Jihan menjalani hidup sebagai singgle parent. Ia hanya fokus kepada anak anaknya. Ia tak berniat untuk berumah tangga lagi. Kesedihannya masih tetap sama mengingat kehilangan suami tercinta. Riza meninggal dalam keadaan baik. Pria itu tak bernyawa ketika sedang sujud terakhir saat sholat subuh berjamaah.
"Ibu..." Juma memeluk Ibunya yang sedang menyiapkan sarapan dengan sang kakak perempuan. "Wah...Sudah tampan begini." Ucap Jihan mengecup pipi putra bungsunya. "Ayo sarapan. Nanti kalian terlambat." Ucap Jihan mengangkat tubuh Juma dan mendudukkan di kursi. "Mama nanti ke perusahaan?" Tanya Julian. "Iya. Ada yang perlu dibicarakan sama Om Satria." Jawab Jihan mengambilkan nasi untuk semuanya. "Mama nanti mampir ke cafe ya. Ada menu baru. Dijamin Mama bakal ketagihan. Semuanya juga datang." Jihan mengangguk sambil tersenyum menanggapi Jason. Ia kemudian ikut duduk untuk menyantap sarapannya bersama Juma.
Jihan sedang berjalan jalan sebentar di taman setelah mengantar Juma ke sekolah. "Astaga." Lirih wanita itu melihat beberapa wartawan yang gencar mencarinya akhir akhir ini untuk di tanyai macam macam. "Mbak Jihan." Kata salah seorang dari mereka menyadari keberadaannya. Jihan berlari tak tentu arah untuk menghindari kejaran mereka.
"Duh. Harus kemana lagi." Keluh wanita itu bingung. Jihan terkejut ada tangan yang menariknya masuk ke dalam mobil. "Siap.." Belum sempat melanjutkan ucapan tangan besar seorang pria membekap mulutnya dan memaksa dia untuk menunduk. "Jangan berisik. Mereka di depan." Bisiknya Pria itu sambil mengamati wajah cantik Jihan dengan lekat namun wanita itu tak menyadari karena terlalu fokus berdoa.
"Sudah aman." Ucapnya sambil melepaskan tangannya dari mulut Jihan. Wanita itu menghembuskan napas lega kemudian menegapkan duduknya. "Terimakasih." Jihan tersenyum menatap lawan bicaranya. "Sama sama." Jawabnya sambil membalas senyum. "Kita pernah bertemu?" Jihan bertanya karena tatapan pria itu sangat ramah dan dalam padanya. "Tidak. Hanya tau lewat majalah saja." Jawabnya sambil terkekeh. "Oh. Aku pergi dulu. Sekali lagi terimakasih." Jihan hendak membuka pintu mobil tapi terkunci. "Kenapa tidak bisa di buka." Gerutunya. "Kamu harus tau namaku dulu. Aku Jeff Smith." Ucapnya. "Jihan. Buka pintunya." Jawab wanita itu sambil menjabat tangan pria di sampingnya. "Traktir aku kopi." Banyak mau. Setelah berkenalan dan Jihan menurutinya Ia malah meminta lebih. "Tidak ada waktu. Aku sibuk." Jihan menolak. "Aku juga sibuk tapi aku bisa membatalkan beberapa pertemuan untuk kita bertemu. Besok kalau begitu." Tak menyerah Ia mencari waktu luang. "Besok aku juga sibuk. Setiap hari begitu. Kalau mau aku kirim kopi. Berikan alamatmu." Jeff menggeleng. "Aku maunya bertemu langsung. Jika tidak mau jangan harap bisa keluar." Ancamnya. "Jangan macam macam." Kesal Jihan. "Terserah." Ucapnya tersenyum menang. "Baiklah besok." Putus Jihan. Jeff merebut ponsel Jihan kemudian men scan kode QR di WA untuk mendapatkan nomornya. "Sampai bertemu lagi." Ia membuka pintu mobilnya membiarkan Jihan pergi.
"Awasi dia. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya." Ucap Jeff sedang bertelpon dengan seseorang. 'Jihan' Satu nama yang mampu membuatnya jatuh cinta. Semenjak kepulangannya Jeff di buat penasaran dengan sosok yang selalu di beritakan di media. Ia mencari tau semua detail tentang Wanita baik yang telah di sia siakan itu.
Jeff merupakan duda satu anak. Di usia ke 47 Ia masih terlihat bugar karena rajin berolah raga dan makan makanan sehat. Wajah rupawan dan bergelimang harta tak sejalan dengan kisah percintaan nya yang rumit. Ia di jodohkan dengan seorang gadis. Mereka tak saling cinta sehingga tidak menjalani rumah tangga seperti pasangan lainnya. Suatu malam Jeff tak sengaja menggauli istrinya karena sedang mabuk. Wanita itu hamil dan bersikeras untuk menggugurkan janinnya. Jeff merasa bertanggung jawab berusaha mempertahankan darah dagingnya. Ia melakukan apapun agar sang istri mau melahirkan anak itu. Bayi itu akhirnya lahir beberapa bulan kemudian. Jeff memberikan imbalan berupa surat perceraian dan uang 2M seperti keinginan sang istri. Ia merawat bayi mungil itu di bantu oleh beberapa perawat. Saat usia anaknya tuju bulan Jeff mendengar kabar jika sang istri meninggal karena kecelakaan dengan kekasihnya.
Untuk pertama kalinya Jeff benar benar jatuh cinta. "Jihan" Sosok wanita cantik yang menjadi incarannya. Wanita yang membuatnya merasa nyaman dan tidak jijik sama sekali. Jeff bisa dibilang membenci wanita. Bukan karna Ia tak normal. Tapi karena masa lalu almarhum sang Ibu yang membuatnya enggan bersentuhan atau berdekatan dengan lawan jenis. Ada trauma tersendiri yang di ciptakan oleh wanita yang melahirkannya karena sering bergonta ganti pasangan semenjak Ayahnya meninggal. Jeff kecil sudah di biasakan oleh adegan dewasa di rumahnya yang membuat psikisnya terganggu.
"Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu dua jam." Omel Satria melihat kedatangan Bosnya. "Kurangi gaji." Jawab Jihan sambil duduk membuat pria itu diam seketika. "Hehe bercanda. Mau minum apa aku siapkan." Nadanya melembut. "Tidak perlu. Langsung saja mana yang harus aku tandatangani." Jawab Jihan membuat sekertarisnya bergegas mengambilkan berkas.
"Selamat pagi Ibu." Ucap Anak anak memberikan ciuman pada Jihan yang sudah duduk di kursi untuk sarapan bersama. "Pagi Sayang. Ayo sarapan." Jawab Wanita itu mengulas senyum. "Hari ini Ibu nggak ke kantor?" Tanya Jaffan melihat Ibunya masih mengenakan pakaian rumahan biasa. "Enggak. Ibu di rumah. Oh iya Jason. Nanti sore Ibu pesan satu meja di cafe ya. Ibu mau ketemu seseorang yang sudah menolong Ibu kemarin." Remaja itu mengangguk dengan mulut penuh. "Siapa yang nolong kamu?" Tanya Papa. "Lupa namanya Pa." Jawab Jihan sambil menyuapi Juma. "Ibu ada ada aja. Masa baru kemarin kenal orang lupa nama." Sahut Jalwa sambil tertawa kecil.
"Sudah sampai." Ucap Jihan menghentikan mobilnya di parkiran sekolah Juma. "Yey. Nanti Ibu jemput ya." Ucap Bocah tampan itu sembari mengecup pipi dan kening Sang Ibu. "Ok Sayang. Nanti Ibu jemput." Jawab Jihan mengusap kepala dan mencium kening putranya. "Love you Ibu." Juma bergegas turun. "Love you too dear." Jawab jawab Jihan melambaikan tangannya.
Dari mengantar Juma Jihan langsung pergi ke rumah Carissa karena sedari tadi sudah di telpon sahabatnya yang satu itu untuk mampir. "Nomor siapa ini." Ucap Jihan karena dari kemarin di chat dan di hubungi nomor yang sama namun Ia sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi. "Ya. Hallo." Jawabnya dengan malas terpaksa mengangkat panggilan yang masuk. "Sesibuk itukah? Kenapa dari kemarin aku hubungi tidak di jawab." Omel seseorang dari sebrang sana. "Ini siapa?" Tanya Jihan. "Jeff." Jawabnya cepat. "Jeff?" Jihan masih belum ngeh tampak bertanya tanya. "Yang menolong kamu saat di kejar wartawan kemarin." Jelasnya. "Oh...iya. Ingat..." Terdengar suara decakan dari lawan bicara saat mendengar tanggapan Jihan. "Jadi bagaimana? Kamu sudah janji mau traktir." Wanita itu mengangguk. "Nanti sore jam 4 di Joy Caffe." Jawab Jihan.
"Jihan." Carissa berlari memeluk sahabatnya yang baru datang. "Buat apa suruh aku datang?" Tanyanya duduk malas di sofa. "Aku masak enak. Ayo cobain." Ajaknya. "Baru sarapan." Jawab Jihan. "Halah nggak usah nolak. Ayo." Ia menarik tangan sahabatnya untuk diajak ke ruang makan.
"Sebanyak ini. Kamu nggak kira kira. Ini beneran masak atau asal asalan dan aku di jadikan kelinci percobaan?" Tanya Jihan. "Ya masak beneran dong." Jawab Carissa mengambilkan makan untuk sahabatnya. "Demi kawan makan deh." Jihan mulai menyantap makanan yang sudah tersaji. "Gimana?" Carissa ingin tau komentar sahabatnya. "Lumayan daripada yang kemarin kemarin. Rica ricanya kebanyakan merica nih. Sengak banget. Kalau tumis bumbu juga yang mateng dong." Cerocosnya mulai berkomentar.
Pukul 4 lebih Jihan menggandeng tangan putra bungsunya memasuki cafe. "Kalian saling kenal?" Tanya wanita itu melihat Jason, Julian, dan Jaffan mengobrol akrab sambil tertawa dengan Jeff. "Ibu kenapa nggak bilang kalau yang menolong Ibu Om Jeff. Dia langganan disini." Jawab Julian. "Kan Ibu lupa namanya." Jawab Jihan duduk sambil memangku putranya. "Yang ini siapa namanya?" Tanya Jeff ramah. "Juma Om." Jawab Juma lalu mencium tangan pria dengan wajah blasteran itu. "Manis sekali." Ucapnya mengusap pipi Juma namun entah kenapa Juma kali ini tidak merengek dan mengeluh seperti biasa saat di sentuh dengan orang asing.
Hanya tersisa Jihan, Juma dan Jeff di meja sementara anak anaknya yang lain kembali bekerja. Jeff menikmati makanan sambil menceritakan kisah hidupnya. "Jadi Om mualaf?" Tanya Juma. "Iya. Om dan anak Om memutuskan untuk menjadi mualaf sekitar satu tahun lalu. Sebenarnya keinginan kami sudah lama. Namun kami baru merealisasikannya setahun belakangan. Om tertarik dengan islam karena teman Om seorang muslim yang hidup di lingkungan yang minoritas Islam. Kami sering merayakan lebaran bersama dan itu sangat indah. Ibadah Om juga masih belum bagus. Jadi boleh dong kalau Ibu Juma mengajari." Ucapan pria itu di akhir membuat Jihan tersedak. "Pelan pelan." Tegur Jeff lembut. "Juma kasih izin Om buat belajar sama Ibu kan?" Tanyanya meminta izin. "Juma kasih izin." Jawab bocah tampan itu cepat. "Juma." Bisik Jihan. "Ibu kan bilang kalau punya ilmu itu harus di bagikan." Ia menatap Ibunya dengan penuh tanya yang hanya bisa di tanggapi senyuman oleh wanita itu.
Jihan berjalan menuju parkiran setelah sholat magrib bersama di musholla setempat. Ia mengikuti langkah Jeff yang sedang menggendong putra bungsunya. "Juma turun yuk." Ucap Jihan tidak enak. "Kenapa sih. Orang anaknya mau." Jawab Jeff membuat wanita itu pasrah. Bocah tampan itu terlihat sangat nyaman berada dalam gendongan pria yang baru beberapa jam Ia kenal.
"Papa kenapa senyum senyum begitu?" Tanya seorang remaja yang sedang duduk di sofa. "Kamu mau Mama baru nggak?" Tanya Jeff ikut duduk si sampingnya. "Nggak mau." Jawabnya cepat. "Yakin? Kalau yang seperti ini yakin nggak mau?" Pria itu menunjukkan foto seorang wanita cantik di ponselnya. "Papa kok bisa tau apa yang ada di pikiran aku. Boleh, boleh banget. Aku mau Pa." Jeff tersenyum mendapat lampu hijau dari putranya. "Tapi dia orangnya agak rumit. Buktinya sama Papa tidak tertarik sama sekali. Dia mengabaikan Papa. Doakan Papa berjuang untuk mendapatkan hatinya." Ucap Jeff mengecup kening putranya.
Asli bingung mau nurutin yang mana. Yang satu minta Riza sama Jihan cerai yang satu lagi minta mereka bersatu. Biar adil ini author bikin Jihan yang sudah menjanda karena suaminya meninggal aja. Yang bercerai itu nggak jadi karena menuai banyak kontra.
Sekali lagi mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
Jeff sedang sarapan bersama putra semata wayangnya. "Papa akan pulang sore hari ini." Ucap Pria itu memasukkan sesendok nasi goreng kedalam mulut. "Asin. Papa nggak selera sarapan." Keluhnya terpaksa menelan apa yang sudah ada di mulut. "Kapan Jordan bisa ketemu calon Mama?" Tanyanya menggoda. "Perbaiki dulu kelakuan kamu. Jangan sampai kalau Papa sudah berhasil menikah sama Mama kamu, di hari pertama jadi istri dia pingsan karena tingkah absurb kamu." Jawab Jeff sambil berdiri dari duduk. "Mupung belum menikah Jordan puas puaskan nakalnya. Nanti kalau sudah punya Mama Jordan baru akan berubah." Ia berdecak mendengar kata kata yang keluar dari mulut putranya. "Terserah. Papa berangkat." Ucapnya mengecup kepala remaja itu dan bergegas pergi.
Di sisi lain Jihan baru sampai di ruangannya. Wanita itu langsung duduk untuk mengecek berkas yang sudah bertumpuk di atas meja. "Masuk." Ucapnya karena mendengar ketukan pintu dari luar. "Ada yang ingin bertemu." Ucap Satria sambil mengatur napasnya. "Siapa?" Tanya Jihan masih fokus pada berkas yang sedang Ia baca. "Seseorang." Jawab Pria itu dengan raut wajah panik. "Tuan Jeff. Dia menunggumu di bawah." Lanjutnya. "Suruh pergi saja. Aku sibuk." Jawab Jihan tak peduli. "Dia nggak akan pergi sebelum kamu temui Ji." Keluh Satria karena tau perangai pria itu.
Para karyawan saling berbisik. Mereka mencuri curi pandang pada seorang pria dengan tubuh atletisnya yang berbalut jas bermerek tengah duduk di sofa sambil membawa buket mawar merah yang begitu cantik. Tatapannya setajam elang dengan wajah datar menunjukkan ekspresi dingin yang membekukan siapa saja yang bertatapan dengan pria itu.
Suara ketukan hills yang beradu dengan lantai menyita perhatian semua orang. Jihan berjalan dengan penuh wibawa menghampiri pria yang sedang berdiri dengan senyuman dan ekspresi hangatnya melepas semua kesan kejam dan dingin. "Morning dear." Ucapnya masih dengan senyum yang sumringah. Jihan mengeram dalam hati. Tidak hanya lewat chat dan pesan suara. Kini Jeff terang terangan sok romantis bahkan di depan semua karyawannya. "Terimakasih. Ada yang bisa saya bantu Pak?" Tanya Jihan formal sambil menerima buket bunga dari pria di depannya. "Ayo sarapan." Ajaknya. "Saya sudah sarapan." Jawab Jihan. "Kalau begitu temani aku saja." Lanjut Jeff tak menyerah. "Saya sibuk." Jihan berbalik dan berjalan untuk kembali ke lift. Pria itu tak menyerah. Ia dengan langkah lebar mengejar wanita impiannya. "Temani atau aku akan cium kamu disini. Di depan semua karyawanmu." Bisiknya saat sudah sampai di samping wanita itu. "Ayo." Jihan membalikkan badan seketika lalu berjalan ke arah pintu lobby mendahului pria menyebalkan yang mengikutinya.
Jeff tersenyum menatap wajah cantik Jihan yang terlihat kesal. Keduanya kini sedang duduk di ruang VIP restoran milik wanita itu. "Ayo dimakan. Pekerjaanku bukan hanya untuk menemani kamu makan saja." Ucapnya. "Iya Sayang. Ini mau makan." Jawab Jeff menggoda. "Berhenti memanggilku seperti itu." Protes Jihan. "Lalu apa? Honey? Baby?" Tanya Jeff membuat Jihan bertanya tanya tentang kewarasan pria itu. "Aku masih waras sayang. Aku bersikap begini hanya ketika aku benar benar jatuh cinta dan wanita pertama yang bisa membuatku seperti ini adalah kamu." Bagai cenayang Ia tau apa yang di pikirkan Jihan. Jeff mengungkap dengan bersungguh sungguh. Jihan tak melihat kebohongan di mata pria itu.
"Kamu tidak makan? Atau mau aku suapi?" Jihan menggeleng. "Aku masih kenyang." Jawabnya. "Oh iya. Hampir saja lupa. Besok ada acara peresmian di perusahaanku. Karena anak anak sekolah pasti tidak bisa datang. Aku jemput kamu besok ya. Kamu harus datang." Ucap Jeff sembari meminum jus jeruknya. "Aku tidak bisa. Jadwalku padat." Jawab Jihan menolak dengan alasan. "Aku tanya sekertaris mu katanya tidak ada jadwal. Acara ini sudah aku sesuaikan dengan jadwalmu lo." Jihan membelalakkan mata mendengar pengakuan pria di depannya. Bisa bisanya Satria bersekongkol dengan Jeff.
Satria terlonjak kaget saat pintu ruangannya di buka dengan kencang oleh seseorang. "Kenapa kau memberitahukan jadwalku pada Jeff?" Tanya Jihan menatap Sekertarinya tajam. "Dia memaksa. Aku bisa apa." Jawab pria itu sambil menunduk. "Benar benar keterlaluan kamu jadi manusia. Dasar, kamu tau kan kalau aku menghindarinya." Kesal Jihan sambil duduk dengan kasar di sofa. "Ya maaf. Eh dia suka sama kamu lo. Buktinya dia bersikap manis ke kamu. Kalau sama kamu tuh aura kejamnya seketika hilang berganti dengan tatapan hangat dan penuh cinta. Udah sih di gass aja. Dia kaya, tampan dan sukses. Sama anak anak dan Papa kamu juga dekat. Kurang bagian mana lagi? Aku dukung 100 persen." Jihan mengernyitkan keningnya. "Kenapa kamu seolah olah menjerumuskan aku untuk bersama pria menyebalkan seperti itu. Lagipula aku juga masih ingat Mas Riza." Ia berubah menjadi sedih mengingat suaminya yang telah tiada. Memang Jeff dekat dengan anak anak dan Papanya karena ternyata pria itu juga mengelola perkebunan seperti Papa. Namun Jihan tidak ingin menikah lagi. Ia benar benar nyaman sendiri sekarang. "Maaf." Ucap Satria. "Tidak masalah." Jawab Jihan tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!