Langit sore ini nampak begitu indah, semburat jingga yang perlahan memudarkan warna biru. Matahari perlahan mulai membenamkan dirinya sementara aku terpaku menatap dari balik jendela dengan pikiran kosong. Entahlah, memandangi matahari terbenam bukanlah hobiku melainkan seseorang orang yang sering terpaku kepada fenomena itu,mengagumi banyak warna yang akan ditampilkan langit disetiap senja.tak sabar menanti esok tiba, entah apa kejutan yang akan diberi mungkin pula ia tak ingin waktu berkahir. Apa kabar? Lama tidak berjumpa.
Dering telepon membayarkan lamunanku
"hello, Kenapa Ren?" Adikku yang bernama Rena sedang berada diujung telepon.
"Rei ke sini sekarang...." suara Rena diujung telepon terdengar seperti bergetar. jantungku mulai berdetak tak karuan. Aku tahu ini bukan sesuatu yang bagus.
Tanpa percakapan panjang aku segera mengakhiri telepon Rena kemudian bergegas meninggalkan kantor menuju rumah orang tuaku. kondisi bapak sedang tidak sehat, beberapa waktu lalu ia sempat dirawat di rumah sakit karena ginjalnya dan bagaimanapun Aku tidak ingin terjadi hal yang buruk dengan beliau.
Bapak adalah sosok yang tidak banyak bicara, ia lebih banyak diam dengan segala kejadian yang berada disekitarnya. Ia adalah sosok yang selalu mengajarkanku bahwa lelaki harus bisa melakukan segala hal agar bisa berdiri sendiri. Ia selalu mengingatkanku untuk menjaga keluarga bila ia sedang pergi bekerja, menjaga kedua adikku, juga ibu dan rumah kami tinggal. Untuk bisa menjadi seperti itu kadangkala ayah menyuruhku mengambil air disungai untuk kebutuhan sehari – hari dengan target tertentu, itu menjadi tanggung jawab yang harus aku pikul katanya, belajar memikul tanggung jawab adalah hal penting bagi setiap lelaki, menepati segala perkataan dan meminta maaf jika bersalah. Meskipun dihadapan kedua orangtuaku aku terlihat dewasa, nyatanya kelakuanku diluar masih sama saja. Bahkan untuk meminta maaf aku merasa begitu berat pada saat remaja. Kepada siapapun aku merasa enggan. Aku tidak punya banyak kenangan dengan bapak mungkin karena aku anak laki-laki yang cenderung lebih dekat kepada Ibu mereka. Tapi hal yang selalu aku ingat ialah bapak yang selalu mau memafkan segala kenakalan yang aku lakukan, baginya setiap anak sepatutnya melakukan hal yang menyimpang pada masa tertentu. Bahkan pada saat ia tahu aku merokok, dengan tenang ia bertanya,"Sejak kapan?". Bahkan bapak masih mau memaafkan kesalahan fatal yang aku lakukan saat tertangkap razia membawa barang haram ke sekolah. Dia percaya bahwa aku kelak akan berubah menyadari apa yang sudah aku lakukan adalah salah. meski pada akhirnya yang menghukum malah Ibu, memukul kakiku dengan batang sapu ijuk hingga tak bisa berjalan selama beberapa hari. dan tanpa rasa menyesal aku masih terus mengulang kesalahan itu. Hingga satu hari aku memutuskan harus berhenti.
menghentikan obsesiku dengan barang haram bukan hal yang mudah, perlu banyak sakau untuk benar-benar berhenti. Dan aku berhasil berhenti , disatu titik yang benar – benar memutar balikan duniaku. Obsesi memiliki hal yang tidak akan pernah kumiliki telah berhasil mengalahkan obsesi - obsesi lain diduniaku. Keinginan besar untuk membuktikan kepada seseorang bahwa aku bisa berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. seseorang yang datang kemudian memilih untuk tidak tinggal ialah hal yang telah mengubah jalan hidupku. Membuatku ingin menjadi seseorang yang pantas untuk memiliki dia, seseorang yang pantas menahan dia agar tidak pergi. terima kasih, sedari awal aku ingin memiliki kamu.
terlihat dari jauh rumah nampak lengang. aku bergegas turun dari mobil segera menuju kamar di mana Bapak terbaring, Ibu,rena dan reza sedang duduk di sisi tempat tidur. Aq menghampiri Bapak dan mencium tangannya yang terasa dingin, disambut senyum lemah bapak.
"maafkan... bapak" suara bapak pelan dan terdegar begitu dipaksakan. ibu mulai terisak lagi, diikuti adik - adikku. aku berusaha menahan tangisku sambil terus menggenggam tangannya.
"rei yang minta maaf sama bapak, selama ini rei selalu menyusahkan bapak" aku berusaha menguatkan hatiku. jangan ada perpisahan tuhan, tolonglah hambamu ini.
"jangan... tinggalkan shalat...." aku mengangguk menyambut perkataannya "bapak, bangga punya anak seperti kamu nak" panggilan yang lama tak terdengar, terasa begitu mengiris untuk saat seperti ini. aku bergerak berusaha memeluk bapak dan mengatakan bahwa aku memafkan bapak. suara bisikan pelan terngiang ditelingaku. bapak mengumandangkan kalimat syahadat, aku berusaha menahan agar tidak berteriak dan menangis saat ini. kupeluk erat tubuh bapak, bersamaan mengumandangkan syahadat untuk membantunya, badan bapak terasa bergetar, dan kemudian menjadi berat seketika. tangis orang - orang yang berada didalam kamar memecah hening, bapakku tercinta berpulang kepada yang maha kuasa.
hari yang berat, sungguh. perpisahan memang tak semudah mengatakannya. terlebih untuk yang terakhir kali. entah bagaimana aku bisa melalui setengah hari ini. mengurus pemakaman, memandikan jenazah, dan yang paling berat menguburkan bapak kedalam liang lahat. wajahnya takkan lagi tersenyum menyambut kedatanganku bila berkunjung kerumah, tak ada lagi telepon basa - basi hanya untuk menanyakan kabar, memberikan nasehat, dan membuatkan kopi. ya... bapak senang membuatkan kopi untukku sambil menanyakan perkembangan usahaku.
aku mulai merindukan bapak, ketika menyadari ada begitu banyak mawar bermekaran dihalaman belakang. mawar milik ibu, tapi dirawat oleh bapak dengan penuh perhatian, baik dari segi pupuk, tanah dan kadar air yang pas untuk menyiram beberapa pot yang ditanam. ah... betapa kehilangannya aku, ibu, Rena dan Reza serta keluarga besar kami.
kepalaku mulai terasa pening badanku terasa lemas, karena begadang semalaman dan belum makan apapun sejak tadi pagi. aku sangat ingin memejamkan mataku dan segera menganggalkan kelelahan ini.
" rey, " suara yang tidak asing ditelingaku. suara milik Mila, pacarku.
" ada tamu yang mau pamit pulang" kataya dengan nada pelan sembari menyerahkan secangkir kopi untukku.
" bisa aku minta teh? aku belum makan apapun dari pagi, aku takut malah mual " kataku memberikan kembali gelas kepadanya. wajahnya terlihat sedikit kecewa, aku tahu dia khusus membuatnya untukku meskipun keluarga sudah menyiapkan banyak minuman untuk tamu dan dia bisa mengambil tanpa perlu repot membuatkannya untukku. Mila yang menahan wajah cemberutnya segera mengambil teh dari ceret yang sudah disediakan diatas meja, memberikan padaku, dan dia menemaniku menyalami para tamu yang berpamitan pulang.
"rei..."uhukkk... aku tiba - tiba tersedak melihat tamu yang kini berdiri dihadapanku. seorang perempuan berpakaian serba hitam, tersenyum lembut, berjalan sambil merapikan kerudungnya. "pamit dulu yah, ibu kamu mana?" aku termangu dan semuanya terasa senyap, orang - orang disekitarku ikut terhenti dan aku tahu mengapa demikian. gadis itu mengulurkan tangannya berniat menjabat tanganku. Disambut tanganku sembari mengeratkan jabatan, tanpa sadarku menarik tangan mungil itu memeluknya erat. aku menenggelamkan wajahku dipundaknya dan menangis.
Hatiku terasa remuk,sesak,ada banyak hal yang ingin aku katakan hari ini, tapi tak ada satupun yang bisa terucap. Susah payah aku menguatkan hatiku agar tak menangis, tapi semua terlepas ketika melihat wajahnya. Dia yang dahulu sering mengingatkanku bahwa pentingnya memikirkan kedua orang tua tiap kali kita ingin melakukan hal yang buruk. Dia yang membuatku menjadi kembali dekat dengan bapak. Dia yang selalu melemahkan sekaligus menguatkan aku.
Ia menepuk - nepuk kepalaku dengan lembut dan mendorong bahuku agar melepaskan pelukan. "bapak pasti sedih, kalau kamu kayak gini" ia mengalihkan pandangan kepada Mila yang masih shock dengan kelakuannku. Ia menepuk bahu mila dan berkata untuk menjaga aku. Uhh... aku hanya berharap Mila untuk mengerti.
ia beranjak mencari ibuku, dan sama tangis ibuku pecah saat melihat dia. Perempuan yang menjungkir balikkan duniaku. Nayra.
***
Aku segera menyingkap gorden jendela saat terjaga diruangan yang gelap gulita. sudah berapa lama aku tertidur, lampu - lampu disetiap rumah nampak benderang. didalam rumah terdengar suara yang melatunkan ayat - ayat Alquran. ini malam pertama bapak tak ada disini selamanya dan entah mengapa aku merasa begitu senyap. aku menahan silau cahaya ketika membuka pintu kamar, jam dinding menunjukkan pukul delapan lebih lima menit.
Aku duduk di teras belakang sambil menyalakan sebatang rokok. menatap bunga mawar yang nampak temaram karena cahaya dari dalam rumah. Bahkan dalam keadaan remang pun mawar-mawar tersebut tetap terlihat indah tidak heran karena bapak begitu merawat mereka dengan baik, meskipun dari cerita ibu awalnya bapak tidak terlalu suka ketika ibu mulai menanam bunga tersebut karena takut ibu akan lalai merawatnya dan entah bagaimana bapak yang malah mengambil alih perawatan bunga tersebut. Ingatan ku kembali mengingat kejadian tadi sore, ketika tanganku dengan refleks menarik dan memeluk Nayra. Yang membuat wajah Mila menjadi cemberut sepanjang hari sampai ia berpamitan pulang.
"rey... " Suara dari dalam rumah membuyarkan lamunanku. Daffa,sahabatku semasa kecil menepuk pundakku dengan pelan kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku, aku merasa Dejavu. Daffa pun ikut menyalakan rokok.
" makasih udah datang Daf" kataku yang dibalas Daffa dengan senyumannya. Kami terdiam sambil menghisap rokok dan membiarkan pikiran kami sendiri entah berada di mana. Hingga handphone Daffa berdering memecah sunyi.
"Halo? Nay, kenapa?" Jantungku berdegup kencang ketika mendengar nama yang disebut Daffa tadi. "Oh iya, mau yang pedas atau tidak?" Aku jadi penasaran tentang pembicaraan mereka berdua. "Oke, abis dari rumah rey, aku ke sana" apa maksudnya ini? Daffa mau pergi ke rumah Nayra? Sejak kapan? Sejak kapan mereka berdua akrab lagi? Sejak kapan mereka berdua jadi terbiasa seperti ini? Sejak kapan Nayra ada disini?
Daffa mengakhiri teleponnya, memasukkan handphone ke dalam saku baju kokoh. Aku tak suka pemikiranku sekarang, Selalu bertanya-tanya tentang Nayra, ada apa, kenapa, bagaimana, mengapa banyak sekali jenis pertanyaan yang muncul di kepalaku jika memikirkan dirinya.
"Nayra?" Aku segera bertanya karena terlanjur penasaran. Daffa menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
" Nay titip salam, dia sedang sakit dan minta dibelikan bakso" tanpa sadar aku tersenyum mendengar perkataan Daffa barusan. Yah itu terdengar seperti sangat Nayra, tidak ada makanan lain yang diinginkan selain bakso ketika sedang sakit. Tak lama setelah itu, Daffa pamit pulang. Aku mengacak-acak rambutku, aku benar-benar tak suka dengan perasaanku saat ini. Aku merasa sangat berduka kehilangan salah satu orang tua yang sangat aku sayangi tapi di satu sisi aku merasa cemburu, iri pada Daffa yang notabene sahabatku sedari kecil.
***
Seminggu setelah kepergian bapak aku mulai bekerja lagi,berusaha menyibukkan diri agar tidak berlarut – larut dalam kesedihan. Aku masih tetap menginap dirumah orang tuaku, karena tak ingin ibu merasa sepi. Meski aku tahu terkadang ia menangis apabila sendirian dikamar, mengenang bapak yang meninggalkannya. Begitupun kedua adikku yang mulai kembali keaktivitas normal mereka.
Tok...tok…
Mila berdiri diambang pintu dengan senyum manis diwajahnya. “ makan siang yuk...” ajaknya. Aku menghembuskan nafas kemudian mengambil Hp dan dompet bergegas meninggalkan meja kerjaku.
“ bagaimana dengan karyawan magang, apakah ada yang cocok?” tanyaku kepada Mila membuka pembicaraan kami. Mila adalah Manager Hrd di Hotelku, kami berdua terlibat cinta lokasi. Dia adalah wanita yang kompeten, kualitas pekerjaannya bagus meski kadangkala sebagai perempuan dia cenderung manja dan ingin selalu diperhatikan segala sesuatunya.
“kita makan dibawah aja yah” kata Mila dengan maksud mengajakku makan direstoran hotel yang viewnya menghadap kelaut. Aku menganggukan kepalaku pertanda setuju. Dan kembali sibuk dengan hp ditanganku. Kami berdua menyantap makanan dalam keadaan tenang, Mila lebih suka bila kami diam dan tak berbicara saat makan. Setelah makan ia akan segera pergi ketoilet, kebiasaannya yang sudah kuperhatikan setahun belakangan ini.
Aku kembali fokus pada hpku, ketika suara perempuan yang tidak asing tertangkap telingaku. Aku segera mengangkat pandangan dari hp mencari suara itu dan benar. Suara dengan nada ceria yang sudah bertahun – tahun tidak kudengar. Dan yah, aku menemukannya. Nampak seru dengan beberapa orang diahadapannya, sesekali ia tertawa dan menimpali lawan bicaranya,sesekali ia terdengar mencampurkan bahasa inggris disebagian kalimatnya, kebiasaan dari dulu ternyata. Mataku terus memperhatikan ekspresi berbicaranya yang begitu membuat gemas,sesekali ia mengangkat kedua tangannya berusaha menjelaskan sesuatu secara detail kemudian Ia melihat jam tangannya dan segera mengambil tas dan berdiri menyalami lawan bicaranya, berjalan kearah pintu.
“ Nayra...” panggilku pada saat Ia melewati mejaku. Ia menoleh mencari asal suara dan nampak terkejut ketika aku sudah berdiri disampingnya. “ mau, kemana?” lanjutku lagi.
Nayra nampak terkejut kemudian tersenyum melihatku. “mau balik ke kantor” jawabnya yang membuat jidatku mengerut, kantor? Sejak kapan? Nayra mengangkat telunjuknya, kebiasaannya ketika memotong pembiacaraan. Dia merogoh isi tasnya dan mengeluarkan kotak kecil, mengambil tangan kananku dan membuka telapaknya lalu meletakkan kotak kecil itu diatasnya. “i have to go” katanya sambil menepuk pipiku. Kemudian berbalik dan bergegas pergi. Dan kebiasaan buruknya adalah, datang dan meninggalkanku penuh tanda tanya.
Mila kembali dari toilet dan menanyakan kenapa aku berdiri, mematung. Segera kumasukkan kotak tadi kesaku celanaku dan berkata jika ada kenalan yang menyapaku, ia baru saja pergi. Aku tidak sepenuhnya berbohong kan?
Aku merogoh saku sekembalinya di kantorku. Segera membuka kotak kecil yang ternyata berisi sebuah gantungan kunci Sydney opera house, ciri khas kota Sydney yang ia tinggali sebelumnya. Ingatanku kembali disaat ia menyentuh pipiku, kebiasaannya sejak dulu, bila akan berpisah denganku. Dia yang tak pernah membuatku ingin melupakan kehadirannya dalam hidupku.
18 Tahun yang lalu
aku dan daffa keluar dari persembunyian kami dibawah kolong jembatan, aku segera membuka bungkus permen untuk segera mungkin menghilangkan bau asap rokok dari mulutku. Yup… aku dan daffa sedang mencoba – coba menghisap rokok tanpa sepengatuhan siapapun. Kami berjalan santai ketika melihat beberapa anak perempuan yang usianya setara 12 tahun berjalan dengan begitu berisik dihadapan kami. Mereka sedang memperdebatkan cemilan apa yang akan mereka beli. Seorang anak gadis nampak kebingungan dengan segala macam merk yang mereka sebutkan. Hingga ia berbalik melihatku dan tatapan kami bertemu. Dug… jantungku berdebar, perasaan apa ini? Aku menjadi sedikit gelisah. Siapa dia?
“ Nayra !!! ” panggil daffa dengan suara sedikit terkejut, kepada gerombolan didepan kami. Anak perempuan tadi kembali berbalik dan aku menjadi gusar. “ kamu Nayra kan? sudah besar yah “ wajah polosnya berubah menjadi kesal. “ iyalah, masa kecil terus” ia kemudian segera berbalik dan menyusul langkah teman - teman yang mulai meninggalkannya. Nayra… hatiku kembali mengulang namanya. Cantiknya sudah mulai terilhat, tatapannya tajam dan senyumannya begitu indah. Untuk anak seusia dia, bagaimana bisa ia secantik itu.
Giana Nayra Sudirman, nama panjangnya. Ia anak dari pak Sudirman yang merupakan seorang arsitek. Istrinya adalah warga kampung disini. Dari kecil aku sudah mengenalnya, tapi lama tidak bertemu karena Nayra tinggal dikota dan tidak pernah mengunjungi keluarganya dikampung yang juga menjadi tempat tinggalku. Kami tidak pernah bermain bersama apalagi bertegur saat mengunjungi rumah neneknya. Tapi semua orang mengenal dia, ayahnya merupakan anak dari keluarga terpandang dikota. Tapi ia tidak pernah memilih teman, ia bergaul dengan siapapun dan semua senang bergaul dengan dirinya.
Mataku tak pernah berhenti memperhatikannya sejak itu, selalu mengikuti gerak – geriknya, cara ia berjalan, berbicara, tatapanya yang polos, senyumanya yang merekah, tawanya yang renyah, wajahnya yang rupawan dan entah mengapa aku selalu berharap Ia akan melihatku. Meskipun aku yakin diumur semuda itu Nayra belum mengerti apa itu jatuh cinta. Akupun kadang merasa ada yang salah denganku,di usia 14 tahun, aku merasa begitu mengingkannya untuk menjadi milikku. Tak ada yang menarik selain dia dimataku, tidak ada yang lebih cantik dimataku selain dia dimataku.
Lamunanku buyar dengan ketukan pintu oleh Diana sekertarisku, dia menaruh kopi hitam sambil meyodorkan file yang harus kutanda tangani, seketika membuatnya tertawa karena aku menghela nafas dengan berat.
“bapak, tiap hari ketemu pacar tapi masih aja lemas” kata Diana sambil nyengir kuda.
Aku menatapnya sambil tertawa kecil. Segera kutanda tangani, sambil berjalan membuka pintu menuju pintu balkon, yah kantorku sengaja di area yang memiliki balkon agar membuatku leluasa merokok. Aku melihat kearah pantai, terlihat beberapa orang sedang sibuk mengangkat dekorasi pesta.
“ ada acara apa dibawah? “ tanyaku pada Diana yang masih sibuk merapikan file yang berhamburan diatas meja tamuku.
“ada resepsi pernikahan pak, di area pool” jawab Diana yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Mataku menangkap kehadiran sosok yang kukenal, meskipun dari kejauhan dan terlihat mustahil tapi aku bisa dengan mengenali sosok yang sedang berjalan membawa vas bunga ditangannya.
“WOnya siapa?” tanyaku mulai terdengar gusar
“WO baru pak, saya lupa namanya. Katanya ownernya pernah punya pengalaman kerja di WO luar negeri gitu” jawaban Diana membuat jantungku berdegup kencang, mungkinkah?
“cari tahu siapa ownernya sekarang” perintahku tak suka dengan rasa yang mulai menerka – nerka ini.
Diana segera menelpon bagian pemasaran. Terdengar dia sedang bercakap – cakap. Aku mulai tak sabar segera berjalan kearah balkon saking penasarannya.
“pak, nama ownernya ibu Nayra Sudirman” aku segera melepas dasi yang kukenakan, merapikan kerah bajuku agar terlihat sedikit santai, aku meneguk segelas air bersiap mengambil langkah cepat turun ke area kolam renang. ”oh ya Pak. Bapak diundang loh keacara pernikahannya” aku menoleh kearah Diana yang mengangkat undangan berwarna Biru laut kemudian memberikannya kepadaku. Segera kubuka dan membaca ternyata yang menikah merupaka selebgram yang lumayan terkenal dikota ini, aku melihat dresscode putih tertulis dibawahnya. Kubaringkan tubuhku diatas sofa tamu meletakan undangan tersebut didadaku sambil memejamkan mata, yang ikut membatalkan niatku untuk turun.
“bapak kenapa?” tanya Diana yang kelihatannya nampak bingung dengan kelakuanku yang lain dari biasanya. Aku menatap Diana sambil tersenyum yang makin membuat jidatnya berkerut, seketika membuatku tertawa kecil. Mata Diana nampak melebar karena terkejut karena keheranan.
***
langkahku mendekat kearah seorang wanita yang berdiri di pojok sambil memperhatikan area sekitarnya. Ditangannya memegang sebuah walkie talkie.
“pesta yang indah” kataku pelan dari belakang. Membuatnya menoleh dan nampak sedikit terkejut dengan kehadiranku.
“ hotel kamu yang bagus” katanya sambil tersenyum kembali berbalik melihat kearah keramaian pesta.
“aku dengar – dengar kamu owner WOnya yah?” Nayra yang mengenakan gaun putih dimalam inipun terkejut, kemudian meganggukan kepalanya sambil tersenyum.
“partnership dengan teman lama” jawabnya
Aku menganggukan kepalaku tanda mengerti “jadi, kamu akan menetap disini?”lanjutku mulai ingin tahu yang ternyata dijawabnya dengan anggukan kepala pertanda Ya.
“kamu tuh gak berubah yah?” kataku yang membuat tatapannya menjadi fokus kepadaku.
“apanya yang gak berubah?” dia menjadi penasaran
“semuanya, wajah kamu, sikap kamu” yang membuat matanya membesar kemudian tertawa.
“i’m getting old” katanya masih tertawa
“No… kamu masih seperti Nayra yang dulu” kataku tanpa menatapnya, Nayra menatapku kemudian tertawa sambil menggelengkan kepalanya
“ Yes… aku masih Nayra yang akan menyakiti kamu suatu saat nanti” katanya sembari mengambil segelas minuman yang ada dihadapan kami. “cheers!!!” katanya sambil mengangkat gelas kemudian tertawa. Yah begitulah dia, sarkastiknya belum juga berubah. Aku menarik kursi kosong yang ada disekitarku , duduk memangku kaki kemudian menopang dagu dengan tanganku menatap Nayra yang sedang berbicara dengan walkie talkienya. Dia semakin heran dan menggelengkan lagi kepalanya. Aku tertawa dan ia berjalan meninggalkanku karena panggilan diwalkie talkienya.
“Nayra… “ panggilku pada ia yang mulai menjauhiku. Ia berbalik dengan wajah kesal melihatku tertawa kearahnya. Ah Nayra… ada apa denganku.
***
17 Tahun yang lalu
aku yang sedang menyesap rokokku perlahan seketika terkejut ketika pintu berderit, Nayra memergokiku sedang berusaha menyembunyikan rokok. Dia nampak sedikit terkejut, aku mengangkat jari telunjuk ke bibirku mengisyaratkan dia untuk diam. Dia berjalan mengambil piring yang diletakan di balai.
Di hari itu, rumah Nenek Nayra sedang melakukan persiapan pernikahan pamannya. Jadi banyak warga sekitar termasuk ibuku datang untuk membantu memasak dirumah mereka. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas saat itu, ibu - ibu sudah pulang tersisa remaja – remaja yang bernyanyi sambil diiringi gitar di halaman rumah mereka, tadinya aku bersama Daffa, tapi ia meninggalkanku pamit buang air kecil katanya.
Nayra yang selesai mengambil piring berjalan menuju pintu lalu menghentikan langkahnya berbalik menatapku yang juga menatapnya dengan penuh antisipasi, aku siap lari jika dia berteriak melaporkanku sekarang. “ traktir kan? ” tanyanya sambil memegang gagang pintu disambut tawaku yang mendadak keluar. Aku menganggukan kepalaku dan ia tersenyum cerah kemudian pergi.
Aku melanjutkan kegiatanku, sambil berpikir coba tadi yang memergoki orang lain sudah pasti heboh besok jadi omongan sekampung. Untungnya itu Nayra, yang tak seperti anak lain yang langsung akan berteriak mengadukan kepada para orang tua begitu melihatku. Entah mengapa aku merasa begitu senang ketika yang memergokiku ialah Nayra. Mungkin pada saat itu aku ingin dia melihat diriku dengan apa adanya, atau ingin ia menjadi sekutuku dengan cara membagikan rahasiaku padanya. Yang tanpa kusadari aku diam – diam memasukkannya kedalam pikiranku, terus memberi ruang – ruang baru untuk dirinya kedalam ingatanku. seperti bagaimana aku mengingat dengan jelas ketika dimalam resepsi pernikahan pamannya. Nayra Nampak begitu cantik dengan blouse warna merah wajah yang mulai beranjak remaja itu nampak anggun dibawah cahaya lampu yang terang benderang dimalam itu. Aku masih ingat bagaimana perasaanku ketika pertama kali melihatnya berdiri diantara kerumunan, langsung mengenalinya dan tak mengedipkan mata, nafasku terasa sesak membuncah bercampur dengan rasa bahagia ketika melihatnya. Aku tahu saat itu aku sudah jatuh cinta kepadanya.
Lamunanku terbuyarkan oleh deringan handphone, Mila menelponku. Mengatakan ia tak bisa makan siang bersama karena sedang bertemu klien. Aku mengiyakan dan mengajaknya makan malam bersama. Aku merasa sedikit bersalah karena akhir – akhir ini lebih banyak memikirkan Nayra.
Diana berdiri diambang pintu dengan wajah cerah ketika aku mempersilahkannya masuk. Aku kembali sibuk dengan laptopku ketika ia membawa laporan yang aku minta.
“pak, semalam pergi keacara resepsi?” tanya Diana dengan senyuman lebar diwajahnya
“kenapa emangnya?” aku bertanya balik tak mengerti dengan maksudnya yang seakan menyerang privasiku
“saya lihat dari sosial media, banyak respon positif tentang dekorasi sama venuenya pak. Banyak juga yang memuji hotel ini” aku sedikit terkejut dengan pernyataan Diana barusan
“iyah sih, kalau melihat dekorasi pernikahannya semalam itu sangat menyatu dengan venue kita, simple dan tidak menutupi bagian dari hotel kita. Jadi memang banyak yang memuji semalam” lanjutku yang setuju dengan perkataan Diana
“kata yang nikah sih dia menyerahkan semua dekorasi dan menu makanan sama WOnya pak dan wah memang WOnya tahu cara menyiapkan pesta dengan sangat indah yah” perkataan Diana kubalas dengan anggukan kepala dan senyumku, dalam hatiku berterima kasih pada Nayra yang sudah membuat hotelku juga mendapat respon positif baik dari segi tempat dan makanannya.” padahal WO nya baru pak tapi mereka profesional sekali kerjanya” lanjut Diana yang belum selesai memuji kerja Nayra
“mereka baru tapi ownernya sudah punya banyak pengalaman kerja sebagai WO diluar negeri” kataku mejelaskan membuat Diana seakan tak percaya
“wow, pantas saja seleranya bagus dan nampak jarang sekali dipakai didaerah kita, memangnya bapak kenal sama ownernya?” pertanyaan Diana membuatku sejenak terdiam. Kutopang daguku, menghela nafas kemudian mengeluakannya dengan sesak, aku tak ingin menjawab pertanyaan Diana tadi, hanya tersenyum kecil yang seakan membuat Diana paham bahwa pembahasan tentang WO ini berakhir disini.
Apa aku mengenalnya? Lebih dari setengah hidupku kubiarkan mengenalinya berusaha tahu tentang semua dirinya, apa yang dilakukan, dimana dia berada. Bahkan ketika sendirian aku serasa menjadi penguntit yang tetap memantau semua sosial medianya berusaha mencari tahu bagaimana kehidupan yan ia jalani apa dia sudah bahagia. Bahkan sejak dulu dimana sosial media belum berkembang seperti sekarang, dia selalu dalam radarku. Aku tak pernah membiarkannya lari dari ingatanku, terkadang aku berusaha keras melupakannya namun ada saja momen yang selalu membawanya kembali dan anehnya dia selalu tergambar dengan jelas dalam ingatanku,cara berjalan yang anggun, cara tersenyum yang selalu menghanyutkanku, tawanya yang renyah, wajah cemberutnya,cara berbicaranya yang ceria terkadang sarkastik. semua tentang dia tersimpan dengan rapi didalam ingatanku. Bagaimana dia yang menjadi cinta pertamaku adalah perempuan yang paling menyakitiku.
***
aku bersandar sambil menutup kedua mataku, menunggu Mila datang direstoran kesukannya sepertinya aku harus banyak menghabiskan waktu dengannya agar aku tak menjadi gila karena Nayra. Terdengar kursi yang ditarik, aku membuka mata, menemukan Mila yang sudah duduk mengenakan gaun hijau. Aku tersenyum mengisyaratkan pelayan untuk kesini. Kami bercakap sebentar kemudian makan dalam diam.
“ gimana keadaan mama kamu?” tanyaku kembali membuka percakapan ketika selesai makan.
“sudah mulai mendingan, sekarang kita sedang berusaha untuk tidak memberikan kabar – kabar mengejutkan kepadanya” jelas Mila tentang kondisi kesehatan ibunya yang baru saja mengalami serangan jantung ringan minggu kemarin. Aku menganggukan kepalaku pertanda mengerti dan menjadi kesal ketika Mila kembali sibuk dengan handphone ditangannya. Ekspresinya yang tersenyum membuatku menjadi lebih kesal karena aku serasa tak dipedulikan lagi olehnya. Aku merogoh sakuku mencari handphone dan menelpon Rena, berkata jangan mengunci pintu karena aku akan tidur dirumah Mama malam ini.
sinar matahari mulai memasuki celah kamar, saat aku membuka mata. Aku melihat jam pada nightstand menunjukkan pukul delapan pagi. Aku keluar diteras depan rumah dengan rambut acak -acakan sambil menyalakan sebatang rokok duduk memandangi jalan raya yang sedikit lengang diminggu pagi ini, terlihat beberapa remaja berjalan – jalan santai setelah lari pagi, terdengar bunyi sepeda ketika aku menoleh dan melihat Daffa yang lengkap dengan helmnya mengerem berhenti didepan rumahku. Dia tersenyum lanjut jadi mentertawakanku yang sudah sarapan sebatang rokok dipagi hari. Daffa menoleh kebelakang nampak menunggu seseorang, dan ketika orang itu terlihat, ia melambaikan tangannya. Orang itu semakin dekat dan kantukku yang masih tersisa mendadak sirna ketika melihat Nayra yang juga mengerem sepedanya berhenti di depan rumahku. Segera ia turun dari sepedanya dan berlari kecil menuju kerumahku.
“ Rey, pinjam kamar kecil yah “ kata Nayra tanpa babibu segera masuk setelah melepas sepatu putihnya.
“ dari mana? “ tanyaku pada Daffa yang telah melepaskan helmnya kemudian duduk di teras bersamaku.
“ dari atas “ katanya menunjuk daerah puncak. Aku menganggukan kepalaku pertanda mengerti.” tumben malam minggu nginap disini?”pertanyaan Daffa membuatku tertawa karena Daffa tahu kalau malam minggu aku sering tidur dihotel karena selalu pulang pagi. Aku menyesap rokokku dan sadar semenjak bapak meninggal aku tak lagi pergi ke club malam untuk minum – minum.
Terdengar nyanyian kecil dari dalam rumah, suara Nayra. Ia keluar dan mengenakan sepatunya. “Rey, makasih yah “ kata Nayra lanjut mengikat tali sepatunya. “ oh ya Rey, aku sama Daffa mau pergi sarapan nasi kuningnya ibu Dewi, mau ikut gak?” aku melirik kearah Daffa yang juga mengatakan ayo kepadaku. Aku kembali menyesap rokokku sambil berpikir, tak sabar menungguku Nayra merenggut rokok yang sedang kuhisap dan mematikannya dengan wajah kesal. “ayooo!!” katanya sambil melepas topi yang dipakainya kemudian memakaikannya kepadaku. Aku yang masih terkejut dengan kelakuannya barusan otomatis berdiri tapi Nayra segera berjalan kearah sepedanya. “ mau dibonceng naik sepeda atau nyusul?” katanya sudah mengatur posisinya disepedanya. “Daffa ayooo..” ajak Nayra kepada Daffa yang sama bengongnya denganku. Daffa segera berdiri mengajakku.
“aku nyusul naik motor aja yah” kataku berdiri melihat keduanya sedang bersiap pergi. Nayra menunjuk kepalanya menatapku,aku menganggukan kepala pertanda paham, kalau aku harus pergi karena ia meninggalkan topinya di kepalaku. Nayra dan Daffa segera mengayuh sepeda dan meninggalkanku,suara keduanya berbincang mengambang diudara serta merta mengacaukan perasaanku. Aku tak suka bila melihatnya bersama dengan Daffa. Aku merasa di khianati oleh Daffa atau Nayra, aku tak suka rasa cemburu ini ketika melihat mereka berdua.
Aku mengambil kunci motor milik adikku Reza dan berhenti saat mataku menatap cermin dan terkejut dengan penampilanku dipagi hari ini. Kaus putih lusuh, celana tidur kotak – kotak yang sudah menipis kainnya aku membuka topi dan lebih terkejut lagi saat melihat rambutku yang acak – acakan. Aku segera berlari kekamar mandi dan mandi dengan cepat. Kemudian bergegas menuju warung nasi kuning Bu Dewi.
Nayra dan Daffa sedang mengobrol dengan serius setibanya aku di warung bu Dewi. Aku menaruh topi milik Nayra kembali ke kapalanya. Nayra membalikkan topi tersebut karena mengganggunya saat makan, ia masih lanjut mengobrol dengan Daffa tentang game yang aku tak bisa mengerti kemana alurnya. Mereka kemudian tertawa, tatapan Nayra beralih kearahku yang sedang menyesap kopi, lalu menggelengkan kepalanya yang membuatku kebingungan.
“ kayaknya Rey bukan tipe gamers deh?” kata Nara sambil tertawa, diikuti tawa Daffa yang membuatku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
“ aku main PS loh “ kataku sambil menyentil jidatnya, mataku menangkap ekspresi Daffa yang sepertinya tidak senang dengan kelakuanku barusan.
Kami makan dengan banyak berbicara tentang banyak hal. Mengenai kesibukan masing – masing, Daffa yang kini jadi pegawai pemerintahan sedang sibuk mengelola bisnis kecil – kecilan barunya, sedangkan Nayra ternyata sudah punya banyak bookingan untuk Wonya, dan tentang aku. Kami lebih banyak membicarakan strategi bisnis dan pasar yang sedang hits, topik yang sangat aman menurutku dari pada membicarakan masa lalu. Aku merogoh saku celanaku ketika sadar bahwa aku tak melihat handphoneku, mulai panik aku terus mencari saku sambil celingak - celinguk,melihatku yang mulai sibuk sendiri, Nayra menegurku.
“Rey, kenapa?” tanya Nayra diikuti tangannya yang melepaskan sendok makan.
“ nyari handphone” kataku masih terus mencari, Nayra membuka tas pinggangnya mengambil handphonenya dan menyerahkan padaku. Segera kutelpon Hpku yang ternyata ketinggalan dimeja teras, untung saja adikku Rena menemukannya sambil berkata bingung, bisa – bisanya aku lupa menaruh handphoneku, padahal benda tersebut adalah yang selalu digenggamanku.
Aku menoleh kearah Nayra dan Daffa yang berbincang sambil tertawa dengan ceria, wajah Daffa juga begitu ceria ketika berbicara dengan Nayra, membuatku makin penasaran dengan hubungan mereka. Kusodorkan handphone Nayra padanya, sambil berbisik “ balikan?” yang membuat Nayra tersentak seketika dan menatapku dengan kebingungan kemudian menggerakkan bibirnya mengatakan “what” . aku tersenyum menatap Daffa kemudian masing – masing dari kami pamit pulang. Oh ya… aku sudah dapat nomor Nayra .
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!