"Sabina, selamat datang di Jakarta."
Toni menyambut kedatangan Sabina yang datang diantar supir yang dikirim Toni ke kampung.
Sabina yang masih remaja tersenyum simpul dan mencium tangan Om nya. "Terima kasih, Om. Sabina nggak tau harus ke mana kalau Om ga ada."
"Kamu ini satu-satu nya peninggalan Aa nya Om. Om yang berkewajiban menjaga kamu. Kamu anak Om juga. Aa pasti senang anaknya sudah besar begini."
Sabina menunduk sedih mengingat orang tua nya yang sudah tiada.
"Ayo masuk.. Rayna menunggu kamu di dalam."
Sambil membawa tas bajunya Sabina mengikuti Toni masuk rumah mewah.
Seorang gadis berambut sebahu, berkulit putih, tubuh langsing, dan wajah super cantik dan mulus, turun dari tangga dan menyambut nya dengan senyuman.
"Sabina..." Ia langsung memeluk nya.
Sabina balas memeluk nya sambil tersenyum. "Rayna.. udah lama kita nggak ketemu ya."
"Lama banget.. dari SD. Sekarang kita udah SMA. Eh kamu pindah ke sini sekolah di tempat aku lho. Jangan lupa kita sekelas."
Sabina hanya tersenyum.
"Nanti biar Rayna yang membantu sekolah kamu ya, Nak. Om tinggal dulu harus ke kantor. Rayna, temani Sabina ya. Nanti kalau Ayah pulang malam, kalian makan duluan saja."
"Siap Yah." Rayna menghormat dengan gaya lucu membuat Sabina dan Toni tersenyum.
Begitu Toni pergi, Rayna merangkul pundak Sabina. "Yuk aku anter ke kamar."
Sambil berjalan ke kamar nya di lantai 2, Sabina masih murung.
***
Sabina Andini Putri.
Remaja berusia tujuh belas tahun yang sudah jadi yatim piatu.
Dini, Ibu Sabina sudah meninggal sejak Sabina umur lima tahun karena sakit. Sedangkan Andi, ayahnya baru saja meninggal dunia karena penyakit ginjal yang sudah lama diderita.
Setelah Ayah meninggal, Toni datang dari Jakarta untuk membawanya. Karena hanya Toni satu satunya keluarga yang tersisa.
Sabina anak tunggal. Hanya Rayna saudara sepupu nya.
Rayna gadis yang sempurna.
Cantik, periang, semua yang mengenalnya pasti menyukainya karena Rayna sosok yang supel dan mudah bergaul.
Berbanding terbalik dengan Sabina yang kuper dan selalu murung.
Namun itu semua beralasan karena Sabina masih berkabung meninggal nya sang ayah.
Dan juga karena kejadian masa lalu yang membuat nya merasa sulit hidup normal.
***
"Nama saya Sabina Andini Putri. Saya pindah sekolah dari Sukabumi."
Kaku dan formal, itu yang terkesan ketika Sabina mengenalkan diri di depan kelas. Dengan kepala menunduk tidak berani menatap teman teman sekelas nya.
Rayna hanya senyum-senyum melihat nya. Bahkan ketika Sabina masih menunduk memilih bangku kosong paling belakang.
Mojok dan sendirian.
Tempat paling nyaman untuknya.
"Baik kita mulai pelajaran." Bu Siska guru Geografi memberi arahan.
Sabina sempat melihat Rayna memandangi nya hanya mengangguk pelan.
Barusan sebelum pergi ke sekolah, Sabina mewanti-wanti pada Rayna agar tidak ada yang tahu mereka bersaudara. Sabina tidak mau Rayna malu.
Rayna cantik dan populer. Banyak yang menyukai nya. Rayna juga bintang cheerleader. Ramah selalu, periang. Bahkan prestasi akademik nya juga bagus, dia selalu masuk lima besar di kelas. Benar benar sempurna.
Berbalik dengan Sabina yang biasa saja. Malah terkesan kusam dan kaku. Ia tidak ingin ada gunjingan kalau ketahuan ia dan Rayna bersaudara sepupu.
***
Tak terasa sebulan sudah Sabina bersekolah.
Namun belum ada perkembangan karena Sabina selalu menyendiri. Hingga dia belum punya teman.
Sifatnya yang tertutup membuat teman teman kelas nya enggan mendekati.
Pernah ada beberapa teman yang mencoba mengajak nya ke kantin ketika jam istirahat. Tapi Sabina tidak merespon dan hanya menyantap bekal makanan yang dibawa nya setiap hari.
Rayna sempat coba mengajak nya berorganisasi tapi Sabina menolak.
Dia tidak nyaman bergaul.
Ia takut malah disakiti orang yang dia kira teman.
Bukan tanpa alasan, ia pernah menjadi korban bully di sekolah nya yang lama. Hingga dia tidak berani ke sekolah lagi.
Makanya dia hanya ingin menyelesaikan sekolah dan segera pergi.
Namun ketidaknyamanan nya pada sekolah terganggu karena ada laki-laki yang membuat nya tertarik. Padahal selama ini dia tidak pernah dekat dengan laki-laki. Dia tidak percaya diri.
Laki laki yang mengganggu pikiran nya adalah Daniel, dari tim basket. Daniel anak kelas 3 IPA 3. Ia tidak sengaja terkena lemparan bola karena terus duduk di pinggir lapangan. Daniel bertanggung jawab mengantar Sabina ke UKS.
Mungkin itu hal kecil, tapi sanggup membuat Sabina tidak bisa tidur berhari hari memikirkan Daniel.
Perasaan itu dipendam nya.
Karena Daniel terlalu tinggi untuk dia dapatkan. Daniel tinggi, berwajah tampan, dan senyuman nya bikin meleleh banyak hati wanita.
Penggemar nya pun bejibun.
Kalau ada yang tahu perasaan Sabina, ia takut di bully lagi.
Menahan perasaan nya lebih baik.
***
"Bi, Tim cheers lagi butuh anggota. Kamu ikut audisi ya? Aku yakin kamu bisa."
Perkataan Rayna membuat Sabina tidak bisa menelan rotinya.
Ia menggeleng. "Aku nggak bisa nari, Na. Yang ada aku cuma malu maluin aja."
Rayna merengut, masih usaha. "Tapi ada aku kan? Aku bisa latih kamu buat lolos seleksi. Ya Sabina ya ? Di cheerleader kamu pasti seneng deh. Pada asik anaknya. Kamu kan udah mau dua bulan sekolah disini. Ayo lah ikutan organisasi."
Sabina terdiam. Tapi melihat wajah berharap Rayna, ia tidak tega. "Lagian kita kan udah kelas 3, kalau mau seleksi adik-adik kelas aja."
"Ini kita mau tampil untuk pertandingan basket antar SMA terakhir nanti bulan Maret. Setelah itu, adik adik kelas yang aktif."
Sabina masih ragu, lalu tersenyum kecil. "Aku pikir pikir dulu ya."
"Nah gitu dong. Seleksinya masih 3 Minggu lagi. Kita lagi seleksi dulu yang tahun lalu ikut seleksi. Eh udah setengah tujuh lewat nih. Yuk kita jalan."
Sabina menuntaskan sarapan nya dan meminum susu. Sambil menenteng tas nya, ia memperhatikan Rayna.
Begitu cantik dan percaya diri.
Mendadak ia memikirkan Daniel lagi. Kalau ia sepercaya diri dan populer seperti sepupu nya, mungkin mendekati Daniel tidak sulit.
***
Jam istirahat pertama..
Kelas 3 IPS 3, kelasnya Sabina, baru selesai dari laboratorium komputer. Dalam sekejap kelas langsung kosong dan memenuhi kantin.
Sabina duduk di bangku nya dan membuka tas hendak mengambil bekal nya.
Tiba-tiba tangan nya menyentuh sesuatu di antara buku nya.
Apa ini?
Ia keluarkan benda yang sebelum nya tidak ada di tas nya.
Surat ?
Surat misterius tanpa nama itu cukup mengganggu pikiran Sabina sepanjang hari.
Dalam surat dikatakan, sudah lama memperhatikan nya dan ingin bertemu berdua.
Sabina kebingungan, tak habis pikir ada yang menaruh hati padanya. Selama ini dia hanya berusaha tidak terlihat di sekolah.
Dia berpikir apa mungkin teman sekelas nya.
Di kelas pun dia selalu menunduk jika guru sedang mengajar.
Jadi dia tidak tahu kalau ada yang memperhatikan.
Tapi jika memang teman sekelas nya, kapan surat nya disimpan di tas Sabina?
Sejak tadi mereka sekelas di laboratorium komputer.
"Siapa ya kira-kira yang ngirim?" Gumam nya sambil memperhatikan tulisan nya. Tulisan nya begitu rapi menandakan orang nya hati-hati menulis nya.
"Bi...!" Pintu terbuka tiba tiba.
Spontan Sabina memasukkan surat nya ke laci.
"Rayna... Ngagetin aja deh."
"Ayo ke ruang tengah. Kita mulai latihan dance. Walau masih beberapa minggu kamu kan butuh persiapan." Rayna sedang semangat semangatnya.
"Tapi..." Sabina agak enggan.
"Aahhh nggak ada tapi tapi.. ayo kamu pasti lolos seleksi." Rayna bergegas menarik sepupu nya untuk latihan dance.
Sabina pasrah jadi nya walau tidak yakin punya kemampuan menari.
***
"Duhh badanku sakit semua." Keluh Sabina ketika pelajaran olahraga berakhir.
Kemarin Rayna memaksa nya latihan terus sampai badan nya pegal. Dan hari ini ada pelajaran olahraga yang membuat badan nya makin remuk.
Lengkap sudah pembantaian hari ini.
Bertepatan jam istirahat, kelas langsung kosong hanya ada Sabina seperti biasa.
Ketika membuka tas, ia terkejut melihat amplop pink yang sama dengan surat kemarin.
Lagi lagi tanpa nama.
Kalau teman kelas nya, bagaimana bisa?
Sejak tadi mereka mengikuti pelajaran olahraga dan tidak ada yang absen.
Lagi membolak-balik surat, bingung, mendadak mata nya menangkap sosok yang melintas depan kelas nya. Daniel!
Jantung nya berdegup kencang. Daniel melirik ke arah nya dan tersenyum keren.
Spontan dengkul Sabina lemas.
Apa Daniel pengirim nya?
Ia menggeleng kuat kuat. "Nggak mungkin! Jangan halu deh, Bina.."
Ia menyimpan kembali surat di tas.
***
Sabina khawatir ada yang iseng pada nya. Berusaha tidak terbawa perasaan membaca setiap kata gombal yang melayangkan hati ge-er nya.
Namun, surat misterius itu terus saja berdatangan selama seminggu.
Terus mengungkapkan kekaguman nya.
Tetap tanpa nama. Amplop pink seperti biasa.
Pernah sekali dia coba mengintai ketika kelas kosong. Mencari tahu siapa yang mengirim surat itu. Tapi dia tidak melihat siapa pun. Hanya melihat anak kelas 2 mondar mandir dekat kelas nya membawa buku.
"Mending aku bales surat nya. Biar dia berenti neror aku pake surat tanpa nama begini.." pikir Sabina akhir nya.
"Teruntuk.. kamu pengirim surat
Kita ketemu di lapangan basket jam pulang sekolah nanti."
Biar selesai. Sabina pun penasaran siapa pengirim nya.
Apa dia terlalu pendiam sehingga ada yang tertarik pada nya karena itu?
Surat nya diletakkan di tas dengan tulisan Surat Balasan.
Dia berharap pengirim surat melihat dan mengambil surat balasan nya.
***
"Bi, ini formulir pendaftaran seleksi cheerleader. Kamu isi ya nanti kasih ke aku. Jangan lama-lama lho." Rayna mampir ke kelas hanya untuk memberikan formulir lalu pergi lagi karena sibuk menyeleksi calon anggota cheers.
"Rayna ngotot banget aku kudu ikut cheers," keluh Sabina lesu. "Padahal aku nggak bakat nari."
Ia membuka tas hendak mengambil kotak pulpen dan terdiam.
"Surat nya udah diambil. Berarti tadi dia ke sini." gumam nya.
Sabina makin penasaran siapa pengirim nya.
Ia cuma ingin tahu. Tidak ingin terlarut rasa ge-er terlalu lama.
Maka ketika pulang sekolah, ia mendekati Rayna.
"Bi, kamu bisa pulang sendiri?" Belum minta izin Rayna sudah membaca isi hati sepupu nya.
"Emang kenapa, Na?" Sabina berbasa-basi biar Rayna tidak curiga.
"Aku mau ke rumah Zia, anggota cheers yang lagi sakit. Kami mau pada besuk."
"Oh gitu. Iya nggak apa-apa aku bisa pulang sendiri."
"Atau kamu ikut juga yuk?"
"Nggak usah, Na. Lain kali aja. Nggak apa-apa aku pulang sendiri. Naik angkot kan cuma sekali ke rumah." Sabina meyakinkan sepupu nya yang jelas khawatir baru kali ini ia sendirian.
"Hati hati lho. Ntar aku bilang sama Ayah buat beliin kamu HP."
Sabina tersenyum simpul. "Udah santai aja."
"Duluan ya, Bi."
Begitu Rayna pergi, Sabina menarik nafas dalam-dalam sambil menunggu sekolah benar-benar sepi.
Ia membaca lagi surat surat pink yang diterima nya.
Agak bingung memang hari gini pakai surat.
Sabina baru sadar. "Eh tapi kan aku nggak punya HP. Kalau ada HP pasti dia kirim SMS."
Benar juga. Masuk akal kenapa surat yang dikirim nya.
***
"Duhh mana ya orang nya? Keburu sore ini. Kok belum dateng juga?" Sabina gelisah karena tidak ada tanda-tanda orang datang. Sekolah memang sudah sepi.
Sabina celingukan ke segala arah. Apa orang itu bersembunyi?
Ditunggu sampai sore, tidak ada yang datang.
Sabina kecewa.
"Harusnya aku nggak percaya. Ini pasti aku dikerjain lagi deh." Tanpa buang waktu dia ambil tas dan pulang dengan hati kesal.
***
Besok nya, sekembali nya dari perpustakaan, ada surat lagi di tas nya.
Isi nya meminta maaf kemarin tidak datang karena ibunya sakit dan harus segera pulang. Lalu ia ingin bertemu Sabina pulang sekolah di belakang laboratorium kimia.
"Jangan-jangan ada yang mau kerjain aku nih," Sabina mulai takut.
Ingatan nya ketika dulu ia di bully di sekolah lamanya membuat nya merinding.
Tapi ia masih penasaran siapa pengirim ,nya. Mungkin setelah itu ia tidak perlu menerima surat lagi.
Ketika pulang sekolah, setelah menghindar dari Rayna, Sabina berjalan dengan berdebar. Dia sungguh nervous akan bertemu teman surat nya yang katanya menaruh hati pada nya.
Tiba di tempat janjian, ia terdiam melihat seorang cowok duduk di sana.
Sabina kenal siapa dia.
Jinan.
Ketua OSIS.
Dari kelas 3 IPA 2.
"Masa' dia orang nya?" Sabina bingung bukan main.
Mereka tidak saling kenal. Bahkan bertemu saja baru sekarang. Sabina mengetahui dia ketua OSIS karena sering mengikuti upacara.
Jinan bertubuh tinggi dan berwajah manis yang terkesan imut. Rambut nya lebat hitam dan mata nya hitam bening. Mungkin karena wajah ganteng nya dia memenangkan pemilihan ketua OSIS.
Sabina celingukan mencari mungkin bukan Jinan orang nya.
Tapi hanya Jinan yang ada di sana.
Sabina panik dan gugup. Dia benar benar nggak siap dengan situasi begini.
Ia berbalik hendak pergi.
Tiba-tiba suara berat memanggil nya.
"Hay..."
Sabina kaget dan berbalik.
Jinan menatap nya bingung sambil celingukan. "Lo yang datang? Rayna mana?"
Hah?? Rayna???
Sabina memegang surat pink nya masih dengan ekspresi tidak bisa ditebak.
"Aku..." Lidah Sabina terasa kelu tidak bisa bicara. Yang jelas, ia hanya ingin pergi secepatnya.
Jinan melirik surat yang dipegang Sabina dan terdiam. "Kok suratnya bisa sama lo?"
Sabina merasakan mata nya memanas menahan agar air mata tidak jatuh. "Aku Sabina, sepupu nya Rayna. Nanti aku sampaikan semua surat kamu ke dia." Ia bergegas pergi.
Jinan berusaha mencegah tapi Sabina sudah meninggalkan nya.
***
Rasa nya Sabina sudah tidak bisa pergi ke sekolah.
Dia malu bukan main.
Semalaman dia menangis karena malu. Rasa nya seperti ditelanjangi di depan umum.
Malu nya pake banget.
Ekspresi kecewa Jinan membuat hati nya tidak enak sepenuh nya.
Sabina menenggelamkan tubuh nya dalam selimut. Dengan wajah merah habis menangis.
Menangis karena malu dan kecewa.
"Sabina..." Rayna tiba tiba masuk kamar. "Kamu kenapa, Bi? Kata Mpok Eti, kamu sakit."
Sabina menatap sepupu nya dengan mata sembab. "Aku nggak enak badan, Na. Tolong mintain izin ya."
"Kok bisa? Aku anter ke dokter ya?" Tawar Rayna.
"Nggak perlu. Cuma begini, aku cuma butuh istirahat aja. "
"Trus kenapa kamu nangis? Ada yang ganggu kamu?" Rayna tidak membiarkan sepupu nya begitu saja.
Sabina terdiam. Ingin dia menjelaskan yang terjadi tapi khawatir Rayna malah salah paham.
Lebih baik bohong, daripada manjang. "Aku cuma inget ibu sama ayah, Na. Makanya aku nangis. Kadang lagi sakit gini aku jadi mellow inget ayah ibu."
"Ohh kirain ada yang isengin kamu. Aku juga kadang sedih sih kalau inget bunda. Tapi kita harus tetep semangat. Itu kata Ayah. Jangan berlarut-larut sedih nya. Nggak bagus buat kesehatan."
Sabina tersenyum kecil. "Iya aku nggak akan nangis lagi. Eh kamu kenapa kok muka nya ditekuk gitu? Ada masalah?"
Rayna cemberut. "Keliatan ya? Aku lagi bete banget, Bi. Kayak nya hubunganku sama Ergi nggak bisa aku pertahanin."
"Ergi?"
"Cowokku. Dia kelas 3 IPA 2. Tapi udah tiga bulan ini dia pindah ke Yogyakarta. Kami long distance jadi nya. Awal nya baik baik aja. Tapi akhir-akhir ini dia dingin sama aku. Jarang nge chat aku. Tiap aku ngajak video call dia nggak bisa. Kayak nya dia udah mulai bosen hubungan jarak jauh." Rayna curhat semua unek-unek nya.
Ohh jadi Rayna udah punya pacar, batin Sabina.
"Ya udah kamu jangan bete gitu ah. Jelek tau. Kalau dia serius juga nanti hubungin kamu."
Rayna mengerucutkan bibir nya. "Gitu ya?"
"Iya. Udah sekarang kamu ke sekolah gih, nggak lucu kan murid teladan kalo telat. Jangan lupa mintain izin aku sakit."
"Iya deh. Kamu cepet sembuh lho.. seleksi tinggal sepuluh hari lagi. Pokok nya kamu harus sehat. Oke. Aku pergi dulu ya.."
Begitu Rayna pergi, Sabina menarik selimut dan melanjutkan tidur nya. Lebih baik dia tidur dan melupakan semua nya.
***
Hanya dua hari, Sabina masuk sekolah lagi seperti biasa. Ia ingat sudah dibiayai Toni, tidak enak kalau mogok sekolah hanya karena surat salah alamat.
Ia berusaha melupakan kejadian memalukan itu.
Si ketua OSIS pun seperti nya tidak ambil pusing.
Sabina melihat nya ketika datang, si Ketua OSIS berpapasan dengan nya namun acuh saja.
Pasti ia masih kesal karena surat nya salah alamat.
Harus nya aku yang kesel, bukan dia, batin nya.
Jinan tertarik pada Rayna.
Sudah pasti sepupunya yang cantik dan percaya diri banyak yang suka.
Ketika jam istirahat, Sabina lupa bawa botol minum. Jadi harus ke kantin.
Baru saja keluar kelas seorang cowok yang sepertinya adik kelas 2, mendekati nya.
"Kak, ada pesen buat Kakak." Dari name tag nya nama adik kelas ini Rendi.
Ia heran. "Pesan apa? Dari siapa?"
"Dari Kak Jinan ketua OSIS. Katanya pulang sekolah ditunggu di tempat yang sama dengan kemarin."
Sabina kaget.
Jinan mau apa lagi?
Apa dia mau bikin perhitungan?
Karena ia yang menerima semua surat nya?
Sepanjang jam pelajaran Sabina gelisah dan takut.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!