Menurut kamu apa yang membuat dunia bisa terus berjalan seperti ini?
Apakah karena adanya masyarakat yang tertib?
Nilai?
Moral?
Atau Hukum?
Apapun sebabnya, pasti sebuah unsur bernama ‘Manusia’ akan selalu terlibat di dalamnya.
“Manusia adalah pusat dari dunia.”
Itulah bagaimana orang-orang hedonis berpikir. Menganggap diri mereka paling penting di dunia, tak tergantikan, dan merupakan prioritas utama.
Mereka semua menikmati kebahagiaan, tanpa pernah berpikir semua yang mereka dapat itu berasal dari mana.
Meskipun banyak orang yang menderita, bersedih, kesusahan, dan merana di luar sana, kebanyakan orang yang hidupnya terpenuhi akan bersifat apatis akan kenyataan yang ada.
Orang-orang seperti itu akan berpaling dan menganggap dunia hanya seluas lingkungan mereka yang damai, sejauh kaki mereka pernah melangkah.
Bagi beberapa orang, alasan mengapa dunia bisa tetap ada dan terus berjalan sampai sekarang adalah karena keberadaan mereka, orang-orang yang berperan dalam kesusahan dan penderitaan.
Itu merupakan sebuah pandangan untuk memuaskan diri semata, begitu naif.
Aku sendiri merupakan bagian dari mereka, orang-orang yang berjuang dalam kesusahan dan penderitaan tersebut.
Tetapi, asal kalian tahu, aku satu kali pun tidak pernah mengutuk takdir. Tak pernah menganggap nasib yang diriku dijalani ini buruk dan pantas dihina.
Apa yang aku dapat sekarang, hidupku saat ini, semua yang telah aku lewati, dan berbagai nasib yang sudah aku alami, semua itu adalah sebuah anugerah dalam kehidupan.
Entah sejelek dan semenjijikkan apa pun hal tersebut, itu adalah diriku.
Hanya dengan melihat mereka yang berkecukupan, aku bisa merasa, “Ah, dia bisa makan enak dan bersenang-senang seperti itu berkat adanya orang seperti diriku ini. Kalau saja tidak ada yang di bawah, pasti tak akan ada yang di atas.”
Pemikiran tersebut hanya untuk menghibur diri, secara tidak sadar aku menyadari hal tersebut. Untuk melindungi sesuatu yang bernama hati dan perasaan yang rapuh, diriku pun berpaling pada kenyataan yang ada.
Tetapi ..., itu mau bagaimana lagi. Ini adalah hidupku, ini ketentuan dan ketetapan yang ku dapat. Sudah tidak ada yang bisa diubah sekarang.
Aku tahu kehidupan ku sangatlah membosankan dan menyedihkan, oleh karena itu diriku mencoba untuk tenggelam dalam harapan palsu dan ilusi.
Aku tahu dunia ini dibuat dengan adil, tetapi tidak setara untuk semuanya. Oleh karena itulah, sebuah perbedaan ada di mana-mana.
Aku tahu kalau dunia ini tercipta sangat indah, namun tidak setiap saat akan terlihat seperti itu. Ada kalanya hal buruk memenuhi, lalu menjadi hal yang biasa.
Aku hanya tahu, tetapi tak pernah mengerti sebuah makna yang ada di balik semua itu.
Entah itu alasan mengapa diriku terlahir di dunia ini, mengapa aku ada, lalu kenapa hidupku bisa menjadi seperti ini.
Terus bertanya-tanya tanpa bisa memahami atau bahkan menemukan jawaban, lalu pada akhirnya hanya mencari setumpuk alasan.
Tanpa benar-benar mencari tahu jawaban yang diinginkan.
Lebih rendah dari orang-orang yang menutup mata dari kenyataan, itulah jenis manusia yang menyalahkan orang lain atas situasi yang didapatnya.
Lalu, aku pun termasuk golongan orang semacam itu. Begitu rendah, hina, dan munafik.
Andai bisa mengubah segalanya, aku ingin menjadi diriku sendiri sampai akhir.
Namun, sayangnya hal tersebut sangatlah mustahil. Sebuah organisasi bernama ‘Masyarakat’ takkan pernah memberi kesempatan itu padaku.
Bagaikan sebuah produk yang telah ditempeli label harga, aku tidak bisa melepas peran yang telah diberikan oleh masyarakat.
Jika mencobanya, seperti halnya barang tanpa label di swalayan, aku tidak akan diterima oleh pembeli bernama masyarakat.
Ini hanya sebuah keluhan. Tidak ada yang penting, tidak ada yang harus dipermasalahkan, dan tidak perlu diperdebatkan.
Hanya sebuah ungkapan kata-kata, sebuah kalimat yang akan hilang terbawa angin dan suatu saat akan tertelan oleh waktu.
Sungguh, semuanya adalah omong kosong belaka. Sebuah bualan tak penting.
««»»
Sore hari menjelang senja, aku berdiri di atap gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tempatku berkuliah. Sambil meletakkan kedua tangan di atas pembatas besi, melihat pemandangan pepohonan sekeliling bangunan.
Gedung ini memiliki tiga lantai, dengan ruangan yang jumlah mungkin mencapai lima puluh lebih. Itu hanya perkirakan, sebab diriku sendiri tak pernah menghitungnya secara langsung.
“Huh, sungguh menyedihkan.”
Perkataan itu aku arahkan pada diriku sendiri. Ya, mau bagaimana lagi. Untuk masa penuh potensi di umur 18 tahun, aku bagaikan anak ayam yang masuk ke dalam kandang bebek.
“Aku tidak tahu kalau salah jurusan akan sangat menyedihkan seperti ini.”
Sebenarnya tidak ada alasan untukku mengeluh, dari kecil sampai sekarang memang tak ada satu pun pilihan penting yang diriku ambil sendiri. Semuanya aku serahkan pada keluarga, lingkungan, dan suasana yang ada.
Sekolah dasar hanya karena diperintah untuk bersekolah, masuk SMP yang cukup ternama di daerah ku juga hanya karena tuntutan orang tua. Saat jenjang berikutnya juga tak jauh berbeda, begitu pula masa kuliah ini.
Namun, dari semua itu ada satu yang berbeda sekarang. Aku tidak harus berada di rumah itu. Jujur saja, aku juga masih ragu untuk memanggil tempat itu sebuah rumah.
Tidak, ini bukan berarti tempatnya tidak nyaman ataupun tidak layak, malah bisa disebut tempat itu kelas menengah ke atas.
Hanya saja, sesuatu yang penting dari sebuah ‘Rumah’ tidak ada pada tempat itu. Sebuah kekeluargaan yang rukun tidak ada di tempat tersebut. Di sana hanya ada orang, orang, dan orang yang mungkin bisa disebut keluarga.
“Yah, kurasa ini lebih baik daripada harus satu tempat dengan mereka terus.”
Sambil duduk bersandar pada pembatas, aku mendongak ke atas. Mengingat kembali orang-orang yang secara DNA adalah keluargaku.
Ayah yang selalu pulang larut malam karena pekerjaan, Ibu yang merupakan seorang wanita karier, dan adik yang lebih berbakat dariku. Jujur aku tidak membenci mereka, tetapi aku juga tidak bisa bilang kalau diriku suka mereka.
Mau bagaimana lagi, aku bahkan tidak pernah punya kenangan bahagia dengan keluargaku sendiri.
Sejak umur lima tahun, aku sudah dititipkan ke kerabat karena mereka sibuk bekerja.
Aku tidak pernah dipuji atas hasil yang diriku capai. Jangankan memuji, mereka selalu membanding-bandingan diriku dengan adikku.
Memang itu bukan salah siapa-siapa aku sampai tidak bisa merasa suka kepada mereka. Aku tahu kalau mereka melakukan semua itu demi anak mereka. Tetapi, hanya saja aku sebagai anak tidak pernah bisa merasakan kebaikan mereka.
Muak dengan suasana yang menyesakkan di tempat yang disebut rumah itu, setelah lulus SMA aku memilih Universitas yang jauh.
Sayangnya, aku tidak diterima dan harus masuk ke Universitas yang hanya berjarak lima stasiun dari daerah tempatku tinggal.
Meski begitu, paling tidak aku terbebas dari suasana itu. Memasuki sebuah masa baru dimana aku merasa salah jurusan. Hasil dari pilihan yang coba aku ambil.
Grrrrr...!
Perutku berbunyi, sudah dari pagi aku belum memasukan apa-apa ke dalam mulut kecuali air. Pada saat tanggal tua, bagi anak indekos memang wajar hal seperti ini terjadi.
Ya, paling tidak kecuali orang-orang yang bisa memanajemen keuangan dengan baik.
"Akh, sialnya ..., kalo tahu begini mending aku Puasa Senin-Kamis lagi. Apa sekalian ditambah Puasa Daud ya, kalo dihitung berarti seminggu bisa hemat senin, rabu, kamis, Sabtu. Ah, tetep harus buka, ya? .... Oh, iya ... ini hari Selasa.”
Setelah bergumam tidak jelas, aku berdiri dengan lemas. Menarik napas sejenak, kemudian berjalan masuk dan menuruni tangga.
Sebenarnya bukan berarti aku kekurangan uang sekarang, jatah bulanan dikirim tanpa telat ataupun kurang. Alasan aku sangat menghemat sampai tak makan adalah karena sedang menabung, untuk membeli tanah sendiri setelah lulus dan bisa benar-benar mandiri.
Sekarang aku bahkan kerja magang pada hari sabtu dan minggu sebagai Arsiparis di perusahaan yang memiliki koneksi dengan kelurga. Menggunakan nama kedua orang tua, aku diterima dengan mudah meski hanya mendapat upah 800 ribu sebulan.
Lulus langsung menabung untuk membangun rumah, itulah satu-satunya alasan ku ada sekarang. Mungkin itu terdengar konyol, namun apa boleh buat karena pada dasarnya aku adalah orang yang tak berambisi.
Setelah sampai di lantai paling bawah, aku segera keluar dan berjalan menuju tempat parkir motor. Namun, untuk beberapa alasan aku merasakan firasat buruk.
Untuk orang yang selalu membaca suasana seperti diriku, tidak mungkin aku mendapat musibah situasi seperti ini.
Aku dipalak, oleh tiga orang berandalan berbadan besar yang tidak aku kenal.
Dengan nada dan wajah yang menunjukkan tanda pasrah, aku berkata, “Aku enggak punya uang, sungguh. Kalo enggak percaya, cari aja.”
Aku mengangkat kedua tangan, lalu mereka pun merogoh semua saku yang ada. Pada saat mereka tidak menemukan uang yang dicari, sebuah bogem mentah mendarat di perutku dan ditutup dengan tendangan di wajah saat aku tersungkur.
“Cih, dasar barbar. IQ jongkok,” itulah yang aku pikirkan. Tentu saja aku tidak bodoh untuk mengatakan itu langsung kepada mereka.
Setelah mereka pergi meninggalkanku, aku bangun dengan tubuh yang lemas ditambah nyeri dan sakit. Tanpa melontarkan kalimat untuk mengumpat, aku lekas berjalan menuju satu-satunya motor yang tersisa di tempat parkir.
Itu motorku, motor bebek yang kalau diloak mungkin harganya kurang dari tujuh juta.
Kesialan ku hari ini tidak berakhir. Saat aku ingin keluar, ternyata palang pintu tempat parkir telah tertutup dan penjaganya sudah pulang.
Kalau dipikir-pikir, mungkin itu wajar mengingat hari sudah sangat sore.
Dengan berat hati, aku meninggalkan motor dan pulang dengan berjalan kaki. Memperkirakan motor bisa saja dicuri atau tidak, kemungkinannya tidaklah nol.
Tetapi, bagiku sekarang mengangkat motor melewati pagar setinggi hampir dua meter adalah hal mustahil.
Meminta bantuan adalah solusi mustahil, sebab di tempat tersebut sudah sangat sepi. Mungkin jika berlama-lama, yang ada mungkin aku dihajar lagi oleh preman-preman kampus yang sering keluyuran saat sore seperti ini.
“Lemes banget ....”
Aku berjalan pulang ke indekos yang berjarak kurang lebih empat kilometer. Itu tidaklah terlalu jauh, tetapi medan naik turun bukit memang membuat kaki letih. Ditambah penerangan jalan yang minim, jujur ini sangat menyebalkan.
Berhenti sejenak untuk beristirahat, aku duduk pada bangku umum di sekitar pertigaan. Kembali merenung, lalu mulai khawatir dengan motor yang aku tinggal.
Memang kalau mencuri satu buah motor akan cepat dilacak mengingat daerah ini adalah kawasan universitas. Tetapi, kalau hanya mencuri komponen-komponen penting saja itu akan mustahil dilacak.
"Gawat! Kalau motorku dirontok gimana?”
Aku beranjak dari bangku dengan rasa cemas, berusaha menyingkirkan pikiran seperti itu dan lanjut berjalan pulang. Namun, tiba-tiba sekilas cahaya putih lewat di hadapanku.
Tubuh langsung gemetar, hal-hal berbau gaib langsung mengisi pikiranku. Sore menjelang senja, tempat sepi, dan udara yang terasa dingin. Memikirkan yang tidak-tidak, tubuhku pun langsung gemetar ketakutan.
Sekilas terdengar suara dari belakangku. Saat aku berbalik, di bangku tempatku duduk tadi tampak seorang gadis yang menundukkan kepalanya.
“Putih,” itulah kesan yang aku dapat darinya. Dari rambut sampai gaun yang dikenakan, semuanya putih. Bahkan kulitnya pun sangat terlihat pucat.
“Ku-Kuntilanaaak!!!”
“Hey, kasarnya. Aku bukan Mbak Kunti ....”
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap. Ia menyibak rambut putih keperakan yang menutupi. Wajah cantik jelita seketika terlihat, lalu dengan tatapan mata semerah buah delima gadis itu membuatku terpaku sesaat.
“Malaikat ....”
“Sekarang malah memggombal? Dasar, engkau memang selalu menarik.”
Perkataannya ada yang ganjal, padahal aku pikir ini pertama kalinya kita bertemu. Tetapi, mengapa dia menggunakan kata ‘selalu’. Seakan-akan pernah bertemu denganku beberapa kali.
Meskipun memikirkan itu dalam-dalam, aku tidak menanyakan rasa penasaran ini kepadanya.
“Belum pulang?” tanyaku untuk mengganti suasana.
“Ini mau pulang, makanya aku duduk di halte.”
“Eh, halte?”
Aku mendongak ke atas. Seperti apa yang dikatakannya, di sana ada sebuah papan besi sebagai atap dengan tulisan ‘Halte 101’.
Mungkin karena kurangnya penerangan, aku tidak sadar kalau tempat yang aku duduki tadi adalah sebuah halte.
Ya, biasanya aku kalau naik motor mengebut sih. Wajar enggak lihat kalau ada halte di pertigaan …. Hmm?! Masa ada halte sih di sini?
Keraguan masih tetap ada dalam benakku.
“Kamu sendiri ... mau apa di sini? Sudah senja, loh. Ya, malah sudah malam sih sekarang. Asal kau tahu, di sini angker. Kalo ada yang tidak-tidak bagaimana?” tanya gadis itu dengan senyum tipis.
“Kayak Kunti⸻”
"Sudah ku bilang! Diriku bukan Mbak Kunti,” ucapnya dengan sedikit ketus.
“Sorry, sorry, bercanda.”
Entah mengapa, Aku malah duduk di sebelah gadis itu. Meski seharusnya sekarang ini aku segera pulang mengingat hari sudah semakin malam.
Mungkin ini terdengar konyol, tetapi aku merasa tidak ingin pergi dulu. Jika diriku meninggalkan gadis yang tubuhnya terlihat rapuh di tempat sepi, rasanya aku gagal sebagai seorang pria.
Yah, paling tidak sampai bus datang. Lagi pula, turun bukit di depan juga aku sampai di indekos.
“Enggak pulang?” tanyanya dengan nada ringan. Seraya menjaga jarak duduk denganku, ia kembali bertanya, “Keburu malam, loh. Nanti menyesal.”
“Nanti .... Aku juga sedang menunggu bus.”
“Oh, begitu ya.”
Pembicaraan kami berakhir, kesunyian benar-benar mengisi suasana di antara kita. Dia tidak berkata apa-apa, aku juga tidak bisa menanyakan apa-apa.
Meski dua jam berlalu dan hari sudah benar-benar telah malam, tetapi bus masih belum datang. Gadis itu pun tetap duduk di samping kananku, sedari tadi diam tanpa membuat pembicaraan.
“Ngomong-omong, kamu naik bus yang rute apa?” tanyaku dengan canggung.
Tetapi, dia tidak menjawab. Merasa heran, aku menoleh dan memandangi wajahnya yang tertutup poni.
Saat aku menyentuh pundak gadis itu dan sedikit mengguncang tubuhnya, rasanya dia sangat ringan.
Kepalanya perlahan menoleh, lalu dengan tatapan berlinang air mata dia pun berkata, “Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi. Ini pertama kali aku merasakannya. Tolong maafkan diriku.”
Perkataannya benar-benar membuatku bingung. Sangat aneh, janggal, dan tidak bisa dimengerti.
Sebelum sempat bertanya untuk meminta penjelasan, gadis itu kembali berkata, “Ini juga salahmu. Padahal aku hanya ingin melihat dari dekat ..., tapi kau malah …. Malah!!”
“Oi, apaan? Kenapa nangis?” Aku meraih tangannya, berusaha membuat gadis itu tenang.
Tetapi tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wajah gadis itu meleleh seperti lilin yang terkena panas. Kulit beserta seluruh dagingnya melepuh, lalu hanya menyisakan kerangka tulang beserta gaun putih.
“A .... Apa ini ... apa ...?”
Aku segera melepaskan tangannya yang hanya tinggal kerangka tulang saja. Keringat dingin seketika bercucuran, napas ku mulai kacau, dan pikiran pun dipenuhi rasa takut.
Aku segera bangun dari bangku, melangkah mundur dan turun dari trotoar ke jalan. Saat pikiranku masih kacau balai, sebuah bus yang melaju dengan kecepatan tinggi membunyikan klakson.
Aku menoleh, tetapi jarak yang ada membuatku tak sempat menghindar. Dengan kecepatan tinggi, bus itu menabrak ku dari samping dan membuat tubuhku terpelanting sampai beberapa meter.
Aku menggelundung di jalan menurun, seluruh tubuhku dipenuhi luka lecet dan tulang rusuk bagian kanan dapat kurasakan patah.
Bahkan rasa sakit seperti sesuatu yang menusuk paru-paru dapat aku rasakan dengan sangat jelas. Aku tahu itu adalah patahan tulang rusuk yang menusuk organ dalam.
Dengan sebagian pandangan tertutup darah, aku kembali melihatnya. Gadis yang sebelumnya telah meleleh seperti lilin berdiri di hadapanku, lalu perlahan memperlihatkan tatapan sedih dan mata yang berkaca-kaca.
Bibirnya bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa diriku dengar.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia katakan. Kepala dan tubuhku terlalu sakit. Pandanganku buram dan napas terasa sesak. Lalu, entah mengapa rasanya semua tubuhku mulai dingin.
Ah, akhir yang sesuai alur? Apa aku akan mati seperti ini? Padahal aku belum⸻ Belum apa, ya? Aku lupa. Biarlah, lagi pula mau mati. Kalau dipikir-pikir, untuk apa aku hidup selama ini jika mati bisa mendapatkan rasa tenang?”
.
.
.
.
.
Aku membuka kedua mata. Namun, sesuatu pertama kali ku lihat adalah langit-langit yang tidak aku kenal.
Saat berusaha bangun, seluruh tubuhku rasanya sakit semua, karena ternyata aku sedang dirawat di rumah sakit. Saat melihat infus dan alat-alat medis lain, aku langsung tahu hal tersebut.
“Syukurlah enggak jadi mati ....”
Meski telah menerima kematian, namun saat tahu bahwa masih hidup rasa lega seketika mengisi hati. Benar-benar senang rasanya aku tidak berakhir seperti itu.
Di tengah rasa lega yang mengisi hatiku, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu yang terbuka.
Aku kira itu keluargaku yang datang menjenguk, namun sayang sekali bukan. Itu adalah dia, gadis yang sebelumnya meleleh seperti lilin daging.
Rasa takut langsung menguasai diriku. Hal yang membuatku takut bukan apa yang aku lihat sebelumnya. Kalau dia datang hanya untuk berkunjung aku tidak akan merasa takut.
Namun, sayangnya dia bukan gadis yang ramah seperti yang aku kira. Dengan menyeret kapak besar di lantai, dia berjalan menuju ke ranjang tempatku terbaring.
Aku segera melepas alat medis dan infus dari tubuh, lalu berusaha menjauh dari gadis gila itu.
“Maaf, maafkan diriku! Tolong datanglah padaku. Aku janji akan memberikan apapun untukmu. Aku mohon, datanglah ke tempat di mana aku bisa meraih dirimu. Hanya itu saja yang makhluk ini minta. Aku mohon, wahai⸻”
Hembusan angin masuk dari jendela yang terbuka, menerbangkan satu kata terakhirnya. Tetapi, dengan jelas aku dengar apa yang gadis itu katakan. Dia memanggil namaku dengan penuh rasa sedih.
Aku terkejut dan jatuh dari ranjang. Dengan tubuh penuh perban dan luka, aku merangkak menjauh. Berusaha untuk kabur darinya. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak berniat membiarkan aku pergi.
Tanpa membiarkan ku sempat berbalik, dia mengayunkan kapak dan membacok punggungku dengan sangat keras.
Rasa sakitnya membuat kesadaranku seakan melayang. Dia menarik kapak yang tertancap pada punggung dan mengoyak daging, kemudian kembali mendaratkan kapak untuk mengakhiri hidupku yang menyedihkan dan tidak berarti ini.
.
.
.
.
Di atas penuh genangan air, aku tersadar untuk kedua kalinya. Membuka kedua mata lebar-lebar, terbaring dengan lemas seraya mengingat-ingat sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Saat itu, aku langsung sadar bahwa diriku sudah mati. Setahu ku, tidak ada manusia yang masih hidup setelah dibacok seperti itu dengan kapak.
Jelas-jelas tadi dia memanggil namaku. Sebentar, dari mana dia tahu? Lagi pula, di mana ini?
Aku bangun dan berdiri dengan tegak. Rasa nyeri dan sakit yang sebelumnya aku rasakan seakan lenyap tanpa bekas. Bahkan saat aku menggerakkan kedua tangan dan meloncat ringan, tubuh rasanya ringan seperti kapas.
Melihat ke depan, di sana hanya ada hamparan genangan air jernih yang dangkal dengan dasar permukaan lantai putih polos.
“Dunia Persimpangan Kehidupan dan Kematian.” Tanpa aku hendaki, kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulutku.
Anehnya lagi, rasanya aku sangat tidak asing dengan tempat ini. Tak asing, teramat nostalgia dan banyak kenangan. Meski seharusnya ini pertama kalinya aku datang.
“Apa kau masih bingung?” Suara yang terdengar sangat serak datang dari belakang.
Aku menoleh, tetapi yang ku lihat adalah sebuah sosok yang hanya ada hawa keberadaannya saja. Tetapi, tidak memiliki wujud fisik.
Seperti sebuah gambar dalam foto yang dihapus paksa, sosoknya tak bisa ditangkap oleh kedua mataku. Hanya sebuah unsur bahwa dia ‘Ada’ di sana sajalah yang memberitahu ku akan sosok tersebut.
“Apa ... aku sudah mati?”
“Hem, begitu rupanya. Jadi sampai batas itu? Sepertinya ritual para Korwa berhasil.”
“Hah? Batas? Siapa pula Korwa?”
“Tak apa-apa. Seperti apa yang kau pikir, wahai keturunan Adam. Kau telah mati, dan jiwamu dibawa ke alam Perbatasan ini.”
“Jadi ... aku akan masuk ke mana? Neraka? Surga?”
“Hmm, memang benar-benar jauh dari kata normal. Apa kau tidak takut masuk neraka?”
“Tentu saja takut, tapi kalau sudah mati mau bagaimana lagi. Memangnya kalau sudah sampai di tempat ini aku diperbolehkan memilih?”
Itu benar, aku selalu seperti itu. Membiarkan orang lain memilihkan sesuatu untukku. Kalau tidak puas dengan hasilnya di akhir, pasti aku hanya bisa mengeluh. Walaupun telah mati, aku memang orang seperti ini.
“Kalau begitu sayang sekali, ya. Engkau tak akan masuk surga atau neraka. Ya, dari awal jiwa dan rohmu sudah tidak bisa masuk ke kedua tempat itu.”
“Eh?” Aku segera memalingkan wajah.
Tidak bisa? Bukan Neraka atau Surga? Memangnya ada alam lain setelah kematian selain kedua itu? Apa alam kubur? Tapi, kalau ini alam perbatasan kurasa aku sudah melewati alam itu.
Keheranan sekali lagi merasuk ke dalam benakku.
Kenapa aku tahu semua itu?
Kenapa aku bisa paham dan tidak panik dengan situasi saat ini?
Semua pertanyaan itu membuatku tidak memedulikan pembicaraan untuk sesaat.
“Aku akan memberi kehidupan kedua untukmu.”
Pernyataan itu membuatku seakan membeku. Dengan panik aku berjalan ke arah sosok tanpa wujud fisik itu, lalu berusaha menyentuhnya. Tetapi layaknya sebuah fatamorgana, kedua tanganku tidak bisa memegangnya.
“Ini sebuah ketetapan. Kau tidak punya hak untuk menolak, kali ini engkau akan berada di tempat yang bisa diriku gapai. Dengan kekuasaanku sebagai salah satu Dewa Sejati, sang Penguasa Hidup dan Mati, aku akan mengirim engkau ke tempatku.”
Saat mendengar perkataan itu, aku tahu kalau identitas sosok samar di depanku adalah gadis itu. Cara bicaranya mirip dengan apa yang gadis itu katakan.
Dari susunan perkataan yang sangat tidak asing tersebut, aku juga sadar kalau dia tidak sedang bergurau tentang siapa dirinya.
Dia adalah Dewa Sejati, secara insting aku tidak bisa menolak fakta yang disampaikan olehnya.
“Kau⸻!”
“Jangan khawatir ... Akan diriku pastikan engkau bahagia.”
Walaupun aku tidak bisa melihatnya, entah mengapa diriku tahu ia sedang mendekat. Perlahan mengangkat tangan, lalu menyentuh kedua pipiku.
“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Takkan pernah diriku lepaskan lagi. Kali ini, aku pasti akan mendapatkan engkau secara utuh. Tidak akan diriku biarkan engkau kembali jatuh ke⸻”
Kesadaranku pudar tanpa bisa mendengarkannya sampai akhir. Kedua kaki beserta tubuhku serasa terangkat ke atas, lalu melesat cepat ke udara.
Sebuah perasaan lega seketika mengisi sampai jiwaku, sebuah kedamaian yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum menyadarinya secara penuh, seluruh kesadaranku ditelan oleh cahaya terang keemasan.
««»»
{Author POV}
Awal musim semi di wilayah kekuasaan Keluarga Bangsawan Luke, Kerajaan Felixia.
Di hari yang cerah dan sejuk, beberapa roh tingkat rendah beterbangan. Melayang-layang layaknya kupu-kupu, terbang di antara bunga yang bermekaran di kebun herbal dan taman Kediaman Luke Bentuk mereka seperti uap udara, terlihat samar-samar seperti cahaya Ether dengan warna beragam.
Tepat di antara taman dan kebun herbal, terdapat dua bangunan besar berupa Mansion megah dan sebuah Perpustakaan. Mansion yang ada adalah tempat tinggal anggota Keluarga Luke, hanya memiliki satu lantai, serta mempunyai pilar-pilar di sepanjang teras di bagian samping dan depan.
Untuk Perpustakaan di sebelahnya juga tidak kalah megah. Walaupun tidak seluas Mansion, tetapi bangunan itu memiliki beberapa lantai dan menjulang tinggi layaknya sebuah menara.
Di dalam Mansion dengan gaya arsitektur victoria tersebut, terlihat beberapa pelayan yang lalu-lalang keluar masuk bangunan. Membawa kain dan baskom berisi air panas.
Alasan mereka terlihat sibuk bukan karena tugas harian seorang pelayan, tetapi karena hari ini sang Nyonya akan melahirkan penerus Keluarga Luke yang telah lama ditunggu-tunggu.
Di depan pintu salah satu kamar, Dart Luke, Tuan Tanah wilayah tersebut dengan keringat dingin menunggu istrinya yang sedang melahirkan di dalam. Pria yang sudah berumur sekitar 40 tahunan itu meletakkan tangan kanannya ke depan mulut, kemudian menggerak-gerakkan jari telunjuknya dengan cepat ke pipi.
Untuk pria yang terlihat kekar dan berwibawa, dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Dart sesekali memegang rambut kucir miliknya yang panjang dan telah memutih karena umur, kemudian menggigit ujungnya.
Beberapa pelayan pria dan wanita di dekat Dart sedikit merasa kasihan dengan Tuan mereka. Pada saat yang sama, mereka juga merasakan rasa khawatir yang sama dengannya.
Itu wajar, pada persalinan Mavis Luke, Nyonya mereka sedang tidak dalam kondisi prima. Untuk waktu yang lama, kondisinya sangatlah lemah, bahkan dalam persalinan ini risiko kematian pun sangatlah tinggi.
“Mavis .... Mavis ....”
Di saat Dart menunggu dengan cemas, pintu kamar terbuka dan dua orang tabib keluar. Pada saat hampir bersamaan, beberapa pelayan yang membawa kain dan baskom berisi air panas masuk.
Pakaian putih para tabib terdapat bercak darah. Melihat itu, sekujur tubuh Dart seakan kesemutan dan takut menguasai pria tersebut.
“Ba-Bagaimana persalinannya?” tanya Dart dengan cemas.
“Tenang saja, Tuan Dart. Istri anda telah melahirkan tanpa kendala. Dia selamat. Meski tadi darah yang keluar cukup banyak. Hanya saja ....”
Tabib yang berbicara dengan Dart sedikit memalingkan wajah. Melihat itu, kekhawatirannya berganti pada anaknya yang baru dilahirkan sang istri.
“A-Ada apa ....?”
“Anak anda, dia ....”
Perkataan itu membuat Dart semakin cemas. Tanpa menunggu penjelasan Tabib, pria itu menerobos masuk ke kamar dan menemui istrinya yang sedang dirawat oleh para Tabib lain dan beberapa pelayan.
Melihat istri dan anaknya yang terbaring di atas tempat tidur, hati Dart langsung lega. Kedua kakinya serasa lemas dan bahkan hampir saja roboh saking leganya.
Mavis Luke terlihat lemas terbaring di atas ranjang, sdangkan anaknya yang baru lahir berada di sampingnya.
Dart segera mendekat, kemudian menggendong anaknya yang baru lahir tersebut. Saat itu, dirinya sadar kalau ada yang aneh dari anaknya yang baru lahir itu. Dia tidak menangis seperti bayi pada umumnya, dia hanya terdiam dengan mata sedikit terbuka dan kedua telapak tangan terbuka lebar.
“Sayang ..., boleh diriku lihat anak kita? Aku belum sempat menyentuh wajahnya.”
Suara lemas istrinya memuat Dart berhenti memikirkan hal ganjil pada anaknya itu. Hanya dengan dirinya lahir dan istrinya selamat saat persalinan, itu sudah membuat Dart sangat bahagia.
Pria itu kembali membaringkan anaknya di samping ibunya.
Dengan tangan pucat, Mavis mengelus bayi itu seraya berkata, “Syukurlah ..., engkau lahir dengan sehat. Semoga kamu menjadi anak yang kuat dan diberkahi.”
Dart mengangkat anaknya ke dekapan Mavis, kemudian memeluk mereka. Sambil menangis tersedu, pria tersebut mendekatkan wajahnya ke anaknya dan berkata, “Anak kita, nama apa yang harus kita berikan padanya?”
“Supaya dia mendapat banyak berkah, bagaimana kalau Odo? Odo Luke. Odo memilki makna Kaya, sedangkan Luke berarti Terang. Sebuah kekayaan yang berasal dari kejayaan, diberkahi para Roh untuk kepemimpinan.”
“Odo ... Odo Luke. Namanya adalah Odo Luke .... Nama anak kita Odo Luke ....”
Dart menangis haru, Mavis juga ikut meneteskan air mata kebahagiaan. Semua Tabib dan Pelayan di tempat itu ikut tersentuh. Diberkahi anak setelah menjadi pasangan selama 20 tahun lebih merupakan suatu kebahagiaan yang tak tergantikan bagi mereka.
Tambahan informasi:
Roh dibagi menjadi beberapa tingkatan antara lain:
-Roh Tingkat Rendah: hanya berbentuk cahaya ataupun eter, tidak memiliki kepribadian atau ego dan hanya terbang melayang-layang tetapi memiliki elemen sesuai muatan dan karakteristik Roh masing-masing. Sifatnya seperti fenomena alam.
-Roh Tingkat Menengah: perkembangan dari tingkat Roh sebelumnya. Memiliki bentuk fisik, elemen, serta ego dan kepribadian. Sifat seperti hewan atau tumbuhan, dan intelegensi rendah. Sifatnya seperti fenomena alam.
-Roh Tingkat Atas: tingkat sempurna Roh. Bentuk fisiknya sempurna di Dunia Astral, tetapi tidak bisa berada di Dunia Nyata. Kecuali dengan kontak.
-Roh Agung: Roh yang menjadi penguasa para Roh lain. Sifatnya hampir sama dengan Roh Tingkat Atas, tetapi memiliki kekuatan berkali lipat.
-Roh Kudus: Roh yang setara dengan para Dewa.
Sihir adalah sebuah bidang ilmu sah yang terbukti dan memiliki pengaruh cukup besar bagi kehidupan di dunia ini.
Sihir pada dasarnya adalah sebuah pengendalian atau manipulasi Mana dimana penggunanya disebut Penyihir atau Ahli Sihir. Memanfaatkan energi Kehidupan berupa Eter dan Mana untuk menimbulkan fenomena alam sesuai kehendak dan memanipulasinya.
Mereka yang bisa menggunakan sihir biasanya memiliki sebuah Sirkuit Sihir yang terlatih, bisa memanipulasi Vitalitas yang disimpan dalam sebuah Media Penyimpanan Mana yang sering disebut Inti Sihir di dalam Tubuh. Ada juga beberapa orang yang bisa memanipulasi Mana alam dari luar tubuh, tetapi beban terhadap Inti dan Sirkuit sihir bisa lebih berat dari penggunaan Mana Internal.
Sihir memiliki berbagai macam jenis, seperti Sihir Kegelapan, Sihir Rune, Sihir Manipulasi, Sihir Elemen, Sihir Roh, dan berbagai jenis lainnya. Tetapi pada dasarnya Sihir dibagi menjadi dua kategori, yaitu manipulasi Mana Internal dan Mana Eksternal.
Sedangkan Mana sendiri adalah sebuah sebutan untuk vitalitas (tenaga kehidupan) yang berbentuk, memiliki wujud abstrak dan bisa dirasakan. Setiap makhluk hidup memiliki Mana, entah itu manusia, hewan, tumbuhan, atau bahkan batu, angin, api, air, atau fenomena alam lainnya. Mana dalam makhluk hidup biasanya tersimpan pada Inti Sihir yang bisa berkembang, baik secara Kualitas ataupun Kuantitas.
Di benua Michigan, yang merupakan satu-satu daratan yang tersisa setelah Perang Para Dewa dan Iblis, Sihir adalah hal yang sangat wajar. Selain itu, ada juga manipulasi Mana yang berbeda dengan Sihir, yaitu Seni Tarung atau Battle Art.
Battle Art berbeda dengan sihir secara mendasar. Teknik manipulasi Mana ini berfokus pada Serangan dan dikhususkan untuk bertarung seperti namanya, memanipulasi Mana Internal, kemudian melepaskannya untuk peningkatan kemampuan fisik atau menambah dampak serangan.
Hampir sama dengan sihir, Battle Art juga memiliki berbagai macam jenis seperti Seni Pedang, Seni Tombak, Seni Tarung Tangan Kosong, Seni Memanah, dan berbagai jenis lainnya. Dalam hal ini, Keluarga Luke merupakan contoh ahli dalam Pengguna Seni Tarung aliran Pedang Tunggal.
««»»
Lima tahun setelah kelahiran Tuan Muda keluarga Luke. Pada pertengahan musim panas, seorang gadis pelayan (Maid) berjalan menyusuri lorong Mansion dengan tergesa-gesa. Gadis pelayan itu adalah Julia, seorang Demi-human dari ras Manusia Kucing yang bertugas untuk menjaga pewaris Tuan Tanah sekaligus Bangsawan daerah selatan Kerajaan Felixia di kediaman itu.
Sambil menggerak-gerakkan ekornya yang dipenuhi bulu putih keperakan, gadis berpakaian pelayan itu berjalan menuju ke kamar Tuan Muda keluarga Luke sambil membawa botol berisi susu sapi hangat di tangannya.
Sesampainya di depan pintu, ia lekas membukanya dan masuk sambil berkata, “Selamat pagi, Tuan Odo!!” dengan penuh semangat.
Tetapi sesaat setelah melihat apa yang ada di dalam, Ia terbelalak. Apa yang terlihat oleh mata berwarna kehijauan miliknya, itu membuatnya benar-benar habis pikir kenapa anak umur lima tahun bisa sangat cerdik dan memanjat pagar keranjang tidur dengan mudah.
“Tuaaan!!” teriak Julia sambil berlari ke arahnya.
Seakan memahami apa yang terjadi, Odo kecil terkejut panik. Dia segera mempercepat panjatnya dan segera turun dari keranjang tidur. Dengan kaki kecil yang masih belum bisa berlari dengan baik, ia berusaha kabur dari gadis pelayan bernama Julia itu.
“Ketangkap kau .... he he ....”
Julia memegang Odo dari belakang. Sambil mengangkat dan mulai menggendongnya di depan, Julia menunjukkan susu sapi dalam botol dengan dot yang sudah siap dimasukkan ke dalam mulut Odo.
“Ini yang Anda tunggu-tunggu, Tu⸻”
Tanpa membiarkan Julia menyuapi, Odo merebut botol berisi susu dan mengenyot isinya itu sendiri. Untuk anak berumur lima tahun, Odo bisa terbilang aneh. Dia sudah berhenti menyusu ke Ibunya sejak umur satu tahun dan lebih memilih minum susu sapi.
Bukan hanya itu saja, pada umur satu tahun juga dia sudah bisa berjalan dengan baik. Pada umur dua sampai tiga tahun, dia sudah bisa membaca dan berbicara, meskipun kalau berbicara kata-katanya masih terdengar kurang jelas.
“Udah!” ucap Odo sambil menunjukkan botol yang sudah kosong. Melihat itu, Julia memberikan pandangan heran padanya.
Setelah menyerahkan botol kosong kepada Julia, Odo meronta-ronta meminta untuk turun. Ia menurunkannya, tetapi setelah kedua tangan Julia melepaskannya, anak berumur lima tahun itu berlari pergi.
“Aah, mau ke mana, Tuan Odo?” tanya Julisa sambil menangkap anak kecil itu dan menggendongnya kembali.
“Pelpustakaan! Buku!” jawabnya dengan nada sedikit cadel.
Mendengar itu Julia menghela napas ringan. “Ke perpustakaan lagi? Kenapa Anda suka sekali dengan Buku, Sih?” ucap Julia sambil mencubit pipi tembem Odo.
Anak berambut hitam itu merasa kesal. Sambil menarik-narik telinga kucing Julia, anak itu terus meronta seraya berkata, “Pepus! Pelpus!!Pelpus!!”
“Ah, iya, iya. Ayo ke sana .... Jangan menarik telingaku, Tuan Odo.”
Pada akhirnya, Julia setuju untuk pergi ke Perpustakaan. Tentu saja mereka pergi setelah gadis pelayan itu selesai merapikan kamar Odo. Sejenak Julia mengembalikan anak kecil itu ke dalam keranjang tidur yang terbuat dari kayu dengan hiasan ukir, kemudian mulai membereskan kamar seperti pelayan rumah tangga pada umumnya.
Seusai itu, Julia kembali menggendong Odo di depan dengan kedua tangan dan pergi ke Perpustakaan yang terletak di sebelah Mansion. Mereka melewati lorong dengan desain arsitektur klasik, jendela-jendela dengan kaca hias di bagian atasnya, dan lantai marmer yang indah.
Saat sampai di taman yang terletak di antara kediamannya dan perpustakaan, Odo yang berada di gendongan Julia menarik telinga gadis Demi-human itu dan memintanya berhenti sesaat.
Dengan wajah kagum, anak berumur lima tahun itu melihat taman yang dipenuhi Roh Tingkat Bawah yang beterbangan di atas tanaman dan bunga-bunga.
Melihat wajah Tuan Mudanya itu, Julia sesaat tersenyum kecil. Ekspresi kekanak-kanakan yang ada membuat Julia sadar kalau Odo memang hanya seorang anak kecil seperti pada umumnya. Walaupun dia tidak biasa, tetapi itu tidak merubah fakta bahwa dia adalah anak yang masih berumur lima tahun.
Anak kecil itu mengulurkan kedua tangannya ke depan. Beberapa detik kemudian, beberapa Roh Tingkat Rendah berbentuk seperti kilauan cahaya hinggap di ujung tangannya. Bukan hanya satu atau dua, puluhan kilauan Roh Kelas Rendah mulai melayang mengelilingi Odo dan Julia.
Julia terkejut dengan apa yang terjadi, fenomena itu sangat jarang terjadi. Pada dasarnya Roh Tingkat Bawah tidak memiliki kepribadian dan hanya berupa fenomena alam berbentuk cahaya, tetapi sekarang mereka berkumpul di dekat Julia dan Odo seakan tertarik akan sesuatu.
“Ini ... Apa mereka terpikat oleh Tuan Muda?” Dengan bingung Julia menatap Odo yang terlihat bahagia dikerumuni para Roh.
Setelah puas melihat-lihat berbagai macam Roh Tingkat Rendah di taman, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Perpustakaan yang terletak tidak jauh dari Mansion. Melewati jalan batu bata yang disusun di tengah taman herbal, akhirnya Mereka berdua sampai di Perpustakaan yang tingginya bagaikan mercusuar.
Julia membuka pintu, kemudian mereka masuk. Di dalam mereka langsung disambut ratusan lemari dengan berbagai buku di dalam raknya. Di sana terdapat 12 lantai, dengan tiap-tiap lantai luasnya sekitar sama dengan sebuah balai kota kecil. Saat mendongak ke atas, karena bagian tengah berongga sampai atas mereka dapat melihat puncak Perpustakaan yang cekung karena atapnya berkubah.
Pada ujung lantai dasar, terlihat sebuah tangga zig-zag yang terus berlanjut menghubungkan tiap lantai sampai puncak. Pada tempat itu juga terdapat sebuah ukiran struktur sihir yang tertanam pada lantai keramik, serta pada dinding-dinding.
Perpustakaan keluarga Luke bukanlah perpustakaan biasa, tempat itu adalah Perpustakaan Sejuta Buku Sihir, Luke Scientia. Merupakan tempat yang dibuat oleh ibunya Odo, Mavis sang Penyihir Cahaya.
Selekas masuk, Odo turun dari gendongan Julia dan berjalan di cepat di atas permukaan lantai keramik berwarna krem. Melihat betapa semangatnya anak berumur lima tahun itu, Julia sesaat tersenyum dan menghela lega.
“Semangat sekali ya. Hemn, kurasa tak masalah membiarkan Tuan Muda seperti itu .... Lagi pula tempat ini juga ada dia.”
Julia berjalan ke arah meja yang ada di dekat tempat baca Perpustakaan, terletak di dekat tangga menuju lantai atas. Sambil duduk di kursi dekat meja berbentuk bundar tersebut, Julia kembali mengamati Odo yang berlarian menyusuri susunan lemari buku di lantai satu.
Dari tiap-tiap buku yang dilihat Odo, tidak ada satupun yang diambil olehnya. Yang anak kecil itu cari bukanlah buku sekarang, tetapi seorang Roh Agung yang tinggal di Perpustakaan tersebut.
Setelah melewati beberapa lemari buku, akhirnya Odo menemukan Vil, Roh Agung beratribut Air yang merupakan salah satu Roh yang ibunya kontrak. Dia duduk di atas salah satu lemari sambil membaca buku, di sekitar tubuhnya terdapat gelembung-gelembung air yang melayang dan Aura Sihir berwarna Marine dapat terlihat jelas darinya.
Seraya mendongak ke atas, Odo mengulurkan kedua tangannya ke arah Vil seraya berkata, “Viii!! Buku ....!”
Roh Agung itu menutup buku yang ia baca dan gelembung-gelembung air di sekitarnya menghilang. Setelah menatap Odo yang berada di bawah dan sekilas menghela napas, Roh Agung berambut biru laut yang panjangnya sampai pinggang itu melayang turun dari atas lemari seraya berputar dan memasukkan buku yang tadi ia baca ke dalam rak.
Vil mendarat sangat halus, diawali dengan ujung jempol kaki kanan terlebih dahulu dan diikuti gaun hitamnya yang terjuntai ke lantai. Odo menatapnya, wajah Roh Agung itu tertutup cadar hitam dan kepalanya ditutup kerudung tipis. Penampilan itu sedikit mirip dengan gaya busana kerajaan Ungea.
“Kamu tidak bosan-bosan ya? Padahal anak semuranmu itu kebanyakan bermain di luar daripada terus datang ke tempat seperti ini loh,” ucap Vil.
“Di sini asik! Vil, tolong ajari aku sihir lagi, aku mohon .....” Odo memandang Roh Agung tersebut dengan wajah memelas. Melihat hal itu, Vil merasa kalau anak itu sedikit mirip seperti seekor marmut kecil berbulu hitam.
“Imutnya,” pikir Vil sambil sekilas memalingkan wajahnya.
Odo berjalan mendekati Vil, kemudian menarik gaunnya dengan sekali lagi memohon, “Mau ya, Vil ...?”
“Ba-Baiklah, kamu ini selalu merepotkan ya. Hari ini mau belajar apa lagi? Lanjut tentang Rune lagi? Atau tentang Mantra ?” Vil menggendong Odo, kemudian membawanya melayang ke atas menuju ke lantai tiga Perpustakaan.
Julia yang melihat itu sempat terkejut, tetapi saat Vil menatap gadis pelayan itu dan mengangguk, ia duduk lagi. Vil adalah salah satu Roh kepercayaan Mavis, tidak ada salahnya Tuan Mudanya dibawa sesaat oleh Roh Agung tersebut, itulah yang Julia rasakan.
Sesampainya di lantai tiga, Vil yang menggendong Odo dengan kedua tangannya mulai melayang ke salah satu lemari dan mengambil sebuah buku dari raknya.
“Bagaimana dengan ini, Pembahasan Rapalan dan Mantra Sihir Elemen?” ucap Vil sambil menunjukkan buku kepada Odo.
Anak kecil memasang wajah sedikit tidak puas karena judul buku itu tidak sesuai dengan apa yang Vil ucapkan. Untuk anak yang masih berumur lima tahun, Odo sebenarnya lebih dewasa dari umurnya, baik secara mental dan intelegensi.
Secara mental dia berumur lebih dari 23 tahun (18 + 5 tahun) karena jiwanya adalah seorang reinkarnasi. Dengan ingatan dari kehidupan sebelumnya yang dibawa secara penuh, anak bernama Odo itu dalam segi pembelajaran sangatlah cepat dan dalam bakat sihir di atas rata-rata. Oleh karena itulah dia tidak terlihat suka saat dibodohi.
“Pengantar Awal Lapalan dan Mantra Sihir Elemen,” ucap Odo sambil melihat wajah Vil.
“Eh ...?” Roh Agung itu sedikit terkejut. Sambil memalingkan wajah, ia bergumam, “Dia sudah benar-benar sudah bisa membaca ya .... Padahal tulisan nya bahasa kuno lo.”
“Ganti ... buku itu saja!” ucap Odo sambil menunjuk salah satu buku dalam rak. Vil mengambilnya dan melihat judulnya. “Teknik Rapalan Senyap dan Sihir Kuno ....?” ucap Vil saat membaca judul buku yang Odo tunjuk tersebut.
Dengan wajah heran, Roh Agung tersebut menatap tajam Odo. “Kamu benar-benar ingin belajar buku ini? Apa kamu yakin bisa paham?” tanyanya.
Odo mengangguk dan tersenyum layaknya anak kecil. Melihat wajah polos anak itu, Vil menghela napas menyerah dan membawa Odo ke atas salah satu lemari, kemudian memangkunya.
Sambil memangku Odo dan membuka buku di hadapannya, Vil mulai menjelaskan isi di buku tersebut kepada anak kecil berambut hitam itu.
Dengan suasana senyap dan serius, Odo mendengarkan penjelasan buku tersebut. Buku itu berisi tentang sebuah teknik yang bernama “Rapalan Senyap” dan beberapa Sihir Kuno seperti Petir Merah dan beberapa sihir berjenis elemen petir lainnya.
Setelah selesai menjelaskan isi buku kepada Odo, Vil menutup bukunya. Tidak disangka-sangka empat jam berjalan begitu cepat. Saat melihat wajah Odo yang berada di pangkuannya, Roh Agung tersebut sedikit heran karena anak berambut itu cenderung diam, tidak seperti biasanya.
“Tumben diam. Apa buku ini sulit dipahami, Odo?” tanya Vil.
“Bukan itu ..., hanya saja aku baru tahu kalau mantra hanya digunakan untuk membantu pengguna sihir untuk mengimajinasikan Sihirnya,” jawab Odo.
Mendengar jawaban seperti orang dewasa dan cara berbicara tidak cadel, Vil sempat terkejut dan bingung.
“A ....” Odo ikut terkejut, wajahnya berkeringat dan mulai berpaling dari Vil.
“Apa kamu sudah tahu dasar sihir itu apa?” tanya Vil.
“Sugesti dan Imajinasi, serta manipulasi vitalitas.” Sekali lagi Odo keceplosan bicara.
Mendengar itu, Vil bukannya merasa curiga tatapi dia malah kagum akan kecerdasan anak berumur lima tahun tersebut. “He-Hebat, padahal kamu baru belajar sihir setengah tahun, 'kan? Kenapa kamu secerdas ini sih. Imut sekali sih kamu~!” Vil langsung memeluk Odo dari belakang. Untuk seorang Roh yang pendiam, Vil termasuk cukup terbuka pada Odo yang masih anak-anak.
“Untung dia tidak curiga,” pikir Odo.
Di saat Roh Agung itu kegirangan memeluk Odo, terdengar suara pintu Perpustakaan dibuka. Vil dan Odo lekas menoleh, di sana terlihat seorang Demi-human dari ras manusia Rubah yang memiliki sembilan ekor dengan bulu-bulu yang lebat.
Rambutnya hitam kecoklatan, mengenakan Kimono dengan Haori hitam, serta memiliki telinga rubah. Gadis Rubah itu adalah Fiola , Pelayan sekaligus Penjaga pribadi ibunya Odo, Mavis.
[Catatan: Kimono, pakaian tradisional jepang (sudah pada tahu pasti); Haori, jubah yang sering dipakai dengan Kimono]
Selekas masuk ia secara insting melihat ke arah Vil dan Odo yang duduk di atas lemari lantai dua. Tatapan mata merahnya tajam, Odo sedikit gemetar akan hal tersebut.
“Kurasa cukup sampai di sini dulu ya, Odo.” Gadis Roh itu menutup buku dan meletakkannya di atas lemari.
Vil menggendong Odo dengan kedua tangan, kemudian mulai melayang turun ke lantai satu. Setelah mendarat dengan halus, Julia yang dari tadi menunggu di bawah menghampiri mereka bertiga sambil membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat poci keramik berisi teh herbal dan beberapa cangkir.
“Ada keperluan apa, Fiola?” tanya Julia.
“Tuan Dart mencari Tuan Muda. Sebentar lagi makan siang, katanya dia disuruh siap-siap, Tuan Dart sudah menunggu di ruang makan,” jawab Fiola.
“Ah, benar juga ....”
Julia teringat akan sesuatu. Kalau memang seperti rutinitas harian, sekarang memang saatnya mereka makan siang bersama dan tugasnya adalah menata semua keperluan Odo, kemudian membawanya ke ruang makan.
Gadis kucing itu lekas melihat ke arah Odo yang sedang digendong Vil di belakangnya. Dengan tatapan seperti pemangsa yang melihat mangsa, Julia mendekat dan menatap Odo dari dekat.
Odo menapak wajah Julia dengan kedua kakinya. Sambil meronta kecil, anak berambut hitam itu berkata, “Gak!”
“Imut sekali,” itulah yang dipikirkan semua orang yang ada di tempat itu saat melihat tingkah Odo.
Anak itu meronta kembali, kemudian turun dari gendongan dan berlari ke belakang Vil, bersembunyi dari gadis dengan tatapan seperti ingin memangsa itu.
“Juli, apa kamu benar-benar bisa merawat Tuan Muda?” tanya Fiola dengan tatapan ragu.
Julia berbalik seraya menggerak-gerakkan ekor dan telinganya. “Te-Tentu saja bisa! Aku sudah menjaganya sejak masih umur satu tahun tahu!” ucapnya dengan sedikit panik.
“Tapi ....” Fiola melihat Odo yang mengintip dari balik gaun Vil. “Sepertinya dia sama sekali tidak suka kamu loh,” lanjutnya.
“Itu ....”
Sesaat suasana senyap. Di saat semua diam, Odo berlari dari balik gaun Vil menuju ke arah Julia. Melihat itu, Julia terlihat senang dan tersenyum bahagia karena mengira Odo berlari ke arahnya, tetapi sayang sekali dia salah. Odo terus berlari melewati Julia dan menuju Fiola, kemudian ekornya yang lebat.
“Bo-Bocah kurang ajar~!!” ucap Julia dengan nada merajuk.
“Pffft!”
“Pfft ....”
Vil dan Fiola yang melihat reaksi itu tertawa kecil. Seketika wajah Julia merona merah. “Kejam! Malah ditertawai? Tauk ah, kalian semua ini memang menyebalkan!” Dengan kesal Julia berjalan pergi ke arah meja dan hendak meletakkan nampan berisi poci dan cangkir ke atasnya.
Melihat sahabatnya mengambek, Fiola sedikit panik dan melangkah ke depan. “Ma-Maaf, Julia. Tadi hanya bercan⸻” Gadis Rubah itu lupa, bahwa Odo masih memeluk salah satu ekornya di belakang. Karena dirinya melangkah ke depan dan ekornya ikut bergerak, tubuh Odo yang masih memeluk erat salah satu ekor Fiola ikut terpelanting ke depan dan jatuh dengan wajah mendarat ke lantai.
Plak!
Suara jatuhnya terdengar cukup keras, bahkan Vil, Fiola, dan Julia terkejut akan hal tersebut. Julia yang hendak menaruh nampan yang paling terkejut, Fiola hanya memasang wajah yang berkata, “A ...”, sedangkan Vil hanya melirik ringan.
Di saat mereka membatu melihat Odo yang terjatuh, anak berumur lima tahun itu bangun sendiri tanpa menangis. Dengan hidung yang sedikit memerah, dia berjalan pergi ke arah Vil.
“Buku!!” ucapnya sambil mengulurkan kedua tangan seperti meminta apa yang diucapkan.
“Nih, anak ... mentalnya terbuat dari apa sih?”
“Suka sekali sama buku ya .....”
“Anaknya Nyonya memang beda ....”
Pikir Julia, Vil, dan Fiola secara bersamaan.
Tentu saja Vil menolak permintaan itu karena ayahnya Odo, sang Tuan Tanah telah memanggil. Walaupun ia sempat merengek tidak mau pergi, pada akhirnya dengan diberikan satu buku untuk dibawanya, Odo dengan tanpa rewel digendong Julia pergi ke ruang makan.
Di ruang makan yang megah dan mewah di dalam Mansion, pada meja kayu jati berbentuk persegi panjang yang memiliki banyak hiasan ukir pada kaki meja, Odo duduk di dekat Ayahnya.
Saat tempat itu diamati kembali, yang duduk di depan meja makan hanya Dart dan Odo saja, di sana tidak ada anggota keluarga lain. Itu bukan pemandangan aneh di keluarga Luke, pada dasarnya keluarga mereka hanya terdiri dari Kepala Keluarga, Nyonya, dan Anak, tidak ada sanak saudara atau keluarga cabang.
Untuk sebuah keluarga yang bisa dibilang cukup berpengaruh di kerajaan Felixia memang itu terlihat sedikit aneh, tetapi itulah kenyataannya. Untuk menjaga keturunan atau kemurnian darah, biasanya para bangsawan kelas atas tidak sembarang memiliki keturunan, itulah salah satu penyebab normal yang sering ada.
Tetapi pada kasus keluarga Luke sedikit berbeda, silsilah Dart dan Mavis bisa dibilang unik sehingga dari mereka berdua tidak ada satu pun yang memiliki sanak saudara.
Suasana makan di ruang makan bergaya arsitektur abad pertengahan itu memang selalu sunyi, ditambah Mavis yang keadaannya sedang buruk sehingga tidak bisa datang membuat suasana yang ada semakin sunyi.
Odo yang duduk di bangku khusus yang ditinggikan untuk memudahkannya menyentuh makan. Tetapi bukannya menyantap makanan, dia malah membuka buku yang dibawanya dari perpustakaan dan membacanya dengan suara pelan.
Dart yang melihat itu meletakkan sendok ke atas meja, kemudian mengamati anaknya yang penuh gairah akan pengetahuan tersebut. Dalam hidup pria itu, momen bersama anaknya saat ini adalah salah satu hal yang sangat berharga dalam hidupnya, tidak ada alasan untuk dirinya memarahi anaknya tersebut.
Beberapa pelayan yang berdiri di belakang kursi ikut mengamati mereka, melihat momen ayah dan anak yang terasa begitu anggun itu. Semua pelayan yang dipekerjakan Dart memiliki loyalitas yang tinggi, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang diselamatkan Dart saat pria itu masih muda.
Dart Luke, seorang Pahlawan yang mempunyai julukan Sang Ahli Pedang, Monster Pedang, Pendekar Cahaya, dan berbagai lainnya. Dari semua julukan yang ada, dia dikenal dengan Ahli Pedang Sang Pembunuh Iblis.
Odo menutup buku, kemudianmeletakkannya di atas meja, di samping makanan yang tersaji untuknya. Menu yangtersaji untuk mereka siang ini adalah Pirozhki dan Machanka manis dengan tambahan keju,tetapi sayang sekali makanan itu sudah tidak hangat karena dibiarkan lama menunggu.
[Catatan: Pirozhki adalah Roti isi daging, jamur, ikan, atau sayuran seperti kentang dan kol, adajuga yang berisi buah-buah beri, tetapi kali ini isinya daging dan ikan; Machanka adalah sejenis sausdaging yang dibuat dari daging, sayur, terigu, dan air, biasanya dibuat dengantidak pedas tapi gurih dan manis]
Melihat menu yang cukup sulit untuk dimakan anak berumur lima tahun sepertinya, Odo memasang wajah datar. Tidak mau menyia-siakan makanan yang ada, dirinya berusaha memakan hidangan yang ada diawali dengan mengambil Pirozhki dengan tangannya dan memakannya.
Melihat anaknya mulai menyantap makanan, Dart mulai memakan makanan yang tersaji untuknya. Berbeda dengan Odo, Dart menggunakan pisau dan garpu untuk memakan Pirozhki atau terlebih dulu dicelupkan ke dalam Machanka sebelum di makan.
Walau Odo yang pertama kali memulai makan, tetapi Dart selesai lebih awal. Setelah itu, pria tersebut kembali mengamati anaknya yang sedang makan belepotan dengan penuh kebahagiaan.
Sesudah menghabiskan satu porsi makannya, Odo mengambil kain yang disiapkan di atas meja, kemudian mengelap mulutnya sendiri. Melihat hal tersebut, beberapa gadis pelayang yang berdiri di belakang kursi melihat Odo dengan gemas.
"Ayahanda ..., apa ... Ibunda masih sakit?" tanya Odo dengan tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Dart termenung untuk sesaat. Pria itu tidak menjawab pertanyaan anaknya itu, dia hanya membalas dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
Odo langsung paham maksudnya, tanpa bertanya lebih lanjut anak berambut hitam itu menunduk seraya berkata, "Semoga saja Ibunda cepat sembuh, aku ingin makan bersamanya ...."
"Ya ... Ibu pasti akan sembuh. Ayah akan berusaha mencari caranya ...."
Perkataan tersebut bukanlah kepastian, itu hanya harapan semu yang diucapkan Dart untuk meyakinkan anaknya. Dari semua orang, Dart yang paling tahu kalau istrinya tidak bisa sembuh dengan mudah. Sangat tidak mudah, bahkan lebih sulit dari membunuh ratusan iblis seperti saat dirinya masih muda dulu.
.
.
.
.
Setelah selesai makan siang bersama ayahnya, Odo meminta Julia untuk mengantarnya ke kamar tempat Mavis terbaring sakit. Selekas masuk ke kamar ibunya, Odo langsung turun dari gendongan Julia dan berlari mendekati seorang wanita yang terlihat sangat muda tetapi badannya kurus dan terlihat lemas pucat.
Dia adalah Mavis Sang Penyihir Cahaya, ibu dari Odo, dan istri dari Kepala Keluarga Luke, Dart. Alasan Penyihir Agung tersebut terbaring lemas adalah karena kutukan yang dirinya dapat saat masih muda dan beberapa kondisi tubuh yang memang berbeda dari manusia bisa.
Sejak melahirkan Odo lima tahun yang lalu, penyakit dan kutukan yang ada pada tubuhnya semakin parah, dan sejak dua tahun yang lalu Ia bahkan sudah tidak punya tenaga untuk berdiri sendiri.
"Ibu ...." Odo memegang tangan Mavis yang sedang terbaring lemah. Wanita tersebut membuka matanya dengan lemas. Dengan bibir yang membiru, Ia berkata dengan suara pelan, "Ah ..., Odo ...?" Seraya menggerayang ke depan karena pandangannya pudar.
Fiola yang dari tadi berdiri di dekat Majikannya mendekat. Gadis Rubah itu memegang kedua tangan Mavis, kemudian mengarahkannya ke Odo yang berada di samping tempat tidur.
"Terima kasih, Fiola ...."
Mavis menyentuh wajah anaknya. Tanpa bisa duduk atau mengangkat selimut, wanita itu hanya menyentuh wajah anaknya seraya tersenyum bahagia karena bisa tahu anaknya tumbuh dengan sehat.
Dalam hati Odo mulai terasa rasa pedih yang terasa asing. Pada kehidupannya yang dulu dia tidak pernah merasakannya, sebuah rasa sakit dimana dirinya melihat seorang ibu terbaring sakit-sakitan dan tidak berdaya.
Ketidakberdayaan akan situasi yang ada, merasa tidak berguna, dan kelemahan yang dalam, semua itu meresap dalam hati Odo. Pada saat yang sama, dirinya juga menyalahkan diri sendiri karena telah lahir di dunia ini. Kalau saja Ia tidak lahir, mungkin ibunya tidak akan semenderita ini, itulah yang Odo rasakan.
Tetapi, seakan memahami apa yang Odo rasakan, Mavis berkata, "Terima kasih Odo, karena telah lahir di antara kami ... Aku sangat bersyukur bisa mempunyai anak sepertimu .... kamu tidak perlu bersedih, anakku yang manis ...."
Odo terkejut, air matanya mengalir dan mulai menangis tersedu. Pada saat itu, anak berumur lima tahun tersebut membulatkan tekadnya kembali di kehidupan keduanya itu. Sebuah tujuan dan alasan hidup yang tidak dimiliki olehnya dulu, yaitu melindungi keluarganya dan menyelamatkan ibunya.
"Aku tidak tahu ... rasa ketidakberdayaan ini .... Aku janji Ibu, pasti aku akan membalas semua kebaikanmu karena telah melahirkanku di dunia ini. Aku pasti akan menyembuhkanmu ...."
Odo mengangkat wajahnya dan memeluk tangan ibunya. Melihat hal tersebut, Julia dan Fiola kurang lebih tahu alasan mengapa Odo berbeda dengan kebanyakan anak seumurannya. Dia, anak itu hanya ingin membuat ibunya bangga karena telah melahirkannya, itu adalah sebuah alasan wajar seorang anak untuk cepat mandiri.
««»»
Malam hari, di kamar Odo. Setelah selesai menemani ibunya dan berjalan-jalan sebentar di taman, Odo kecil kembali ke kamarnya dan dibaringkan oleh Julia ke atas keranjang tidur.
Ia sudah terlelap sebelum dibaringkan. Julia sekilas melihat wajah Tuan Mudanya yang tertidur pulas, kemudian mematikan lampu utama di kamar yang bertenagakan Reaktor Sihir dan beranjak pergi dari kamar.
Beberapa detik setelah Julia menutup pintu kamar, anak itu langsung bangun dan duduk dengan cepat. Dia melihat ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang di kamarnya.
"Sudah aman ...."
Odo memanjat keranjang tidur, kemudian keluar dan menuruninya. Saat kakinya menyentuh lantai, ia sempat terpeleset dan tersungkur. Tetapi, dia tidak memedulikan hal tersebut dan berjalan ke arah Sirkuit dari Reaktor Sihir yang terletak di samping meja dekat pintu kamar.
Reaktor Sihir adalah alat untuk memanfaatkan Mana Eksternal atau Mana Alam untuk dimanfaatkan untuk keperluan harian seperti pencahayaan, pengaliran air, atau kebutuhan api. Secara fungsi, Reaktor Sihir hampir seperti sebuah alat untuk menyediakan Listrik dan Gas untuk kebutuhan sehari-hari, dan Mana yang ada di Reaktor Sihir dialirkan ke penjuru Mansion menggunakan Sirkuit Reaktor.
Sesampainya di depan Sirkuit Reaktor yang berbentuk kotak tembaga yang ditempelkan setinggi 50 cm dari lantai, Odo duduk dan mengamatinya. Anak itu kembali mengingat-ingat isi buku yang sebelumnya ia baca tentang Kultivasi Inti Sihir sebelum makan siang tadi.
Secara sistem kerja, Reaktor Sihir adalah alat untuk menangkap Mana Alam dan mengolahnya menjadi energi murni yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, dengan kata lain Sirkuit Reaktor berisikan Mana stabil yang mengalir dengan melimpah. Mengetahui hal tersebut, Odo teringat salah satu metode yang ada di buku tentang Kultivasi Sihir.
[Catatan; Kultivasi Sihir, sistem budi daya atau peningkatan kekuatan sihir]
"Inti Sihir adalah jiwa dari seorang penyihir dalam memahami batas kemampuan, tapi dengan Kultivasi batasan itu bisa berkembang. Hem, salah satunya adalah memaksa Inti Sihir dengan mengisi Mana untuk membuatnya berkembang, tapi caranya ... cara menyerap Mana dari Sirkuit ini bagaimana?"
Odo menyentuh Sirkuit Reaktor tersebut, dan seperti halnya listrik itu langsung menjalar ke tangan dan membuat tubuhnya dipenuhi Mana sampai kelebihan beban.
"A ....!!"
Mana terus menjalar dengan pesat, membuat rambutnya berdiri dan darah di dalam tubuhnya seakan mengering. Dengan panik Odo menarik tangannya dari Kotak Sirkuit, tetapi muatan Mana yang ada dalam tubuh masih membuat tubuhnya kelebihan beban sihir.
"Mana, kalau sudah diolah ternyata mirip listrik ya, menjalarnya terlalu cepat. Tch, kalau begitu ...."
Odo duduk bersila, kemudian masuk dalam posisi meditasi dengan kedua telapak tangan disatukan. Itu adalah salah satu Meditasi yang dirinya pelajari dari buku, sebuah Kultivasi untuk meratakan Mana ke seluruh tubuh dan memusatkannya supaya bisa diserap oleh Inti Sihir.
"Eng, walaupun ini pertama kalinya aku mencoba ternyata berjalan lancar rupanya. Ya, meskipun rasanya seluruh tubuhku kesemutan ...."
Di tengah proses Kultivasi, Odo tersenyum gelap. "Pertama dapatkan dulu kekuatan dan pengetahuan, dengan cara ini tahap awal mencari cara menyembuhkan Ibu pasti akan lancar," ucap Odo.
Setelah itu, anak berumur lima tahun tersebut terus melakukan Kultivasi dengan mengulangi proses tersebut sampai lelah, menyerap Mana dari Sirkuit Reaktor dan membuat Inti Sihirnya menyerap Mana tersebut. Untuk waktu ke depan, hal seperti Kultivasi Sihir tersebut menjadi rutinitas rahasia penerus Keluarga Luke tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!