"Bungaaaa... Bungaaa..."
Terdengar sayup suara Eyang memanggil dari halaman depan rumah.
Bunga di dalam kamar yang tengah sibuk membereskan seprei batik tempat tidurnya pun segera beranjak menuju jendela kayu kamarnya yang terbuka lebar.
Dari sana, Bunga bisa langsung melihat ke arah halaman depan, di mana tampak Eyang sedang sibuk mengawasi Pak Darso yang beres-beres rumah kontrakan milik Eyang.
Rumah itu sebetulnya tadinya ditinggali para pekerja yang membantu usaha konveksi milik Paman saat masih tinggal bersama Eyang.
Namun, karena usahanya berkembang maju, dan kemudian beliau akhirnya bisa menyewa tempat yang sekaligus juga bisa menjadi toko alat-alat jahit yang lumayan besar, maka Paman akhirnya memboyong usaha dan juga pekerjanya ke sana.
Sementara Paman sendiri membeli rumah yang tak jauh dari tempat ia menyewa untuk usaha.
"Bunga, kemarilah, Eyang mau minta tolong."
Kata Eyang yang melihat Bunga berdiri di jendela kamarnya.
"Sebentar Eyang, Bunga selesaikan beres-beres kamar dulu."
Kata Bunga.
Eyang mengangguk, ia lantas kembali fokus mengawasi Pak Darso bekerja.
Bunga kembali menuju tempat tidur untuk menuntaskan pekerjaannya, setelah itu barulah ia keluar dari kamar untuk menemui Eyang.
Di ruang depan, Bunga melihat Mbok Siti yang sedang mengepel lantai,
"Rumah jadi disewakan ya Mbok?"
Tanya Bunga pada Mbok Siti.
Wanita paruh baya yang merupakan isteri Pak Darso, yang di mana keduanya adalah abdi setia Eyang sejak dulu, bahkan sejak Eyang putri dan mendiang Eyang Kakung masih muda.
"Sepertinya enggih Mbak Bunga, katanya sih temannya Mas Singgih, kemarin sore itu katanya telfon Eyang dari Jepang, kalau temannya pindah tugas ke sini, tapi belum dapat tempat tinggal."
Tutur Mbok Siti.
"Oh teman Mas Singgih?"
Tanya Bunga.
"Enggih sepertinya begitu."
Ujar Mbok Siti pula.
Bunga pun mantuk-mantuk, lalu cepat kembali meneruskan langkahnya menuju keluar rumah.
Rumah khas rumah jaman dulunya orang Jawa itu terlihat begitu asri dengan halaman luas yang ditanami berbagai macam pepohonan-pepohonan dan juga tanaman bunga-bungaan.
Lantainya yang masih memakai tegel dengan motif bunga berwarna kuning dan abu-abu, jendela kayu dan pintu kayu yang berukuran besar dan tinggi, pun juga kacanya yang masih memakai kaca-kaca patri dengan motif serta berwarna-warni.
"Eyang..."
Bunga mendekati Eyang, sementara rumah bekas karyawan Pamannya yang kini akan dikontrakan itu terlihat sudah mulai bersih.
"Kamu ke supermarket atau ke toko Haji Yusuf ya."
Kata Eyang.
"Toko Haji Yusuf, perlu beli apa Eyang?"
Tanya Bunga.
"Itu beli seprei, beli gorden, beli taplak meja."
Eyang tampak berjalan naik ke teras rumah yang akan dikontrakkan, Bunga pun mengikuti di belakang Eyang.
Dilihatnya Pak Darso tengah menata tempat tidur dan kursi-kursi.
Rumah itu hanya ada tiga petak ruangan saja, satu ruangan ukuran cukup besar di mana di sana ada tempat tidur dan satu set kursi, lalu ada dapur kecil dan juga kamar mandi.
"Beli tremos juga sama sekalian itu keset buat kamar mandi dan ini buat di teras, gayung, lalu tempat sabun dan tempat sampah juga."
Tambah Eyang.
"Tremos, gayung dan tempat sabun apa tidak beli sendiri saja orangnya, Eyang?"
Tanya Bunga heran, karena dirasanya Eyang sebagai pemilik kontrakan terlalu baik semuanya dipikirkan dan disediakan.
Tapi...
Eyang tampak menggeleng.
"Tidak apa-apa, belikan saja, lagipula selain harganya tidak seberapa, kan itu teman Singgih, jadi tidak ada salahnya kita itu yo memperlakukan dia dengan baik."
Ujar Eyang.
Mendengar kata-kata Eyang, akhirnya Bunga pun mengangguk mengerti.
"Nggih Bunga siap-siap ke toko pak Haji Yusuf, Eyang. Sekalian Bunga nanti mampir ke toko buku."
Kata Bunga.
Eyang mantuk-mantuk.
**------------**
Kereta dari Jakarta yang ditumpangi Nathan masih melaju kencang setelah sempat istirahat di stasiun Purwokerto.
Nathan yang duduk di gerbong kelas VIP terlihat sibuk berbalas pesan dengan isterinya.
Sebetulnya, Nathan sendiri sedang kecewa dengan perempuan yang sudah ia nikahi dua tahun ini.
Selain karena dia selalu saja menginginkan menunda memiliki momongan, isterinya itu juga selalu sibuk mengejar karir dan bahkan sedang merengek ingin meneruskan pendidikannya di Korea.
Nathan bukannya tidak mendukung impian sang isteri, bukan juga tidak ingin isterinya sebagai perempuan bisa berdikari dan bisa memiliki kebanggaan atas dirinya sendiri.
Tapi...
Bagaimanapun Nathan tetaplah seorang suami, sosok laki-laki yang tentunya mau sehebat apapun isteri maka pemimpin rumah tangga adalah tetap sang suami.
Dan karena hal inilah, terkadang Nathan jadi ingin sedikit menuntut isterinya agar mengikuti keinginannya, termasuk ikut pindah ke Purworejo di mana Nathan dipindah tugaskan.
"Kalau aku ikut pindah, itu namanya Mas ingin aku mengakhiri karirku di Jakarta. Mas kan tahu bahwa masuk perusahaan sebesar tempatku bekerja itu tidak mudah, Mas mau semua yang aku usahakan selama ini sia-sia?"
Begitulah Citra isteri Nathan beralasan ketika Nathan memintanya ikut.
Tak sampai di situ, mertua Nathan pun seolah membenarkan sikap putrinya.
Kehidupan rumah tangga Nathan memang juga nyatanya cukup dicampuri kedua orangtua Citra, mereka sangat senang ikut mengurusi masalah Nathan dan Citra, yang lantas akhirnya berujung dengan pembelaan kedua orangtua Citra terhadap sang anak, dan akhirnya Nathan semakin kehilangan kewibawaannya sebagai pemimpin Rumah Tangga.
Kabari jika sudah sampai bebz. Aku sebentar lagi ada rapat, aku siap-siap dulu.
Tulis Citra pada pesan singkatnya.
Nathan menghela nafas, lalu menatap hamparan sawah yang membentang di luar sana dari balik kaca jendela kereta.
**----------------**
Bunga menggunakan motor jadul warna merah menyusuri jalanan kota menuju toko Pak Haji Yusuf.
Motor milik Eyang Kakung yang masih terawat dengan baik itu memang kini telah menjadi hak milik Bunga setelah dihibahkan sepenuhnya oleh sang Paman.
Toko Pak Haji Yusuf letaknya cukup dekat dengan tempat Bunga kuliah, bukan universitas besar, hanya sebuah sekolah tinggi informatika biasa saja, tapi sudah banyak lulusan dari sana juga nyatanya bisa bekerja dengan baik dan banyak pula yang sukses.
Bunga membawa motornya semakin dekat dengan toko Pak Haji Yusuf, begitu sampai, ia pun memarkirkan motornya di parkiran toko yang tak seberapa luas katena setengah pelatarannya digunakan untuk pejalan kaki.
Bunga turun dari motornya, menggantung helm di kaca spion motor, dan kemudian berjalan menuju toko.
Gadis berambut panjang sebahu itu terlihat memakai kacamata hitam, celana tiga perempat berbahan levis warna biru, atasan kaos oblong warna hitam dan memakai tas selempang kecil untuk tempat ia membawa dompet dan juga hp pastinya.
Bunga memang begitu, gadis cantik itu selalu berpenampilan apa adanya dan hampir tak pernah memakai make up.
Ia lebih suka memakai pakaian yang casual, hingga tampak ia begitu santai.
Bunga melengang menuju toko, saat kemudian ia mendengar nada dering hp nya di mana tanda ada panggilan masuk berbunyi.
Bunga pun cepat mengambil hp nya dari dalam tas.
Fandi.
Bunga tentu saja langsung terlihat tersenyum cerah begitu membaca nama itu di hp nya.
Cepat, ia pun menerima panggilan calon tunangannya itu.
"Di mana? Kok lama."
Kata Fandi.
Bunga melihat ada panggilan tak terjawab tiga kali lima menit yang lalu, pastinya Bunga tak sadar ada panggilan masuk karena ia tengah di perjalanan.
"Aku tadi di jalan, ini mau ke toko Haji Yusuf."
Kata Bunga.
"Sama siapa? Eyang? Mbok Siti?"
Tanya Fandi pula, mencecar.
Bunga menghela nafas,
Mulai lah mulai, selalu begitu kalau posesifnya kambuh. Batin Bunga.
"Aku sendiri, Eyang dan Mbok Siti sedang sibuk di rumah, rumah kon..."
Sejenak Bunga terlihat ragu untuk meneruskan kalimatnya, ia enggan nantinya ribut dengan calon tunangannya itu.
Ya pastinya, jika ia tahu rumah kontrakan milik Eyang putri akan ditempati teman Mas Singgih dari Jakarta, pasti nanti Bunga akan diceramahi dari A sampai Z berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari.
"Kenapa? Rumah apa?"
Tiba-tiba terdengar Fandi bertanya karena penasaran kalimat Bunga tidak selesai.
"Ngg... Tidak apa, Eyang hanya ada acara sama Ibu-ibu kampung."
Kata Bunga akhirnya berbohong.
"Lah ke Toko Haji Yusuf mau beli apa?"
Tanya Fandi lagi.
Oh my God, plis dong, tanya aku sudah makan apa belum kek, sehat apa tidak, atau kabar kapan pulang dari Lombok.
Bunga menghela nafas, nyatanya memang calon tunangannya itu selalu demikian. Ia sangat posesif, hingga seringkali ribut dengan Bunga.
Tapi...
Meski demikian, calon tunangan Bunga itu juga luar biasa sayangnya pada Bunga.
Sejak mereka masih sama-sama kecil, sejak Bunga ikut Eyangnya karena kedua orangtuanya meninggal kecelakaan ketika akan mudik ke Bandung, Fandi itu sudah sangat baik pada Bunga.
Fandi sekian tahun seperti bagian dari dunia Bunga, yang akhirnya membuat Bunga seolah tak mampu lepas dari Fandi meskipun ada saja masanya mereka ribut karena keposesifan Fandi yang kadang memang berlebihan.
"Eyang minta beli sprei baru,"
Kata Bunga menjawab pertanyaan Fandi,
"Oh, oke."
Sahut Fandi kemudian,
Bunga menghela nafas,
Fandi lantas bicara ngalor ngidul, termasuk meminta Bunga mulai lebih sering ke rumah orangtua Fandi karena Ibunya Fandi sering sendirian.
"Iya besok Bunga sempetin Mas."
Kata Bunga.
Setelah bicara beberapa hal lagi, Fandi kemudian mengakhiri panggilannya.
Bunga lantas melanjutkan tugas dari Eyang masuk ke dalam toko Haji Yusuf untuk beli sprei dan lain-lain sesuai yang diperintah Eyangnya.
Tampak Bunga berbaur dengan Ibu-Ibu yang banyak berjubel di sana.
"Sprei batik Mbak."
Kata Bunga pada salah satu pelayan, yang sepertinya masih cukup muda.
Wajahnya ayu khas orang Jawa dengan rambut panjang diikat sederhana.
Tampak pelayan itu mengangguk santun, lantas mengambilkan beberapa sprei batik untuk dibawa ke hadapan Bunga agar memilih salah satunya.
"Ini bantal dua, ini bantal empat dua guling."
Pelayan menjelaskan.
Bunga terlihat memilih dengan telaten, ingat yang akan menempati rumah kontrakan adalah teman Mas Singgih, yang itu berarti adalah laki-laki, maka Bunga pun memilih warna hijau tua.
Selain Sprei, seperti yang diminta Eyang, Bunga pun memilih taplak batik dengan Warna coklat tanah agar tak cepat kotor.
Selesai belanja di tempat pak Haji Yusuf, Bunga ke toko perlengkapan alat rumah tangga untuk membeli gayung dan lain-lain.
Baru setelah selesai semuanya, Bunga pun menuju toko buku dan kemudian nongkrong sebentar di tempat penjual dawet ayu langganannya di pinggir jalan.
Menikmati segarnya es dawet dan juga legit gula jawanya yang bercampur dengan rasa gurih santen.
"Laris-laris nggih Pak,"
Kata Bunga ketika gelas es dawetnya bersih tak bersisa dan saatnya ia membayar.
Pak penjual dawet tentu saja mantuk-mantuk sambil mengaminkan.
Empat bungkus es dawet tak lupa dibawanya pulang, untuk oleh-oleh orang rumah, terutama Pak Darso yang pastinya hari ini sudah bekerja keras membersihkan rumah kontrakan milik Eyang.
Bunga menatap langit hari ini yang terlihat begitu biru cerah, ia melajukan motornya menuju pulang dengan tugas dari Eyang yang telah selesai ia kerjakan dengan baik.
Ah Eyang, kelak jika Bunga menikah dengan Fandi, masihkah bisa Bunga berbakti seperti ini pada Eyang?
Batin Bunga tiba-tiba.
**---------------**
Nathan tampak celingak-celinguk keluar dari stasiun, membaca petunjuk Singgih lewat pesan singkat yang ia kirimkan.
Keluar stasiun sebetulnya bisa naik angkutan, tapi kau mungkin akan sedikit bingung, jadi lebih baik naik ojek saja, atau becak.
Nathan pun kemudian kembali celingak-celinguk sambil keluar Stasiun.
Matanya jelas mencari tukang ojek, dan untungnya ada beberapa tukang ojek yang menawarkan diri untuk mengantar Nathan sampai tujuan.
Nathan memilih salah satunya, tentu saja setelah ia memastikan dulu siapa diantara para tukang ojek yang paham alamat yang hendak dituju Nathan.
"Oh, rumah Pak Raharjo, paham sekali saya Mas, kebetulan itu tetangga mertua saya."
Kata salah satu tukang ojek yang mendekati Nathan, yang akhirnya dipilih Nathan untuk mengantarnya ke rumah keluarga Singgih.
"Ternyata di sini juga sama macam di Jakarta ya Bang, panas."
Ujar Nathan pada si tukang ojek karena dirasanya memang matahari cukup menyengat siang ini.
Terdengar tukang ojek yang mengantar Nathan terkekeh,
"Ya mataharinya kan sama yo Mas."
Kata si tukang ojek, membuat Nathan pun jadi tertawa mendengarnya.
Tentu saja, itu jawaban sederhana yang tak bisa dibantah.
Motor melaju kencang, meliak-liuk di atas jalanan beraspal. Sesekali menyalip angkutan, kadang juga delman, kadang becak, bahkan sepeda ontel, membuat Nathan merasa telah benar-benar jauh dari Jakarta.
Ya...
Meskipun seperti yang tukang ojek bilang, bahwa di sana matahari yang bersinar sama, tapi pada akhirnya Nathan menemukan sesuatu yang berbeda di kota yang akan ia tinggali sementara waktu untuk menjalankan tugas barunya.
Asik menikmati suasana sepanjang jalanan kota baru yang akan ia tinggali, sadar-sadar motor telah memasuki jalanan perkampungan yang kini menghadirkan panorama hamparan sawah ladang yang hijau.
Tentu saja ini semakin memanjakan kedua mata Nathan yang sejak kecil lagi-lagi hanya memandangi bangunan-bangunan tinggi di Jakarta.
Jika toh ia ingin menikmati suasana alami, ia harus rela bermacet ria menuju ke puncak Bogor, yang makin hari makin malas jika harus ke sana karena sudah lelah di perjalanan lebih dulu.
"Itu rumahnya Mas."
Kata si tukang ojek pula tiba-tiba, sambil membawa motornya masuk ke halaman luas sebuah rumah khas Jawa yang cukup besar.
Motor lantas berhenti di depan rumah tersebut, Nathan pun turun dari boncengan motor si tukang ojek.
Tukang ojek membantu menurunkan tas pakaian Nathan dari motor, yang memang di letakkan di antara kedua kakinya di bagian depan motor.
Nathan menatap bangunan rumah khas Jawa yang tampak persis dengan foto yang dikirimkan oleh Singgih.
"Saya bantu panggilkan Bu Raharjo nya Mas."
Kata si tukang ojek, yang lantas naik ke teras untuk mengetuk pintu utama rumah.
Namun, belum lagi tukang ojek itu mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu lebih dulu terbuka, dan tampak seorang gadis berdiri di sana.
"Oh Mbak Bunga ya,"
Si tukang ojek yang tentu saja mengenal Bunga karena rumah mertuanya memang sangat dekat dengan rumah Eyangnya Bunga itupun langsung memasang senyum ramah.
"Oh Mas Sunarto,"
Bunga tampak tersenyum pula,
"Ini lho Mbak Bunga, saya nganter Mas dari Jakarta,"
Ujar tukang ojek yang ternyata bernama Mas Sunarto itu,
Nathan tampak naik ke teras, dan tampak kedua mata Nathan dan Bunga pun bertemu pandang.
**------------**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!