Zahira POV
Zahira, itu namaku. Aku menempuh pendidikan sejak sekolah menengah di Malaysia di asuh seorang ustadzah yang sengaja di minta Mama untuk mendidik dan mengawasi aku selama di sana. Mama dan Papa tinggal di Indonesia menjalankan bisnis dan usaha-usaha lainnya. Keluargaku cukup kaya aku tidak kekurangan satu hal apapun dari segi materi. Papa menuruti semua mau ku termasuk saat ini, setelah menyelesaikan pendidikan SMA aku ingin melanjutkan pendidikan di kampung halamanku. Indonesia.
Aku memiliki saudara laki-laki, adikku bernama Raditya Jovanka. Dia sangat tampan seperti bukan orang Indonesia, Matanya sipit dan putih sekali, hidungnya mancung dengan tubuh yang gagah membuatnya di kejar gadis-gadis. Dia over protektif sekali, aku nyaris tak bisa bernafas jika dekat dirinya. Jangankan dekat dengan pria, dengan wanita saja harus izin dengannya.
Impianku ingin menikah muda, punya keluarga yang hangat dan bahagia beserta anak-anak yang cantik dan tampan. Ahhh, itu sangat luar biasa.
"Papa.. !" Pria tampan itu sudah menungguku, aku sangat merindukannya. aku merentangkan tangan dan ingin segera memeluknya.
"Sayang." Papa memelukku, tapi tak seerat waktu dulu.
"Apa Papa tidak rindu." bibirku mengerucut dengan masih bergelayut manja.
"Tentu saja Papa rindu, kau gadis Papa yang cantik." Papa menyentil hidungku.
"Ayo kita pulang, aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan Mama!" ucapku penuh antusias.
"Papa ada meeting sebentar di dekat sini. Apa kau mau ikut? Atau Papa minta sopir untuk mengantarmu?" Papa merangkul bahuku.
"Aku ikut Papa." karena aku masih sangat merindukan Papa. Sejak kecil Papa sangat memanjakan ku, dia selalu menggendongku terkadang duduk tinggi di atas bahu kekarnya. Papa cinta pertama ku, muara kasih sayang yang seimbang dengan Mama yang juga selalu terharu jika menatap wajahku. Apa alasannya selalu ku tanyakan, dia berkata wajahku ini mirip dengan kakaknya yang sudah meninggal lebih dulu, Itu menyedihkan.
"Sayang kita sudah sampai." Papa keluar membukakan pintu untukku. Aku seperti tuan putri jika sudah bersama Papa. Aku menggandeng lengan Papa yang kokoh, papaku memang tampan, tampak pegawai wanita masih banyak yang meliriknya. Jika sampai Mama melihatnya, habislah mereka menjadi batu, karena tatapan Mama yang tajam dan dingin seperti serangan Elsa Frozen.
"Selamat siang." Pria dewasa yang bersama Papa itu mencuri pandang padaku. Ish, sudah tua mata keranjang, aku semakin erat mengandeng lengan Papa.
"Ini putriku, Zahira." Papa memperkenalkan aku pada pria yang tak berhenti menatap wajahku. 'Apa yang membuat matanya tak mau berkedip, apa aku ini sangat cantik?' pikirku, terlalu percaya diri.
"Gara." Dia mengulurkan tangannya matanya masih tak lepas dari wajahku. Aku menyambut uluran tangannya, hanya sedikit.
"Papa aku duduk di sana saja, lagi pula aku tidak mengerti tentang bisnis." Ucapku jengah di tatap berlama-lama.
"Iya sayang." Papa mengizinkanku.
Aku memesan makanan yang aku mau, sambil bermain gadget aku menghabiskan waktu menunggu Papa selesai dengan pekerjaannya.
"Sayang, ayo kita pulang." Papa sudah selesai dan ku lirik pria tampan yang sudah sangat dewasa itu masih melihatku sekilas lalu ia pergi tanpa mengucapkan apapun. Apa maksudnya, jika penasaran mengapa tak menanyakan sesuatu padaku, atau dia tak berani karena ada Papa? Tapi mukanya itu mulus sekali, seperti kulit bayi.
Aku melangkah mengiringi Papa masuk ke dalam mobil, duduk di samping Papa adalah kebiasaan ku sejak kecil. Berbeda sekali dengan saudara laki-laki ku, dia tak suka dimanja, cuek dan dingin. Tapi dia sangat menyayangiku, sungguh bahkan dia tak segan menggendongku saat kakiku terkilir di sekolah. Selain karena aku ini gadis yang imut dan bertubuh kecil walaupun aku kakaknya, dia benar-benar pria yang gagah dan tampan sekali, bahkan aku berfikir ingin menikah dengan orang seperti dirinya. Itu sedikit gila.
Tiba di rumah Mama menyambutku dengan hangat, seperti biasa matanya sudah basah dengan air mata, memelukku dengan erat dan hangat menciumi pipi mulusku dan menatapku dari kepala hingga kaki. "Aku sangat merindukanmu." ucapnya terdengar sedih dan dalam sekali.
"Aku juga Mama." Aku bergelayut manja padanya.
Kami bertiga duduk di ruang keluarga bercerita banyak hal sambil berbaring di pangkuan Mama hingga aku tertidur karena sangat lelah. Anehnya setelah aku bangun, aku masih di tempat yang sama dengan selimut tipis menutupi kaki hingga dadaku.
"Kenapa Papa tidak memindahkan aku ke kamar seperti dulu, apa kasih sayang Papa sudah berkurang padaku?" tanyaku pada Papa dia sedang duduk di ruang tamu. Aku-pun duduk di sebelahnya.
"Kau sudah besar Zahira, apa tidak malu di gendong Papa?" Papa balas bertanya padaku.
"Tentu saja tidak." jawabku cuek.
"Kau sudah pantas bersuami, Papa tak boleh terlalu memanjakanmu lagi." Papa menatapku dengan senyum tipis di wajahnya.
Aku jadi berfikir tentang menikah, ah sepertinya itu impian yang indah, tapi menikah dengan siapa?
"Apa yang kau pikirkan Zahira sayang?" Mama datang menghampiri kami.
"Tidak ada Mama, aku bahkan malas memikirkan apapun." jawabku dengan tanpa beban. Membuat Mama menganga tak percaya, dan beralih menatap Papa dengan tajam dan mematikan.
"Itu bukan salahku." Papa salah tingkah dan juga takut.
"Kau yang mengajarinya berkata begitu, sejak kecil dia selalu mengingatnya." Mama tampak geram sekali.
"Tidak." Papa berkilah walaupun percuma.
"Mulai sekarang kau tidak boleh belajar hal apapun darinya, dia tidak akan mengajarkan hal yang baik padamu." Mama bicara padaku.
Aku melotot melihat Mama yang menarik tangan Papa dengan kasar.
"Papa I love you. kau yang terbaik" bisikku masih di dengar Papa.
Papa melepaskan tarikan tangan mama dan mendekat padaku mengangkat sebelah tangannya. "I love you too sayang." lalu kembali mengejar Mama, setelah aku tersenyum penuh semangat.
Suasana yang hangat luar biasa, inilah yang membuatku selalu rindu ingin pulang ke rumah.
"Sayang, mulai saat ini kau tidak boleh membuka hijabmu jika di luar kamar. Dan satu lagi, jangan terlalu manja dengan Papa dan adikmu, kalian sudah dewasa." Mama bicara serius, tangannya membelai rambutku. Aku sedang berbaring di kamar kesayanganku.
"Apa setelah dewasa anak gadis harus menjaga jarak termasuk dengan saudara dan Papa? Yang Umi Nurul ajarkan tidak begitu." Aku menatap manik mata Mama.
"Sayang, Mama harap kau mendengarkan kata mama. Jangan membantah dan jangan lupa kau juga harus belajar tentang bisnis karena kelak kau harus memimpin di perusahaanmu." jelas Mama lagi.
"Tapi aku tidak suka bekerja di perusahaan Mama, itu rumit sekali dan seperti yang Mama tau aku tidak suka berfikir." jawabku.
"Sayang Mama mohon, jika bukan kau lalu siapa?" Mama terlihat kesal karena selalu mendapat jawaban yang sama dariku.
"Kan ada Radit Mama. Dia lebih cocok di jadikan CEO. Pintar, tangguh, gagah dan tampan. Itu keren sekali!" aku sangat bahagia membayangkannya.
Mama menatap wajahku penuh selidik. "Kau mengagumi adikmu yang bandel itu." ucapnya dingin.
"Tentu saja. Dia selalu menjagaku, walaupun terkadang sangat keterlaluan." aku berbalik memeluk Mama, sambil memejamkan mata. Dipangkuan Mama aku selalu tertidur dengan pulas. Sementara Mama tampak tertegun masih memikirkan jawabanku tentang Radit. Aku memang mengaguminya, ketampanannya memang di atas rata-rata.
*
Hari ke tiga ku di rumah, pagi ini Papa dan Mama sudah bersiap untuk sarapan. Aku turun dengan hijab sederhana seperti yang Mama minta, aku harus selalu mengenakan hijabku.
"Hay sayang, duduklah kita sarapan." seperti biasa Papa selalu memperhatikanku, sikapnya selalu penuh kasih sayang.
"Zahira sayang, hari ini kau ikut Papa ke kantor untuk belajar bisnis." Mama berucap sambil tangannya mengisi makanan ke dalam piringku.
"Tapi bukankah aku harus belajar untuk bersiap masuk kampus Mama?" aku mencoba mencari alasan untuk tidak ikut kekantor jika harus belajar bisnis, sungguh aku tidak suka.
"Tidak Zahira, kau akan ke kampus Minggu depan itu juga baru mendaftar." membuatku tak bisa berkutik.
"Hari ini Papa akan ke kantor kontraktor milikmu. Kau harus belajar di sana!" Papa juga tidak membelaku kali ini. Oh tuhan, entahlah apa yang akan terjadi hari ini.
"Aku bersiap dulu Papa." aku menyudahi sarapanku dan segera mengganti baju.
"Tapi sarapanmu belum habis sayang." Mama melihat piringku lalu padaku.
"Tak apa, nanti Papa belikan makanan yang kau suka jika sudah di kantor." Papa merayuku dengan tulus.
Tiba di kantor Kontraktor yang di sebut Papa adalah milikku, aku menyukainya. Sebagian pegawai menyambutku dengan hangat dan tatapan rindu. Ah seperti mereka sangat merindukanku, apa Papa sudah memberitahu tentang kedatanganku?.
"Selamat datang nona?" begitu mereka bergantian menyapa.
"Sayang kau ikut Papa rapat." Papa memintaku untuk mengikutinya. Langkahku ini sangat malas untuk masuk kedalam sana.
"Selamat datang nona!" Para pria dan wanita berjas itu menyambutku dengan senyum manis dan hormat.
"Terimakasih" jawabku sedikit kaku.
Papa memulai rapat dan memperkenalkanku sebagai pemilik yang baru, dia mengatakan aku akan memimpin setelah aku belajar untuk beberapa waktu dan tentunya aku harus kekantor sesering mungkin.
Mataku berhenti ketika menatap seorang yang sedang memandangiku dengan kagum. Pria itu lagi, Kenapa dia ada di kantor ini bukankah ini milikku?" begitu aku berfikir dan rasanya aku mulai lelah. Baru berapa menit aku masuk di kantor ini aku sudah harus berpikir, itu sangat tidak menyenangkan.
"Aku yang akan membimbingmu nona Zahira." Ucap pria tua itu dengan senyum manis di wajahnya. Sesaat setelah rapat di bubarkan dan yang tersisa hanyalah beberapa orang saja.
"Papa, aku tidak mau belajar bisnis dengannya. Bukankah Radit akan kembali dan dia akan memimpin di sini." aku mencoba merayu Papa.
"Sayang, Radit akan memimpin perusahaan yang di pegang Mamamu." Papa meyakinkan aku.
"Tapi Papa, aku tidak suka." jawabku lagi.
"Zahira sayang. Papa mohon cobalah." Papa menatapku dengan lembut.
"Kalau begitu aku akan menikah dengan seseorang yang bisa memimpin perusahaan ini dengan benar, jadi aku tidak perlu bekerja." Aku mencoba menggertak Papa.
"Baiklah, Papa akan menjodohkan mu dengan salah satu orang kepercayaan Papa. Dia pintar, hebat dan handal untuk memimpin perusahaanmu ini."
"Aku setuju." aku menjawab tanpa berfikir lagi. Sudah pasti Papa sangat terkejut, sampai Papa memegang dadanya. Apa Papa sakit jantung? Pikiranku mulai berguna.
"Kau akan menikah dengannya!" tiba-tiba pria yang sering menatapku itu memberikan foto seseorang yang sudah dewasa sekali dan memiliki jenggot serta bulu lain memenuhi wajahnya. Tentu saja nyaliku menciut menatap wajah yang menyeramkan. "Bagaimana pak David anda setuju jika dia menjadi menantumu?" tanyanya lagi.
"Tidak, tidak. Aku tidak jadi menikah muda." aku membatalkan ucapanku. Sepertinya pria itu sedang tersenyum penuh kemenangan. Di ikuti nafas lega dari Papa tentunya.
"Baiklah, belajarlah bekerja." Papa sudah tidak ingin berdebat denganku dia memilih keluar lebih dulu.
*
Malam hari aku merasa sangat lelah, aku benci sekali membayangkan pria berjenggot itu. Seandainya Papa menjodohkanku dengan yang lebih tampan, aku pasti tidak perlu bersusah payah bekerja. Aku mengingat sesuatu!
"Assalamualaikum Radit." aku merindukan perlindungan dari adikku yang tampan itu.
"Wa'alaikum salam Zahira." suaranya terdengar enak sekali.
"Radit, aku menyesal pulang ke sini. Papa memintaku untuk belajar bisnis dikantornya, aku tidak suka." aku mengadu padanya.
"Ikuti saja, itu untuk kebaikanmu Zahira." jawab Radit.
"Tapi aku tidak suka, bukankah ada kau yang akan memimpin nantinya, lagi pula aku tidak mau belajar dengan pria tua yang selalu memperhatikan wajahku." aku masih meminta pembelaan darinya.
"Aku akan pulang minggu depan!" jawabnya dingin. Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku masih menatap ponsel yang ku genggam dengan tak percaya, Radit sudah memutuskan sambungannya tanpa salam.
*
Satu Minggu sudah berlalu, hari-hari yang ku lalui sangat membuatku tertekan. Pria tua itu selalu menyuruhku untuk membuat ulang laporan yang di sampaikan sekretarisku, bukankah itu hanya membuang waktu?
"Aku lapar!" ungkapku padanya. Karena memang aku tak sempat sarapan.
"Aku pesankan makanan, kau mau makan apa?" Tanyanya melihat kearah ku.
"Aku ingin Ayam goreng yang memakai tepung tradisional. Tidak mau yang tepung biasa." Jawabku seenaknya, karena aku tidak menyukai pria itu.
"Dimana harus mencarinya? Permintaanmu menyulitkan anak buahku." ucapnya melirikku sedikit.
"Di Warung pinggir jalan." jawabku acuh. Pria itu menghembus nafas kasar tapi tidak membantah. Hingga beberapa saat pesananku sudah datang. Benar saja Ayam tepung bumbu kuning yang lezat.
"Terlalu lama di Malaysia membuat selera makanmu seperti Upin Ipin!" ucapnya menatapku dengan senyum sinis.
"Aku menghentikan gigitanku sejenak. Kalau kau mau bilang saja!" jawabku melanjutkan aktivitas makan yang sangat enak menurutku. Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Akhirnya aku melewati hari-hari menyebalkan ini. Pukul 17:20 Aku sedang menatap keluar jendela kamarku. Tampak sebuah mobil berhenti di depan rumah dan seorang pria tampan turun dengan gagah.
"Radit!" seruku, walau tak mungkin di dengar olehnya. Aku berlari secepat mungkin menuruni anak tangga hingga kaki ku berhenti di dua urutan terakhir. Radit sedang memeluk Mama dan mencium tangan Papa.
Hingga ia melihatku sudah berdiri di ujung tangga, Radit melepaskan pelukan Papa dan mendekat ke arahku. Langkahnya yang pelan dan menatap tajam padaku, membuatku membeku tak bergerak atau bersuara.
Semakin dekat dan, 'tuiingg...' Dia tersenyum tepat mendongak di hadapanku. Aku langsung tertawa dan menjatuhkan diri memeluknya hingga membuat Radit mundur selangkah karena menahan tubuhku.
"Akhirnya kau datang." ucapku penuh semangat. Itu hanya di balas senyum manis diwajahnya.
Tak kusadari Papa dan Mama memandangi kami dengan tatapan tidak percaya. Dan untuk kesekian kalinya, Papa memijat kening yang luas itu mirip seperti lapangan bola.
*
*
*
Hai. . ini Novel lanjutan dari Novel pertamaku yang berjudul "Jodoh Pilihan Untuk Reva" silahkan di baca biar komplit ceritanya.
#"Sayang, apa harus kita ungkapkan sekarang?" David berkata pelan pada istrinya.
"Tidak, aku belum siap!" Ayu meninggalkan ruangan dimana anak-anak sedang bahagia dengan pertemuan mereka.#
*
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk mendaftar di kampus yang dipilih Papa dan Mama. Aku sedikit berdandan agar tak terlalu polos di lihat calon mahasiswa yang lainnya, lagi pula aku sudah besar, 18 tahun.
"Kau berdandan cantik sekali." Radit menatapku dari atas hingga kaki.
"Tentu saja, apakah tidak malu mengantarkanku jika aku terlihat jelek." jawabku tak peduli dengan tatapan dinginnya. Radit hanya menatap jengah.
"Tunggu sebentar, aku berjanji tidak akan lama!" aku meninggalkan Radit di halaman kampus sendirian. Dia tak menjawab, hanya memakai kacamata dan menyandar di mobil.
Tak sampai satu jam, aku sudah keluar dengan senyum hangat melihat adikku yang tampan masih setia menungguku. Dia terlihat keren sekali walaupun masih 17 tahun tubuhnya sudah terbentuk sempurna dengan kulit yang putih bersih seperti Mama.
"Ayo pulang." Aku berdiri di belakangnya.
Radit menoleh lalu membukakan pintu untukku. Dia selalu memperlakukan aku seperti itu.
"Radit ini bukan jalan pulang, kita akan kemana?" tanyaku penasaran.
"Kita kekantor, aku ingin tau pria yang suka memperhatikan wajahmu itu." jawabnya datar. Biarkan saja, toh aku juga membenci pria itu.
Hingga tiba di kantorku, Radit membukakan pintu untukku dan segera masuk ke dalam.
"Selamat siang Nona Zahira." Pria itu sudah menungguku. Aku berlalu tanpa menjawab masuk keruanganku bersama Radit.
"Kau harus mengerjakan ini hari ini, dan jangan melakukan kesalahan." ucapnya menatap sejenak wajahku. Tentu saja Radit tak akan membiarkan sendirian.
Radit membacakan, dan mengoreksi pekerjaanku, memang Radit memiliki kecerdasan luar biasa. Itu membuat pria tua itu memperhatikan kami berdua. Terlebih lagi saat Radit meletakkan tangannya di kursi yang ku duduki, pria itu terlihat tak suka.
"Apa sudah selesai?" tanyanya lagi.
"Sudah!" kali ini Radit yang menjawab. Radit menyerahkan kertas yang ku print untuk di periksa oleh pria yang sangat pintar mengendalikanku itu.
"Bagus." ucapnya kemudian.
"Apa aku boleh pulang?" tanyaku, karena aku sangat bosan dan ingin beristirahat dirumah, apalagi jika ada Radit. Aku suka menghabiskan waktu dengannya.
"Setelah jam kerja." jawabnya singkat. Itu membuatku jengah.
Sudah satu jam tak memiliki kesibukan apapun, aku keluar meninggalkan ruangan. Melihat kesana kemari memperhatikan setiap isi dari kantorku ini. Mataku berhenti di salah satu ruangan yang bertuliskan DIREKTUR.
Aku penasaran dan mencoba masuk kedalam, belum sempat aku melangkah membuka pintu Papa sudah keluar dari ruangan itu.
"Papa!" ucapku terkejut, dan sepertinya Papa juga sangat terkejut.
"Sayang!" Papa terlihat terburu-buru menutup pintu. Aku jadi penasaran apa yang disembunyikan Papa di dalam sana. "Ayo kita makan siang!" ajaknya.
"Aku ingin masuk Papa." Aku mendorong bahu Papa dan membuka pintu, tapi Papa tetap menahan ku.
"Sayang jangan masuk, ruangannya berantakan." Papa terlihat mencurigakan.
"Apa yang Papa sembunyikan? atau Papa sedang bersama wanita!" aku menatap tajam padanya.
"Tidak, sumpah Papa tidak sedang bersama wanita." jawabnya gugup.
"Ya sudah." jawabku. kali ini Papa tidak bisa lagi menghalangiku. Aku masuk terburu-buru berharap menangkap seorang wanita yang di sembunyikannya dan menghajarnya bila perlu.
Bersih
Rapi
Aku menemukan kenyamanan di dalam ruangan ini, seketika langkahku terhenti saat aku melihat ada foto wanita berhijab terpajang di meja Direktur. Di situ tertulis nama yang cantik Revalia Az-Zahra. Semakin ku dekati foto itu semakin aku penasaran seolah aku mengenalnya, tapi dimana? Ah aku jadi bingung.
"Zahira!" suara Radit memanggilku. Membuatku menoleh pintu. "Zahira ayo kita pulang." Radit membuka pintu dan memintaku keluar. Seperti biasa aku menurutinya dan segera meninggalkan ruangan itu.
"Radit, aku melihat foto perempuan berhijab di ruangan itu." aku bercerita meluapkan penasaranku pada Radit.
"Benarkah, lalu?" ucapnya seperti tidak terlalu menanggapi.
"Dit, aku penasaran." aku sedikit merengut.
"Untuk apa, itu foto kakaknya Mama." Radit menjelaskannya seakan sudah tau banyak hal.
"Berarti kakaknya Mama seorang Direktur." tanyaku lagi menatap Radit yang fokus menyetir.
"Hemm" jawaban yang sangat singkat.
Aku jadi penasaran dan memikirkan banyak hal, hari-hariku di kantor benar-benar sudah merubahku. Tadinya aku sangat malas berfikir dan ingin hidup tenang, tapi semenjak belajar bekerja aku jadi banyak pikiran. Sungguh aku sangat lelah, lebih baik aku tidur saja.
Aku terbangun setelah adzan ashar berkumandang, ku lihat sekelilingku, aku sudah ada di dalam kamarku. Sudah pasti Radit yang menggendongku, aku jadi tersenyum sendiri membayangkan Radit menaiki tangga.
Sholat yang begitu hikmat, aku menunaikan ibadah ku di dekat jendela di mana angin bisa menerpa mukena ku. Seakan Allah sedang menyapa dengan penuh kasih sayang.
"Sayang, Radit bilang kau belum makan siang." Mama masuk kedalam kamarku. Duduk di ranjangku sambil menatap wajahku seperti tak ingin berpaling.
"Ma," Panggilku mendekati Mama.
"Iya, ada apa sayang?" Mama mengelus bahuku.
"Tadi aku melihat foto wanita berhijab di kantor Papa. Dia sangat cantik, namanya Revalia Az-Zahra. Apa dia kakaknya Mama?" tanyaku pelan.
Mata Mama sudah berembun, ada banyak kesedihan di sana. "Iya." jawabnya.
"Kapan dia meninggal?" tanyaku lagi.
"Sudah sangat lama, sekitar 17 tahunan lebih." ucapnya menahan air mata.
"Apa aku sempat mengenalnya?" aku sedikit tersenyum tak percaya. Tapi malah membuat Mama menangis, terisak sedih sekali.
"Mama, maafkan aku." aku sangat menyesal karena sudah banyak bertanya padanya, dan pada akhirnya Mama meninggalkan aku keluar menuju kamarnya. Mama pasti sedang menangis di sana.
Aku turun kebawah menuju meja makan, ku lihat di ruangan keluarga dan ruangan yang lain tapi tidak menemukan Mama. Aku duduk sendirian menopang dagu, sungguh tidak bermaksud membuat Mama bersedih.
Radit meraih tanganku yang sedang menopang dagu. "jangan melamun, Ayo makan." Radit mengambilkan makanan untukku. Tak mungkin aku menolaknya, entah kenapa setiap kali Radit melakukan sesuatu untukku aku selalu akan menurutinya.
"Apa perlu aku suapi." tanya Radit lagi melihat wajahku dari dekat.
"Tidak, aku akan makan sendiri." Perlahan menyuapkan nasi ke dalam mulutku. Perutku memang sudah sangat lapar sehingga tak terasa aku menghabiskan makanannya.
"Lagi?" Radit dengan setia melayaniku. Sumpah demi apapun aku merasa sangat spesial didalam keluargaku ini.
"Tidak, aku tidak ingin gendut." jawabku.
"Tidak masalah sedikit gendut, aku masih kuat menggendongmu." Radit menyindirku karena tadi tidur di mobil.
"Aku tidak ingin gendut. Aku harus tetap cantik agar segera mendapatkan calon suami yang tampan, jadi biar suamiku saja yang bekerja." Jawabku masih tentang bekerja.
"Tampan seperti apa?" Radit bertanya tanpa menatapku.
"Sepertimu saja sudah membuatku sangat beruntung." jawabku putus asa mengingat pria berjenggot yang di jodohkan Papa
Radit menatapku sangat lama, sedikit senyum terukir di bibir merahnya seolah dia menemukan sesuatu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!