga terselip Sejarah Masa Lalu yang mungkin jarang orang mengetahuinya. Itulah harapan saya. Mudah-mudahan buku ini bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang Anda sekalian. SELAMAT MEMBACA.
Penulis
Kosmetik. Aku belum terbiasa memakainya. Memang seperangkat peralatan hias itu harganya murah, cocok dipakai siapapun. Kristin mendesakku untuk memakainya katanya, biar kelihatan lebih cantik. Menurutku tidak demikian, Sekalipun tanpa kosmetik, aku sudah terlihat cantik, lagipula aku merasa aneh jika memakainya. Lagipula, butuh waktu berjam – jam menorehkan eyeshadow, maskara, lipstick dan lain sebagainya ke wajahku. Kristin memberikannya padaku sebagai hadiah ultah yang ke 19. Tepat 3 bulan yang lalu saat hendak menghadiri pernikahan Julia sahabatku. Perjalanan menuju lokasi pernikahan membutuhkan waktu sekitar 6 jam, dan sepanjang perjalanan aku tertidur.
_____
Aku berada di sebuah gedung yang cukup luas dan lebar. Pada langit-langit tergantung beranekan ragam lampu hias yang terbuat dari kristal dan nyalanya terang lagi menyilaukan mata. Tampaknya bukan hanya lampu hias saja yang dibuat dari kristal, tapi, juga peralatan makan dan minum. Aku tak bisa memperkirakan berapa harga semua perabotan itu yang jelas itu bukan barang yang murah. Di tengah ruangan banyak orang-orang berpakaian bagus, rapi, dan dilihat dari cara mereka berpakaian, mereka semua berasal dari kalangan orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. Mereka semua berbincang-bincang, tertawa, sambil sesekali meraih makanan ringan dan minuman ataupun meletakkan gelas-gelas kosong pada nampan yang dibawa oleh para pramusaji keliling.
AC di dalam ruangan dinyalakan dengan suhu yang paling dingin, aku yang tak terbiasa dengan suhu dingin semacam itu membuat bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil. Untuk kesekian kalinya aku pergi ke toilet, saat aku membuka pintu, aku menyaksikan bayangan seorang wanita berwajah pucat terpantul pada cermin. Pakaian yang dikenakan sama dengan pakaianku, ukuran tubuhnya sama dengan ukuran tubuhku, semuanya mirip, tapi, wajahnya begitu pucat bak kertas. Aku menoleh ke belakang tak ada siapa-siapa, tapi, saat aku mengalihkan pandanganku ke arah cermin, wajah wanita itulah yang terpantul di sana, bukannya wajahku.
Mendadak aku merasakan desiran angin dingin dan tajam melewati tengkukku dan terdengar sebuah bisikan lirih, “Tempat ini akan segera dilalap api, cepat pergilah bila kau ingin selamat,”
“Siapa itu ?” tanyaku. Tak ada jawaban, tapi mendadak saja bulu kudukku berdiri, setelah menyelesaikan urusanku dengan air toilet, buru-buru aku keluar dari tempat itu.
Begitu tiba di luar, aku berpapasan dengan Ekawati. Wanita itu terkejut, “Hei, bukankah kau Michelle,” tanyanya.
Aku mengangguk, “Benar. Apakah kau tahu dimana Kristin ?”
“Aku melihatnya di pintu keluar, temuilah dia segera tampaknya, dia juga mencarimu,” katanya.
Aku tersenyum, “Terima kasih, akan kutemui dia segera,” sambil berkata demikian aku melangkah pergi meninggalkan Ekawati yang masih berdiri sambil matanya terus memandangiku.
Kristin tak kutemukan, entah dimana dia berada, dan mendadak lampu padam, suasana di ruangan gelap gulita dan dari arah belakang aku melihat sebuah cahaya merah membara disusul teriakan orang-orang, “Kebakaran ! Kebakaran !” sesaat itu pula suasana jadi hiruk pikuk, semua orang berebut keluar. Nyala api kian besar, aku mendengar banyak jeritan yang menyayat hati dan hidung ini mencium bau daging hangus terpanggang, sementara, aku masih terus mencari-cari keberadaan Kristin. Saat para petugas pemadam kebakaran sudah berhasil menjinakkan api, aku melihat banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan mengenaskan, gedung mewah itu tinggal puing-puing hitam dan asap-asap tipis masih mengepul dan sebagian dipermainkan oleh angin-angin malam dan bau tidak sedap menusuk-nusuk rongga hidungku.
Aku terus mencari dimana keberadaan Kristin sekalipun langkah-langkah kakiku dihalangi oleh beberapa petugas pemadam kebakaran. Hingga akhirnya sepasang mata terbelalak manakala melihat beberapa orang petugas keluar dari reruntuhan bangunan sambil membawa kereta dorong dimana diatasnya terbaring sesosok tubuh wanita pingsan dengan luka bakar yang cukup parah. Lewat baju yang dikenakan, sekalipun bentuknya sudah tidak utuh lagi, aku mengenal siapa wanita itu, dia adalah orang yang kucari-cari, KRISTIN. Yah, Kristin adalah salah satu korban kebakaran yang selamat diantara sekian banyak orang yang tewas terbakar.
“Kaukah yang bernama Michelle ?” mendadak terdengar suara orang menegurku. Aku menoleh, tampak 2 orang laki-laki berpakaian perawat berdiri, sepasang mata mereka menatapku tanpa berkedip, “Benar,” jawabku.
“Ikutilah kami, wanita yang selamat dari kebakaran itu, mencari-carimu,” katanya lagi. Tanpa banyak bicara, aku segera mengikutinya menuju ke sebuah mobil ambulan dimana di dalam mobil tersebut beberapa perawat wanita tengah sibuk memasang masker oksigen di wajah Kristin.
“Dia baru saja pingsan setelah menyebut-nyebut nama MICHELLE, kaukah wanita yang dimaksud oleh wanita ini ?”
Aku mengangguk, “Benar. Bagaimana keadaannya, suster ?”
“Kritis. Ia harus dirwat inap. Itulah sebabnya Anda kami ajak ke RS,”
“Baiklah, suster,”
Mobil bergerak, bunyi sirine-nya terasa memilukan hatiku terlebih, Kristin sahabat karibku terbaring tak berdaya di depanku. Aku sama sekali tak menyangka Kristin harus tertimpa musibah seperti ini.
Tak lama kemudian mobil berhenti di sebuah bangunan yang cukup tua dan tak terawat. Di atas atap banyak sekali gagak beterbangan kesana-kemari sambil berkaok-kaok, suaranya terdengar parau dan membuatku merasa tidak nyaman sekali. Kereta tidur diturunkan, para perawat itu bekerja dengan cepat memindahkan tubuh Kristin ke tempat tidur lain untuk dibawa ke ruang ICU. Kami berjalan menelusuri lorong-lorong yang temaram oleh cahaya lampu yang remang-remang. Sepasang mataku tak lepas memandang bayangan wanita yang terpantul dari cermin, wanita yang sama dengan yang kutemui di toilet. Wajahnya kini lebih pucat, kenapa aku tak melihat bayangan wajahku sendiri. Itu membuat langkah-langkahku terhenti dan menatap wajah wanita itu lekat-lekat.
Sepasang mataku terbelalak lebar manakala melihat cermin-cermin itu retak-retak dan dari retakan itu merembes darah kental berwarna merah dan menebarkan bau amis yang menyengat. Perlahan-lahan dari retakan cermin berdarah tersebut, rambut hitam panjang lagi kusut tersembul keluar. Menyusul kemudian sebuah tangan dengan kuku hitam, panjang dan runcing juga keluar dari dalam cermin-cermin itu. Telingaku sakit manakala mendengar suara seperti gesekan garpu runcing dengan piring makan, bersamaan dengan suara-suara mengerikan itu tubuh-tubuh berlumuran darah keluar dari dalam cermin dengan gerakan aneh.
Sosok - sosok yang berpakaian serupa dengan pakaianku itu bergerak perlahan-lahan, mereka mengelilingiku. Saat mereka tepat di depanku kepala mereka yang menunduk mendadak bergerak bersama dan aku bisa melihat tatapan pada mata yang tak terhitung jumlahnya itu menatap liar ke arahku. Jari-jemari mereka terjulur mengarah ke leherku. Tubuhku menggigil ketakutan, sepasang lututku terasa lemas tak bertenaga, telapak kakiku seperti menempel erat di lantai ruangan, AKU TIDAK BISA BERGERAK. Aku merasakan kedua pangkal pahaku basah oleh cairan hangat. Aku berusaha menggerakkan rahangku yang serasa kaku dan “TTIIDDAAKK !!!” aku berteriak sekencang mungkin. Teriakanku menggema memenuhi ruangan tersebut, untuk kemudian merayap keluar melalui lubang-lubang ventilasi udara dan hilang ditelan kegelapan malam. Aku merasakan tubuhku melayang jauh ... jjjaaauuuhhh sekali.... hingga akhirnya aku merasakan adanya cengkeraman jari-jari kuat memegang pangkal lenganku.
“Kau bermimpi buruk, ya ?”
“Kristin,” sapaku sambil memeluk erat Kristin yang duduk di samping kiriku.
“Kenapa wajahmu pucat sekali ?” tanyanya.
“Sebaiknya, kita pulang sekarang,” pintaku.
“Bagaimana mungkin, kita sudah separuh jalan,” kata Kristin penasaran, “Kelihatannya, hari ini kau sedang tidak sehat atau mungkin...,” ucapan Kristin segera kupotong, “Jangan banyak tanya lagi, sebaiknya kita pulang sekarang,”
“Mengapa ?”
Aku terdiam, “Entahlah, aku merasa tidak nyaman untuk datang kesana,” pada saat itulah tercium aroma aneh, aroma yang sama persis dengan mimpiku, walau sesaat saja, namun cukup membuatku gelisah.
“Michelle, mengapa hari ini kau tampak aneh sekali ?”
“Baik. Rupanya aku harus menceritakannya padamu, tapi, sebelumnya putar balik mobil ini, kita pulang saja, tolonglah,” pintaku.
Setelah aku mendesak mati – matian akhirnya, Kristin menyetujuinya dan aku segera menceritakan perihal mimpiku barusan. Kristin dan yang lain terkejut, “Tidak mungkin, itu hanya mimpi. Tega sekali kau berkata demikian, kami tidak mempercayainya,” sahut Dyah.
Pada saat itulah terdengar berita bahwa hotel tempat diselenggarakannya pesta pernikahan Julia, tempat yang hendak kami tuju terbakar hebat, menewaskan seluruh tamu undangan termasuk Julia dan suaminya. Kami terdiam membisu, semua mata yang ada di dalam mobil yang kutumpangi, memandang heran ke arahku. Itu adalah salah satu kejadian dari serangkaian peristiwa aneh setelah aku memakai kosmetik pemberian Kristin.
_____
Bunyi burung daris itu membuatku gelisah. Tak biasanya malam-malam seperti ini, burung sial itu mengganggu tidurku. Kubuka jendela kamarku, sepasang mata ini berusaha mencari-cari darimana asal suara burung itu. Hingga akhirnya tampak olehku 4 pasang burung terbang bersliweran di wuwungan atap sebuah rumah yang terletak di sebelah Timur rumahku. Itu atap rumah milik Pak Ali. Menurut kata orang-orang tua jaman dulu, apabila ada burung daris mengerumuni atau terbang bersliweran sambil mengeluarkan suara paraunya, dalam waktu 7 hari ke depan secara berturut-turut akan ada orang yang meninggal. Siapakah gerangan yang akan meninggal ? Tanyaku dalam hati.
Baru saja aku hendak menutup jendela kamarku, mendadak wajah pucat seorang wanita muncul tepat di depan hidungku, aku melompat kaget. “Siapa kamu ?” tanyaku sambil berusaha untuk menenangkan diri. Wanita itu tak menjawab, ia hanya diam dan menundukkan kepalanya. Sekumpulan daris mendadak terbang mengerumuni wanita yang mengenakan pakaian putih itu, “Tolong aku ...” pintanya sambil menjulurkan kedua tangannya dan hendak memelukku. Jumlah burung daris itu semakin lama semakin banyak hingga akhirnya tubuh wanita itu tak terlihat lagi, menghilang tanpa bekas sementara, suara parau burung daris makin mengganggu, “Sial, andai saja aku punya sesuatu untuk membuat mereka diam, pasti akan kubuat mereka diam untuk selamanya,” keluhku dalam hati. Tapi, yang lebih mengganggu pikiranku adalah wanita pucat berbaju putih itu, siapakah dia ? Kenapa dia mendatangiku saat tengah malam begini ? Dan, banyak sekali pertanyaan yang ada di kepalaku, tapi, sama sekali tak kutemukan jawabannya.
Saat aku membalikkan badan dan hendak melangkah ke tempat tidurku, mendadak saja, seorang wanita berambut panjang, berbaju merah, dan berwajah mengerikan sudah berdiri. Sepasang matanya menatap liar ke arahku, baru saja hendak bertanya kedua tangannya terjulur lurus ke arah leherku, “Kembalikan kosmetikku !!” teriaknya sementara tubuhnya bagaikan anak panah dilepaskan dari busurnya. Aku berseru tertahan, leherku serasa dicekik kencang-kencang dan itu membuatku susah bernafas.
Kini wajah wanita itu sudah tepat berada di dekat hidungku, aroma busuk segera tercium, membuat perutku mual. Keringat dingin mengucur deras dari keningku dan membasahi sekujur tubuhku manakala melihat sepasang bola mata wanita itu mendadak terlepas dan perlahan-lahan kulit dan daging pada wajahnya yang pucat itu seperti badan lilin terbakar oleh bara api, melelehkan wajah dan daging. Yang tersisa adalah tengkorak dengan rambut hitam panjang dan kusut.
Aku menjerit-jerit sekuat tenaga menahan sakit pada leherku, tubuh ini serasa lemas tak bertenaga dan perlahan-lahan pandangan mataku kabur dan kepalaku pusing. Aku roboh tak sadarkan diri.
Aku membuka kedua pelupuk mataku dan aku melihat seorang wanita berbaju merah duduk di sebuah bibir sumur. Sepasang matanya menatap bayangan dirinya di dalam cermin yang dipegang oleh tangan kirinya sementara tangan kanannya dengan cekatan merias wajah, alis, bulu mata dan bibirnya. Ia tampak cantik jelita, ia tersenyum manis tapi tak lama kemudian menangis sejadi-jadinya, “Mengapa tak ada seorang pun mau mengakuiku ? Mengapa ?” Setelah berkata demikian mendadak ia tertawa cekikikan lalu menerjunkan dirinya ke dalam sumur. Aku berseru, “Jangan !!” gema teriakanku seakan memenuhi tempat itu lalu menembus langit merah di ufuk Barat dan menghilang. Aku berlari menuju ke arah sumur itu tapi, tak ada siapa-siapa disana. Tubuh wanita itu seakan menghilang ditelan bayangan gelap yang terdapat di dalam sumur itu.
Aku berdiri bagaikan patung sementara sepasang mataku menatap ke dalam sumur sementara, kubiarkan lamunanku berpetualang merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tapi, itu tak berlangsung lama karena mendadak, dari bibir sumur muncul sepasang tangan berkuku hitam panjang dan runcing diikuti dengan munculnya sesosok kepala wanita berambut hitam panjang. Aku berseru tertahan manakala jari-jemari itu mencengkeram pergelangan tangan kanan dan kiriku. Aku berontak dan hendak melepaskan diri, tapi, GAGAL. Hingga akhirnya tubuhku diseret masuk ke dalam sumur.
_____
Tubuhku melayang-layang di tengah udara, aku tak tahu mana atas, mana bawah. Sekian lamanya melayang-layang di udara, akhirnya telingaku menangkap bunyi ‘Blukk !’ dan aku merasakan sekujur tubuhku sakit. Ternyata, aku jatuh dari tempat tidur, MIMPI LAGI RUPANYA. Mimpi yang aneh dan mengerikan. Sayup-sayup aku mendengar bunyi pengumuman pada mikrofon masjid. Isi pengumuman itu adalah “MAYA, ANAK PAK ALI ... TETANGGA SEBELAH TIMUR RUMAH MENINGGAL DUNIA”. Aku tersentak sekaligus merintih perlahan manakala pergelangan tanganku terasa nyeri dan sakit. Ada guratan panjang melingkar pada pergelangan tanganku. “Astaga... aku tak ingat kapan luka ini ada pada pergelangan tanganku ?” Mendadak saja aku teringat pada mimpiku. Seorang wanita yang keluar dari sumur sebelum menarikku ke dalam sumur, kuku-kukunya yang hitam, panjang dan runcing sempat menyayatku. TIDAK MUNGKIN luka ini kudapat dalam mimpi. Lalu, apa yang kualami itu adalah kenyataan ? TIDAK MUNGKIN ! Lagi-lagi sebuah tanda tanya besar di kepalaku muncul dan belum bisa kujawab saat ini.
_____
Sejak saat itu, hampir semua teman dan sahabat karib menjauhiku, kecuali Kristin. Dia membawaku ke Ki Bayu Sekti, seorang paranormal ternama di desa seberang untuk meminta petunjuk tentang apa yang terjadi pada diriku.
Ki Bayu Sekti menghela nafas panjang, “Saya tak yakin bisa menghilangkan pengaruh pemakaian kosmetik itu. Setiap kali kalian memakainya, maka, bahan-bahan pembuat kosmetik itu menyatu dengan jiwa-raga kalian. Khususnya, kau Michelle... “ jelasnya, “Kosmetik itu bisa membuatmu mampu melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, benda itu juga dapat memberimu anugerah yang jarang didapat oleh orang-orang lain. Kau mampu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dan masa yang akan datang. Bahkan bisa melihat makhluk-makhluk dari alam gaib. Salah satunya adalah kejadian beberapa waktu yang lalu. Kau melihat seorang wanita berbaju putih, berambut hitam panjang lagi kusut serta berwajah pucat. Tahukah kau siapa dia ? Dia adalah puteri Pak Ali tetangga sebelah rumahmu, Maya,”
“Bagaimana jika aku membakar kosmetik ini, Ki ?” tanyaku kemudian. Ki Bayu Sekti tersenyum, “Kau pikir itu adalah pekerjaan mudah ? Sama sekali tidak... kosmetik itu bagaikan tanaman liar dicabut satu akan tumbuh yang baru. Selama pabrik kosmetik itu belum tutup, tak mungkin kosmetik itu hilang dari peredaran. Lalu, jika kalian menuntut pertanggungan jawab pemiliknya, kalian pasti kalah pengaruh. Mereka adalah orang-orang kuat dari segi ekonomi, sementara kalian .. apa yang menjadi andalan kalian ?”
“Maafkan aku Michelle... tak seharusnya aku memberikan kosmetik itu padamu,” kata Kristin menyesal.
“Sudahlah, lagipula mana mungkin kau tahu kalau bahan untuk membuat kosmetik itu berasal dari cairan mayat-mayat busuk,”
Aku pulang dengan wajah lesu, berjalan menghampiri cermin yang tergantung pada dinding kamarku. Bayangan wajahku yang asli terpantul disana, kini aku menyandang julukan sebagai freaky girl, tukang sihir, pembawa bencana. Dijauhi semua orang, masa bodoh... yang penting mereka harus mengingat kata – kataku ini :
“PADA SAAT TENGAH MALAM, AKU AKAN MENGUNJUNGI RUMAHMU, MENGETUK PINTU RUMAHMU DAN KAU MEMBUKAKAN PINTU ... MUNGKIN AKU AKAN MENYAMPAIKAN KABAR GEMBIRA. TAPI, jIKA AKU MEMANDANGMU DENGAN PERASAAN IBA ... ITU ARTINYA, SALAH SATU DARI SANAK FAMILIMU, TERMASUK KAU SENDIRI AKAN MENGALAMI SAKIT DAN MALAIKAT MAUT AKAN DATANG MENJEMPUT..”
( Selasa, 23 – Okt – 2018
Berjalan menyusuri lorong – lorong bangunan berlantai 3, dengan tatapan kurang enak plus celoteh miring orang - orangnya, membuatku merasa tak nyaman sekali. Aku harus segera enyah dari kantor busuk dan celaka ini. Semula besar harapanku untuk menerbitkan beberapa karya tulis di Star Image Building ini, tapi, Mbak Lis kepala redaktur yang juga sebenarnya adalah sanak familiku menolaknya dengan kata – kata yang menyakitkan.
“Karya tulismu itu buruk sekali ! Justru akan membuat citra tabloid STAR kita buruk. Aku yakin tak ada penerbit yang mau menerimanya !! Pergilah, dan jangan pernah kembali lagi !!!” itu adalah salah satu dari sekian banyak kata-kata yang pernah dilontarkan redaktur wanita muda, genit dan sombong itu. Jika aku tak melihat bahwa sebenarnya dia adalah saudaraku ... mungkin, dia sudah kupukuli habis-habisan.
Aku terus berjalan hingga akhirnya tiba di luar gedung. Mataku menyapu ke segala penjuru deretan gedung-gedung pencakar langit itu. Gedung tempat Lis bekerja diapit oleh beberapa gedung megah dan menantang langit, jika dibandingkan dengan STAR IMAGE BUILDING, gedung-gedung pengapit itu lebih mewah dan lebih besar, “Cepat atau lambat ... Star Image Building bakal kehilangan pamornya. Diantara sekian banyak kantor penerbit itu ... masa sih tidak ada yang mau menerbitkan cerita-cerita yang kutulis ?” aku mencoba untuk mengembalikan kepercayaan dan harga diriku yang sudah dihancurkan oleh si Lis itu.
Tempat parkir kendaraan, akhirnya sampai juga. Honda Civic buntutku kebetulan diparkir tak jauh dari pintu keluar, tanpa banyak pikir lagi aku segera masuk dan menyalakan mesin, sedetik kemudian deru mesin, bunyi roda melindas badan jalan menghantarkanku meninggalkan tempat Lis bekerja diiringi alunan musik bernada sedikit metal menggetarkan seluruh speaker mobil. Semoga saja bisa menyingkirkan kesal di hati ini.
STAR IMAGE BUILDING, sudah tertinggal jauh di belakang demikian pula gedung-gedung lain yang pernah kumasuki. Saat langit bagian Barat memerah, baru roda-roda mobilku berjalan memasuki halaman rumahku. “Benar-benar hari yang melelahkan,” keluhku, “Apa yang salah sich dari cerita yang kutulis ini ?” aku terus mengeluh hingga sepasang mataku melihat ada sebuah mobil lain di parkir di halaman rumah.
Dari dalam rumah muncul seorang wanita cantik berlari dan menghampiriku, “Hai, Intan .... apa kau sudah lupa denganku ? Bagaimana kabarmu ?” tanyanya sambil memelukku erat sekali.
TARA. Aku balas memeluknya, hilang sudah segala-gala yang membuatku stress, frustasi, putus asa gara – gara Si Lis itu. Kedatangan TARA, sahabat karib semasa masih SMP yang mendadak itu benar-benar menghiburku. Aku memang merindukannya, setelah kami lulus dari SMP, dia melanjutkan sekolah di kota yang sangat jauh... kami jarang telepon atau berkirim surat. AKU BENAR-BENAR MERINDUKANNYA.
Untuk sesaat kami berpelukan erat, lalu bersama-sama melangkah masuk ke dalam, “Tanpa kacamata, kau benar-benar terlihat cantik Tara... aku benar-benar pangling. Kau sekarang ada dimana ? Apa kerjamu ?” aku menghujani sahabatku itu dengan banyak pertanyaan, tanpa sadar dia telah kubuat bingung karena memang aku benar-benar merindukannya.
“Kau ini tak berubah, Intan .... bagaimana caranya aku menjawab semua pertanyaanmu itu... santai saja, sayang ... aku sudah minta ijin ke orang tuamu untuk menginap di rumahmu 2 atau 4 hari ke depan. Jadi, santai saja masih banyak waktu, kok,” ujar Tara. Dia tetap lemah lembut seperti dulu, dia tidak berubah. Tapi, yang jelas nasibnya lebih baik daripadaku, terlihat dari kendaraan yang dikendarai juga penampilannya yang anggun dan mempesona. Sial, dari dulu TARA memang cantik ... aku jadi iri, tapi, karena itulah akhirnya kami saling mengisi dan bertukar pikiran. Siapapun yang jadi suaminya, dialah orang yang paling beruntung.
_____
Tara. Dia memiliki hobby yang sama denganku : MENULIS CERITA. Tapi, nasibnya memang lebih baik dariku. Beberapa novel yang ditulisnya menjadi BEST SELLER, banyak penerbit yang memuat karya-karyanya. Sekalipun menganggur, uang datang dengan sendirinya. Padahal aku tahu sendiri ... cerita yang kutulis justru lebih bagus darinya.
“Apa yang menyebabkan karya tulismu diminati banyak orang, Tara ?” tanyaku.
“Entahlah, padahal seperti yang sama-sama kita tahu, kau lebih berbakat daripadaku. Kudengar, karya tulismu selalu ditolak mentah-mentah oleh kantor penerbit, bukan ? Untuk itulah aku datang ke rumahmu ini ... aku ingin membantumu,” kata Tara setengah berbisik, “Aku ingin kita sama-sama jadi orang-orang sukses,” sambungnya.
Dasar, Tara ... dia selalu energik dan tingkah lakunya benar-benar membuatku tak bisa menolak semua ide dan gagasan-gagasannya. Terlebih lagi saat ini, dimana karya-karya tulisku ditolak hampir di semua kantor penerbit.
“Bisa kau ceritakan ide-ide gilamu itu, Tara ...” pintaku.
Tara menghela nafas panjang, “Kau tahu ... dulu aku juga pernah mengalami nasib serupa denganmu. Tapi, setelah bertemu dengan Ki Lewu ... karirku mulai menanjak, dan inilah hasilnya. Untuk itu, aku ingin mengajakmu menemui Ki Lewu ... siapa tahu dia bisa memberimu saran / pendapat. Bawalah serta beberapa hasil karya tulismu kepadanya,”
“Hmm... melihatmu seperti ini, aku jadi penasaran seperti apa Ki Lewu itu orangnya. Kapan kita bisa menemuinya ? Apakah rumahnya jauh ?”
“Bagaimana kalau besok ? Kita berangkat dengan mobil mercy-ku,”
“Baiklah, tapi ... mobil mercy itu terlalu boros, solarnya saja ....”
“Jangan khawatir, sayang ... kalau ada aku semuanya akan beres. Semua biaya aku yang tanggung... tapi, kalau kau sudah menjadi orang sukses nanti, gantian, ya ?!” goda Tara sambil tertawa.
Keesokan harinya, kami berdua berangkat menuju ke Kota Banyuwangi, seumur hidup, baru pertama kali ini merasakan nyamannya naik mobil yang tergolong mewah. Banyak sekali cerita atau mitos mengenal hal-hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Demikian pula mengenai panorama alam juga lingkungan sekitar Banyuwangi yang kala itu masih belum banyak bangunan-bangunan pencakar langit seperti di kota-kota besar lain, sebagian kota Banyuwangi masih banyak tanaman liar dan tumbuh lebat di tepi jalan. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah pematang sawah hijau lagi subur dengan latar belakang gunung dan perbukitan.
Hingga akhirnya, tibalah kami pada sebuah jalan setapak dan berhenti di sebuah tanah lapang. Sayup-sayup telingaku mendengar seperti bunyi deburan air terjun, “Kita sudah sampai di Glagah,” kata Tara sambil keluar dari mobil, sepasang matanya menatap ke lereng-lereng pegunungan hijau dan tinggi, aku ikut turun dan bunyi deburan air terjun itu terdengar makin jelas, “Lho, katanya kita mau ke rumah Ki Lewu ? Kok berhenti disini ?” tanyaku. Tara menaruh telunjuk kanannya ke bibirnya yang merah muda, isyarat bagiku untuk berhenti berbicara. Aku menurut, kutarik nafas dalam-dalam, kupenuhi rongga dadaku dengan udara sejuk itu, “Ah, lega rasanya,” aku menghembuskan nafasku perlahan sambil memandang ke arah Tara yang masih sibuk menggerakkan tangan, pinggang dan kepala setelah itu berkata, “Jangan buru-buru, sayang .... coba pasang telingamu baik-baik .... apa yang kau dengar ?”
“Bunyi air terjun,” kataku.
“Benar. Apakah kau bisa melihat pemandangan air terjun di depan sana ?”
Aku bisa melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tara dan disana terdapat pemandangan yang cukup indah. Diantara bukit-bukit berbatu, aku melihat aliran air yang cukup deras, ternyata bunyi yang kudengar berasal dari sana.
“Itu adalah salah satu air terjun yang menjadi tempat wisata di kota Banyuwangi ini. Namanya : AIR TERJUN JAGIR. Sebuah tempat yang dianggap sakral oleh penduduk di Kampung Anyar ini, dan apa kau bisa melihat tak jauh dari air terjun itu ada sebuah gubuk ?”
“Yah, aku melihatnya,”
“Disitulah Ki Lewu tinggal. Beliau adalah salah satu juru kunci tempat ini. Kita tidak bisa ke sana dengan mengendarai mobil, kita harus jalan kaki,” Tara menjelaskan.
“Kalau memang harus demikian, mengapa kau tidak memarkirkan mobilmu di tempat terdekat ? Apakah tidak takut kalau mobilmu dicuri orang ?” tanyaku.
Tara tersenyum manis, “Jangan khawatir, di tempat ini bisa dibilang aman. Lagipula, hanya orang bodoh dan nekad saja yang berusaha mencurinya. Ayo kita berangkat,” ajaknya. Kamipun mulai melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kami melewati jalanan terjal dan agak curam juga licin, angin yang membawa butiran-butiran air yang memercik dari air terjun membuatku menggigil kedinginan. Semula aku mengeluh karena harus melewati tebing-tebing karang yang benar-benar membuatku ngeri tapi, tekadku mengalahkan hawa dingin tersebut.
Setelah berjalan lebih kurang setengah jam, sampailah kami di gubuk Ki Lewu. Aku dihadapkan kepada sebuah pemandangan alam yang mempesona, air terjun jagir yang terletak di Dusun Kampung Anyar, Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi ini. Selain terdiri dari 3 buah air terjun kembar di lokasi yang sama, airnya dingin dan jernih. Menurut Tara, air terjun ini berasal dari sumber yang berbeda-beda. Hijaunya tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar air terjun itu, membuat rasa letih yang sempat menderaku selama perjalanan dari Malang hingga ke tempat ini lenyap begitu saja.
Dari dalam gubuk Ki Lewu, hidungku mencium bau wangi-wangian dan saat memasuki ruangan, aku merasakan kedamaian, kenyamanan dan ketenangan. Pada dinding-dinding ruangan yang terbuat dari anyaman bambu itu tergantung benda-benda pernak-pernik seperti benda pusaka dan lukisan-lukisan indah. Semuanya diatur begitu rapi dan bersih. Hanya satu yang membuat bulu kudukku berdiri, yakni : sebuah meja yang kecil dengan berbagai jenis sesajen juga dupa yang masih menyala. Angin berhembus perlahan membuat kepulan asap dari dupa itu menyebar ke segala penjuru ruangan, seketika itu bau harum kembali tercium.
“Selamat siang, Ki... ini Tara dari kota Malang datang berkunjung bersama Intan teman saya. Apakah Ki Lewu ada di rumah ?” Tara memberi salam, suaranya menggema. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya mengenakan pakaian batik berwarna merah muncul dari dalam. Laki-laki itu membawa tongkat setinggi dada, “He... he... he... saya kira siapa yang datang ternyata kau TARA,” katanya sambil menyalami kami berdua, “Bagaimana kabarmu, nak ?”
“Baik-baik saja, Ki... “ jawab TARA sambil memperkenalkanku, “Dia ini bernama Intan, Ki ... sahabat karibku yang pernah kusebut-sebut beberapa waktu yang lalu,”
Aku menganggukkan kepala, “Intan, Ki ... senang bertemu dengan Anda,”
Ki Lewu menatapku dalam-dalam, sepasang matanya yang sedikit tersembunyi di balik alis putih dan lebat itu membuatku salah tingkah. Sesaat kemudian dia kembali berkata, “Nasibmu sama persis dengan Tara keponakanku ini. Yah, selain nasib ... watakmu sama. Tapi, kau lebih keras dibanding dia, duduklah, nak,”
Ucapan Ki Lewu ini benar, sekalipun sedikit tersinggung, tapi, aku diam-diam mulai menaruh simpatik padanya. Setelah kami duduk di lantai beralaskan tikar pandan, kamipun terlibat dalam pembicaraan dan Ki Lewu memegang kunci dari pembicaraan itu.
Heran, tanpa bercerita keperluanku datang ke rumahnya, Ki Lewu sudah mengetahui semuanya dan saat kami hendak pulang, ia menyerahkan sebuah kotak kecil kepadaku, “Nak Intan ... di dalam kotak ini tersimpan berbagai macam alat rias wajah. Memang tidak bagus, tapi, ini bisa membantumu pergunakanlah secara bijak. Jangan serakah, sebab, buahnya malah tidak baik. Mudah-mudahan ini bisa membantumu mencapai apa yang kau cita-citakan. Kalau kau tidak tahu cara memakainya, minta tolong Tara untuk membantumu,”
Sekalipun heran, aku menerimanya, aku tak tahu bagaimana cara memakai kosmetik, sebab, seumur hidup, aku tak pernah menggunakannya. Selesai makan siang dan mengucapkan terima kasih, kami segera meninggalkan tempat indah itu.
_____
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!