WaKtU itu bulan Juni 1935. Aku kembali dari peternakanku di Amerika Selatan untuk tinggal selama enam bulan di Inggris. Saat-saat yang sulit bagi kami di sana. Seperti orang lain, kami pun ikut terkena depresi yang melanda dunia. Ada bermacam urusan yang harus kutangani di Inggris, yang rasanya hanya akan berhasil baik bila kutangani sendiri. Istriku tinggal untuk mengurus peternakan.
Tak perlu kukatakan bahwa satu hal yang ingin ku lakukan sesampainya di Inggris adalah mengunjungi sahabat lamaku, Hercule Poirot.
Kutemui dia di tempat tinggalnya yang baru, salah satu bentuk lat model mutakhir di London. Aku menuduhnya (dan dia mengakui kenyataan itu) memilih gedung ini semata-mata karena penampilan dan pengaturannya yang geometris.
”Tapi benar, Kawan, tempat ini merupakan sebuah bangunan simetris yang paling menyenangkan. Apakah kau tidak merasakannya?”
Aku berkata bahwa kupikir gedung ini terlalu ba- nyak menimbulkan kesan kotak-kotak dan sambil menyinggung sebuah lelucon lama aku bertanya, apakah dalam bangunan supermodern ini mereka sanggup membujuk ayam betina untuk menghasilkan telur persegi.
Poirot tertawa lepas.
”Ah, kau masih ingat itu? Wah! Tidak ilmu pengetahuan belum berhasil membujuk ayam betina untuk menyukai selera modern, mereka masih saja menghasilkan telur-telur dengan ukuran dan warna yang berbeda!”
Aku memperhatikan sahabatku dengan pandang sayang. Dia tampak sehat sekali tidak sehari pun kelihatan lebih tua dari waktu terakhir aku melihatnya.
”Kau dalam keadaan prima, Poirot,” kataku. ”Sama sekali tak tampak bertambah tua. Bahkan, kalau mungkin, aku berani mengatakan bahwa ubanmu semakin sedikit saja dibanding dengan ketika terakhir aku melihatmu.”
Poirot berseri-seri memandangku.
”Dan mengapa itu tidak mungkin? Kenyataannya begitu.”
”Maksudmu, rambutmu dapat berubah dari ubanan jadi hitam, dan bukan sebaliknya?”
”Persis begitu.”
”Tapi secara ilmiah itu tidak mungkin!” ”Sama sekali tidak.”
”Tapi itu sungguh luar biasa. Seakan melawan alam.”
”Seperti biasanya, Hastings, kau memiliki pikiran yang bersih, lepas dari kecurigaan. Tahun-tahun yang
berlalu tidak mengubah sifatmu itu! Kau melihat suatu fakta dan mengungkapkan pemecahannya dalam desah napas yang sama, tanpa sadar bahwa itulah yang kaulakukan!”
Aku menatapnya penuh tanda tanya.
Tanpa sepatah kata pun dia berjalan ke kamar tidurnya dan kembali dengan sebuah botol di tangan, lalu memberikannya padaku.
Aku mengambilnya, sesaat tidak mengerti mak- sudnya.
Di situ tertulis:
REVIVIT— Untuk mengembalikan warna alamiah rambut Anda. REVIVIT bukan pewarna. Tersedia da lam lima nuansa, abuabu, cokelat tua kemerahan, merah keemasan, cokelat, dan hitam.
”Poirot,” teriakku. ”Kau telah mengecat rambutmu!” ”Ah, kini kau mengerti.”
”Jadi itulah sebabnya rambutmu tampak lebih hitam dari waktu terakhir aku kembali.”
”Betul.”
”Astaga,” cetusku, setelah pulih dari rasa terkejut. ”Kurasa lain kali bila aku kemari lagi, kau akan memakai kumis palsu atau, apakah kau sudah memakainya sekarang?”
Poirot merengut. Kumisnya merupakan hal yang sangat peka baginya. Dia begitu bangga akan miliknya yang satu itu. Kata-kataku telah menyinggung perasaannya.
”Tidak, tentu tidak, mon ami. Aku berdoa semoga
hal itu tidak akan pernah terjadi. Kumis palsu! Quelle horreur! Mengerikan!”
Dia menarik kumisnya dengan keras untuk meyakinkan diriku bahwa kumis itu asli.
”Wah, ternyata kumismu masih lebat,” tukasku. ”N’estcepas? Memang belum pernah di seluruh
pelosok London ini aku melihat sepasang kumis seperti milikku.”
Rapi pula, pikirku dalam hati. Namun aku tak ingin menyinggung perasaan Poirot dengan mengeluarkan kata-kata tersebut.
Aku bahkan bertanya padanya apakah sesekali dia masih menjalankan profesinya.
”Aku tahu,” kataku, ”bahwa kau sebetulnya sudah pensiun beberapa tahun yang lalu”
”C’est vrai. Betul. Untuk menanam labu manis! Dan tiba-tiba ada pembunuhan dan aku membiarkan labu manis itu terkubur dengan sendirinya. Dan sejak itu aku tahu benar apa yang akan kaukatakan aku bagaikan primadona yang dengan mantap menampilkan pertunjukannya yang terakhir! Tapi pertunjukan terakhir itu terjadi berulang kali, tak terhitung lagi sudah berapa kali!”
Aku terbahak-bahak.
”Pada kenyataannya memang demikian. Berkali-kali aku mengatakan: Ini yang terakhir, tetapi selalu ada saja yang muncul! Dan kuakui, Kawan, tidak tebersit sedikit pun dalam pikiranku untuk pensiun. Sel-sel kecil kelabu ini akan berkarat bila tidak dilatih.”
”Betul,” kataku. ”Kau melatihnya dengan tempo sedang-sedang saja.”
”Benar. Aku mengambil dan memilih. Untuk Hercule Poirot, sekarang ini hanyalah kasus kriminal yang istimewa.”
”Apakah banyak kasus istimewa akhir-akhir ini?” ”Pas mal.
Lumayan. Belum lama ini aku nyaris celaka.”
”Karena kegagalan?”
”Bukan, bukan.” Poirot kelihatan kaget. ”Tapi aku—aku, Hercule Poirot, hampir saja mampus.”
Aku bersiul.
”Seorang pembunuh kelas kakap!”
”Tidak bisa dikatakan kakap karena keteledorannya,” ujar Poirot. ”Persis begitu teledor. Tapi tak perlu diperbincangkan. Kau tahu, Hastings, dalam banyak hal aku menganggap kau maskotku.”
”Oh ya?” kataku. ”Dalam hal apa?”
Poirot tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia melanjutkan, ”Begitu mendengar kau akan datang, aku berkata pada diriku sendiri: Sesuatu akan terjadi. Seperti di masa lalu, kita akan berburu bersama, kita berdua. Tapi bila demikian, masalahnya harus isti- mewa, bukan yang biasa-biasa saja.” Dia menggerakkan tangannya dengan bergairah. ”Sesuatu yang recherce halus lembut...” Dia mengucapkan kata terakhir yang tidak dapat dijelaskan itu dengan gaya yang menegas- kan artinya.
”Astaga, Poirot,” ujarku. ”Siapa pun akan mengira kau sedang memesan makan malam di Ritz.”
”Padahal orang tidak mungkin memesan suatu kejahatan. Ya begitulah.” Dia mendesah.
”Tapi aku per-
caya pada keberuntungan pada nasib, bila kau mau. Sudah nasibmu untuk berjalan di sampingku dan mencegahku melakukan kesalahan yang tak terampunkan.” ”Dan menurutmu, kesalahan yang bagaimana yang
tak terampunkan itu?” ”Mengabaikan kenyataan.”
Aku menyimpan kata-kata ini dalam benakku tanpa mengerti maksudnya.
”Dan,” kataku tersenyum, ”apakah kejahatan istimewa itu sudah muncul?”
”Pas encore belum. Setidaknya begitu”
Dia berhenti sejenak. Kerut kebingungan menghiasi dahinya. Tangannya secara otomatis meluruskan kembali benda-benda yang letaknya jadi miring karena tersentuh tanganku tanpa sengaja.
”Aku tak yakin,” katanya pelan.
Ada sesuatu yang janggal dalam nada suaranya sehingga aku memandangnya heran.
Kerut-kerut di dahinya masih terlihat.
Tiba-tiba dengan anggukan kecil meyakinkan dia berjalan menyeberangi ruangan menuju meja berlaci di dekat jendela yang isinya diatur rapi, sehingga dengan mudah dia langsung menemukan berkas surat yang dikehendakinya.
Poirot kembali berdiri di depanku, dengan surat terbuka di tangannya.
Dia membacanya sendiri sampai tuntas, lalu meng- ulurkannya padaku.
”Katakanlah, mon ami,” ujarnya. ”Apa pendapatmu mengenai hal ini.”
Aku mengambilnya, merasa tertarik.
Pada secarik kertas putih cukup tebal, tertulis de- ngan huruf cetak:
Mr. Hercule Poirot Anda menganggap Anda dapat memecahkan mist rimisteri yang bahkan terlalu rumit bagi polisi Inggris kami yang dungu, bukan? Mari kita buktikan, Mr. Clever Poirot, sampai di mana kepintaran Anda. Mungkin bagi Anda kasus ini tidak terlalu sulit untuk dipecahkan. Berhatihatilah terhadap apa yang akan terjadi di Andover pada tanggal 21 bulan ini.
Hormat saya,
ABC
Aku melirik ke sampul surat itu, yang juga ditulis dengan huruf cetak.
”Cap pos W.C.1,” kata Poirot, ketika aku memperhatikan cap tersebut. ”Nah, bagaimana pendapatmu?”
Aku mengangkat bahu sambil menyerahkan surat itu kembali padanya.
”Kurasa orang gila atau sejenisnya.”
”Hanya itu saja yang dapat kauungkapkan?”
”Yah, apakah bagimu itu bukan pekerjaan orang gila?”
”Betul, Kawan, betul begitu.”
Nada suaranya suram. Aku memandangnya dengan rasa ingin tahu.
”Kau menganggapnya serius, Poirot.”
”Orang gila, mon ami, harus dianggap serius. Orang gila amat berbahaya.”
”Tentu saja itu betul... aku tidak memperhitungkan
segi itu... Tetapi yang kumaksud, rasanya seperti sebuah olok-olok tolol. Mungkin orang kebanyakan minum.”
”Comment? Minum? Minum apa?”
”Minum minuman keras, tentu saja. Maksudku orang mabuk.”
”Merci, Hastings ungkapan ’mabuk’ sudah sering kudengar. Seperti katamu, mungkin tidak lebih dari itu...”
”Tapi menurutmu, lebih?” tanyaku, terpukul oleh nada ketidakpuasannya.
Poirot menggeleng ragu, namun tidak mengatakan apa-apa.
”Apa yang telah kaulakukan mengenai hal ini?” tanyaku.
”Apa yang dapat dilakukan? Menunjukkannya pada Japp. Dia mempunyai pendapat yang sama denganmu olok-olok tolol itulah istilah yang dia pakai. Di Scotland Yard mereka menghadapi hal-hal semacam ini tiap hari. Aku pun telah mendapatkan bagianku...”
”Tapi kau menganggap yang satu ini serius?” Poirot menjawab pelan.
”Ada sesuatu mengenai surat itu, Hastings, yang tidak kusukai...”
Nada suaranya mengesankanku. ”Dugaanmu apa?”
Dia menggoyangkan kepala, mengambil surat itu, dan menyimpannya kembali ke dalam meja tulis.
”Bila kau benar-benar menganggapnya serius, tak dapatkah kau berbuat sesuatu?” tanyaku.
”Seperti biasa, tindakan yang aktif! Tapi, apa yang
dapat diperbuat? Polisi telah melihat surat itu, tapi mereka pun tidak menganggapnya serius. Tidak ter- dapat sidik jari pada surat itu. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan siapa penulisnya.”
”Yang ada hanya nalurimu sendiri?”
”Bukan naluri, Hastings. Naluri bukan kata yang tepat. Lebih tepat adalah pengetahuanku pengalaman ku yang mengatakan padaku bahwa ada sesuatu yang salah dalam surat itu”
Dia memperlihatkan isyarat tangan, setelah gagal memperoleh kata-kata yang dikehendakinya, lalu menggoyangkan kepala lagi.
”Mungkin aku terlalu membesar-besarkan persoalan. Apa pun masalahnya, tak ada lagi yang dapat dilakukan, kecuali menunggu.”
”Yah, tanggal 21 adalah hari Jumat. Apabila peram- pokan besar-besaran terjadi di sekitar Andover, maka”
”Ah, kalau itu bisa dikatakan ringan!”
”Ringan?” Aku melotot. Kata itu terlalu luar biasa untuk dipakai.
”Perampokan bisa jadi merupakan sebuah sensasi, tapi tidak pernah ringan!” protesku.
Poirot menggeleng bersemangat.
”Kau salah, Kawan. Kau tidak mengerti maksudku. Suatu perampokan akan melegakan hati, sebab dapat menghilangkan kekhawatiranku akan terjadinya sesuatu yang lebih hebat.”
”Misalnya?”
”Pembunuhan,” tukas Hercule Poirot.
Pada waktu itu aku terkesan pada firasat Poirot mengenai surat kaleng yang diterimanya, namun kuakui bahwa soal itu telah lenyap dari ingatanku ketika tanggal 21 benar-benar tiba. Aku baru ingat kembali akan hal itu ketika Inspektur Kepala Japp dari Scotland Yard berkunjung ke rumah sahabatku. Inspektur ini kenalan lama kami selama bertahun-tahun, dan dia amat senang bertemu kembali denganku.
”Wah, tak diduga,” serunya. ”Bukankah ini Kapten Hastings, kembali dari belantara atau apa pun namanya! Seperti masa lalu saja bertemu denganmu di sini bersama Monsieur Poirot. Kau tampak sehat pula. Hanya sedikit tipis di kepala, ya? Memang ke situlah akhirnya kita semua nanti. Aku begitu juga.”
Aku mengernyit sekilas. Kukira dengan menata rapi rambutku, menutupi bagian atas kepalaku, rambut yang dikatakan tipis oleh Japp itu pasti hampir tidak kentara tipisnya. Namun, Japp memang tidak pernah berpikir panjang bila mengomentari diriku, oleh karena itu, aku mengiyakan saja kata-katanya, sambil mengakui bahwa tak ada di antara kami yang menjadi semakin muda.
”Kecuali Monsieur Poirot ini,” kata Japp. ”Bisa jadi iklan menarik untuk minyak rambut. Tumbuh subur bagai cendawan dan wajahnya semakin berseri. Menjadi pusat perhatian pula dalam usia tua. Berbaur dengan kejadian-kejadian aktual. Misteri kereta api, misteri udara, kematian kelas atas oh, dia berada di sini, di sana, dan di mana-mana. Tak pernah sedemikian menonjol sejak dia pensiun.”
”Aku sudah mengatakan pada Hastings bahwa aku seperti primadona yang selalu menciptakan satu penampilan ekstra,” ujar Poirot dengan tersenyum.
”Jangan heran bila kau akhirnya mencium bau kematianmu sendiri,” kata Japp sambil tertawa lepas. ”Wah, itu gagasan bagus. Harus dibukukan.”
”Kalau itu, sebaiknya Hastings saja yang melakukannya,” tukas Poirot sambil mengedip padaku.
”Ha, ha! Benar-benar akan jadi lelucon,” kata Japp terbahak-bahak.
Aku tidak melihat di mana lucunya gagasan tersebut, aku bahkan menganggap lelucon itu berselera rendah. Poirot yang malang, dia terus bertahan menanggapi Japp. Lelucon mengenai kematiannya tentu tidak mengena di hatinya.
Mungkin sikapku menunjukkan perasaanku, itu sebabnya Japp kemudian membelokkan pembicaraan.
”Sudahkah kau mendengar mengenai surat kaleng
Monsieur Poirot?” tanyanya.
”Aku memperlihatkannya pada Hastings dua hari yang lalu,” ujar kawanku.
”Oh ya, benar,” seruku. ”Aku agak lupa. Coba ku ingat, tanggal berapa katanya?”
”Tanggal 21,” tukas Japp. ”Oleh karena itulah aku singgah. Kemarin tanggal 21. Kutelepon Andover tadi malam, sekadar ingin tahu. Ternyata benar, hanya sebuah olok-olok. Tak ada apa-apa. Hanya, sebuah jendela toko yang pecah anak-anak melempar batu dan dua orang mabuk serta beberapa pelanggaran hukum. Jadi, sekali ini teman Belgia kita salah arah.”
”Aku harus mengakui bahwa kini aku lega,” ucap Poirot.
”Kau cemas, bukan?” kata Japp simpatik. ”Syukurlah, kami menerima berlusin-lusin surat semacam itu tiap hari! Penulisnya para penganggur dan orang- orang sinting. Tak ada maksud apa-apa! Hanya seka- dar iseng.”
”Sungguh bodoh aku menganggapnya serius,” tukas Poirot. ”Aku telah mencocokkan hidungku sendiri di kandang kuda.”
”Kau tak dapat membedakan mana yang iseng dan mana yang serius,” kata Japp.
”Pardon?”
”Ya, itulah. Wah, aku harus pergi. Ada sedikit urusan di tempat lain menadah berlian curian. Aku hanya singgah untuk membuatmu lega. Sayang kan, kalau sel-sel kecil kelabu itu dipaksa bekerja sia-sia.”
Dengan ucapan itu dan tawa lebar, Japp beranjak pergi.
”Japp tak banyak berubah, bukan?” kata Poirot.
”Dia kelihatan lebih tua,” kataku. ”Setua musang berjanggut,” tambahku, seakan membalas ucapannya tadi.
Poirot terbatuk-batuk, lalu berkata, ”Tahukah kau, Hastings, ada satu muslihat kecil penata rambutku amat cerdik. Dia menempelkan rambut asli orang di kulit kepala lalu menutupinya dengan rambut kita bukan wig, kau tahu bukan tapi”
”Poirot,” tukasku geram. ”Sekarang dan untuk selamanya, aku tak mau berurusan dengan penemuan licik penata rambutmu yang jahanam itu. Apa sih yang salah dengan kepalaku?”
”Ah, tidak tak ada yang salah.” ”Kaupikir aku akan jadi botak?” ”Ah, tentu tidak! Tentu tidak!”
”Sudah sewajarnya bukan, bila musim panas di sana membuat rambut sedikit rontok. Aku akan membawa pulang minyak rambut yang bagus.”
”Précisément.”
”Lagi pula, ini bukan urusan si Japp. Dia itu seperti setan liar. Dan selera humornya rendah. Jenis orang yang akan tertawa melihat kursi ditarik, persis ketika seseorang akan duduk.”
”Banyak orang akan tertawa melihat kelakar semacam itu.” ”Sama sekali tidak masuk akal.”
”Bagi orang yang akan duduk memang tidak masuk akal.”
”Yah,” kataku, sedikit menahan amarah. (Kuakui aku mudah tersinggung kalau tipisnya rambutku dipersoalkan.) ”Sayang, surat kaleng itu ternyata tidak ada apa-apanya.”
”Aku telah salah duga. Kupikir surat itu agak berbau amis. Ternyata hanya lelucon belaka. Wah, aku sudah beranjak tua dan mudah curiga seperti anjing penjaga yang buta dan menggonggong meski tidak ada apa-apa.”
”Bila kau menginginkan bantuanku, kita harus mencari kasus kejahatan yang istimewa,” kataku tertawa.
”Ingatkah kau komentarmu beberapa hari yang lalu? Bila kau dapat memesan suatu kejahatan seperti memesan makan malam, apa yang akan kaupilih?”
Aku larut terbawa gurauannya.
”Tunggu. Kita lihat dulu menunya. Perampokan? Pemalsuan? Kurasa bukan. Terlalu vegetarian. Harus sebuah pembunuhan berdarah dengan pemenggalan, tentu saja.”
”Ya, harus. Hors d’oeuvres harus luar biasa.” ”Siapa korbannya laki-laki atau perempuan? Ku kira laki-laki. Seorang tokoh. Jutawan Amerika. Perdana Menteri. Pemilik surat kabar. Tempat terjadinya kejahatan yah, apa salahnya kalau sebuah perpus- takaan tua? Tak ada situasi yang lebih cocok lagi. Dan senjatanya bisa tikaman pisau belati yang mencuriga- kan, atau senjata tumpul, batu pusaka berukir”
Poirot mendesah.
”Atau, bisa juga,” kataku, ”dengan racun tapi biasanya itu soal teknisnya saja. Atau letusan pistol yang menggema di malam hari. Lalu, harus ada satu atau dua gadis cantik”
”Berambut pirang,” gumam sahabatku.
”Leluconmu itu-itu saja. Salah satu gadis cantik itu tentu saja dicurigai sebagai tersangka pelaku pem- bunuhan ada salah paham antara gadis itu dengan teman prianya. Lalu, tentu saja ada beberapa tersangka lainnya seorang wanita, agak lebih tua, berkulit gelap dan menyeramkan dan seorang teman atau saingan si korban. Lalu, ada sekretaris yang bungkam sang kuda hitam serta laki-laki kekar dengan sikap kasar, juga dua pembantu atau penjaga kebun atau sema- camnya, yang baru dipecat. Dan detektif tolol yang agak mirip Japp yah, kira-kira begitulah situasinya.” ”Itukah gagasanmu tentang kasus kriminal yang
istimewa?”
”Agaknya kau tak sependapat denganku.” Poirot memandangku dengan iba.
”Kau membuat ringkasan tepat yang hampir selalu ditulis dalam cerita-cerita detektif.”
”Jadi, apa yang ingin kaupesan?”
Poirot memejamkan mata dan bersandar kembali di kursinya. Suara yang keluar dari bibirnya terdengar datar.
”Sebuah kasus kriminal yang amat sederhana. Kejahatan yang tidak rumit. Kejahatan dalam suatu kehidupan rumah tangga yang tenang... tidak meletup-letup amat intime urusan rumah tangga biasa.”
”Bagaimana suatu tindak kejahatan bisa intime?” ”Seandainya,” gumam Poirot, ”empat orang duduk
bermain bridge dan seorang lagi duduk agak terasing di kursi dekat perapian. Pada waktu malam semakin larut, orang yang duduk dekat perapian ditemukan sudah mati. Satu dari keempat orang itu, walau agak
tolol, telah membunuhnya, dan karena asyik dengan permainan di tangan, ketiga orang lainnya tidak memperhatikan hal itu. Nah, itulah kejahatan yang harus kau pecahkan! Siapakah pembunuhnya di antara keempat orang itu?”
”Wah,” kataku. ”Kelihatannya tidak menarik!” Poirot memandangku penuh tuduhan.
”Tidak menarik karena tak disertai pisau belati yang dihunjamkan secara mencurigakan, tak ada surat kaleng, tak ada zamrud yang dicuri yang ternyata mata patung dewa, tidak ada racun dari negeri Timur yang tak berbekas. Kau memiliki jiwa sensasional, Hastings. Kau lebih suka satu seri pembunuhan daripada pembunuhan tunggal.” ”Kuakui,” kataku, ”bahwa dalam buku, pembunuhan kedua sering kali membuka tabir bagi penyelidikan. Apabila pembunuhan terjadi dalam bab satu, dan kau harus mengikuti alibi setiap orang sampai halaman terakhir, kecuali satu orang yah, persoalannya jadi membosankan.”
Telepon berdering dan Poirot bangkit untuk menjawabnya.
”Halo,” katanya. ”Halo. Betul, di sini Hercule Poirot.”
Dia mendengarkan satu atau dua menit, lalu kulihat perubahan di wajahnya.
Jawaban Poirot dalam pembicaraan telepon itu singkat-singkat dan terputus-putus.
”Mais oui...”
”Tentu saja...”
”Baiklah, kami akan datang...”
”Tentu...”
”Mungkin, seperti kata Anda...”
”Baik, saya akan membawanya. A tout a l’heure sampai nanti kalau begitu.”
Dia meletakkan pesawat telepon, lalu menghampiriku.
”Itu tadi Japp yang berbicara, Hastings.” ”Oh ya?”
”Dia baru saja kembali dari Yard. Ada berita dari Andover...”
”Andover?” teriakku, harap-harap cemas.
Poirot berkata perlahan, ”Seorang wanita tua bernama Ascher, yang membuka toko kecil serta menjual tembakau dan surat kabar, ditemukan terbunuh.”
Aku merasa agak kecewa. Perasaan ingin tahu yang tadi menggebu-gebu dalam diriku ketika mendengar kata Andover, tiba-tiba hilang begitu saja. Aku mengharapkan sesuatu yang fantastis yang istimewa! Pembunuhan seorang wanita tua yang membuka toko tembakau kecil terasa agak biadab dan tidak menarik. Poirot melanjutkan ucapannya, perlahan dan suram, ”Polisi Andover yakin mereka pasti dapat menangkap
si pelaku”
Untuk kedua kalinya aku kecewa.
”Agaknya wanita itu mempunyai hubungan yang tidak baik dengan suaminya. Laki-laki itu tukang ma- buk dan memperlakukannya dengan kasar. Suaminya bahkan mengancam akan membunuhnya lebih dari satu kali.”
”Namun demikian,” lanjut Poirot, ”karena kejadian ini, polisi di sana ingin meneliti kembali surat kaleng
yang kuterima. Kukatakan bahwa kau dan aku akan segera pergi ke Andover.”
Semangatku kembali sedikit. Bagaimanapun, semesum-mesumnya kejahatan ini, toh tetap merupakan suatu kejahatan, dan sudah lama sekali aku tak berurusan dengan tindak kejahatan dan para kriminal.
Aku hampir tak mendengar kata-kata Poirot selanjutnya. Namun kata-kata itu nantinya terngiang kembali dalam pikiranku dengan arti yang lebih jelas.
”Ini baru permulaannya,” kata Hercule Poirot.
Di andover, kami ditemui oleh Inspektur Glen, seorang pria dengan postur tinggi, rambut pirang, dan senyum yang menyenangkan.
Untuk singkatnya, sebaiknya kuberikan ringkasan kejadian sebenarnya.
Kejahatan tersebut diketahui pertama kalinya oleh seorang polisi bernama Dover pada pukul 01.00 malam, tanggal 22. Pada waktu meronda, dia mencoba membuka pintu toko dan mendapati pintu itu tidak terkunci. Dia masuk dan pada mulanya berpikir tempat itu kosong. Tetapi setelah menyorotkan lampu baterainya ke balik meja pajangan, dia melihat onggokan tubuh wanita tua itu. Pada waktu dokter kepolisian tiba di tempat kejadian, diketahui bahwa wanita itu telah diserang dengan pukulan keras di ba- gian belakang kepala, kemungkinan pada saat dia memungut sebungkus rokok dari rak di belakang meja
pajangan. Diduga kematian terjadi kira-kira tujuh atau sembilan jam sebelumnya.
”Tetapi kami berhasil mempersempit perkiraan itu menjadi sedikit lebih jelas,” inspektur itu menerangkan. ”Kami menemukan seorang laki-laki yang datang untuk membeli tembakau pada pukul 17.30. Dan ada lagi pria kedua yang masuk dan melihat toko itu kosong, seperti dugaannya, pada pukul 18.05. Jadi, antara pukul 17.30 sampai 18.05. Sampai saat ini saya belum menemukan orang yang melihat suaminya si Ascher di sekitar tempat ini, tapi, tentu saja, hari masih pagi. Dia berada di hree Crowns pada jam sembilan malam, sudah agak kebanyakan minum. Bila kami menemukannya, dia akan ditahan sebagai tersangka.”
”Bukan jenis orang yang menyenangkan, Inspektur?” tanya Poirot.
”Pribadi yang kurang menyenangkan.” ”Dia tidak tinggal bersama istrinya?”
”Tidak, mereka sudah berpisah beberapa tahun yang lalu. Ascher orang Jerman. Dia pernah bekerja sebagai pelayan restoran, tetapi dia menjadi gemar minum dan akhirnya menjadi pengangguran. Istrinya bekerja beberapa lama. Terakhir sebagai tukang masak dan pengurus rumah tangga pada seorang wanita tua bernama Miss Rose. Dia membiarkan suaminya meng- ambil sebagian besar gajinya, namun laki-laki itu selalu mabuk dan datang ke tempat kerjanya untuk membuat onar. Itulah sebabnya istrinya bekerja pada Miss Rose di he Grange, sekitar lima kilometer jaraknya dari Andover, di sebuah desa yang terpencil. Suaminya tak begitu mudah menemuinya di sana. Pada waktu Miss
Rose meninggal, wanita itu meninggalkan sedikit uang warisan untuk Mrs. Ascher. Dengan uang itu Mrs. Ascher memulai usaha menjual tembakau dan menjadi agen surat kabar sebuah tempat kecil hanya tersedia rokok murahan, sedikit surat kabar, dan barang-barang jualan semacamnya. Cukup untuk keperluannya sehari- hari. Ascher kadang-kadang datang mengganggunya dan biasanya wanita itu memberi uang sedikit supaya Ascher pergi. Biasanya dia memberi lima belas shilling untuk uang saku selama seminggu.”
”Apakah mereka punya anak?” tanya Poirot. ”Tidak. Ada seorang keponakan. Gadis ini bekerja
dekat Overton. Seorang gadis yang dewasa dan mandiri.”
”Dan kata Anda Mr. Ascher ini suka mengancam istrinya?”
”Benar. Kalau sedang mabuk, sikapnya menakutkan mengutuk dan menyumpah-nyumpah, bahwa dia akan memalu kepala istrinya. Mrs. Ascher hidupnya sulit.”
”Berapa umur wanita itu?”
”Hampir enam puluh wanita baik-baik dan suka bekerja keras.”
Poirot berkata sedih, ”Inspektur, apakah Anda punya dugaan bahwa Mr. Ascherlah pelakunya?”
Inspektur itu mendeham dengan sikap hati-hati. ”Masih terlalu pagi untuk mengatakannya, Mr. Poirot, tetapi saya ingin mendengar keterangan Franz Ascher sendiri tentang apa yang dilakukannya kemarin malam. Mudah-mudahan keterangannya memuaskan. Bila tidak”
Dia lalu diam.
”Tak ada yang hilang dari toko?”
”Tidak ada. Uang yang ada di laci tak diganggu.
Tak ada tanda-tanda perampokan.”
”Menurut Anda, apakah Mr. Ascher yang mabuk datang ke toko, mengganggu istrinya dan kemudian menghantamnya?”
”Itulah kemungkinan yang terdekat. Namun saya harus mengakui, Tuan, saya ingin melihat surat kaleng yang Anda terima sekali lagi. Saya khawatir surat itu dikirim oleh Ascher.”
Poirot memberikan surat tersebut dan inspektur itu mengerutkan dahi membacanya.
”Rasanya bukan dari Ascher,” katanya pada akhirnya. ”Saya tak yakin Ascher dapat menggunakan istilah polisi Inggris ’kita’ pasti tidak, kecuali bila dia mencoba kelihatan licik dan saya tak yakin apakah dia cukup cerdas untuk itu. Orang ini sudah bobrok hancur sama sekali. Tangannya yang gemetaran takkan dapat menuliskan huruf-huruf sejelas ini. Jenis kertas dan tintanya bagus pula. Anehnya, surat ini menyebut tanggal 21 bulan ini. Tentu mungkin saja ini hanya merupakan suatu kebetulan.”
”Mungkin saja ya.”
”Tapi saya tidak menyukai kebetulan semacam ini, Mr. Poirot. Agak terlalu tepat.”
Dia membisu satu atau dua menit kerut-kerut di dahinya muncul.
”ABC. Siapa sih ABC itu? Kita lihat saja apakah Mary Drower (keponakan Ascher) dapat membantu
kita. Sungguh aneh. Tapi saya berani bertaruh, Franz Ascher-lah penulis surat ini.”
”Apakah ada yang Anda ketahui mengenai masa lalu Mrs. Ascher?”
”Dia berasal dari Hampshire. Sudah bekerja sejak dia masih gadis di London. Di sanalah dia berjumpa dengan Ascher dan menikah dengannya. Mereka pasti mengalami masa-masa sulit selama perang. Sebetulnya dia pernah meninggalkan suaminya pada tahun 1922, maksudnya untuk selamanya. Pada saat itu mereka tinggal di London. Lalu dia kembali ke sini untuk menghindar dari suaminya, tapi ternyata laki-laki itu mencium jejak tempat tinggalnya, mengikutinya ke sini, dan memeras uangnya” Seorang polisi datang. ”Ada apa, Briggs?”
”Kami telah menangkap Ascher, Pak.”
”Baiklah. Bawa dia ke sini. Ada di mana dia tadi?” ”Bersembunyi di dalam truk, di tepi jalan kereta
api.”
”Oh ya, bawa dia kemari.”
Ternyata kondisi Franz Ascher memang amat menyedihkan dan ”kacau”. Dia terus menangis dan berteriak- teriak berganti-ganti. Matanya yang muram memandang gelisah, ke arah wajah-wajah yang mengelilinginya.
”Apa yang kalian inginkan dariku? Aku tak melakukan apa-apa. Sungguh memalukan kalian menyeretku ke sini!” Sikapnya tiba-tiba berubah. ”Tidak, tidak, bukan itu maksudku kalian takkan menyakiti orang- tua malang sepertiku, tidak akan bersikap kasar. Semua orang kejam terhadap Franz tua yang malang. Franz yang malang.”
Mr. Ascher mulai menangis.
”Cukup, Ascher,” kata inspektur itu. ”Kau harus bisa menahan diri. Saya belum menuntutmu apa-apa. Dan kau tidak perlu membuat pernyataan kalau tidak mau. Sebaliknya, bila kau tidak tersangkut dalam pembunuhan istrimu”
Ascher memotong perkataannya suaranya semakin melengking.
”Aku tidak membunuhnya! Aku tidak membunuhnya! Semuanya dusta! Kalian semua babi Inggris jahanam semuanya memusuhi aku. Aku tidak membunuhnya tidak.”
”Kau terlalu banyak mengancam, Ascher.”
”Tidak, tidak. Kalian tidak mengerti. Itu hanya kelakar-kelakar antara aku dan Alice. Dia mengerti.”
”Sungguh lucu kelakarmu! Maukah kau menceritakan di mana kau berada semalam, Ascher?”
”Ya, ya akan kuceritakan semuanya. Aku tidak menemui Alice. Aku bersama teman-teman sahabat- sahabat akrab. Kami berada di Seven Stars, lalu kami pergi ke Red Dog”
Dia cepat-cepat meneruskan, kata-katanya tidak teratur.
”Dick Willows dia bersamaku dan si tua Curdle dan George dan Platt, serta banyak lagi. Betul-betul aku tidak menemui Alice. Ach Gott, sungguh aku tidak berdusta.”
Suaranya berubah jadi jeritan. Inspektur itu mengangguk pada bawahannya.
”Bawa dia pergi. Ditahan sebagai tersangka.”
”Saya tak bisa berpikir lagi,” katanya setelah orang tua yang gemetar dan bicaranya kacau itu dibawa pergi. ”Bila tidak ada surat kaleng itu, tentu saya yakin dialah pelakunya.”
”Bagaimana dengan orang-orang yang disebutnya?” ”Kelompok brengsek kata-kata mereka tidak
pernah bisa dipercaya. Saya yakin dia bersama mereka sepanjang malam. Sekarang tinggal siapa yang melihatnya di sekitar toko antara jam setengah enam sampai jam enam sore.”
Poirot menggeleng sambil berpikir keras.
”Anda yakin tak ada benda yang diambil dari toko?” Inspektur itu mengangkat bahu. ”Belum tentu juga. Mungkin satu atau dua bungkus rokok telah dicuri tapi tak mungkin orang membunuh hanya untuk itu.” ”Dan tak ada sesuatu bagaimana mengatakannya, ya tak ada sesuatu yang memberi petunjuk dalam
toko itu. Tak adakah yang aneh mencurigakan?” ”Ada buku panduan kereta api,” kata ispektur itu. ”Panduan kereta api?”
”Betul. Dalam keadaan terbuka dan letaknya menelungkup di meja pajangan. Agaknya seseorang mencari jadwal kereta api yang berangkat dari Andover. Mungkin wanita tua itu, atau bisa jadi seorang pembeli.”
”Apakah dia menjual barang seperti itu?” Inspektur itu menggeleng.
”Dia menjual jenis barang murahan. Tapi ini barang mahal jenis barang yang hanya dijual di Toko Smith atau toko buku besar.”
Mata Poirot bersinar-sinar. Dia mendekat maju.
”Panduan kereta api, kata Anda tadi. Bradshaw atau suatu ABC?”
Mata inspektur itu kini juga bercahaya.
”Ya Tuhan,” katanya. ”Panduan itu memang ABC.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!