Tatapan bola mata gadis lugu itu seakan tidak lepas dari ibu yang tak henti-henti menangis dan melambaikan tangan. Lambaian tangan ibu paruh baya mengiringi kepergian anak gadisnya. Mirna Sriwati. Merantau ke negeri orang.
Angkutan desa yang sudah renta berlahan melaju meninggalkan suasana duka di hati ibu yang sangat menyayangi dirinya.
Air mata deras membasahi pipi ibunya yang sudah keriput, walau belum tua. Bola mata ibu terus mengikuti benda tua yang membawanya mengadu nasib di kota.
Merantau demi kehormatan, kehormatan keluarganya. Satu tahun ini, keluarganya menyambung hidup dari pinjaman ke tetangga. Walau mematok bunga tinggi, tapi begitu berarti.
Apalagi bagi dirinya, tanpa pinjaman itu, mustahil dia bisa lulus SMK.
Masih teringat ketika akan masuki UAN, sampai UAN dimulai, dia belum melunasi SPP nya. Padahal itu adalah syarat utama.
Namun, masih diberikan konpensasi, karena dia adalah murid berprestasi.
Air mata Mirna kini mulai membasahi pipi manisnya. Mengalir melewati bibir ranumnya sampai ke dagu. Dari kepergian tadi, dia bertekad tidak akan menangis dihadapan ibunya.
Dia terus tersenyum menghibur Ibunya. Dia tak ingin menambah kesedihan ibunya. Sudah terlalu banyak kesedihan yang dirasakan ibu.
Tak akan menangis. Aku akan tersenyum bahagia dihadapanmu Ibu. Dan itu menjadi tekad besarnya. Membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Tak akan menangis.
Namun, kini gadis itu tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. Dia terisak-isak menangisi perpisahan ini. Menangisi kemiskinan yang harus dia taklukkan. Tangannya kini membuka tas. Mengambil baju ibunya. Sengaja dia membawanya. Untuk mengobati rasa kangen.
Dia semakin terisak. Semakin mengingat akan sosok ibunya yang sangat menyayangi dirinya.
Sepanjang jalan sebelum turun di terminal kota, dia terisak menangis deras. Tak peduli penumpang lain yang memperhatikannya.
Sesampai di terminal, dia menuju loket bus antarprovinsi. Bus yang akan membawanya menuju kota besar. Kota yang diharapnya membawa rejeki dan kebahagiaan.
Tiga hari sudah perjalanan Mirna menuju kota besar. Dia sudah berada di rumah pamannya. Tak tampak kelelahan di wajahnya. Dia tetap menunjukkan ketegaran.
Namun, matanya terlihat sembab dan memerah. Terlalu banyak menangis. Sedih berpisah dengan ibunya. Dengan adik-adiknya. Di rumah pamannya, Mirna tidak boleh larut dalam kesedihan. Dia tunjukkan kalau dia ingin sukses.
Mirna ingin mendapat nilai lebih di rumah pamannya. Dia tak ingin ada masalah dengan keluarga pamannya. Karena dia sadar, dia tinggal di rumah saudara. Makan di rumah saudara. Dia tidak ada kenalan di kota. Tekad ingin sukses dan membahagiakan ibunya, membuat Mirna mengerjakan sesuatu dengan senang hati. Berperilaku dan bersifat sebaik mungkin.
Semua pekerjaan Mirna lakukan. Mulai dari memasak, mengepel sampai memandikan sepupunya yang masih kecil. Bahkan Dia meminta agar urusan menyuci dan sterika pakaian jadi pekerjaannya. Sehingga tidak lagi membayar orang untuk pekerjaan itu. Biasanya bibi bayar rp.300.000 per bulan. Untuk tukang cuci dan sterika.
Dengan senang hati bibinya menyetujuinya. Dan tak kalah senangnya adalah Mirna. Bukan bayaran yang diharapkannya. Tapi karena dia sudah mengurangi beban keluarga pamannya.
"Itu menyenangkan sekali," ucap Mirna dalam hati.
Dua bulan sudah Mirna di rumah paman. Sambil melamar pekerjaan, dia ikut membantu pekerjaan rumah. Banyak hal yang dia bantu. Banyak nilai plus nya.
"Mirna sangat bertanggung jawab," kata paman suatu malam kepada bibinya. Hal itu membuat paman dan bibi berusaha keras agar Mirna cepat-cepat dapat pekerjaan.
Malam Jumat, menjadi awal kisah Mirna merasakan kerasnya kehidupan kota besar. Penuh sesak dengan tantangan dan godaan. Apalagi gadis perawan yang masih sangat lugu dan polos. Saat paman sedang beristirahat di ruang keluarga. Menghabiskan malam sendirian. Bibi yang dari sore kurang sehat sudah tidur duluan. Teman paman menelepon, karena perusahaannya akan membuka cabang di Bandung.
Paman mengangkat telepon.
"Hallo Pak Nors, apa kabar? Udah sukses gak pernah lagi telpon."
"Kabar baik, Pak Rum. Bukan lupa, tapi agak sibuk, gimana kabarmu, sehat kan?"
"Sehat-sehat Pak Nors"
"Gini Pak Rum, kami mau buka cabang di Bandung, kalau ada saudara atau kenalan, bisa melamar Pak. Kebetulan kita banyak rekrut karyawan"
"Kabar baik itu Pak Nors, kebetulan ini ada ponakan dari kampung. Tinggal di sini, mau cari kerjaan"
"Pas lah itu Pak Rum, secepatnya aja kirim lamaran, pasti kami terima"
"Terima kasih Pak Nors, mohon di bantu ya Pak," ujar Paman mengakhiri pembicaraan.
Mirna yang tadi menguping pembicaraan dari kamar, tersenyum bahagia.
"Ini pasti lowongan kerja," ungkap Mirna dalam hati. Dan benar saja, tak lama, pamannya memanggilnya ke ruang keluarga. Mirna segera datang dan mendekat ke arah paman.
"Mir, besok coba buat lamaran, barusan teman paman telpon. Katanya perusahaan mereka buka cabang di sini"
"Iya, Paman. Malam ini jiga Mirna siapin. Kebetulan berkas-berkasnya masih ada"
"Kalau udah, kasih ke Paman ya, biar besok pagi paman antar"
"Iya, Paman"
Senyum bahagia terpancar di wajah Mirna. Tekad bulat untuk membantu ekonomi keluarganya, membuat dia semangat, menyiapkan berkas lamaran. Malam itu juga, lamaran diserahkan ke paman.
Malam itu menjadi malam yang indah buat Mirna. Dia tersenyum manis di sudut kamarnya. Sambil *******-***** bantal guling. Dia bagaikan anak ABG yang sedang jatuh cinta, anak remaja yang baru jadian. Walau sebenarnya, Mirna belum pernah merasakan indahnya cinta lelaki. Karena sejak sekolah, dilarang ibunya berpacaran.
Hayalan Mirna semakin tinggi. Sesekali, senyum manisnya mengembang, menyebar memenuhi kamar kecilnya. Tak terbayangkannya bagaimana rasanya menerima gaji pertama, memiliki uang sendiri. Apalagi, selama ini, jangankan lima puluh ribu, uang lima ribu saja jarang dia punya.
Karena mereka orang yang tidak punya. Jika sudah bekerja, dia akan mengirimkan gajinya untuk membantu kebutuhan keluarganya. Uang sekolah adiknya. Dan membeli baju ibunya. "Hmmmmmm... aku akan bekerja, dapat gaji dan bisa bantu ibu," ucapnya dengan malu-malu.
Mirna adalah gadis yang optimis. Semua dia percaya akan terlaksana. Sesuai dengan yang dihayalkannya. Tak terasa, sudah jam 10 malam. Saatnya Mirna tidur. Karena jam 5 Pagi, dia sudah harus bangun, menyiapkan makanan dan membereskan rumah.
Pagi-pagi menjadi waktu yang sangat sibuk buat Mirna. Setelah memasak dan menyiapkan makanan, Mirna segera memandikan kedua sepupunya. Kemudian menyapu dan mengepel.
Tak ada waktu untuk santai. Peluh keringat mengucur di pagi hari. Seperti pagi ini, setelah selesai memasak, dia sudah memandikan ponakannya.
Namun, Mirna tak lupa, kalau pamannya sudah mau berangkat kerja. Segera dia menghampiri pamannya, mengingatkan agar tidak lupa membawa lamarannya.
"Paman, jangan lupa bawa lamaran Mirna ya," kata Mirna sambil membalurkan minyak telon ke badan sepupunya.
Paman pun berangkat sambil membawa lamaran Mirna. Paman sendiri yang akan mengantarkan ke kantor Pak Nors. Sambil reunian, teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Teman lama, saat masih bekerja bersama di Surabaya.
Mirna sudah tidak sabar. Ingin segera mendengar berita tentang lamarannya. Ini adalah hari ke-8 setelah Mirna test Interview. Setiap sore, ketika pamannya pulang, dia sengaja berada di teras rumah. Sambil menyiram bunga. Dia benar-benar ingin mendengar dari pamannya.
"Mirna, kamu diterima bekerja."
Dia bagaikan gadis yang sedang menunggu kekasih pujaan hatinya. Untuk melamarnya. Hari ke-9, 10, 11......,30. Belum juga ada kunjung kalimat yang di tunggu-tunggunya.
Mirna tak sadar, mencari kerjaan di jaman sekarang begitu susah. Bahkan banyak sarjana belum juga bekerja. Padahal, Mirna hanyalah lulusan SMK, jurusan Akuntansi. Jelas kalah bersaing dengan lulusan sarjana Akuntansi.
Itulah Mirna. Gadis yang sangat optimis. Walau hanya lulusan SMK, dia yakin dengan kemampuannya. Masalah pembukuan dia kuasai. Nilai 9 untuk Akuntansi Biaya. Selain itu, dia yakin, kemampuan mengelola waktu, kontrol emosi yang bagus, sifat ramahnya dan cara bersosialisasinya.
Serta tekad bulatnya untuk membahagiakan ibunya menjadi senjata andalannya. Selain itu, cara memghadapi orang sudah terlatih saat PKL, di sebuah bank. Cara berbicara di depat umum dan berorganisasi sudah dia kuasai sejak menjadi ketua OSIS.
Itu modalnya. Dia teringat suatu saat waktu PKL di sebuah bank. Ucapan seorang karyawan bagian personalia.
"Sebenarnya, perusahaan-perusahaan itu juga susah mencari calon karyawan. Walau banyak pelamar, belum tentu ada yang memenuhi syarat"
"Syaratnya apa, Bu?" tanya Mirna.
"Yang pertama, tidak harus pintar-pintar amat, harus punya sifat kemauan belajar, kepribadian good, murah senyum dan pintar bersosialisasi, kontrol emosi yang baik dan di percaya"
Itu saja. Sebenarnya gampang. Namun, itu tidak dimiliki calon karyawan. Itulah yang selalu di pegang Mirna. Sebagai senjata untuk menaklukkan persaingan di kota. Karena itu semua dipunyai Mirna. Bahkan dia termasuk anak pintar di sekolah.
Empat puluh empat hari sudah Mirna menunggu. Belum juga ada kabar. Dia mulai gusar, gelisah dan tak tenang. Dan ini adalah malam ke-44. Apakah malam ini juga sama dengan malam-malam sebelumnya?
Namun, Mirna yakin sekali, malam ini ada berita bagus buat dia. Karena firasatnya agak berbeda sejak pagi tadi. Ini adalah pertanda.
Tidak seperti biasanya, paman pulang agak sorean. Pukul 17:15 Wib. Biasanya paman pulang pukul 18:30 an. Mungkin inilah saatnya. Pasti ada berita baik dari paman.
Sesaat waktu paman masuk ke rumah, tatapan paman agak berbeda dari sebelumnya. Tatapan paman seakan mau menyampaikan sesuatu. Namun, ada empati terlihat sesaat dari gestur wajah paman.
Ini pertanda. Tak biasanya paman seperti ini. Bagai tim penyidik yang sedang kumpulkan bukti-bukti, Mirna coba menyimpulkan gestur paman sore ini. Setiap gerak-gerik paman dikumpulkan Mirna untuk meyakinkan hati kecilnya. Malam ini pasti paman akan memberitahukan kabar gembira.
Mirna terus menyirami kembang di depan rumah. Senyumnya semakin mekar. Seperti mawar putih yang sedang disiraminya.
Hatinya berbunga-bunga dikelilingi kembang berwarna-warni. Tak sabar malam segera tiba.
"Mirna,"
Paman memanggil. Mengagetkan Mirna sampai selang air yang dipegangnya jatuh tiba-tiba.
"Iya, Paman." Jawab Mirna sambil mengambil selang air yang terjatuh.
"Kesini dulu sebentar, ada yang mau paman sampaikan."
"Iya, Paman. Sebentar Mirna matikan airnya dulu."
Kaki Mirna begitu berat melangkah. Gemetar mendengar panggilan paman.
"Benar, pasti Paman akan kasih tahu kalau Mirna di terima kerja," ucap Mirna sambil melangkah.
Mirna benar-benar bahagia. Senyumnya di kulum. Setelah mencuci tangan, Mirna masuk menjumpai pamannya. Ternyata Bibi juga ada di sana. Mirna mengambil tempat di sebelah bibi. Dengan santun, duduk sambil tersenyum.
"Ada apa, Paman?"
"Begini, Mir, tadi siang paman dapat telepon..,"
Paman memotong pembicaraannya. Jantung Mirna berdetak kencang. Wajah Mirna tersenyum dan seperti tidak dapat berkata-kata.
Terlihat jelas kalau Mirna yakin dia di terima kerja. Dia tersenyum sambil tangannya gelisah tak terkontrol. Sesekali duduknya di geser. Dan dia tak sabar.
"Telepon dari siapa, Paman?" tanya Mirna dengan jelas.
Tak sabar ingin mendengar berita bahagia ini. Sementara gestur paman dan juga bibi sangat tidak menunjukkan kabar bahagia. Mereka terlihat serba salah. Dan seolah berat menyampaikan berita ini.
"Tadi siang, Paman dapat telpon dari..., eh..iya.. Paman dapat telpon dari kampung. Kamu harus sabar ya, Mir. Ibumu sedang sakit keras."
Bagai di sambar petir. Berita ini sangat mengagetkan Mirna.
"Apa Paman??? Ibu sakit keras....?? Sakit apa, Paman?? Siapa yang kasih tau, Paman?" Mirna menangis sambil memeluk bibi nya. Mirna begitu terpukul. Dia menangis sesunggukan. Ini pukulan yang sangat berat buat Mirna.
Dia tak bisa membayangkan, kalau ibunya sakit, adik-adiknya makan apa? Karena cuma ibunya yang bisa mencari nafkah. Belum lagi untuk biaya sekolah adik-adiknya.
"Bibi, gimana sakit Ibu, apakah Ibu benar-benar sakit atau sudah....," Mirna tak tega melanjutkan ucapannya. Mirna ingin menanyakan apakah ibunya sudah meninggal? Karena biasanya, kalau dikatakan sakit keras, itu artinya sudah meninggal. Ini jadi pertanyaan besar buat Mirna.
"Sabar, ya, Mir... ," kata bibi menenangkan Mirna sambil matanya berkaca-kaca.
"Iya, Mir... Kamu harus tenang ya.." Paman juga ikut menenangkan Mirna.
Mata Mirna dipenuhi air mata. Dia benar-benar ingin pulang. Namun, darimana uangnya untuk ongkos pulang. Pikiran Mirna berkecamuk. Dia terdiam bisu sekarang. Pelukan bibi semakin erat.
Mirna berpikir keras, bagaimana dia bisa pulang. Untuk melihat ibunya yang sakit keras. Darimana Dia mendapatkan uang rp.500.000 untuk ongkos pulang. Apakah paman mau memberikan ongkos pulang? Namun, Mirna tidak berani mengungkapkannya. Karena tidak mau menyusahkan pamannya.
Namun, tiba-tiba..
"Paman, Mirna mau pulang melihat Ibu," kata Mirna memberanikan diri sambil air matanya berjatuhan.
"Iya, Mir.., Kamu pulang aja. Kamu harus segera melihat ibumu. Paman akan membelikan tiket bus besok pagi. Biar kamu bisa berangkat sore harinya."
Mirna senang mendengar ucapan paman. Namun, banyak pertanyaan Mirna menanggapi ucapan paman. Kenapa Paman mau mengongkosiku pulang? Apakah Ibu sudah meninggal? Kalau aku pulang, apakah masih kembali ke Bandung? Apakah aku pulang tanpa membawa uang untuk beli obat ibu? Apa kata orang kampung, aku pulang tidak bawa apa-apa?
Sejuta pertanyaan muncul di hati Mirna. Namun, semua pertanyaan itu ditepisnya. Dia hanya ingin melihat ibunya, memeluk ibunya yang sakit.
"Iya, Paman. Terimakasih atas kebaikan Paman dan Bibi. Mirna tidak bisa membalas kebaikan Paman dan Bibi." Kata Mirna sedikit tegar.
"Iya, Mir. Yang penting, Kamu bisa melihat ibumu," kata bibi sambil memeluk Mirna.
"Iya, udah, Mir, sekarang beresin pakaianmu untuk kamu bawa besok. Besok pagi paman akan mencari tiketmu. Kebetulan besok hari Minggu, jadi Paman libur."
"Iya, Paman," jawab Mirna sambil pamit menuju kamar.
Mirna segera membereskan pakaiannya. Perjalanan 3 hari 2 malam harus dilaluinya menuju kampung di sebuah desa di Sumatera Utara.
Pagi hari, masih jam 06:09 Wib, paman sudah memanaskan mobil. Mau segera mencari tiket bus untuk Mirna. Rencananya, sore ini Mirna mau pulang kampung.
Segera seolah tak ingin membuang waktu, paman meluncur. Memacu kendaraannya. Membelah jalanan yang mulai rame. Waktu yang harusnya di pakai paman untuk bersantai. Tapi kini sudah berjibaku dengan waktu.
Sementara, Mirna masih terlihat sedih memikirkan kondisi ibunya. Belum 10 menit meninggalkan rumah, paman tiba-tiba mengurangi kecepatan. Sepertinya ada yang tidak beres. Dan tangannya mencari-cari sesuatu di kantong celananya. Ternyata HP paman ketinggalan.
"Sialan, HP ku ketinggalan." Sambil menggerutu, paman berbelok arah, kembali ke rumah. Ternyata, HP paman tertinggal di kamar.
Dengan tancap gas, paman menuju rumah. Dia tak ingin kehabisan tiket. Karena biasanya tiket bus untuk keberangkatan hari ini sudah harus di pesan jauh-jauh hari.
Hanya sedikit tiket yang belum terpesan. Itupun duduk di kursi paling belakang. Jika beruntung, maka dapat tiket. Ulah ojek online yang mutar sembarangan membuat paman menginjak rem mendadak.
Tak lama, paman sudah kembali ke rumah. Bibi merasa heran dan menghampiri paman.
"Kenapa, Pak, koq udah pulang?"
"HP ku ketinggalan," kata paman bergegas menuju kamar.
Dan ternyata sudah ada 2 misscall.
"Pak Nors, ada apa ya?"
Sengaja paman tidak memanggil balik. Dia tak ingin kehabisan tiket. Dia bergegas sambil pamit ke bibi.
"Prak....". Bunyi pintu mobil paman.
Mirna terlihat menetekkan air mata. Kepulangan paman mengambil HP bagai pertanda kalau dia tak akan bisa pulang sore ini. Namun, dia coba hibur diri. Meyakinkan kalau paman pasti dapat tiket.
Hp paman kembali berbunyi, saat mobil sudah dihidupkan paman. 'Pak Nors memanggil' Terlihat di layar HP paman.
"Waduh Pak Nors lagi. Ini pasti panjang kalau nelpon." Gerutu paman galau.
"Diangkat gak ya..bisa kehabisan tiket saya."
Paman Bimbang. Pilihan sulit.
" Halo Pak Nors." Paman menjawab.
"Halo Pak Rum, lagi dimana? Dari tadi gak di jawab telpon saya,"
"Tadi HP ku ketinggalan, ini aku baru balik ke rumah mengambil HP."
"Iya Pak Rum, ada kabar gembira, dan...."
"Berita gembira apa Pak Nors?" Paman memotong... Paman benar-benar tidak ingat kalau Mirna sedang melamar kerja di perusahaan Pak Nors.
"Itu Pak Nors, ponakan Bapak, siapa...Mirna ya...?
" Iya Pak Nors, Mirna.. Dia diterima ya Pak Nors?" Cecar Paman ingin segera tahu.
"Betul Pak, Mirna di terima bekerja di perusahaan kita. Dan mulai besok sudah harus tes kesehatan dan bekerja. Dia diterima di bagian finance Pak Rum."
"Terimakasih Pak Rum. Ini jadi berita gembira buat Mirna. Dia pasti senang benar dengan kabar ini. Sekali lagi, terimakasih ya Pak Nors atas bantuannya."
"Ah Pak Nors, sesama teman harus saling bantu. Kebetulan Mirna anak nya Smart, dan manis juga, hahahaa"
"Tapi Pak Nors....." Paman berhenti sejenak.
"Kalau masalah salari, sudah termasuk gede di perusahaan kita Pak Rum."
"Bukan itu Pak. Besok Mirna mau pulang kampung. Ibunya sakit keras, harus di operasi. Ini aku mau nyari tiket bus."
"Waduh.. di tunda dulu Pak pulangnya. Ini kesempatan besar Pak. Besok-besok makin susah nyari pekerjaan," jawab Pak Nors membuat paman makin bingung.
"Tapi Pak Nors, ibu Mirna mau operasi. Jadi dia harus pulang."
"Terserah Pak Rum lah, kalau besok-besok aku gak bisa bantu lagi," ucap Pak Nors sambil mematikan telponnya.
Paman terdiam seribu bahasa di dalam mobil. Pilihan sulit. Mau pilih yang mana?. Paman terlihat berpikir keras.
"Koq malah bengong, Pa? Bukannya langsung nyari tiket. Keburu habis Pak. Kasihan Mirna dari tadi nangis terus," kata bibi sambil menggedor pintu mobil paman.
"Saya bingung bu, mau pilih yang mana ini?" Kata paman sambil membuka pintu mobil.
"Bu, sini dulu," kata paman setengah berbisik sambil menarik tangan ibu ke garasi.
"Barusan Pak Nors telpon, Mirna diterima kerja. Besok harus tes kesehatan dan mulai kerja."
"Mirna di terima kerja Pak? Syukurlah.... Tapi gimana ya, ibunya sakit keras."
Paman dan bibi terlihat diskusi serius di garasi mobil. Mereka kesulitan memilih pilihan yang ada.
"Tidak jadi beli tiket, Paman?" Mirna mendekat ke garasi mengagetkan paman dan bibi.
"Eh..iya..Mir, Ayo kita ke ruang tamu dulu ya"
Mereka bertiga sudah duduk di ruang tamu. Paman kembali terlihat berpikir keras untuk menyampaikan kabar ini. Kabar gembira yang justru akan sulit di terima Mirna.
Kabar buruk maupun kabar baik, paman harus berpikir keras untuk menyampaikan ke Mirna. Terlihat bibi memberi kode agar paman segera memulai.
Mirna malah jadi curiga. Melihat gerak gerik paman dan bibi. Dipikirannya, jangan-jangan Ibunya sudah benar-benar meninggal.
Mirna tiba-tiba berlari ke kamar sambil menangis.
"Mirna." Serentak paman dan bibi memanggil sambil mengikuti Mirna ke kamarnya. Bibi masuk ke dalam kamar. Paman tertahan di pintu masuk. Mirna menangis terduduk di lantai kamar sambil memeluk baju ibunya.
"Mirna, Bibi kasih tau ya, Pamanmu tidak jadi beli tiket, karena Mirna di terima kerja. Jadi besok kamu harus tes kesehatan. Kamu di terima kerja Mirna. Kamu harus senang. Kamu bisa bantu ibumu dan adik-adikmu." Bibi memeluk Mirna.
Mirna malah semakin menangis mendengarnya. Pelukannya semakin erat ke tubuh bibinya. Hatinya semakin berkecamuk. Antara pulang kampung dan kerja.
Pilihan yang menguras emosi. Dia meninggalkan ibunya untuk bekerja di kota. Namun, kini ibunya sedang sakit keras. Dia ingin segera melihat ibunya. Paman masih terpaku. Diam tak bersuara. Bibi masih berusaha menenangkan Mirna.
"Mirna harus pulang, Bi," Mirna memohon ke Bibi.
"Mirna harus melihat Ibu. Mirna harus pulang, Bi." Mirna menangis makin menjadi.
"Mirna...," Paman mencoba ikut meyakinkan Mirna. Suara paman agak meninggi.
"Kalau kamu pulang kampung, apakah kamu bisa menbantu pengobatan ibumu, Tidak bisa kan? Paman sarankan, kamu tidak usah pulang," Paman berusaha meyakinkan Mirna.
"Ini kesempatan langka. Kalau kamu sudah bekerja, kamu bisa membantu ibumu. Membeli obatnya. Ingat Mir, kalau kamu kerja mulai besok, maka akhir bulan kamu sudah terima gaji. Dan bisa membeli kebutuhan ibumu. Berdoa saja. Allah pasti menyembuhkan ibumu. Kamu harus percaya. Ibumu pasti akan sembuh."
Paman berbicara agak tegas agar Mirna tidak pulang kampung.
"Iya Mirna, cita-citamu kan mau membantu ibumu dan adik-adikmu. Ini kesempatan besar. Besok kamu sudah bekerja dan bisa membantu ibumu. Membeli obat dan keperluan lainnya.
Mirna kini terdiam. Tidak lagi menangis. Namun masih memeluk bibinya. Dia berlahan melepas pelukannya dari bibi. Lalu melangkah ke arah paman dan memeluk pamannya.
"Terimakasih Paman, atas semua kebaikan Paman. Mirna tidak jadi pulang paman. Mirna akan bekerja besok."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!