Sore itu Fadlan (37 tahun), duda beranak dua itu berjalan menyusuri jalanan setapak perkebunan sambil membawa tiga tangkai bunga Lili. Fadlan terus berjalan seorang diri hingga sampailah ia di pemakaman keluarga di ujung perkebunan yang begitu luas milik keluarganya (kiyai Husen).
Fadlan mendekati satu makam bertuliskan Amara. Amara adalah almarhum istrinya Fadlan, ia meninggal lima tahun yang lalu sehabis melahirkan putri bungsunya Fitri (Pipit) yang kini sudah berusia lima tahun. Putra sulungnya bernama Zidan (12 tahun).
Fadlan menaruh bunga lili kesukaan istrinya itu diatas makam. Ia memanjatkan doa untuk mendiang istrinya. Lama ia disana sambil menatap makam Amara, selama lima tahun ini, Fadlan selalu setia pada mendingan istrinya itu.
"Mar, putri kita sekarang sudah besar, wajahnya cantik sepertimu, tapi dia begitu manja. Maaf ya Mar, akhir-akhir ini anak-anak mulai protes padaku, mereka ingin aku menikah lagi, mencarikan ibu baru untuk mereka. Sebisa mungkin aku memberi penjelasan bahwa kau tidak akan pernah tergantikan. Tolong kuatkan hatiku untuk tidak berkhianat kelain hati ya. Aku dan anak-anak mencintaimu. Semoga kau mendapatkan surganya Allah." Batin Fadlan.
Setelah selesai, Fadlan pun berjalan pulang, kembali ia melewati perkebunan yang kini sudah terlihat para ustadz yang mulai berkutat di perkebunan, merawat bibit sayuran serta memanennya.
Tiba-tiba Fadil adik sepupunya berteriak.
"Kak Fadlan si Pipit nangis di rumah." Ujar Fadil memberitahu.
Mendengar putrinya menangis Fadlan mempercepat langkahnya. Ia begitu sangat menyayangi Pipit.
"Kenapa Pipit menangis?" tanya Fadlan.
"Kalau gak salah sih si Pipit pengen ibu baru." jawab Fadil. Fadlan menunduk dan segera pulang ke rumahnya.
Didepan rumah ia bertemu dengan adiknya Fadli (34 tahun).
"Tuh si Pipit nangis, katanya dia pengen ibu baru." Ujar Fadli. Lagi-lagi Fadlan hanya bisa menunduk dan langsung menerobos pintu rumahnya yang bersebelahan dengan rumah orang tuanya yaitu Ustadz Soleh dan Sarah.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Dilihatnya sudah ada Sarah dan Zidan (putra sulung Fadlan) yang sedang menenangkan Pipit. Fadlan langsung merangkul putrinya itu.
"Jangan menangis sayang. Dengerin Abi ya, Abi kan sudah sering bilang padamu, pada kakakmu juga. Abi masih bisa jadi ayah sekaligus jadi ibu untuk kalian. Jadi Abi sarankan kau tidak perlu menangis karena menginginkan ibu baru." Ujar Fadlan.
Pipit masih menangis sedikit meraung.
"Giginya sakit Abi." Ujar Pipit sambil memegangi pipinya. Fadlan langsung mengernyit, diliriknya Sarah dan Zidan sedang menahan senyum. Rupanya Fadlan dibohongi Fadil dan Fadli yang mengatakan Pipit menangis karena ingin punya ibu baru padahal putrinya itu menangis karena sakit gigi. Fadil dan Fadli memang senang menggoda Fadlan, mereka ingin Fadlan menikah lagi agar putra putrinya punya ibu.
"Abi antar ke klinik ya."
Fadlan langsung menggendong Pipit menuju klinik.
Ditengah jalan ia bertemu dengan ustadz Usman.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Itu si Pipit kenapa Lan?" Tanya ustadz Usman yang melihat Pipit masih menangis sambil memegangi pipinya.
"Sakit gigi om, aku mau bawa dia ke klinik."
"Jangan cuma dibawa ke klinik saja, bawa dia juga ke pasar, siapa tau di pasar ketemu perempuan yang mau jadi ibunya." Ujar ustadz Usman. Fadlan sudah menunduk, ia sudah sering bilang pada keluarganya kalau ia sudah tidak mau menikah lagi. Bukan karena Fadlan sudah tidak normal atau sudah kehilangan nafsu, hanya saja saking cintanya pada almarhum istrinya, ia memilih jadi singgle parent.
"Om Usman aku duluan ya, assalamualaikum." Pamit Fadlan yang langsung melanjutkan langkahnya menuju klinik.
"Waalaikumussalam."
"Duh kasihan sekali keponakanku yang satu ini. Masih muda tapi seneng banget bergelar duda." Batin ustadz Usman.
Sesampainya di klinik, Fadlan langsung masuk, tentunya Dokter Husna (51 tahun) sigap menangani.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Fadlan langsung mendudukkan Pipit ditempat tidur pasien.
"Pipit kenapa?" Tanya Dokter Husna sambil memeriksa keadaannya.
"Pipit pengen punya ibu baru katanya." Ujar Fadlan salah bicara hingga ia langsung meralat ucapannya itu. Merasa malu kalau ia salah bicara.
"Maksudnya Pipit sakit gigi."
Dokter Husna sudah tersenyum, bahkan Pipit sempat-sempatnya tertawa meskipun sedang sakit gigi.
"Gara-gara Fadil sama Fadli, bicaraku ngelantur kemana-mana." Batin Fadlan.
Dokter Husna pun memeriksa giginya Pipit.
"Pipit giginya banyak yang bolong. Mulai sekarang rajin sikat gigi ya, biar giginya gak sakit lagi. Dan jangan terlalu sering makan yang manis-manis." Ujar Dokter Husna sambil memberikan beberapa obat sirup untuk Pipit.
"Dokter, jangan cuma giginya aja yang diperiksa, tapi dadanya juga harus diperiksa karena beberapa hari ini suka mendadak sakit." Ujar Pipit.
Mendengar itu Fadlan terkejut dan khawatir.
"Sayang, dadamu sering sakit?"
Pipit hanya mengangguk-angguk. Fadlan langsung menatap Dokter Husna.
"Dokter tolong diperiksa jantungnya Pipit." Pinta Fadlan yang jelas nyata kekhawatiran nya.
Dokter Husna sigap memeriksanya namun tak ada keanehan yang terjadi pada putri bungsunya Fadlan itu.
"Jantungnya baik-baik saja. Coba Pipit katakan rasa sakitnya itu seperti apa?"
"Itu Dok, jantungku suka berdebar hebat dan kadang terasa panas kalau melihat teman-teman dijenguk ibunya, apalagi melihat si Yura digendong om Yusuf sambil di cubit dan dicium Tante Zahira. Kaya ada api didadaku, panas rasanya. Aku juga kan pengen punya ibu. Aku iri melihat mereka Dokter, makanya jantungnya suka berdebar gak karuan." Ujar Pipit.
Fadlan dan Dokter Husna langsung saling lirik mendengar ucapannya Pipit. Mereka mengerti keadaan Pipit yang sekarang sangat menginginkan seorang ibu. Rasa iri didada ya Pipit menandakan jika ia begitu merindukan sosok seorang ibu.
"Maaf mas Fadlan, yang dialami Pipit itu bukan penyakit biasa, obatnya cuma satu. Mas Fadlan segera menikah, Pipit begitu menginginkan seorang ibu." Ujar Dokter Husna. Fadlan langsung menunduk, ada rasa sedih, ada rasa haru, ada juga rasa malu.
"Dokter Husna punya obatnya tidak?" Tanya Pipit penuh harap. Kini giliran Dokter Husna yang kebingungan. Mereka berdua dibuat bingung oleh anak kecil berusia lima tahun.
"Untuk sekarang Dokter Husna belum punya obatnya. Tapi kalau obatnya sudah ada, pasti Dokter Husna langsung kasih sama Pipit." Ujar Dokter Husna sambil mencubit pipinya Pipit hingga Pipit tersenyum.
"Dokter Husna janji ya. Pokoknya Dokter Husna harus ngasih obatnya buat Pipit." Pinta Pipit seolah menjadi sebuah permintaan yang tidak boleh terbantahkan. Meskipun sedikit ragu, Dokter Husna mengangguk.
"Dokter Husna janji akan ngasih obat buat penyakit dada Pipit itu. Tapi sebelum itu, tanyakan dulu sama ayahnya Pipit, mau gak dikasih obat." Ujar Dokter Husna sambil tersenyum. Fadlan kembali kebingungan.
"Maaf mas Fadlan, penyakit Pipit cuma mas Fadlan yang bisa mengobatinya. Terkadang orang tua harus membuang rasa ego nya untuk kebahagiaan sang buah hati. Pipit menginginkan seorang ibu." Ujar Dokter Husna.
Fadlan langsung menunduk.
Masih dihari yang sama setelah keluar dari klinik, Fadlan sudah menggendong Pipit. Pikirannya semerawut mengingat keinginan putri kecilnya itu yang menginginkan seorang ibu, padahal hatinya sudah yakin dan mantap tidak mau menikah lagi.
Didepan rumah ia bertemu dengan ustadz Soleh.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Katanya Pipit sakit gigi?" Tanya ustadz Soleh sambil menggendong cucunya itu.
"Iya, Pipit sakit gigi, giginya ada yang bolong." jawab Fadlan.
Tiba-tiba Fadlan melihat putra sulungnya, Zidan pulang-pulang baju dan sarungnya basah bahkan penuh lumpur.
"Astaghfirullah alazim. Zidan kau habis ngapain basah kuyup begitu?" Tanya Fadlan. Zidan hanya nyengir.
"Kau kecebur Dan?" Tanya ustadz Soleh. Lagi-lagi Zidan hanya nyengir.
"Kalau ditanya itu jawab jangan nyengir."
"Abis nyebur ke sungai, abis itu guling gulingan dilapangan bola." Jawab Zidan. Fadlan dan ustadz Soleh sudah mengernyit.
"Kau main bola pake sarung?" Tanya Fadlan heran. Zidan hanya menggeleng.
"Terus apa tujuanmu nyebur ke sungai terus guling gulingan dilapangan?"
"Aku berharap punya Umi, dia datang ke lapangan membawa sapu terus ngomelin dan nyuruh pulang." Ujar Zidan yang kini berlari masuk ke rumah. Lagi-lagi Fadlan hanya bisa menunduk. Keinginannya dan keinginan anak-anaknya jelas bersebrangan. Fadlan sudah tidak ingin menikah lagi, sementara anak-anaknya minta ibu baru.
"Denger gak, itu putramu ngasih kode. Dia ingin punya ibu." Ujar ustadz Soleh. Fadlan hanya bisa diam.
Fadlan pun masuk ke rumah diikuti ustadz Soleh yang kini menggendong Pipit. Fadlan sudah menganga melihat lantai banyak lumpur jejak kakinya Zidan.
"Astaghfirullah alazim."
Fadlan dengan sigap mengambil kain pel dan langsung membersihkan lantai rumahnya. Tiba-tiba Zidan nongol di pintu kamar mandi.
"Bi, aku pengen punya Umi." Ujar Zidan sambil tersenyum senyum.
"Bersihkan dulu badanmu, nanti kita makan. Abi akan masak untuk kalian."
Fadlan pun masak sendiri di dapur. Ustadz Soleh dan Pipit hanya duduk diruang tamu, lalu datang Sarah ikut duduk bersama suaminya.
Setelah selesai masak, Fadlan menyiapkan semuanya dimeja makan.
"Umi, Abi, mau sekalian makan?" Tanya Fadlan.
Zidan sudah mandi dan berpakaian rapih, ia mendekati meja makan begitu pula dengan Pipit. Setiap hari Fadlan yang masak. Meskipun ia sibuk di kebun, sibuk membantu ustadz Soleh urusan pesantren, dan sibuk bisnis furniture di luar kota, tapi Fadlan tidak pernah lupa jika ia adalah seorang ayah sekaligus seorang ibu untuk anak-anaknya.
"Abi yakin gak mau menikah lagi?" Tanya Zidan. Fadlan menggeleng.
"Yakin Abi tidak mau punya istri lagi?" Kembali Zidan bertanya. Lagi-lagi Fadlan menggeleng.
"Abi sudah sering bilang pada kalian. Kalian gak akan kekurangan kasih sayang seorang ayah dan seorang ibu. Karena Abi akan menjadi ayah sekaligus jadi ibu buat kalian." Tutur Fadlan yang kini menuangkan nasi kedalam piring.
Zidan sempat berbisik pada Pipit.
"©©©©©©©" Zidan.
Pipit mengangguk dan langsung berlari ke dapur, menggeser kursi lalu menaikinya dan mengambil sekotak garam dapur. Pipit kembali ke meja makan dan memberikan sekotak garam itu pada Zidan. Seketika itu pula diam-diam Zidan memasukan garam ke sayur yang dibuat oleh Fadlan dengan menggunakan tangannya sendiri.
"Abi sama Umi mau makan gak?" Tanya Fadlan kembali. Hingga akhirnya Ustadz Soleh dan Sarah pun ikut duduk dimeja makan.
"Yakin masakan mu ini enak, kalau keasinan berarti kau ingin nikah lagi ya." Ujar Ustadz Soleh yang langsung mencicipi sayur buat putranya itu.
BUUUR.
Ustadz Soleh sudah menyemburkan sayur itu sambil lidahnya dijulurkan keluar.
"Hoeks, asin."
Fadlan mengernyit, selama ini masakannya tidak pernah keasinan, apalagi tadi dia sempat mencicipinya.
"Masa sih asin, tadi aku cobain gak asin."
Zidan dan Pipit sudah tersenyum senyum.
"Nenek umi, sepertinya Abi pengen nikah lagi, buktinya sayurnya asin." Ujar Pipit sambil tertawa kecil.
"Yeeeee Abi pengen nikah lagi." Ujar Zidan sambil berjingkrak-jingkrak. Sarah sudah tersenyum senyum. Fadlan sudah menggaruk tengkuknya.
"Tapi aku tidak ingin nikah lagi."
"Itu buktinya masakan Abi asin. Kata nenek umi Sarah kalau masakan asin berarti yang masak pengen nikah." Ujar Zidan. Ustadz Soleh hanya tersenyum senyum saja.
Fadlan sudah merasa ada yang aneh hingga ia menyuruh tangan anak-anaknya untuk direntangkan kedepan.
"Mana tangan kalian?."
Zidan dan Pipit menurut dan memperlihatkan tangan masing-masing.
"Jilat tangan kalian." Pinta Fadlan.
Pipit dan Zidan sudah saling pandang, tidak mengerti dengan maksud ucapan Abinya itu.
"Ayo jilat."
Pipit secara perlahan menjilat tangannya sendiri.
"Udah Bi."
"Apa rasanya?"
"Gak ada rasanya." Jawab Pipit.
Fadlan pun melirik Zidan yang kini menjilat tangannya. Zidan langsung menyipitkan matanya serta menjulurkan lidahnya.
"Asiiin."
Fadlan sudah menyipitkan matanya, ia merasa curiga pada putranya itu.
"Berdiri." Pinta Fadlan.
Zidan langsung berdiri dan kotak garam itu jatuh dari pangkuannya. Kembali Fadlan menyipitkan matanya.
"Jadi kau yang menaruh garam ke masakan Abi biar rasanya asin?"
Zidan sudah tertangkap basah, jadi ia tidak mungkin bisa mengelak lagi. Zidan hanya bisa mengangguk.
"Kenapa?"
"Biar Abi dikira mau nikah lagi."
Fadlan sudah ingin marah namun Sarah mencoba menenangkan nya.
"Tidak perlu marah seperti itu. Harusnya kau peka kenapa anak-anak melakukan semua itu. Biar kau mau menikah lagi." Ujar Sarah.
"Umi, aku kan sudah sering bilang kalau aku hanya akan menikah sekali, dan aku sudah melakukan itu dengan Amara, jadi tidak akan ada pernikahan lagi." Ujar Fadlan.
"Kau jangan egois Fadlan, anak-anak masih butuh seorang ibu." Gerutu ustadz Soleh.
"Aku masih bisa jadi ibu mereka." Ujar Fadlan.
Diluar saat ustadz Usman mau pergi ke kebun untuk mengambil barang yang ketinggalan, ia mendengar suara ribut-ribut di rumah keponakannya itu.
"Di rumah si Fadlan ada ribut-ribut apa ya. Mau kepo takut uban tambah banyak. Gak kepo takut terjadi apa-apa di dalam. Tapi kan katanya jangan suka ikut campur urusan orang. Ya sudahlah aku tunggu disini saja, kalau ada suara barang yang pecah, baru aku langsung berlari menerobos masuk." Gumam ustadz Usman.
Didalam masih terdengar keributan tiba-tiba Pipit menangis meraung sambil berlari masuk ke kamarnya. Semua langsung terdiam. Fadlan pun perlahan masuk ke kamar putrinya itu, dilihatnya Pipit sedang menangis sambil memeluk bonekanya.
Fadlan mendekat dan mengusap kepalanya Pipit dengan lembut.
"Kenapa?"
"Ayah, aku ingin punya ibu. Teman-temanku semuanya punya ibu. Kalau hari libur mereka ditengok ibu mereka, lalu makan bersama. Aku juga kan ingin seperti teman-teman punya Abi sama Umi. Lalu makan bersama. Dari lahir aku belum pernah bertemu umi. Aku mau punya Umi" Ujar Pipit sambil sesegukan. Fadlan langsung memeluk putrinya itu, ia merasa kasihan dengan keadaan putrinya itu.
Fadlan tiba-tiba mengingat ucapannya Dokter Husna. "Terkadang orang tua harus membuang ego nya untuk membahagiakan sang buah hati."
Fadlan sedang berdamai dengan hatinya. Pipit memang sudah ditinggal ibunya sejak ia dilahirkan sudah pasti ia rindu kasih sayang seorang ibu. Fadlan langsung menatap kedua orang tuanya yang kini sedang berdiri diambang pintu.
"Aku setuju untuk menikah lagi."
Mendengar itu semua langsung senang, bahkan Zidan dan Pipit sudah berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"HOREEEEE HOREEEEE."
Mendengar ada keributan lagi, ustadz Usman langsung berlari menerobos masuk.
"Ada apa?" Tanya ustadz Usman.
"Man, sekarang juga kau cari kandidat untuk menjadi calon menantuku." Ujar ustadz Soleh.
Ustadz Soleh tau jika selama ini putranya itu tidak pernah dekat dengan perempuan. Sudah pasti ia belum punya calon, dan dengan sikap Fadlan yang pemalu pada perempuan, pastinya Fadlan perlu bantuan untuk mencari calon istri.
"Siap, sekarang juga aku akan berkeliling mencari calon istrinya si Fadlan."
Keesokan harinya. Miting keluarga diadakan di rumahnya ustadz Soleh untuk mencarikan jodoh buat Fadlan. Fadlan hanya bisa diam dan pasrah ketika keluarganya sibuk mencarikan jodoh untuknya. Ustadz Soleh sengaja membantu mencarikan jodoh untuk Fadlan karena ia tau putranya itu susah sekali dekat dengan perempuan. Sifat pemalu Fadlan terhadap perempuan membuatnya susah mendekati perempuan.
Ustadz Soleh, Ustadz Usman, Aisyah, Sarah, Fadli dan Fadil sudah sibuk mencari data-data yang akan dijodohkan untuk Fadlan.
"Fadlan, kau nyari perempuan yang seperti apa?" Tanya ustadz Usman.
Fadlan bingung sendiri, ia menyerahkan semua pada mereka.
"Terserah kalian saja."
"Ya sudah kalau begitu cari selebritis saja." Ujar ustadz Usman.
"Kenapa kau mencarikan selebritis untuk menjadi menantuku." Protes ustadz Soleh.
"Putramu bilang terserah."
"Tapi ya jangan selebritis juga." Gerutu ustadz Soleh.
Fadil dan Fadli sudah berpikir dan memutar otaknya, mengingat-ingat takutnya mereka punya kenalan yang bisa dijodohkan dengan Fadlan.
"Ya sudah kalau sedikit sulit mencarinya, yang penting dia perempuan saja." Ujar ustadz Usman. Ustadz Soleh langsung menepuk pundak adiknya itu.
"Jangan asal perempuan doang Man. Selain nyari perempuan baik, dia juga harus sayang pada Zidan dan Pipit." Gerutu ustadz Soleh.
"Gini saja, gimana kalau kita sama-sama merekomendasikan perempuan yang kiranya cocok untuk Fadlan. Minimal satu orang satu kandidat." Ujar Aisyah.
"Nanti sore kita kumpul lagi disini untuk miting lagi." Ujar ustadz Usman.
Fadlan hanya tersenyum saja melihat mereka sibuk mencarikan jodoh untuknya.
***
Sore pun tiba, miting kembali digelar di rumahnya ustadz Soleh. Aisyah sudah membawa selembar kertas yang isinya data seorang perempuan. Fadil sudah membawa empat data seorang perempuan begitu juga dengan ustadz Usman dan Fadli.
"Aku sudah mengumpulkan semua data. Dua orang calon dariku, satu orang calon dari Aisyah, satu calon dari Sarah, satu orang calon dari Mbah Husen, satu calon dari Usman, satu calon dari Zahira, dua calon dari om kembar, dua calon dari Fadil, dua calon dari Fadli satu calon dari Dewi. Semuanya jadi ada 14 calon yang akan dikenalkan pada Fadlan." Tutur ustadz Soleh.
"Coba sebutkan nama-namanya." Pinta Fadli.
"Dariku ada Ainy dan Sofia. Dari Aisyah ada Nafisa. Dari Sarah ada Asma, dari Mbah Husen ada Maryam, Maya dari Usman, dari Zahira ada Bu Erni."
Semua langsung terdiam dan mengernyit.
"Apa maksudnya si Selebor merekomendasikan ibunya untuk menjadi calon istrinya si Fadlan. Mentang-mentang si Fadlan Duda dan Bu Erni janda, sempat-sempatnya punya pikiran pengen menjadikan ibunya sebagai menantu kak Soleh. Eh tapi ngomong-ngomong lucu ya kalau Bu Erni jadi menantunya kak Soleh." Ujar ustadz Usman sambil cekikikan hingga ustadz Soleh langsung menepuk pundaknya.
"Sembarangan kalau ngomong." Gerutu ustadz Soleh. Fadlan juga sudah mengerucutkan bibirnya.
"Kak Selebor pelanggaran." Ujar Fadil sambil tertawa.
"Aisyah, adik iparmu kumat."
"Coba calon selanjutnya siapa."
Kembali ustadz Soleh membacakan nama calonnya.
"Michelle dan Veronica calon dari Yudi dan Yuda."
Tiba-tiba Fadil dan Fadli tertawa.
"Itu kandidat dari om kembar namanya pada keren ya, kira-kira orangnya kaya gimana ya, jadi penasaran." Ujar Fadil.
"Winda dan Windi calon dari Fadli."
"Fadli, kau merekomendasikan perempuan kembar untuk kakakmu?, Itu kalau salah satunya diterima nanti yang satunya marah mereka nanti musuhan. Sudah pasti yang berdosa itu kau, kalau mereka sampai saling membenci bahkan main bunuh-bunuhan gimana." Protes Fadil.
"Pikiranmu terlalu jauh Dil."
"Terakhir Muktar calon dari Dewi."
Semua langsung terdiam mendengarnya.
"Muktar????"
"Wah besanku minta di ruqyah. Masa dia ngasih calon laki-laki buat si Fadlan. Otaknya ketiban panci kali." Ujar ustadz Usman.
"Salah tulis kali, mungkin namanya Mutia, coba dilihat lagi data nya." Pinta Aisyah.
Ustadz Soleh pun membaca data milik Mukhtar.
"Jenis kelaminnya laki-laki." Ujar ustadz Soleh.
"Si Dewi beneran minta disembur."
"Ya sudah, mulai besok kita langsung atur pertemuan. Minimal satu hari dua calon yang akan berkenalan dengan Fadlan. Dimulai dari Ainy dan Sofia. Fadil dan Fadli yang akan menemani Fadlan untuk ketemuan. Kira-kira mau dimana ketemunya?" Tanya ustadz Soleh.
"Di restoran saja, disana pasti banyak orang, jadi gak akan mengundang fitnah." Ujar Fadil.
"Bagaimana Fadlan kau setuju?" Tanya ustadz Soleh. Fadlan hanya bisa mengangguk pasrah.
"Berarti calonnya gugur dua orang ya. Bu Erni sama Muktar."
Setelah selesai miting, semua bubar dari rumahnya ustadz Soleh. Fadlan pun hendak pulang ke rumahnya, namun ustadz Soleh memanggilnya terlebih dahulu.
"Fadlan, Abi ingin bicara dulu denganmu."
Fadlan mengangguk dan kembali duduk. Ustadz Soleh pun ikut duduk disebelah putranya.
"Kau tidak terpaksa kan untuk menikah lagi?" Tanya ustadz Soleh. Fadlan langsung menatap Abinya.
"Aku sudah sering bilang Bi, aku tidak mau menikah lagi, tapi demi anak-anak insyaallah aku bersedia menikah lagi." Jawab Fadlan.
"Tapi kau harus ingat Lan, perempuan yang kau nikahi itu, nanti bukan hanya akan menjadi ibu sambung untuk anak-anakmu saja, tapi dia akan menjadi istrimu. Kau mengerti kan apa kewajiban seorang suami kepada istrinya. Bukan hanya sekedar memberikan nafkah, bukan hanya sekedar memberikan tugas menjaga anak-anak, bukan hanya sekedar menyuruhnya untuk mengurus rumah. Tapi kau punya kewajiban untuk membimbingnya, membahagiakannya. Abi mencarikan mu calon bukan hanya untuk memberikan Zidan dan Pipit seorang ibu, tapi abi ingin memberikanmu seorang istri. Kau mengerti kan?" Tutur ustadz Soleh. Fadlan pun mengangguk.
"Tapi jangan paksa aku untuk menyukainya ya Bi. Aku terlanjur mencintai Amara." Ujar Fadlan.
Ustadz Soleh hanya tersenyum.
"Ketika laki-laki dan perempuan tinggal bersama, hidup bersama, meskipun tanpa ada perasaan apapun, tapi cepat atau lambat perasaan pasti akan tumbuh dengan sendirinya. Sekarang kau boleh bilang tidak menyukainya, tapi ingat, Allah maha membolak-balikkan hati manusia, termasuk hatimu." Tutur ustadz Soleh.
Fadlan pun tersenyum.
Setelah pulang dari rumah orang tuanya yang kini hanya bersebelahan dengan rumahnya, Fadlan langsung masuk ke rumahnya dilihatnya Zidan dan Pipit tertidur di sofa sehabis membaca buku. Fadlan tersenyum lalu membenarkan posisi mereka.
"Anak-anaku sudah pada besar, sudah bisa protes, sudah bisa mengutarakan keinginan mereka untuk mempunyai ibu baru." Batin Fadlan.
Fadlan pun masuk ke kamarnya, duduk ditepi ranjang dan mengambil Poto pernikahannya dengan Amara.
"Mar, anak-anak memintaku untuk menikah lagi, mereka ingin punya ibu. Salah tidak jika aku menikah lagi, tidak ada maksud untuk menghianati mu, Demi kebahagiaan anak-anak kita. Maaf aku hanya ingin membahagiakan anak-anak kita." Batin Fadlan sambil mengelus Poto mendiang istrinya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!