NovelToon NovelToon

Menikah Tanpa Cinta

Aya dan Annelka

"Sssshhhh"

Suara des**** itu samar terdengar di telinga Aya. Gadis itu perlahan memaksa membuka matanya. Ketika dia juga merasakan sesuatu yang tengah memaksa, memasuki tubuhnya.

Bola matanya langsung membulat. Melihat seorang pria berada tepat di atas tubuhnya. Tubuh pria itu jelas polos tanpa sehelai benangpun. Aya terkejut bukan main.

"Kamu bangun?" Tanya sebuah suara baritone. Dalam keremangan cahaya, Aya tidak melihat dengan jelas wajah pria itu.

Aya berusaha berontak begitu sadar pria itu berusaha memasuki dirinya dengan paksa. Tapi pria itu dengan sigap menahan gerakan Aya.

"Maafkan aku" Ucap pria itu lagi dan detik berikutnya jeritan Aya terdengar melengking dalam kamar itu. Kala pria itu sukses mengambil harta yang paling berharga dalam hidupnya. Harta yang seharusnya akan dia berikan untuk kekasihnya.

Tapi dia, pria itu yang dia sendiri tidak tahu siapa. Malah mendahuluinya. Tangis Aya pecah seketika. Sakit di seluruh tubuhnya bercampur menjadi satu dengan sakit di area pribadinya.

"Kau brengsek! Siapa kau? Apa salahku? Kenapa kau lakukan ini padaku?" Rentetan pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Aya. Tidak peduli siapa dia. Yang jelas dia marah sekali.

"Maafkan aku"

Pria itu kembali berucap.

"Maafmu tidak akan mengembalikan apa yang telah kau ambil dariku!" Aya berteriak di tengah isak tangisnya. Sungguh dia membenci pria yang masih tidak bergeming dari atas tubuhnya.

"Aku akan bertanggungjawab. Tapi untuk sekarang. Biarkan aku menyelesaikannya semua. Ini sangat menyiksa"

Pria itu lagi-lagi menjawab. Dan tanpa menunggu jawaban Aya. Pria itu lantas menggerakkan tubuhnya di atas tubuh Aya. Gadis itu langsung terkesiap. Rasa perih itu masih mendominasi dan pria itu sudah mulai memompa dirinya.

"Lepaskan aku! Kau brengsek! Aku membencimu!" Maki Aya dan makian itu langsung menghilang ketika pria itu dengan lembut langsung mencium bibir Aya.

***

Dua hari kemudian,

"Kau sudah menghubunginya?" Tanya Farris pada Eva.

"Dia hanya menjawab panggilanku kemarin. Hari ini dia sama sekali tidak menjawab panggilanku" Jawab Eva.

"Dia mengirim pesan akan libur tiga hari. Dan ini tidak biasa. Apa dia sakit?"

"Bisa jadi. Schedulenya sangat padat akhir-akhir ini. Dia juga sedikit tertekan dengan keadaan Karen. Dan terakhir kali dia pulang hampir tengah malam" Info Eva.

Harris terdiam. Keduanya berpisah jalan menuju ruang kerja masing-masing. Farris ke arah departmen bedah dan Eva ke gedung Rehap Medik.

"Ya..Ann ada apa?"

Sementara yang menghubungi malah menggantung panggilannya. Membuat Harris berdecak kesal.

"Dasar teman menyebalkan!" Maki Farris.

"Apa kalian sudah menemukannya?" Tanya seorang pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria tampan berwajah oriental. Dengan garis wajah yang begitu menawan. Bisa dipastikan jika semua wanita akan bertekuk lutut di hadapannya.

"Maaf Tuan. Kami belum bisa menemukannya. Ada yang menghapus semua rekaman CCTV malam itu" Jawab seorang stafnya.

Pria itu langsung menyandarkan tubuhnya ke kursinya. Memijat pelan pelipisnya. Frustrasi jelas dirasakannya. Dua hari dan dia belum juga berhasil mendapatkan informasi apapun tentang gadis yang sudah dia tiduri paksa.

Dia masih ingat bagaimana rupa gadis itu. Cantik, gadis itu sangat cantik bahkan ketika dia tengah menangis. Saat dirinya tanpa jeda terus menyalurkan hasrat gilanya pada gadis itu.

Tidak, kejadian malam itu bukanlah atas keinginannya. Ada yang menjebak dirinya. Membuat dirinya meminum obat perang**** tanpa dia sadari. Meski Tria, sang asisiten bisa membawanya keluar dari tempat itu dan membawanya ke hotel lain. Namun dia tidak menyangka jika yang menjebaknya masih bisa menemukan dirinya.

Hingga membuat dirinya terpaksa meniduri seorang wanita malam itu. Pria itu memejamkan matanya. Dia masih bisa mencium aroma lavender lembut dari gadis itu. Dia juga jelas mengingat jika gadis yang bersama dirinya masih perawan. Juga seluruh lekuk tubuh indah wanita itu. Dia masih mengingatnya dengan jelas.

"Di mana kamu?" Bisiknya pelan. Rasa bersalah jelas menghantuinya. Dia ingin mempertanggungjawabkan perbuatan hinanya pada gadis itu.

Lamunan pria itu buyar ketika Tria menerobos masuk ke dalam ruangannya.

"Ann, mereka menemukannya" Tria berteriak.

Pria itu langsung membuka matanya.

"Siapa dia?" Tanyanya.

Tria langsung menyalakan laptop. Lalu mengetikkan sebuah nama.

"Apakah ini adalah dia?" Tanya Tria sambil menunjukkan sebuah foto di layar laptopnya.

Mata pria itu langsung membulat. Melihat gadis yang berada dalam kungkungannya malam itu berada dalam foto didepannya.

"Siapa dia, Tria?"

Tria langsung menyerahkan sebuah ID card.

"Faya Ayunda" Gumannya.

"Tampaknya kali ini lawanmu salah mencari wanita. Dia benar-benar wanita yang pantas bersanding denganmu, Annelka Javier Carter" Ucap Tria.

Pria yang dipanggil Annelka itu tersenyum.

"Aku rasa begitu. Kali ini akan aku ikuti permainannya. Dia memulainya dengan wanita ini. Oke...akan aku buat dia kelimpungan kali ini. Kau sudah menemukan tempat tinggalnya?"

"Tentu saja. Dan kebetulan sekali dia tinggal di salah satu jaringan apartementmu"

Annelka langsung menyeringai.

"Ayo temui dia"

"Wah kau sudah tidak sabar bertemu dengannya lagi. Kau tidak sabar ingin mengulang malam panas kalian" Ledek Tria yang hanya disambut wajah datar dan dingin dari tuannya.

***

Unit itu terlihat gelap. Tidak ada satupun lampu yang menyala di dalamnya. Seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Seperti itulah juga gambaran kehidupan pemiliknya. Faya Ayunda, atau sering disapa Aya. Gadis itu merasa hidupnya hancur sejak dua hari lalu.

Sejak seorang pria yang tidak dikenalnya mengambil kesuciannya. Bagi Aya itu sebuah pukulan berat. Dua hari dia tidak bergerak sama sekali dari tempatnya duduk. Bersandar pada tembok kamarnya. Dua hari, dia benar-benar merasa tidak ada artinya lagi. Gadis itu masih memakai kemeja yang dia pakai dua hari lalu.

Menangis tanpa henti. Menyesali diri. Menyalahkan pria brengsek itu. Semua rasa sedih, kecewa, sakit hati bercampur menjadi satu. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Hingga perlahan dia mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Melepas rok span yang menjadi bawahan kemejanya. Membiarkan kemeja itu hanya menutup separuh paha mulusnya.

Berjalan sempoyongan masuk ke kamar mandinya. Lalu menyalakan shower. Membiarkan air shower membasahi seluruh tubuhnya. Seolah Aya ingin air itu membawa semua luka dan sakit hati yang ia rasa.

Bersamaan itu dengan itu satu kilatan pisau terlihat di tangan kanannya. Perlahan Aya mengarahkannya ke atas nadi di tangan kirinya.

"Aku sudah tidak punya alasan untuk hidup lagi. Aku kotor. Aku hina" Batin Aya.

Di waktu yang sama, Annelka dan Tria tampak menekan bel unit Aya.

"Sepertinya dia tidak ada, Ann" Tria berguman.

"Coba lagi. Dia tidak masuk dua hari dan tidak ada laporan dia keluar kota. Atau menginap di hotel manapun"

Entah kenapa perasaan pria itu tidak enak. Seolah sesuatu yang buruk tengah terjadi pada wanita itu.

"Apa ini? Kenapa aku begitu cemas" Batin Annelka.

Hampir lima menit. Tria terus menekan tombol di unit itu.

"Ann...

"Buka saja" Perintah Annelka.

Tria dengan cepat mengeluarkan Acces Room Key yang dia minta dari manager di gedung apartement itu.

Kesunyian langsung menyambut dua pria itu.

"Apa dia pergi?" Tanya Tria yang langsung memeriksa ruangan itu.

Annelka hanya diam. Pria itu langsung berjalan cepat ke kamar utama. Menerobos masuk tanpa permisi. Kamar utama terlihat berantakan. Gulungan tisu bertebaran di mana-mana.

"Wah kau baru saja mematahkan hati seorang wanita, Ann" Canda Tria.

"Bukankah itu salah satu keahlianku?" Jawab Annelka dingin.

"Yahhh kau memang pembuat patah hati nomor satu" Tria mengiyakan.

Annelka berjalan pelan menuju kamar mandi ketika dia mendengar suara air dari kamar mandi.

"Fay, kau didalam?" Tanya Annelka sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Tidak ada jawaban.

"Mungkin mandi, Ann" Tria berucap sambil bersandar di tembok sebelah kamar mandi.

Annelka bersiap masuk.

"Kau jangan masuk kalau aku tidak meminta" Annelka memperingatkan.

"Idih...siapa juga yang mau kena marah. Gegara ngintipin anak gadis orang mandi"

"Fay, aku masuk!" Annelka berteriak.

Begitu dia membuka pintu. Pria itu langsung berjalan menuju bilik shower. Dan betapa terkejutnya dia melihat keadaan Aya di dalam bilik shower itu.

***

Karya baru ya readers, semoga kalian suka..🤗🤗🤗🤗

Pria Aneh

Annelka dengan cepat melepas jasnya.

"Tria!" Teriaknya pada sang asisten yang langsung melesat masuk ke dalam kamar mandi.

"Astaga...apa yang terjadi?" Tria berucap setengah shock. Mematikan shower lalu ikut membantu Annelka membalutkan jasnya di tubuh Aya. Wajah gadis itu tampak pucat. Dengan darah yang tak berhenti mengalir dari pergelangan tangan kirinya. Bilik shower itu sudah berubah merah dengan darah dan air yang bercampur menjadi satu.

"Jangan menatap tubuhnya!" Bentak Annelka tajam.

"Astaga Ann..."

"Siapkan mobil cepat. Hubungi Farris cepat!"

Tria kembali melesat keluar. Keluar dari sana secepat yang dia bisa. Sambil meraih ponselnya. Sementara Annelka dengan cepat meraih tubuh lemah Aya. Menggendongnya. Lantas menyusul Tria yang sudah lebih dulu turun.

Pintu lift terbuka dan Tria langsung menyambut tuannya. Pemandangan itu sempat menarik beberapa penghuni apartement yang kebetulan ada di lobbi.

Seorang satpam sigap membukakan pintu mobil dengan Tria yang langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit dimana Aya dan Farris bekerja.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Tria panik.

"Tidak tahu...aku rasa buruk. Cepat Tria!" Perintah Annelka. Baru kali ini Annelka merasa cemas luar biasa.

"Ini sudah ngebut Ann. Aku bahkan sudah menghidupkan sign darurat" Tria protes.

"Fay.. aku mohon bertahanlah. Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku. Aku akan terima jika kamu membenciku seumur hidupmu" Batin Annelka mengusap lembut pipi Aya yang bersandar di dada bidangnya.

Mobil itu mulai masuk ke dalam kawasan UGD ketika Farris dan beberapa tim medis sudah menunggu mereka. Mereka jelas terkejut melihat Aya dalam gendongan seorang pria yang meski tampilannya acak-acakan tapi tampan luar biasa.

"Astaga Aya....apa yang terjadi padanya..bagaimana dia...

"Tolong dia dulu baru bertanya!" Potong Annelka cepat.

Farris baru sadar dengan keadaan Aya. Langsung membawanya masuk ke ruang tindakan. Annelka jelas merasa semakin bersalah. Pria itu langsung membuka kancing lengan kemeja navinya. Lantas menggulungnya sampai siku. Berjalan mondar-mandir di depan pintu UGD. Sesekali mengacak rambutnya kasar.

"Bagaimana?" Tanya Tria yang datang terengah-engah. Bukannya menjawab. Annelka hanya menatap ke dalam ruang UGD dengan tatapan panik bercampur putus asa.

Pintu UGD terbuka. Farris keluar bersama seorang perawat.

"Darahnya O, rhesus positif" Pesan Harris pada perawat itu. Sebelum si perawat setengah berlari berlalu dari sana.

"Bagaimana?" Tanya Annelka.

"Agak parah. Lukanya cukup dalam. Hampir memutuskan arterinya. Untungnya kau cepat membawanya. Dia kehilangan banyak darah" Farris memberi info.

"Apa dia akan baik-baik saja?" Tanya Annelka sedikit ragu.

Farris tentu terkejut dengan pertanyaan Annelka. Annelka, Farris mengenal pria itu begitu dingin pada makhluk yang bernama wanita sebelumnya. Tapi sekarang jelas terlihat jika pria itu begitu peduli pada Aya.

"Apa kau tidak salah bertanya. Tuanmu tidak terbentur tembok kan?" Tanya Farris pada Tria yang langsung menggeleng menjawab pertanyaan Farris.

"Dia tidak terbentur tembok tapi terbentur keperawanan wanita itu" Kekeh Tria dalam hati.

"Farris!" Annelka menaikkan oktaf suaranya.

"Hai bertanya saja salah"

"Jawab saja!"

"Keadaannya cukup buruk tapi ya seperti yang kau duga dia akan baik-baik saja" Jawab Farris yang langsung membuat Annelka menarik nafasnya lega.

"Boleh aku melihatnya?" Tanya Annelka kembali membuat Farris mengerutkan dahinya saking herannya. Sejenak bola mata Farris menatap Tria yang langsung mengedikkan bahunya.

"Dia tadi sedang berganti baju. Kau tahu kan keadaannya sangat...

"Cukup, Ris. Aku tahu. Beritahu aku jika sudah selesai" Ucap pria itu lantas membalikkan badan. Mengambil tempat duduk di kursi tunggu.

***

Annelka menatap datar pada Aya. Gadis itu terlihat begitu lemah. Wajahnya masih terlihat pucat. Satu kantong darah tampak tergantung di ujung tiang sebelah kanannya. Sejenak Annelka menarik nafasnya. Kemudian pria itu berlalu keluar.

"Tempatkan dia di kamar VVIP" perintah Annelka pada Tria yang langsung mengangguk. Berlalu dari sana menuju bagian administrasi.

"Halo, lakukan sesuatu untukku" Perintah Annelka melalui ponselnya.

"..."

"Minggu depan. Aku akan memberinya sedikit toleransi"

Seseorang diujung sana langsung menarik nafasnya dalam. Tuannya yang satu itu memang suka memberi perintah sesuka hatinya. Tidak peduli bagaimana dia akan menyelesaikan tugas itu. Yang penting laporannya beres.

***

"Fay,...

"Jangan pergi Kak..Aya ingin ikut Kakak. Aya tidak mau sendirian lagi"

"Kenapa? Karena kau takut?"

"Aya takut. Aya tidak punya teman"

Orang itu tersenyum.

"Sekarang tidak lagi. Kau akan punya seseorang yang akan selalu menemanimu. Jadi jangan takut lagi" Ucap orang itu sambil mengusap pelan rambut Aya

Aya tampak membuka matanya pelan. Sedikit memicingkan mata ketika cahaya lampu neon terasa begitu menyakitkan matanya. Sejenak terdiam. Bagaimana dia bisa sampai di rumah sakit. Siapa yang membawanya.

"Kakak..." Gumannya lirih.

"Ah dokter Aya, Anda sudah sadar" Ucap seorang perawat yang baru saja masuk. Lalu menekan tombol yang langsung menghubungkan ke nurse station.

"Apa ada yang Anda keluhkan?" Tanya perawat itu lagi. Perawat itu mulai memeriksa Aya. Mulai dari infus juga transfusi darah.

"Kau sadar Ay" Ucap Farris begitu pria itu masuk kesana.

"Apa yang terjadi denganku?"

"Itu yang harusnya aku tanyakan padamu" Jawab Farris cepat.

Aya terdiam. Memperhatikan Farris yang tengah memeriksa lukanya.

"Apa kau mencoba bunuh diri?" Tebak Farris.

Aya hanya terdiam. Dia tidak mungkin bercerita kalau baru saja ditiduri paksa oleh seorang pria yang tidak dikenalnya.

"Apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidupmu?" Farris semakin menekan Aya. Dia tahu benar bagaimana Aya hidup selama ini. Dia adalah juniornya di departemen bedah dengan spesifikasi bedah syaraf. Namun akhir-akhir ini dia juga ikut menangani departmen anak-anak. Karena sikapnya yang humble pada anak kecil. Membuatnya banyak disukai anak kecil.

"Tidak ada hal yang seperti itu" Elak Aya.

"Lalu kau akan bilang kalau itu kecelakaan. Kau pikir aku anak kecil yang bisa kau bujuk dan bohongi. Lukamu jelas bertujuan untuk memotong arterimu. Luka sayatannya begitu rapi, teratur karena kau tahu benar di mana arterimu. Masih mau menyangkal?"

"Aku tidak berusaha membunuh diriku" Tegas Aya.

"Apa ini berhubungan dengan Briel?" Todong Farris. Jantung Aya langsung berdebar kencang mengingat Gabriel, sang kekasih hati.

"Ini juga tidak berhubungan dengan Briel" Jawab Aya hampir tidak terdengar.

"Putuskan hubunganmu dengan Gabriel. Sudah kubilang berapa kali. Dia bukan pria yang baik!" Farris berucap dengan nada kesal di dalamnya.

Farris menatap tajam pada Aya. Yang kini hanya bisa menundukkan wajahnya.

"Aku belum melihatnya dengan mata kepalaku sendiri" Jawab Aya.

Farris langsung berdecak kesal. Mengapa gadis yang berada di hadapannya ini begitu bodoh. Faŕris sudah sering melihat Gabriel yang bercumbu dengan wanita lain. Tapi Aya seolah menutup mata dan telinganya atas omongan Farris. Selama dia belum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Aya tidak akan mempercayai ucapan Farris. Dan selama ini usaha Farris untuk memisahkan Aya dan Gabriel selalu gagal. Karena Gabriel pandai sekali bersilat lidah. Membuat Aya selalu percaya pada ucapan Gabriel.

"Kau benar-benar tidak mau bercerita padaku soal luka ditanganmu?" Tanya Farris lagi. Lagi-lagi Aya menggeleng.

Farris hanya bisa memejamkan mata. Menahan amarah yang tidak mungkin dia luapkan pada Aya yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Juga mengingat keadaan gadis itu.

"Kau dimana?" Tanya Farris melalui ponselnya setelah keluar dari kamar Aya.

"Aku baru selesai dengan pasienku. Ada apa?"

"Analisa temanmu sendiri. Dia ada di kamar VVIP nomor 2 lantai 10"

Eva langsung berlari ke arah lift. Jarak gedung Rehap Medik yang menjadi satu dengan gedung Kanselor Psikologi cukup jauh dengan gedung rawat inap kelas VVIP. Mereka berbeda blok. Hingga perlu sedikitnya 15 menit untuk sampai ke sana.

Tanpa mengetuk pintu, Eva langsung menerobos masuk. Dia sangat khawatir dengan keadaan temannya itu. Ketika Eva masuk. Dilihatnya Aya yang tengah menangis. Tangis kesedihan yang begitu dalam.

"Aya..." Panggil Eva.

Aya langsung mengangkat wajahnya. Dan tangisnya semakin pacah melihat Eva berdiri di depannya.

"Tidak apa-apa. Ada aku disini" Ucap Eva ketika Aya sudah berada dalam pelukannya.

"Aku benci padanya. Aku benci. Aku tidak ingin melihatnya! Aku tidak ingin melihatnya" Teriak Aya di tengah isak tangisnya.

Teriakan Aya membuat Annelka yang sudah berada di dalam kamar Aya langsung tercekat. Tidak berani masuk lebih dalam. Pria itu mematung menatap bagaimana Aya yang tengah menangis pilu dalam pelukan Eva.

Sedang Eva hanya diam. Sebagai kanselor psikolog dia tahu apa yang harus dia lakukan saat menghadapi keadaan seperti Aya. Tangis Aya semakin lama semakin lemah. Membuat Eva sedikit lega.

"Aya apa kamu merasa lebih baik?" Tanya Eva. Sedikit menepuk pelan punggung Aya. Namun tidak ada jawaban. Seketika Eva cemas. Apalagi tubuh Aya bertumpu sepenuhnya padanya. Dia bergerak. Bisa dipastikan keduanya akan jatuh dari ranjang.

"Aya...Aya" Panggil Eva sekali lagi. Gadis itu terdiam. Oh fix, Aya pingsan.

Eva berusaha meraih tombol darurat untuk memanggil bantuan ketika tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakang Eva.

"Aku akan menolongnya. Katakan saja yang harus aku lakukan" Ucap Annelka.

"Oh kalau begitu tolong angkat tubuh temanku. Kami akan jatuh jika bergerak salah satu" Ucap Eva.

Perlahan Annelka meraih tubuh Aya. Menggendongnya kembali seperti kemarin. Sedang Eva dengan cepat turun dari ranjang pasien Aya. Sedikit membetulkan bantal dan yang lainnya. Sejenak Annelka menatap wajah Aya yang terlihat lebih segar.

"Anda bisa membaringkannya disini" Eva memberitahu. Pelan Annelka merebahkan tubuh Aya di bed pasien. Dengan Eva yang sibuk menata selang infus dan transfusi darah yang tinggal sedikit.

"Siapa Anda?" Tanya Eva begitu dia selesai merapikan peralatan Aya.

Annelka tampak tidak ingin menjawab. Hanya menatap datar pada wajah Eva. Lalu beralih menatap wajah Aya. Detik berikutnya pria itu berlalu keluar dari kamar Aya.

"Pria aneh" Eva berguman.

***

Menikahlah Denganku

"Apa katamu? Seseorang melecehkanmu?" Eva hampir berteriak mendengar pengakuan Aya. Untung mereka sedang berada di ruang kerja Eva. Kanselor psikolog sekaligus terapist. Jadi tempat itu kedap suara.

Aya mengangguk sedih. Eva dengan segera memeluk sang sahabat. Hari itu dua hari setelah Aya memaksa keluar dari ruang VVIP yang membuatnya bingung tujuh putaran. Dia sama sekali tidak meminta ditempatkan disana tapi kenapa dia dirawat di sana.

Ketika dia bertanya pada bagian administrasi. Mereka mengatakan kalau sudah ada yang menanggung dan membayarnya. Penasaran dia bertanya pada Farris. Pria itu berkata memang ada yang membayari perawatannya. Tapi ketika ditanya siapa orangnya. Farris mengatakan itu privasi. Semakin pusinglah kepala Aya.

"Lalu apa kau tahu siapa orangnya?" Tanya Eva.

"Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Tapi aku tahu dengan jelas suaranya. Aku bisa mengenalinya jika dia ada di depanku" Jawab Aya sendu.

"Itu sebabnya kau mencoba bunuh diri?" Tanya Eva lagi. Dan Aya mengangguk.

"Aku kotor Va, aku bahkan jijik dengan diriku sendiri" Ucap Aya.

"Jangan bicara seperti itu Ay. Itu bukan kesalahanmu. Dia memaksamu...

"Tapi jika aku bisa melawannya. Dia tidak akan bisa me....

Suara Aya tercekat. Dia tidak sanggup meneruskan ucapannya. Kejadian itu masih begitu lekat dalam ingatannya. Dia masih ingat bagaimana pria itu begitu menikmatinya. Aya benar-benar tidak ingin mengingatnya. Tapi semakin dia berusaha melupakannya. Semakin dalam ingatannya soal kejadian itu.

"Aya dengarkan aku. Aku tahu kamu hancur. Tapi tolonglah ingat. Ini bukan kesalahanmu. Ini bukan akhir dari segalanya. Berusahalah untuk tegar menghadapinya. Juga jangan berpikir untuk melukai dirimu sendiri. Kamu berhak untuk memulai hidupmu yang baru"

"Tapi bagaimana? Aku bahkan tidak punya muka untuk bertemu Gabriel. Aku tidak bisa menemuinya. Aku tidak pantas untuknya"

"Jika Briel benar-benar mencintaimu. Dia akan menerima keadaanmu. Apapun itu" Eva berusaha menguatkan Aya.

***

"Apa kalian sudah menemukannya?" Tanya Annelka pada anak buahnya.

"Kami sudah menyisir setiap sudut dari kamar itu. Tapi kami tidak menemukan apapun. Semua begitu bersih" Lapor kepala dari anak buahnya.

Annelka kembali memejamkan matanya. Dia bahkan sudah turun tangan sendiri untuk mencari di kamar itu. Satu hal yang membuatnya khawatir hingga sekarang.

"Bagaimana?" Tanya Tria yang masuk bersama setumpuk dokumen yang harus Annelka periksa.

"Tidak ada"

"Ann, kita harus bertindak cepat. Sebelum dia menyebarkan video syur kalian"

"Aku tahu. Tapi meski kita mencari ratusan kali. Kita tetap tidak bisa menemukan rekaman atau kamera di kamar itu"

"Jika video itu tersebar...

"Aku tidak masalah. Tapi dia... dia dokter. Dan kudengar reputasinya cukup bagus. Skandal seperti ini akan mencoreng namanya" Annelka mulai berucap.

Keduanya diam sejenak.

"Lalu rencanamu?"

"Aku akan menikahinya" Jawab Annelka tegas.

"Are you sure?" Tria setengah tidak percaya.

"Kau tahu? Aku secara tidak langsung sudah menyeretnya dalam masalah yang aku sendiri tidak tahu apa. Aku jelas sudah menidurinya. Mengambil paksa kehormatannya. Dan dia membenciku sekarang"

"Jika dia membencimu. Lalu bagaimana dia mau menikah denganmu"

Annelka diam sejenak.

"Tidak ada cara lain. Aku akan memaksanya" Ucap Annelka.

"Tidak peduli bagaimana caranya. Bulan depan dia harus sudah menikah denganku. Karena itu persiapkan dari sekarang"

"Kau benar-benar gila, Ann" Seloroh Tria.

"Aku tahu. Mungkin inilah hal paling gila yang pernah aku lakukan"

***

Siang itu, rumah sakit tempat Aya bekerja terlihat berbeda. Ada kehebohan yang samar terlihat sejak pagi.

"Ada apa sih?" Tanya Aya yang baru saja keluar dari ruang operasi. Sesaat heran melihat ada euphoria yang berbeda ketika dia lewat di lobi rumah sakit.

Keadaannya sudah jauh lebih baik. Eva benar-benar bisa meng-healing Aya dengan baik. Bahwa semua yang dia lalui adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Anggaplah jika hal kemarin itu adalah mimpi buruk baginya. Bangun dan lupakan. Begitu nasihat Eva.

"Katanya ada kabar. Kalau temannya tuan Farris yang pengusaha terkenal itu mau datang kemari" Jawab seorang perawat.

"Gitu aja kok heboh"

"Heboh dong Dok, wong orangnya ganteng maksimal. Pokoke mantap bangetlah"

Aya hanya tersenyum melihat celotehan asistennya itu. Dia sedang longgar jadi dia akan menjenguk Karen. Pasien anak dengan diagnosa kanker otak yang sejak tiga tahun terakhir sudah seperti anak sendiri untuknya.

Tapi dia baru saja akan berbelok ke lorong kamar khusus anak. Ketika seorang pria menabrak seorang staf yang sedang membawa tumpukan dokumen. Mereka bertabrakan cukup keras sampai dokumen yang dibawa staf itu berjatuhan di lantai.

"Maaf Mbak. Saya terburu-buru" Ucap pria itu. Berjongkok turut mengumpulkan dokumen yang berceceran di lantai.

Melihat hal itu Aya turut berjongkok membantu memunguti dokumen itu.

"Terima kasih Dok. Malah merepotkan" Ucap staf itu.

"Tidak apa. Saya sedang luang" Jawab Aya sambil tersenyum. Tanpa Aya sadari dari depan lobi. Kehebohan mulai terjadi. Ketika Annelka dan Tria mulai memasuki rumah sakit itu. Wajah tampan dan dingin Annelka justru semakin membuat para staf wanita heboh saat melihat Annelka yang melintas di depan mereka.

Begitu masuk, perhatian Annelka langsung tertuju pada senyum Aya yang tengah berjongkok sambil memunguti dokumen yang berceceran di lantai.

"Ann kau mau ke mana?" Tria berteriak.

"Mau menemuinya" Jawab Annelka singkat.

"Terima kasih Dokter" Ucap staf itu berlalu dari hadapan Aya.

"Dokter Faya Ayunda"

Deg,

Senyum di bibir Aya langsung menghilang. Berganti rasa cemas yang mulai merasuk. Suara itu..mengingatkannya pada..dan kilasan ingatan itu kembali melintas di kepalanya.

"Tidak! Itu bukan suara pria brengsek itu!" Batin Aya terus meyakinkan diri.

Perlahan Aya berbalik. Dia harus melawan ketakutannya, jika tidak selamanya dia akan terpenjara dalam ketakutannya sendiri.

Ketika dia berbalik. Dilihatnya sosok Annelka yang berdiri tepat didepannya. Sekilas Aya mengingat bibir itu.

"Tidak! Tidak mungkin pria brengsek itu dia!"

"Dokter Faya Ayunda? Benar?" Tanya Annelka lagi.

Kali ini Aya yakin seratus persen. Pria itu adalah dia.

"Kau...kau apa yang kau lakukan di sini ha?" Suara Aya langsung meninggi. Tubuhnya gemetar. Tubuhnya mulai menggigil ketakutan.

"Ann aku rasa dia ketakutan" Bisik Tria.

"Dia tidak boleh takut padaku!" Batin Annelka.

Annelka dengan cepat berjalan menghampiri Aya.

"Kau mau apa?" Tanya Aya.

Namun Annelka hanya diam sambil menarik pergelangan tangan Aya. Yang langsung berontak. Tapi Annelka tidak melepasnya sama sekali. Menarik tubuh Aya menuju lift.

"Hubungi Farris aku pinjam satu ruangannya untuk bicara"

Perintah Annelka sebelum menutup pintu lift setelah setengah melempar Aya agar masuk ke dalam lift. Aya langsung merapatkan tubuhnya ke dinding lift.

"Apa yang kau inginkan?" Teriak Aya.

Annelka hanya diam. Menatap tajam pada Aya. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Melihat tanda kemerahan di leher Aya yang masih samar terlihat. Seperti biasa Aya menyukai memakai kemeja di balik jas dokternya. Hingga ketika rambut Aya terangkat sedikit leher jenjang nan putih dan mulus itu terpampang nyata.

"Aku ingin bicara" Ucap Annelka singkat.

"Aku tidak mau bicara apapun denganmu!"

"Kau tidak punya pilihan" Jawab Annelka penuh penekanan.

Pintu lift terbuka. Farris tampak sudah menunggu.

"Satu ruangan!" Annelka meminta.

"Pakai ruang meeting internal. Ini ada apa?" Farris jelas bingung. Melihat Aya yang diseret oleh Annelka.

"No question"

"Farris tolong aku. Dia jahat"

"Fay...." Satu kata dan Aya langsung kicep.

"Jangan mengganggu kami sampai aku selesai"

Ceklek, pintu ditutup tepat di depan hidung Farris. Pria itu langsung mengumpat. Dia yang punya rumah sakit bagaimana bisa kalah dengan tamu.

"Sial!" Maki Farris bersamaan dengan Tria yang lari pontang panting plus ngos-ngosan.

"Di mana mereka?" Tanya Tria terbata. Dan Farris hanya menjawab dengan dagunya. Menunjuk ruangan yang ada di hadapannya.

"Alamak, semoga dia tidak bertindak gila. Ada CCTV tidak?" Tanya Tria. Keduanya langsung saling melirik penuh arti.

Sementara itu didalam. Aya terus berteriak.

"Lepaskan aku!" Teriaknya. Namun Annelka seolah tidak menggubrisnya. Pria itu tengah mengulik ponselnya. Cukup lama hingga dia meletakkan ponselnya di atas meja.

"Ingin menguping ya. Jangan harap!" Batin Annelka.

"Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?" Aya kembali berteriak.

"Rendahkan suaramu Fay" Satu kalimat dari Annelka kembali membuat Aya terdiam. Namun itu tidak lama. Ketika Annelka berjalan mendekatinya. Gadis itu kembali panik.

"Jangan mendekat" Aya berucap.

"Aku rindu padamu" Bisik Annelka.

"Dasar brengsek!" Maki Aya. Sungguh dia jijik mendengar kalimat itu keluar dari bibir Annelka.

Dan ucapan provokasi dari Aya. Membuat Annelka terpancing. Dengan sekali gerakan. Pria itu sudah berada di depan Aya. Menghimpit tubuh langsing Aya ke tembok.

"Pergi! Lepaskan aku! Menjauh dariku...

Dan ucapan selanjutnya langsung menghilang karena Annelka sudah menempelkan bibirnya di bibir Aya. Membuat gadis itu langsung membulatkan matanya. Reflek ingin mendorong dada bidang Annelka. Namun lagi-lagi pria itu sigap menahan semua gerakan perlawanan dari Aya.

Satu tangan menahan dua tangan Aya di belakang punggung gadis itu. Dan satu tangan menahan tengkuk Aya. Membuat ciuman Annelka semakin dalam.

"Oh sh****!!" Annelka mengumpat ketika Aya menggigit bibir. Dan saat itu cekalan tangan Annelka melemah. Membuat Aya punya kesempatan untuk lari.

Mendorong sekuat tenaga tubuh kekar Annelka hingga dia bisa cepat berlari ke arah pintu. Namun sial bagi Aya. Sebelum meraih handle pintu. Annelka berhasil menangkap tangannya. Sekali tarik dan pria itu berhasil membawa Aya dalam gendongannya. Aya terus berontak. Memukul dada Annelka bahkan menggigit bahu pria itu.

"Aaarrggghhh" Pria itu meringis. Namun seolah kebal. Pria itu sama sekali tidak melepaskan gendongan.

"Bruukk!"

Anellka langsung menjatuhkan tubuh Aya di sofa. Gadis itu buru-buru bangun namun terlambat. Annelka sudah lebih dulu naik ke atas tubuhnya. Menahan dua tangan Aya dengan dua tangannya. Dan menghimpi kaki Aya dengan dua kaki jenjangnya.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Aya berteriak.

"Faya Ayunda...diam dan dengarkan aku. Menikahlah denganku" Ucap Annelka serius.

Aya terdiam seketika. Dua pasang mata itu saling menatap untuk pertama kalinya.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!