NovelToon NovelToon

Asmara Jodha Syifa

Tugas Bidan

Bruk!

Syifa melemparkan dirinya ke atas ranjang empuk miliknya. Matanya ingin terpejam walau hanya sesaat. Sungguh kenikmatan yang tiada tara dan sudah lama dia rindukan. Kesempatan untuk bisa menikmati waktu senggangnya untuk memanjakan dirinya sendiri.

Sudah hampir satu tahun dirinya tidak bisa menikmati kebebasan itu. Pandemi yang tidak kunjung usai adalah penyebab hilangnya kenikmatan itu. Ya, Syifa adalah seorang tenaga medis. Lebih tepatnya profesinya adalah seorang bidan di kota Ketapang, Kalimantan Barat.

Setiap hari dirinya harus berangkat kerja ke puskesmas. Hari liburnya kini digunakan untuk melakukan tracing pada penduduk yang dicurigai menjadi penyintas Covid-19. Apalagi dengan varian baru yang kini lebih ganas, hanya berpapasan saja bisa tertular. Semakin membuat dirinya tidak memiliki waktu untuk menikmati hari liburnya. Mau bagaimana lagi? Protes? Tidak akan bisa, itu sudah peraturan pemerintah. Lagipula, itu adalah tugasnya. Syifa hanya bisa mensyukuri itu semua tanpa mau mengeluh.

Banyak masyarakat membutuhkan tenaganya. Dia sangat ingat dengan sumpah jabatannya, yaitu menolong semua yang ada di maya pada.

"Empuk banget, Ya Allah ...." Syifa mengusap-usap samping ranjangnya yang kosong dengan senyum mengembang.

"Hmm ... tidur bentar bisa kali, ya?" gumamnya pada dirinya sendiri.

Nama lengkapnya Syifa Zahratus Sita. Dia adalah seorang bidan PNS. Sebenarnya asalnya adalah dari Jepara. Dia lahir dan besar di kota yang merupakan kelahiran Ibu Kartini. Iseng-iseng berhadiah saat ada seleksi CPNS, dia memilih kota Ketapang, Kalimantan Barat yang saat itu membutuhkan lima bidan. Sudah hampir tiga tahun dirinya menjadi penghuni kota Ketapang, mencoba akrab dengan kebiasaan yang terjadi disana.

Rumahnya berhadapan dengan rumah dinas Kodim, kata lainnya adalah seberang jalannya. Dia juga membuka praktik sendiri di rumahnya. Dia tinggal seorang diri, merupakan gadis yang mandiri tapi agak tertutup jika menyangkut masalah pribadi.

Usianya sekarang menginjak 29 tahun. Usia yang sangat matang untuk membangun rumah tangga, bukan? Begitulah masyarakat memberi patokan. Tapi tidak berlaku untuk dirinya, dia memiliki satu prinsip. Prinsip yang saat ini selalu dipegangnya teguh. Dia akan menikah dengan orang yang selalu membuatnya jatuh cinta setiap hari.

Drrttt ....

Getaran ponsel yang berada di dalam tasnya membangunkannya. Syifa merogoh tasnya dan mengangkat panggilan itu. Tanpa melihat siapa yang menelponnya.

"Assalamualaikum, bantuin kakak, Fa. Ada partus buka delapan G3P1A1," seru suara seorang perempuan dari ujung telepon itu.

Dia adalah Rani, seorang bidan yang merupakan senior Syifa di puskesmas. Rani adalah penduduk asli Ketapang, sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan berusia sekitar 3 tahun. Suaminya seorang perawat di RSUD Kota Ketapang.

"Waalaikum salam. Oke kak, Syifa berangkat sekarang," ucapnya lalu bangkit dan merapikan diri di depan cermin.

"Kakak tunggu, oh ya tolong bawakan kakak abochate ukuran delapan belas. Punya kakak habis punyamu ada, kan?"

"Ada tenang aja, stok banyak. Asal diganti aja. Ha-ha-ha. Bercanda kak Ran, Syifa tutup teleponnya, ya?"

"Iya, hati-hati di jalan." Pesan Rani pada Syifa.

Syifa mengambil pesanan Rani dan segera keluar dari rumahnya. Menaiki motor matic kesayangannya itu dan mulai melaju di jalanan. Sedikit menambah laju motor agar tak terlambat sampai di rumah Rani.

Dia ingat sekali dengan perkataan Rani, bahwa pasiennya G3P1A1. Itu bisa jadi pembukaannya akan berjalan lebih cepat. Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit Syifa tiba di rumah bercat abu-abu itu.

Dia segera mengucapkan salam dan masuk seperti biasanya.

"Assalamualaikum," ucapnya sembari menuju wastafel. Mencuci tangan pakai sabun enam langkah sesuai anjuran WHO.

"Waalaikum salam," jawab Rani memberikan celemek dan APD untuk Syifa.

Di masa pandemi ini, hanya sedikit bidan yang masih mau menerima persalinan di rumah. Dengan catatan wajib menerapkan protokol kesehatan. Penggunaan APD yang sangat lengkap dibanding sebelumnya menjadi pembeda yang sangat mencolok untuk saat ini.

Selain itu pasien yang hendak melahirkan wajib untuk tes rapid antigen minimal satu kali 24 jam. Jika hasilnya positif, maka bidan perlu melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Bukan apa-apa, itu semua demi keselamatan ibu dan bayinya juga.

"Hasil antigennya negatif, Insyaallah bisa lahir normal, Fa." Rani menunjukkan hasil tes rapid antigen itu pada Syifa.

Syifa mengangguk sambil bersiap memakai baju hazmat, kacamata google, masker dua lapis, sarung tangan steril dua lapis, dan sepatu boot. Jangan ditanya panasnya seperti apa, tapi inilah salah satu bentuk ikhtiar mereka untuk melindungi pasien, keluarga, dan diri sendiri tentunya.

Seperti biasa Syifa akan menyapa pasien itu terlebih dahulu. Menanyakan perasaannya saat ini, dan memberikan semangat untuk berjuang bersama.

"Sore Bu Nia, saya bidan Syifa temannya bidan Rani. Gimana perasaannya, nih? Wah, nambah momongan lagi nih. Bahagia? Sudah tidak sabar, ya?" sapanya pada pasien dengan senyum mengembang di balik masker.

"Sore bu Syifa, senang bu bidan, sudah tidak sabar lagi. Anak saya yang pertama sudah pengen ikut kemari, tapi dilarang sama neneknya."

"Alhamdulillah, saya juga tidak sabar mau ketemu dedek bayinya. He-he-he. Bapak nanti saat Bu Nia kencang-kencang punggungnya dielus ya, Pak. Ditawari makan dan minum juga, nanti pokoknya semangat, ya?"

"Harus semangat, dong! USG nya cowok, nih!" timpal Rani.

"Semoga benar ya bu Rani, saya sudah tidak sabar!" seru suami bu Nia.

Rani memasang infus terlebih dahulu. Agar jika ada kegawatan mereka bisa langsung memperbaiki keadaan umum pasiennya. Baru lima menit berlalu, bu Nia sudah merasakan tanda-tanda dirinya akan melahirkan. Dia seperti orang ingin buang air besar.

"Bu bidan, saya sudah ingin buang air besar!" serunya membuat Rani dan Syifa terperanjat dari duduknya.

Rani melakukan pemeriksaan dalam ketika kontraksi itu berakhir. Memastikan bahwa rahim telah membuka sempurna.

"Lengkap, Fa. Ketubannya masih utuh, kakak pecah saja, deh!" Syifa mengambilkan peralatan persalinan dan dibawa mendekat ke arah Rani.

Saat di sela-sela kontraksi yang melemah, Rani memecah kulit ketuban.

Pyok!

Suara ketuban yang pecah terdengar di telinga keduanya. Rani menilai jumlah, warna, dan bau air ketuban itu. Lalu menyampaikannya kepada pasien dan keluarga.

Rani mulai memimpin persalinan, "Tarik napas dalam dulu, nanti saat ingin mengejan langsung tekan di bawah sini"

Bu Nia mengikuti instruksi bidan Rani. Saat mengejan untuk yang ketika kalinya kepala bayi sudah keluar sempurna. Rani mengarahkan Bu Nia untuk bernapas seperti orang yang kepedasan. Rani melakukan sangga susur dan melahirkan secara sempurna bayi mungil itu.

"Alhamdulillah, laki-laki jam 16. 35 WIB." Syifa menyuntikkan oksitosin untuk merangsang kontraksi tepat satu menit setelah bayi lahir.

Rani memotong tali pusat bayi laki-laki tersebut tepat saat dua menit pertama kehidupannya di luar rahim. Syifa mengambil bayi itu. Membersihkan bagian kepala dari cairan ketuban dan meletakkannya di atas perut ibu antara payu dara ibu.

Merangsang bayi tersebut agar bisa mencari pu ting sendiri. Syifa memakaikan topi bayi dan handuk kering pada bayi itu. Rani berfokus pada ari-ari yang masih di dalam rahim. Sedangkan Syifa menyiapkan keperluan untuk bayi.

Setelah lima menit barulah ari-ari itu keluar secara utuh dan lengkap. Rani memeriksa kelengkapan ari-ari itu.

"Pak, istrinya dikasih selamat, dong!" kata Syifa membuyarkan lamunan suami bu Nia.

"Selamat ya, Bu. Anak kita laki-laki. Terima kasih sudah mengandung dan melahirkan anak kita, Bu. Pengorbananmu tidak bisa digantikan oleh apapun. Terima kasih, Bu!" ucap suami bu Nia penuh haru.

Membuat Syifa menyunggingkan senyum di balik masker dobel itu. Rani pun ikut tersenyum menyaksikan keharmonisan keluarga pasiennya.

"Kenapa, Fa? Ingin?"

"Ih, kakak ...."

"Ha-ha-ha, ya nggak papa kalau ingin. Cari suami dulu sana!"

"Oh, Bu Syifa masih lajang?" tanya suami bu Nia yang ikut nimbrung dalam percakapan itu.

"Iya pak, dia masih lajang. Tahu tuh nunggu apa. Nunggu siapa sih, Fa? Yang dulu nggak usah diingat terus, dong," sungut Rani mengompori Syifa.

"Ih, yang dulu siapa? Mulai deh," kata Syifa sebal dengan pembahasan itu.

Iya, dia akan menikah. Nanti, tunggu. Tunggu sampai orang yang berhasil membuatnya jatuh cinta setiap hari itu datang padanya.

Syifa mengambil bayi laki-laki itu dari perut ibunya. Menimbang, mengukur panjang badan, lingkar kepala, dan lingkar dada. lalu membungkus tali pusat itu dengan kassa kering yang steril.

Syifa tidak memandikan bayi itu, karena sesuai prosedur, bayi bisa dimandikan setah lebih dari enam jam. Syifa memakaikan bayi itu baju. Menyuruh suami bu Nia untuk mengambil wudhu agar dapat mengadzani anaknya.

"Beratnya tiga ribu gram persis, panjangnya 52 senti meter. Lingkar kepalanya 31 senti meter. Lingkar dadanya 33 senti meter, gerakan aktif."

Persalinan kali ini lancar. Pasien tidak mengalami kesulitan saat proses melahirkan. Bayi juga sehat. Syifa dan Rani mendokumentasikan persalinan itu dalam bentuk laporan ASKEB. Sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.

**

Tugas bidan menolong setiap wanita yang ada di mayapada. Mayapada artinya semesta. Bekerja tanpa mengenal waktu. Meski pandemi menyerang, itu bukan sebuah alasan kami berhenti. Bukan tanda jasa yang kami ingin, semua hanya ikhlas adanya. Jaya selalu profesiku, aku bangga menjadi Bidan Indonesia. Cintai profesi kalian, karena buah dari rasa cinta adalah memiliki dan kebahagiaan.

Hymne IBI

Setiap waktu ku berjuang untuk kemanusiaan

Itu semua tugasku an tak mengenal waktu

Berat serasa ringan tugas seorang bidan

Ku tak ingin tanda jasa, semua hanya ikhlas adanya

Ikatan bidan Indonesia berazas pancasila

Seluruh jiwa dan ragaku demi bahagia seluruh bangsaku

Pengagum Rahasia

Syifa kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan laporan. Bersenandung kecil di atas motor miliknya. Tiba-tiba saja perutnya keroncongan, dia lupa kalau belum makan. Akhirnya ia membelokkan motor di sebuah warung makan dekat dengan rumah.

Letaknya di persimpangan lampu merah. Saat memarkirkan motor, seseorang yang berseragam loreng menghampirinya. Syifa melirik nama yang tertera di baju tersebut.

"Bu bidan Syifa, dapat salam dari pengagum rahasia. Katanya tunggu dia sampai pulang ya?"

Bang Burhan, adalah seorang TNI angkatan darat yang menyapa Syifa. Rumahnya dimana lagi kalau bukan di depan rumah Syifa? Yang membuat Syifa bingung adalah pengagum rahasia. Dia sama sekali tidak tahu siapa pengagum rahasia itu. Siapa namanya, bagaimana rupa, dia asli mana, umurnya berapa. Blank! Sama sekali tidak tahu.

Bang Burhan pun enggan untuk menyebutkan siapa nama penggemar rahasianya. Dia hanya selalu menyampaikan salam ketika bertemu dengan Syifa. Wanita itu hanya tersenyum dan menjawab.

"Waalaikum salam," katanya.

"Oke, siap diteruskan kepada pemilik rindu!" kata Bang Burhan lagi.

Syifa hanya tersenyum dan geleng kepala. Entah itu benar ada orangnya atau tidak, dia pun tidak tahu. Ia segera meninggalkan Bang Burhan dan masuk ke warung makan itu.

Memilih lauk untuk disantapnya nanti. Ia akhirnya memilih pepes tahu dan sayur bening yang telah dibungkus. Syifa segera membayar makanan itu dan bergegas pulang.

Sampai di rumah, dia langsung mencuci tangannya. Melepas pakaiannya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi dan berganti baju, dia segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi panas. Mengambil pepes tahu dan sayur bening dari kresek warna biru itu.

Dia berjalan sambil membawa piringnya menuju ruang santai. Menyalakan televisi yang menayangkan berita tentang keadaan Palestina. Dia menyantap makanannya dengan fokus mendengar dan melihat berita tersebut. Sungguh miris nasib penduduk Palestina yang selalu merasa terancam.

"Ya Allah, lindungilah saudara seiman kami. Lindungilah pahlawan yang sedang bertugas disana. Aamiin," ucapnya saat berita tersebut berakhir.

Syifa telah menyelesaikan makannya. Meraih ponselnya dan mulai membuka instagramnya. Ada DM masuk di akunnya. Dari seseorang yang memiliki akun Prajuritperang_90. Karena rasa penasarannya sangat tinggi dia segera membukanya.

Sebuah kalimat salam yang tertera pada pesan itu. Syifa tidak mengenal orang tersebut, tapi dia wajib menjawab salam itu. Dia membalasnya, tapi setelahnya tidak ada balasan lagi dari akun tersebut.

"Dia siapa, sih? Bikin kepo ih!"

Syifa mencoba peruntungannya dalam selancarnya kali ini. Menelusuri akun tersebut. Namun sayang, hanya sebuah foto bendera Indonesia yang di posting di sana.

"Ih, dia siapa sih? Eh, kenapa aku kepo banget? Tau ah!"

Akhirnya Syifa membiarkan akun tersebut. Bergegas membersihkan rumah karena sebentar lagi jam praktiknya mulai. Saat membuka pintu, barisan laki-laki dengan seragam olahraga khas TNI lewat depan rumahnya.

"Assalamualaikum, Bu Bidan! Salam dari pejuang hati," sapa semuanya.

Membuat Syifa menundukkan pandangan dan menjawab salam tersebut. Sudah hampir dua tahun mereka selalu menggoda Syifa seperti itu. Dengan cepat Syifa masuk ke dalam rumah. Mendengus kesal karena setiap mereka berpapasan dengan dirinya selalu berkata seperti itu.

"Jane ki penggemar rahasiaku sopo to? Heran aku, gawe wong penasaran wae! Awas nek ketemu!" Umpat Syifa. (Sebenarnya tuh penggemar rahasiaku itu siapa sih? Heran aku, membuat orang penasaran saja! Awas saja kalau ketemu!)

Syifa menunggu hingga barisan laki-laki itu menghilang dari depan rumahnya. Barulah dia berani membuka pintu rumahnya. Setelah memastikan bahwa para TNI itu masuk ke sarangnya, dia membuka pintu tempat praktiknya. Menyalakan lampu neon box dan menggeser tulisan Ada Bidan yang tertempel di tembok itu.

Dia masuk ke dalam ruang praktiknya menunggu pasien periksa. Tidak lupa dia mengenakan alat pelindung diri yang terdiri dari gown, masker medis, sarung tangan, dan face shield. Begitulah protokol yang dianjurkan pemerintah untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari virus Covid-19.

Pasien mulai berdatangan satu per satu. Syifa melayaninya dengan sabar dan penuh perhatian. Kebanyakan pasien yang datang akhir-akhir ini adalah batuk, pilek, panas, hidung tersumbat, mulut hambar, lemah otot dan ingin muntah. Persis seperti gejala Covid-19.

"Saye tadak kena korona kan, Bu?" tanya salah seorang pasien kepada Syifa. (Saya tidak terkena korona kan, Bu?)

Syifa tersenyum dari balik maskernya. Dia tidak ingin masyarakat makin panik, dia menjawab sebatas pengetahuannya.

"Kite bise tahu itu korona atau tadak ya harus di cek dulu, Mak. Pakai tes antigen, yang dicolok hidungnya tuu ...." Syifa menggunakan bahasa Ketapang agar pasiennya paham. (Kita bisa tahu itu korona atau tidak ya harus di cek dulu, Mak. Pakai tes antigen, yang dicolok hidungnya tuu ....)

"Oh gian e? Nah, terus saye sakit ape?" (Oh, begitu kah? Nah, terus saya sakit apa?)

"Batuk pilek biasa, ingat ya Mak, di rumah saja selama seminggu. Tetap pakai masker selama di rumah. Obatnya diminum ya, jaga istirahatnya."

"Kalau antigen pasti hasilnya positif ya, bu bidan?"

"Mungkin, Mak. Sudah, nggak perlu takut. Insyaallah ada obatnya. Yang penting Mamak jaga protokol kesehatannya, ya? Obatnya diminum sesuai aturan, nanti kalau obat habis masih batuk kesini lagi," tutur Syifa kepada pasiennya.

"Iye lah. Makasih ya Bu Bidan. Berapa ongkosnya?"

"Lima puluh, Mak." Pasien itu menyerahkan uang kepada Syifa dan berpamitan pulang.

Tidak terasa, ternyata waktu berputar dengan sangat cepat. Jam di dinding itu menunjukkan tepat pukul sembilan malam. Syifa langsung membereskan peralatan praktiknya. Menyemprotnya dengan desinfektan. Menyeterilkan ruangan, lalu mengepel lantai.

Sembari menunggu ruangannya steril dia duduk di ruang tamu rumahnya. Sambil membuka aplikasi instagramnya kembali. Teringat akan DM yang masuk dari seseorang yang tidak ia ketahui siapa. Tetapi, pemilik akun itu berhasil mengusik hatinya. Mencoba membukanya kembali akun itu. Tertera keterangan online di akun tersebut.

Pemilik akun tersebut sedang mengetik. Membuatnya sedikit terhenyak menunggu sesuatu muncul di layar ponselnya.

Prajuritperang_90 : Assalamu'alaikum. Apa kabar?

Pesan masuk ke akun instagramnya lagi. Membuatnya semakin penasaran dengan pemilik akun itu. Syifa membalasnya.

Syifazahro : Wa'alaikum salam. Baik, maaf ini siapa ya?

Prajuritperang_90 : Siapa hayo? Coba tebak! Kalau bener aku bakalan temui kamu lebih cepat!

Syifa menghentikan jari lentiknya saat akan membalas. Mencoba menelisik satu per satu kalimat yang ada pada pesan itu. Pikirannya tertuju pada satu orang. Mungkinkah pemuja rahasianya?

Tapi, siapa nama pemuja rahasianya itu?

Ah, teka-teki ini sungguh membuat kepalanya sedikit pening. Dia membiarkan pesan itu tanpa membalasnya lagi. Mencoba bernegosiasi dengan pemilik akun agar mau mencoba mengungkapkan jati dirinya.

Jebakannya gagal. Pemilik akun itu sudah tidak online lagi. Syifa hanya bisa mendengus kesal. Dia teringat bahwa belum menutup tempat praktiknya. Ia bergegas menutup tempat praktiknya dan membersihkan diri.

Dia sendirian di dalam kamar, masih menerka-nerka pemilik akun itu. Dia mencoba menyingkirkan pikirannya, tapi sayang sekali tidak bisa. Dia malah kepikiran terus menerus.

"Kamu siapa? Kamu siapa? Tau ah! Mumet!"

Syifa menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Menaruh harap pada pagi semoga mendapat jawaban atas teka-teki itu.

***

Aku yang membawa namamu dalam do'aku

Aku yang merindukanmu meski kau tak tahu diriku,

Mengagumimu dari jauh, melihatmu tanpa menyentuh

Itulah caraku mencintaimu,

^^^(Prajuritperang_90)^^^

Orang Yang Sama

Syifa membuka pintu rumahnya dan mengeluarkan motornya. Menutup kembali pintu rumah lalu bergegas berangkat ke puskesmas. Hanya perlu beberapa menit untuk sampai di puskesmas. Tidak ada yang istimewa dengan pagi itu. Semuanya berjalan seperti biasanya.

Para pegawai puskesmas itu melakukan apel pagi sekaligus berjemur di bawah sinar matahari. Seorang pemuda dengan paras lumayan enak dipandang, menghampiri Syifa. Membuat wanita itu agak risih dengan kehadirannya. Bukan apa-apa, dia malas meladeni pria itu karena dirinya pernah dilabrak oleh seorang wanita yang mengaku memiliki hubungan dengan Aan.

Namanya Aan Setiawan, seorang ahli IT di puskesmas tempat Syifa bekerja. Tampan, berperawakan agak hitam tapi manis. Matanya sipit seperti orang china, perawakannya tinggi semampai. Banyak wanita yang mengidam-idamkan menjadi pacar Aan, tapi tidak dengan bidan satu ini.

Yang ada rasa malas meladeni dan risih jika didekati. Mereka memang pernah dekat, tapi tidak sampai menjalin suatu hubungan. Karena tiga bulan lalu, Syifa pernah didatangi seorang wanita yang mengaku tengah menjalin hubungan dengan Aan. Wanita itu menyuruh Syifa untuk tahu diri dan sadar posisinya. Syifa bukan tipe orang suka meributkan hal sepele seperti itu. Toh, dirinya dan Aan juga memang tidak memiliki hubungan.

Sejak saat itu dia mulai menjauhinya. Menjaga jarak adalah cara terbaik menghindari pertengkaran.

"Fa, malam minggu jalan yuk?" ajak Aan saat tubuhnya sudah di samping Syifa.

"Lagi corona!" jawab Syifa bersungut-sungut.

Aan merutuki dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia karena lupa bahwa mereka sedang dalam keadaan pandemi.

"Kalau aku main ke tempatmu?" tawar Aan lagi. Mencoba merayu kesempatan yang ada.

Syifa menoleh dan menatapnya tajam. Tanpa menjawab pertanyaan Aan, dia langsung melengos. Apel telah selesai, Syifa langsung meninggalkan barisan. Malas meladeni Aan.

Dia segera menuju ruangan KIA dan duduk dengan tenang. Memulai pekerjaannya sebagai bidan. Semenjak ada pandemi, seluruh kegiatan menjadi sangat terbatas. Posyandu balita ditiadakan di setiap desa wilayah kerja puskesmas tersebut. Kelas ibu hamil juga ditiadakan. Semua kegiatan terfokus di puskesmas.

Angka kejadian Covid di Indonesia semakin meningkat pesat. Membuat para tenaga medis kewalahan. Adanya beberapa regulasi baru membuat mereka semakin tidak memiliki waktu untuk diri mereka sendiri. IGD Puskesmas dituntut untuk buka 24 jam meskipun bukan tipe rawat inap.

"Fa, rujuk pasien positif Covid, yok!" ajak Pak Yoyok.

"Hoghey. Siap-siap dulu ya, Pak?" jawabnya semangat.

"Sip! Buruan yak!"

Syifa segera mengambil baju hazmat dan bersiap. Dengan dibantu temannya dia sudah siap secepat kilat. Segera menuju ambulance dan berangkat menuju rumah sakit rujukan.

Matahari semakin tinggi, Syifa baru saja selesai merujuk pasien. Segera dia melepas baju hazmat itu sesuai prosedur. Dengan menyemprot dirinya menggunakan larutan desinfektan, dan melepasnya, dan membuang di tempat sampah medis.

Jam pelayanan poli sudah selesai. Syifa bisa lebih bersantai. Dia memilih duduk selonjoran di bawah dan bermain ponsel. Dia kembali teringat akan pemilik akun IG Prajuritperang_90. Ada pesan masuk lagi! Entah mengapa hatinya senang mendapat pesan masuk dari akun itu.

Syifa segera membukanya. Dia tersenyum membaca pesan itu. Sebuah pesan yang berisi tentang candaan tetapi syarat akan bau perhatian.

Prajuritperang_90 : Assalamuaaikum, apa kabar? Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa makan. Kamu boleh abaikan aku, tapi jangan abaikan kesehatanmu.

Syifa dibuat melayang-layang akan pesan itu. Membuat hatinya merekah. Hanya karena sebuah pesan? Bahkan dia saja belum tahu rupa orang itu. Tidak ingin melewatkan kesempatan, dia segera membalas pesan itu.

Syifazahro : Waalaikum salan. Makasih. Kamu siapa sih? Kamu kenal aku darimana? Kamu teman SD? SMP? Atau SMA aku? Please, jangan buat aku penasaran!

Prajuritperang_90 : Cieee ... Mulai penasaran sama aku, ya? Tunggu aku pulang ya! Ingat! Jaga itu hati hanya untuk aku! Jangan main sama laki-laki lain. Aku janji, nanti saat pulang aku akan menemuimu. Tanpa kabar apapun.

Syifazahro : Pret! Apaan sih? Dah lah kalo nggak mau kasih tau!

Prajuritperang_90 : Jangan marah sekarang! Aku nggak bisa lihat wajahmu! Nanti saja waktu aku pulang, biar puas lihat wajah kamu saat marah. Calm down. Hihihi. Aku pamit! Wassalamu'alaikum.

Syifa melihat status akun tersebut sudah offline. Membuatnya menghembuskan napas kasar. Dia bisa mati penasaran karena tidak mendapatkan petunjuk siapa pemilik akun itu. Ditambah lagi sosok pengagum rahasianya yang selalu menitipkan salam lewat Bang Burhan.

Rani melihat ekspresi frustasi keluar dari wajah Syifa. Membuatnya ingin tahu penyebabnya.

"Kenapa, Fa?" tanya Rani ikut selonjoran di lantai.

Syifa menoleh tanpa menjawab. Malah menyandarkan kepalanya di bahu Rani.

"Ih, ditanya kenapa malah begini!"

"Kak, aku dibuat penasaran sama seseorang!"

Rani langsung semangat mendengarkannya, "Siapa, Fa? Kakak kenal?"

Syifa hanya menggeleng, "Aku saja tidak kenal, bagaimana Kakak bisa kenal? Tapi, menurut tebakan aku mereka adalah orang yang sama!"

"Maksudnya?"

Syifa berdecak karena Rani tidak paham dengan maksud ceritanya.

"Si penggemar rahasia sama satu ini!" Syifa menunjukkan isi pesannya bersama akun Prajuritperang_90 itu. Rani membaca chat itu dan menahan tawanya. Menurutnya itu adalah romantis yang dibalut dengan keluguan dan kelucuan.

"Ciee ... buruan ketemuan sih!"

Syifa hanya berdecak. Padahal di pesan itu sudah tertera keterangan bahwa pemilik akun itu sedang tidak berada di dekat Syifa. Bagaimana mungkin dia bisa minta bertemu?

"Mita kapan balik dari BPBD sih?" Syifa mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Entah, mane lah aku ni tau? Nanti die balik, kau pula yang disuruh gantikan!" jawab Rani. (Entah, mana lah aku ini tahu? Nanti dia balik, kamu lagi yang disuruh gantikan!)

Paramita Ayu, dia juga seorang bidan yang sedang ditugaskan di BPBD sebagai rumah sakit darurat tanggap Covid. Setiap puskesmas mengirimkan dua orang anggotanya untuk menjadi tenaga medis disana. Dan akan terjadi rolingan atau pergantian setiap tiga bulan sekali.

"Ndak bise lah, kite kan habis ini pelatihan vaksinator, Kakak!"

"Oh iya, lupa pula aku nin! Hahaha."

Rani melihat jam tangannya. Waktunya untuk bergegas pulang. Dia dan Syifa segera membereskan barang bawaannya. Lalu melakukan finger print sesuai waktu yang ditentukan. Setelahnya mereka pulang.

***

Sedang di belahan dunia yang berbeda, seorang pria sedang menjaga keamanan suatu daerah. Suasananya mencekam dalam balutan gelap gulita. Hanya cayaha bintang yang berpendar indah menghiasi angkasa. Damai dan tenang bila melihatya.

Jodha Prawira, seorang anggota pasukan Garuda yang sedang ditugaskan di Libanon, negara yang berbatasan dengan Suriah dan Palestina itu hanya mampu memendam rindu terhadap sosok cantik itu. Sosok perempuan yang mampu menyihir hatinya sehingga terus menerus memikirkannya. Ketulusan hati, kelembutannya saat bertutur kata, dan sikap pedulinya terhadap sesama membuatnya jatuh cinta terhadap sosok itu.

Namun sayang, dia belum bisa mendekatinya secara nyata. Karena jarak memisahkan raga mereka. Hanya melalui sosial media lah dia dapat bersua dengan sosok cantik itu. Itupun kalau keberuntungan berpihak padanya. Dalam hal sinyal maupun waktu.

Namun tenang saja, sebentar lagi kloternya akan digantikan dengan pasukan Garuda yang lainnya. Ingin sekali waktu dia putar secepat mungkin, agar segera tiba hari itu. Hari dimana dia bisa menemui sosok pujaan hatinya dekat secara fisik, dan dapat mendengar dan melihatnya.

"Kulangitkan do'aku hanya untukmu, Syifa Zahratus Sita. Semoga memang akulah garis jodohmu. Aamiin!"

***

Aku mungkin memang bukan seseorang yang  kamu impikan,

tapi bolehkah aku memimpikanmu untuk menjadi kenyataan?

Meskipun aku tahu, perihal jodoh itu adalah takdir Tuhan,

tetapi berjodoh denganmu, itu adalah takdir yang kurindukan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!