Pagi yang cerah untuk memulai hari yang indah. Mungkin begitu yang sedang dipikirkan oleh Dinda Lestari, ex-mahasiswa yang baru saja menyandang gelar sarjananya sebulan yang lalu. Saat ini dia sedang memilih - milih baju yang akan digunakannya untuk hari pertama bekerja.
Hari Minggu adalah hari dimana orang - orang bermalas - malasan. Tetapi, tidak dengan Dinda yang sudah siap dengan banyak cuciannya pagi ini. Ia mencuci beberapa potongan blazer, kemeja, celana bahan yang dibelinya kemarin.
“Din, harusnya kamu cuci dari kemarin. Kalo hari ini hujan, nanti gak kering, lo.”, sahut Ratna, Ibu Dinda yang juga tengah sibuk di dapur menyiapkan pesanan catering khitanan.
“Gapapa, bunda. Khusus yang untuk besok sudah Dinda siapin. Baju yang waktu itu dipake buat interview.”, jawab Dinda sambil menggantung satu per satu hanger baju ke atas jemuran.
“Ya sudah kalau begitu. Bagus. Ohiya, abis itu, bantuin bunda bungkusin nasi kuningnya, ya. Sudah ditunggu. Nanti Arga mau antar jam 10.”, sahut Ratna kembali.
Ratna, Ibu Dinda menekuni pekerjaannya sebagai jasa penjual katering makanan untuk acara - acara besar atau rumahan sejak 10 tahun yang lalu.
Dulu, waktu masih muda, Ratna bisa dengan cepat menyiapkan katering. Sekarang, ia harus dibantu oleh putra dan putrinya karena sudah sering sakit pinggang kalau duduk terlalu lama.
“Mba, kerja dimana sih?”, Arga muncul dengan rambut yang masih acak - acakan dari kamar sambil melingkarkan handuk di lehernya.
“Perusahaan Consulting Multinasional. Pokoknya keren, deh. Gak mudah masuk situ.”, sahut Dinda dengan bangga.
Dinda sudah sebulan tekun mencari pekerjaan di berbagai perusahaan yang sesuai dengan jurusannya. Harapan sebenarnya adalah bisa mendapatkan pekerjaan begitu selesai kuliah. Tetapi, tidak seperti teman - temannya, ia butuh waktu sebulan untuk mendapatkannya.
Dinda juga harus legowo karena pekerjaan yang dia dapat belum sebagai full-time employee alias staf permanen, tetapi hanya intern.
“Kalo intern berapa lama kontraknya, mba?”, tanya Arga lagi.
Di mulutnya sekarang sudah ada telur yang dia comot sembarangan dari baskom catering ibunya.
“Kontraknya 1 tahun. Nanti kalau kerja mba bagus, bisa diangkat menjadi karyawan full-time.”, sahut Dinda yang sudah siap mengambil tempat duduk untuk membungkus paket nasi kuning ibunya.
“Wah lama juga ya… Aku nanti gimana, ya?”, sahut Arga.
Dinda menganggap Arga lucu kalau dia sudah membicarakan hal serius. Biasanya dia hanya sibuk berkumpul dengan teman - temannya. Tetapi semakin kesini dia sudah mulai memikirkan masa depannya juga.
“Bisa dibilang begitu. Sekarang susah kalau mau cari yang langsung permanen. Gajinya juga lumayan. Tapi jangan pikir intern disini kerjaannya cuma foto copy aja, ya.”, tutur Dinda sambil dengan telaten mencetak nasi kuning dan kemudian memasukkannya ke dalam kotak plastik.
“Eh aku kira gitu. Baguslah kalau gitu. Ya udah buruan bungkusnya. Jam 11 aku mo main ke rumah temen.”, Arga menyeruput minum untuk membantunya menelan dua buah telor rebus yang sudah dia masukkan tadi ke dalam mulutnya. Tak lama, dia langsung mencelos ke kamar mandi.
****
“Ternyata gak semudah ini. Kemarin perasaan pas interview jaraknya dekat. Kenapa sekarang jadi jauh banget, ya.”, Dinda mengeluh sambil mengusap keringatnya dengan tisu. Dia baru saja menaiki kendaraan umum untuk mengantarnya ke kantor barunya.
“Mba, maaf permisi, saya hamil, boleh minta tempat duduknya.”, seorang penumpang yang tengah hamil mencolek lengannya untuk berganti tempat duduk.
“Oh iya, silahkan mba.”, jawab Dinda dengan senyum.
‘Padahal aku udah jalan 10 menit dan nunggu sepi biar dapat tempat duduk. Sekalinya dapet, kenapa ada orang hamil. Kadang aku pengen hamil aja, biar dapat tempat duduk.’, pikirnya menggerutu di dalam hati, meskipun tadi wajahnya sangat ramah.
Kendaraan melaju dengan lambat. Macetnya luar biasa. Kalau di total - total, waktu perjalanan yang ditempuh sekitar 1 jam. Padahal sudah berangkat sangat pagi.
Sesampainya di kantor.
“Selamat pagi, mba. Saya intern baru disini. Mau ke lt. 15. Perusahaan Consulting.”, tutur Dinda begitu sampai di lobi depan.
“Ohiya, silahkan kartu identitasnya. Ini akses masuknya, ya.”, resepsionis tersenyum dan memberikan kartu akses padanya.
“Terima kasih, mba.”, jawab Dinda singkat sambil tersenyum.
Ia mulai melewati pintu masuk lift. Beruntung dia masih ingat caranya menggunakan kartu akses. Gedung ini termasuk yang paling canggih. Kita tidak perlu lagi menekan nomor lantai di lift. Begitu masuk di gerbang depan lift, kartu akses akan membaca pengaturan lantai yang kita tuju dan memberitahukan lift mana yang harus dinaiki.
“Aduh!”, Dinda tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya karena bersenggolan dengan seseorang saat memasuki lift. Ia mengambil kembali dengan hati - hati. Beruntung ponselnya tidak terjun ke sela - sela lift.
‘Kenapa orang yang nabrak gak minta maaf, sih! Udah jelas - jelas dia yang nabrak duluan.’, Dinda hanya bisa menggerutu karena orang yang menabraknya tidak meminta maaf padanya.
Pria itu berperawakan tinggi. Setelannya parlente dan ada aroma harum yang khas keluar dari tubuhnya. ‘Sangat menggoda’, pikir Dinda.
‘Pasti parfum mahal. Aromannya bikin betah. Eh ngomong apa sih aku. Apa ini pengaruh karena aku sudah beranjak dewasa, ya.’, ucap Dinda dalam hati.
Dinda tak berani bersitatap dengan orang itu. Ia hanya berani melihat pantulan kartu yang dikalungkan di leher pria itu pada pantulan cermin lift.
‘Arya Pradana.’, Dinda membacanya dengan pelan di dalam hati.
Ia masih tidak ingin menatap orang itu. Auranya sangat kuat. Seperti dosen killer yang menangkap basah siswanya saat datang terlambat.
‘Tunggu, aku baru sadar, di lift ini hanya aku dan dia, ya. Tidak ada orang lain. Arya Pradana… seperti pernah lihat. Tapi lupa dimana.’, tutur Dinda masih di dalam hati.
Karena sangat gugup, terburu - buru dan lelah, dia tidak sadar bahwa lift yang akan mengantarkannya ke lantai 15 ini hanya ada mereka berdua saja.
Ting.. pintu lift terbuka. Pria itu langsung melengos keluar. Setelannya rapi dengan sebuah tas dokumen bermerek di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sedang memegang segelas kopi yang sesekali ia seruput.
Laki - laki itu menempelkan kartu akses ke pintu perusahaan yang sebentar lagi juga akan dimasuki oleh Dinda. Tak lama berselang, pria itu menghilang dibalik pintu. Dinda masih tidak bisa melupakan aroma parfumnya.
‘Semoga dia bukan di divisi yang sama denganku. Sekali lihat saja sudah tahu kalau dia itu pasti bos, selevel manager atau Kepala Divisi. Auranya benar - benar menyeramkan. Sudah pasti galak. Mana tadi gak lihat wajahnya lagi.’, ujar Dinda di dalam hati.
Berbeda dengan lelaki yang bernama Arya, Dinda hanya bisa melengos ke bagian security untuk meminta dibukakan pintu. Ia masih intern dan belum memiliki kartu akses masuk ke kantor. Ia hanya punya akses masuk ke lantai 15 saja.
****
“Oke, semuanya sudah ditandatangani, ya. Ini kartu akses kalian. Nanti masing - masing Supervisor kalian akan memperkenalkan kalian ke bagian masing - masing. Semoga betah, ya kerja disini.”, begitulah kira - kira sambutan dari HRD kepada kami para intern.
Ada 10 orang intern yang masuk di periode penerimaan ini. Kami tidak benar - benar tahu ada berapa pendaftar. Yang jelas, kuartal ini paling banyak menerima intern.
“Ohiya, Dinda. Khusus untuk kamu langsung ke ruang meeting ‘Amerika’ aja, ya. Divisi kamu kebetulan jam 10 ada Town Hall. Nanti disana kamu langsung ketemu sama supervisornya, ya.”, HRD tadi menghentikan langkah Dinda yang baru saja ingin keluar dari ruangan itu.
“Oh iya, Bu. Maaf, ruang meeting ‘Amerika’ itu sebelah mana, ya?”, tanya Dinda dengan tenang. Tetapi sebenarnya dalam hati dia sangat deg - degan. Masa di hari pertama sudah ada Town Hall.
‘Eh tapi ngomong - ngomong, Town Hall itu apa ya?’, gumamnya dalam hati.
“Kamu ingat tempat wawancara ketiga dengan calon supervisor kamu? Nah, dari situ kamu tinggal lurus, nanti belok ke kanan langsung ruang meeting ‘Amerika’, ya. Kebetulan deket - deket situ juga adalah area divisi kamu.
“Oh, baik. Makasih ya, Bu.”, jawabnya berusaha dengan tenang.
“Ohiya, nanti kalau misalnya ada ribut - ribut atau marah - marah, jangan takut, ya. Udah biasa. Dan kamu-kan baru masuk, jadi pastinya bukan kamu yang dimarahi.”, tambah HRD itu lagi sambil tersenyum.
‘Duh, gimana nih. Jadi makin tegang, kan. Masa baru pertama bekerja sudah harus lihat orang marah - marah. Mana aku bawaannya paling gak bisa lihat ada keributan. Semoga aja HRD ini cuma nakut - nakutin aja.’, celetuk Dinda dalam pikirannya.
Dinda berjalan sambil melirik kanan kiri. Meskipun gugup, dia masih sempat untuk mengagumi tempat kerja itu. Ia bisa melihat beberapa orang yang sedang berbicara di telepon. Beberapa lagi masih santai berbincang sambil menyeruput kopi. Ada juga yang sudah berlari panik ke mesin fotokopi.
Dari kejauhan Dinda tak sengaja bertemu pandang dengan Devan, pria yang juga satu periode intern dengannya tadi. Mereka sebenarnya tidak saling kenal. Hanya karena berada di ruang yang sama tadi, Dinda jadi merasa perlu untuk tersenyum.
Dinda mendongak ke atas, tertulis ‘Marketing Division’. Sepertinya dia ditempatkan di divisi Marketing, begitu pikirnya. Pria itu juga berbalik senyum padanya.
Dinda meneruskan langkah untuk mencari ruang meeting yang digunakan saat interview beberapa waktu lalu. Dia sudah lupa - lupa ingat sebenarnya. Akhirnya dia bertanya saja dimana ruang meeting Amerika pada seorang karyawan wanita yang sedang memfotokopi materi di bilik kiri.
“Oh kebetulan saya juga mau ke ruang meeting Amerika. Kamu bareng saya, aja.”, begitu jawabnya saat Dinda bertanya. Nada suaranya sangat ramah. Rasa gugup Dinda perlahan hilang.
‘Mungkin cuma perasaanku saja. Orang disini kaya-nya ramah - ramah.’, ujarnya.
“Makasih, mba.”, jawab Dinda singkat sambil mengikuti mba yang tadi.
“Kamu baru, ya? Saya belum pernah lihat.”, Dia masih sibuk mengubah - ubah urutan kertas yang ada di tangannya.
“Oh iya mba, saya intern baru untuk divisi `Digital and Development’.”, jawab Dinda singkat. Dia masih belum terbiasa. Daripada dianggap sok akrab, Dinda memilih singkat sesuai pertanyaan.
“Ahh.. divisi sebelah, ya. Kebetulan Head-nya lagi gak ada, tuh.”, jawab mba itu santai.
“Ohiya, aku Rhea. Aku Assistant Manager di Divisi Analytics. Dulu aku juga intern kaya kamu. Biar gak tegang. Bahasanya aku ubah, ya. Anyway, kita akan banyak ketemu juga nanti di pekerjaan. Meskipun gak sering. Nah, ini dia ruang meeting Amerika. See you later, ya.”, wanita yang bernama Rhea itu langsung masuk dan mengambil duduk.
Ruangan itu sangat besar, tetapi hanya ada beberapa bangku di dalamnya. Setidaknya setengah dari kapasitas orang yang hadir. Dinda sudah bisa tahu kalau yang duduk pasti mereka yang memiliki jabatan saja. Seperti halnya Rhea. Dia sudah siap dibangku tengah. Sebelum itu, dia tadi meletakkan bahan yang ia print di atas meja depan.
Satu per satu karyawan mulai memasuki ruangan dan mengisi kursi yang ada. Terpantau masih ada beberapa tempat duduk yang kosong, tetapi banyak yang tidak berani mendudukinya. Tak lama berselang, muncul beberapa karyawan lain yang dari penampilannya sudah pasti para bos - bos besar selevel Manager. Diantara mereka ada yang menepuk bahu Dinda. Seorang wanita dengan perawakan tinggi dan jenjang, heel berwarna abu - abu, jas simpel dan sebuah kopi di tangannya. Persis seperti model. Rambutnya halus panjang dan berwarna pirang. Sepertinya sengaja dicat.
Ia juga menggunakan nail-art yang tidak biasa untuk ukuran karyawan. Nail artnya berwarna warni dan ada sedikit ornamen tapi karena terlalu kecil, Dinda tidak bisa mengenalinya. Pakaiannya seksi, roknya dibawah lutut tetapi ada belahan sampai sekitar 5 cm diatas lutut.
Dinda langsung mengenali orang itu. Dia adalah supervisor-nya. Manager yang beberapa waktu lalu mewawancarainya.
Dinda langsung tersenyum sambil menyambut tangan wanita itu. Dinda hampir saja tidak mengenalinya, karena penampilannya sedikit berbeda dari pertama kali mereka bertemu. Rambutnya memang sudah pirang, tetapi saat itu dia tidak mengenakan pakaian rapi dan rambutnya juga digulung ke atas serta berkaca - mata.
“Selamat bergabung ya, Dinda. Kita meeting dulu, nanti saya akan brief kamu setelah ini. Di dengerin aja dulu, ya. Sama jangan kaget, ya.”, tuturnya sambil tersenyum dan meninggalkan Dinda untuk mengambil duduk di salah satu bangku. Y
Ia duduk di samping seorang laki - laki. Ia mengenal laki - laki itu. Meski tak begitu memahami posisinya, tetapi dia memiliki level yang lebih tinggi dari pada supervisor Dinda tadi di tim Digital and Development. Kebetulan, dia juga mewawancarai Dinda saat proses rekrutmen. Lebih tepatnya menjadi juri untuk semua pelamar yang masuk dalam kandidat shortlisted sebanyak 20 orang.
Meskipun tidak sama, tetapi perkataannya persis seperti HRD tadi. Sebenarnya akan terjadi apa sih di meeting ini. Begitu kira - kira pikiran Dinda.
Bersambung...
Semua orang sudah duduk dengan rapi. Setidaknya ada 25 orang yang duduk di bagian tengah mengelilingi meja berbentuk persegi panjang dan 35 orang yang berdiri mengitarinya. Meeting masih belum dimulai. Mereka masih menunggu kehadiran seseorang yang paling penting disini. ‘sepertinya’.
Lima menit berselang, seorang laki - laki yang jelas sekali pernah dilihat oleh Dinda berlalu masuk. Ia masih memegang tumbler yang kemungkinan besar berisi kopi di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang sebuah tablet PC.
“Pagi Team!.”, sapa laki - laki itu lantang saat memasuki ruangan. Tentu saja, Dinda sudah bisa mengambil kesimpulan kalau dia adalah orang dengan level yang paling tinggi di ruangan ini.
“Sorry, tadi saya harus ada call dulu 30 menit dengan regional, dan ternyata melebar sampai 10.10. Kalau saya tidak bilang sekarang akan ada Town Hall. Mungkin regional akan terus bahas sampai makan siang.”, pungkas-nya langsung ketika dia sudah sampai di depan meja.
Dengan cepat Arya, orang yang satu lift dengan Dinda tadi menghidupkan proyektor dan mengambil kertas presentasi yang tadi Rhea taruh di atas meja.
Selama kurang lebih 30 menit, laki - laki itu berbicara di depan. Mayoritas adalah tentang update perusahaan saat ini, target kedepan, dan update per divisi. Dinda mendengarkan dengan saksama meskipun tidak semua hal disitu yang ia paham. Dia melihat sekeliling, semua orang juga tampak mengangguk - angguk saja.
Mereka - mereka yang duduk di bagian tengah yang bersitatap lebih serius dengan Pak Arya. Sesekali mereka juga tertawa kecil karena ada beberapa lelucon tingkat tinggi yang keluar. Lelucon yang hanya para bos - bos saja yang paham.
Masuk ke bagian inti dimana sedikit menegangkan dan setidaknya berlangsung selama 15 menit. Suara bariton pak Arya yang tadinya bersahabat, lantang, dan ramah kini bersambut dengan nada tajam seperti pisau. Tidak jelas apa yang dia katakan, karena sebagian menggunakan bahasa Inggris.
Sepertinya Pak Arya sedang membahas performa dan menunjuk beberapa orang. Nadanya keras. Sesekali ia bertanya pada beberapa orang dan momen itu benar - benar sangat menegangkan.
‘Mungkin ini yang dimaksud oleh Ibu HRD, tadi.’, gumam Dinda di dalam hati.
Padahal dia baru masuk dan yang pasti tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. ‘Rakyat jelata intern seperti dia, tidak ada di ruang meeting itu juga tidak ada bedanya’, pikir Dinda.
Tapi, kemarahan yang dilayangkan pak Arya pagi itu membuat dirinya juga ikut merinding. Dinda tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya dengan orang yang dimaksud dan disinggung oleh Arya.
Dinda tidak mengerti keseluruhan kronologinya. Dia hanya ingin segera keluar dari ruangan ini dan menikmati hari pertamanya menjadi karyawan. Apa intern seperti dia juga akan dimarahi sebegininya kalau ada kesalahan? Dinda bisa membayangkan bahwa dia pasti sudah menangis jika terlibat dengan konflik disini.
“Oke. Masalah yang tadi akan kita diskusikan lagi lebih privat. I just want everyone to know. So that when the Region touches this topic, you have the idea about it, at least.”, nada pak Arya sudah mulai gentle seperti awal tadi.
“Oke, teman - teman dari Digital pasti bertanya - tanya kenapa ada di ruang meeting ini juga. Singkat cerita, karena Head Digital Pak Sutiyoso baru saja resign dan cukup mendadak, jadi untuk sementara saya yang akan bertindak ‘Acting as Head of Digital and Strategic Development’. Semua laporan dan tanda tangan serta approval, ke saya.”, kalimat terakhirnya membangunkan Dinda.
“Saya tidak akan banyak ikut campur dalam strategi dan inisiasi. Tetapi saya akan bertindak sebagai reviewer.”, lanjutnya lagi.
‘Berarti sebenarnya dia bukan di divisi aku secara langsung. Artinya kecil sekali kemungkinan aku akan pernah berhubungan dengan si Pak Arya ini, selama bekerja disini. Semoga tebakanku benar.’, pikir Dinda.
“Oke, meeting selesai. Silahkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan teman - teman. Setelah itu lanjut bekerja. Selamat Pagi.”, Pak Arya segera melengos pergi sambil membawa dua orang lainnya termasuk mba Rhea keluar ruangan meeting.
Sepertinya mereka akan lanjut meeting tambahan. Dinda tidak peduli dan segera mengambil burger yang ada di meja luar.
*****
“Assalamu’alaikum.”, Dinda mencelinguk ke rumah dengan hati - hati.
Dilihatnya ada satu mobil terparkir di luar. Sepertinya ada tamu di rumah. Baru saja melirik ke ruang tengah, Dinda sudah bisa memastikan bahwa bunda sedang kedatangan tamu.
“Eh, sudah besar sekali ternyata Dinda. Masih ingat sama tante?”, suara yang sangat familiar buat Dinda.
“Tentu saja tante. Masa lupa. Walaupun sudah lama gak bertemu sapa. Tapi wajah tante masih awet muda. Jadi gak lupa.”, jawab Dinda mencoba untuk sedikit hiperbola sambil mencium tangan Inggit. Dulu sekali, Inggit adalah tetangganya. Meski tidak bersebelahan persis, tapi tante Inggit sangat aktif di kompleks perumahannya yang dulu.
Ibu Inggit-lah yang membantu ibunya untuk bangkit setelah ditinggal kabur oleh ayah Dinda waktu itu. Sudah 10 tahun lebih peristiwa itu terjadi. Tetapi, setiap mengingat luka itu, Ratna masih saja sedih.
Mengapa tega laki - laki yang pernah sangat ia cintai meninggalkannya yang tidak bekerja, bersama dua orang anak yang masih kecil dan perlu sekolah.
Inggit juga menyayangkan hal itu. Hingga kini ia tidak pernah menyangka Baskoro tega membuang keluarganya.
Meski tidak akrab, tetapi Baskoro beberapa kali pernah ke rumahnya dan mengobrol dengan Kuswan (Suami Inggit). Tentu saja, mereka dahulu bertetangga dan hal itu biasa. Inggit yang saat itu sudah pindah rumah mendengar cerita itu dari mulut tetangga saat arisan. Inggit kasihan dan sangat ingin membantu mereka.
Inggit adalah orang yang serba berkecukupan. Tetapi, ia dikenal sangat dermawan, sama seperti mendiang ayahnya, yang seorang tentara. Inggit membantu memberikan modal pada Ratna membuka usaha katering.
Dulu belum banyak yang punya usaha katering. Mengingat Ratna tidak tamat sekolah dan saat itu hanya Ibu rumah tangga, Ia hanya percaya diri pada kemampuan memasaknya.
Tidak sampai disitu, Inggit juga membantu menyewakan rumah yang bahkan saat ini sudah ia jual pada Ratna dengan sistem mencicil tanpa bunga. Rumah itu hanya 1 dari beberapa rumah warisan orang tuanya. Daripada tidak digunakan, ia jual pada Ratna.
“Kata Ibumu, kamu sudah bekerja ya, sekarang? Dimana? Ya ampun cepat sekali waktu berlalu, ya.”, tante Inggit mempersilahkan Dinda duduk.
“Iya tante, sekarang masih intern. Baru masuk hari ini.”, jawab Dinda singkat.
“Oh, semangat ya kerjanya. Semoga sukses karirnya. Ya sudah mandi dulu dan istirahat, pasti capek.”, ujar Inggit kembali.
Sebenarnya Dinda penasaran kenapa tiba - tiba tante Inggit ke rumahnya. Terakhir tante Inggit datang ke rumah sudah sekitar 5 tahun yang lalu. Tante Inggit memang sangat baik, tapi levelnya berbeda. Apalagi, jalan ke rumah ini juga susah, harus masuk gang yang hanya muat satu mobil saja.
Dulu, Inggit lama di luar kota. Anak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Amerika.
Selain anak perempuan, Inggit juga memiliki dua orang putera. Satu yang paling besar sudah menikah. Sedangkan yang satunya lagi sedang kuliah sambil bekerja. Inggit baru saja pindah lagi dan menetap di kota ini sejak tiga tahun yang lalu dan mungkin baru sempat berkunjung ke rumah Ratna sekarang untuk silaturahmi.
Dua jam sebelum kepulangan Dinda…
“Aku pusing rat, anakku yang laki - laki sudah hampir tiga tahun ini sibuk dengan karirnya saja.”, ungkap Inggit pada Ratna. Awalnya Inggit hanya ingin bersilaturahmi saja. Ia ingin melihat bagaimana kehidupan Ratna sekarang. Besar harapannya semua baik - baik saja.
Awalnya, mereka hanya mengobrol santai mengingat - ingat tetangga - tetangga mereka dulu. Nostalgia mengenang masa - masa indah dahulu saat masih tinggal di daerah yang sama.
Sesekali tawa mereka pecah karena teringat kejadian lucu tempo dulu. Lama kelamaan, Inggit mulai nyaman mengobrol sampai ia ingat permasalahan yang memenuhi pikirannya beberapa waktu terakhir.
Dia bingung ingin cerita pada siapa. Cerita persoalan ini pada teman arisan sama saja memberikan makanan pada singa yang lapar. Mereka sudah cukup menggunjingkan soalan yang berhubungan dengan permasalahannya. Bahkan tanpa Inggit cerita, mereka seolah mendapatkan kabar dari berbagai sumber.
Tidak sedikit juga berita yang beredar malah lebih buruk dari yang seharusnya. Maklum, sudah banyak bumbu - bumbu yang ditambahkan.
“Anakku itu sudah lama bercerai dengan istrinya. Tapi seperti tidak ingin menikah lagi. Aku jadi bingung. Mas Kuswan juga jadi stress mikirin dia. Kadang juga sering bertengkar kalau lagi bahas masalah itu.”, Inggit menceritakan masalahnya. Ia memijat keningnya.
Kesendiriannya di rumah membuatnya jadi terus memikirkan tentang anak laki - lakinya yang paling besar. Sejak menikah, dia sudah tidak tinggal di rumah. Dia memilih tinggal di apartemen.
Setelah bercerai, dia tetap saja tinggal disitu. Baru tiga bulan yang lalu, anaknya itu pindah ke rumah karena Inggit memaksanya.
“Aku tidak bisa banyak komentar. Anakku masih kecil, mba. Aku gak tahu bagaimana berhadapan dengan anak laki - laki yang sudah dewasa seperti nak Arya. Terakhir melihat dia saja mungkin sudah 8 tahun yang lalu, ya. Sudah lama waktu antar katering.”, jawab Ratna sedikit tertawa. Inggit juga ikut tertawa karena tanpa sadar memang sudah lama mereka sudah tidak saling kontak.
Berhubungan masih, tetapi hanya sebatas berkabar saja. Itu juga bisa berjarak tahun.
Lama mereka ngobrol santai sambil Inggit mengeluarkan unek - uneknya yang lain tentang anak - anaknya, anak perempuannya yang sudah ingin cerai juga, Kuswan yang selalu saja berselisih dengan Arya dan banyak hal lainnya. Tak terasa waktu dua jam habis begitu saja.
Inggit mendengar suara salam dari arah depan. Setelah ia sadar siapa yang mengucapkan salam, Inggit jadi terpana. Ia melihat gadis kecil yang dulu ia lihat menangis di depan rumah karena ibunya pingsan.
Dinda, putri pertama Ratna sudah besar. Ia tidak pernah melihat Dinda setelah insiden ayahnya kabur dan tidak pernah kembali. Inggit yang menemui Ratna. Kalau bertemu pun, mereka biasanya bertemu di luar. Kalau Inggit ke rumah, selalu tidak pernah bertemu Dinda.
Parasnya ayu. Rambut panjangnya ia biarkan rapi menjuntai melebihi bahu. Ia mengenakan pakaian formal yang membuat Inggit bisa menyimpulkan bahwa Dinda sudah bekerja. Memang waktu tidak terasa, tahu - tahu sudah berlalu saja. Begitu kira - kira yang ada di pikirannya.
Sepanjang Dinda berjalan, Inggit tak henti - henti memandangnya. Benar - benar cantik dan ayu. Auranya lembut dan senyumannya juga manis. Seketika Inggit langsung merasa tersihir.
Bersambung…
Sejak pulang dari rumah Ratna, Inggit masih tidak berhenti memikirkan Dinda. Gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa. Dari cerita Ratna, dia juga gadis yang bertanggung jawab, pekerja keras dan cerdas. Walau baru pertama bertemu, Inggit tahu, gadis ini menuruni sifat ibunya.
Inggit masih melamun sambil tersenyum di meja makan yang sepi. Suaminya sudah lebih dahulu makan dan sekarang tidur di kamar. Badannya sedang kurang sehat. Sudah beberapa pekan naik turun. Mungkin faktor usia dan pikiran.
Sedangkan Inggit masih setia menunggu putranya pulang. Sudah lama mereka tidak duduk dan makan bersama. Pucuk dicinta ulampun tiba. Tak lama terdengar suara pagar depan dibuka dan klakson mobil berbunyi. Pertanda Arya sudah pulang.
“Arya, kamu tidak melihat ada mama, disini?”, Arya yang baru masuk rumah langsung melengos ke tangga menuju lantai 2. Bukan tidak melihat. Mustahil dia tidak melihat mamanya karena dia pasti melewati meja makan saat akan ke lantai 2.
Arya berhenti dan menoleh sedikit ke belakang.
“Kenapa, ma?”, jawabnya dengan nada lelah dan malas.
Ia sudah tahu apa yang akan disampaikan mamanya. Hampir setiap hari sejak tinggal kembali di rumah, Arya selalu mendapatkan komplain yang sama dari mamanya.
“Kalau kamu cuek begini, buat apa pindah kesini?”, jawab Inggit sendu. Ia sedang marah tapi nada bicaranya masih lembut, tidak ketus.
“Ya kan mama yang suruh aku pindah kesini. Mana sampai pake drama - drama segala.”, Arya menjawab sambil berbalik menghadap mamanya.
“Makan sama mama, ya.”, pinta mamanya dengan sedikit memelas.
Akhirnya dia mencoba mengesampingkan egonya karena dia tahu mengomeli Arya hanya akan menambah jarak hubungannya dengan Arya. Cukup Kuswan yang tegas, dia harus tetap lembut dan tenang.
Arya merasa kasihan dan berjalan malas ke meja makan. Dia sebenarnya sudah makan, tapi daripada malam ini jadi drama lain, dia ikut saja mau mamanya.
Mereka makan dalam diam. Sesekali Inggit membuka pembicaraan ringan seperti bagaimana di kantor, jalanan, kabar teman, dan lainnya. Hanya hal kecil agar suasana malam itu tidak tegang.
Arya hanya menjawab seperti murid yang diberi pertanyaan. Singkat, padat, dan jelas. Bahkan tak jarang, Arya hanya menjawab Ya atau Tidak. Hal ini membuat Inggit harus memutar otak mencari pertanyaan yang tepat.
“Arya, mau sampai kapan kamu begini?”, tanya Inggit mulai berani membuka topik sensitif.
“Maksud mama?”, jawab Arya tanpa memandang mamanya dan terus menyendok makanan.
“Sampai kapan kamu sendiri? Kamu tidak mau menikah lagi?”, Inggit sebenarnya takut membuka topik ini. Tapi mau tidak mau dia harus.
Kuswan suaminya, bukan tak pernah memikirkan Arya. Setiap hari kondisinya memburuk karena memikirkan anaknya yang satu ini. Di rumah seperti tidak ada kehidupan. Berangkat pagi pulang malam. Kadang tak satu dua malam Arya pulang dalam keadaan mabuk.
“Papa kamu, mau sampai kapan kamu menyiksa papa kamu dengan kelakuan kamu yang gak jelas. Lupain Sarah, dia bukan wanita yang baik buat kamu.”, Inggit mulai berani mengungkit masa lalu lebih dalam.
Bunyi sendok dan garpu dijatuhkan ke piring sembarangan menggema. Inggit terkejut.
“Arya, mau kemana kamu?”, Arya berdiri. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, papanya menghadangnya. Entah sejak kapan papanya keluar dari kamar.
Mereka tidak menyadari kalau Kuswan sudah memperhatikan percakapan itu dari tadi. Hari sudah larut. Inggit sengaja mengurangi lampu penerangan yang menyala. Akibatnya, hanya area meja makan saja yang mendapatkan cahaya.
“Arya, papa tidak pernah minta apapun dari kamu. Sekolah, karir, jodoh, semua tidak pernah papa atur ke semua anak - anak papa. Karena papa anggap kalian yang punya kendalinya. Tapi, kali ini papa gak bisa liat kamu menghancurkan hidup kamu seperti ini.”, kata Kuswan lantang.
Arya hanya mendengar. Ia diam seperti orang bisu. Namun, diamnya Arya seperti orang yang tidak mengacuhkan perkataan papanya.
“Kamu cerai karena Sarah bukan yang terbaik buat kamu. Dan karena tuhan mau kasih kesempatan lagi buat kamu. Untuk apa? Untuk mendapatkan yang terbaik.”, ujar Kuswan melanjutkan.
Inggit bisa melihat emosi Kuswan semakin tinggi di balik setiap kalimat yang diucapkannya. Terlebih dengan gerakan tangan Kuswan yang sudah mulai geram dengan puteranya itu.
Posisi mereka kini sudah berhadap - hadapan. Inggit hanya bisa memandangi wajah Kuswan dan Arya secara bergantian. Ketegangan ini sudah mereka hadapi selama beberapa waktu belakangan.
Awalnya Inggit pikir Arya hidup normal setelah bercerai dengan Sarah. Namun, seiring banyaknya gosip yang muncul di antara teman - teman arisannya, Inggit mulai curiga jika selama ini Arya hidup tidak tentu arah. Kecuali hanya bekerja dan bekerja.
Mereka sudah tiga tahun bercerai tetapi Arya seperti masih dibayang - bayangi Sarah. Dia bekerja, mabuk, hangout dengan teman - temannya yang tidak jelas, lalu pulang hanya untuk tidur.
Dia sama sekali tidak memiliki proyeksi kedepan. Bagaimana hidupnya.
“Udah, pa? Aku capek berdebat kaya gini terus. Aku habis meeting seharian. Hari ini aku gak mabuk. Aku sehat. Aku mau ke kamar.”, kata Arya tegas.
Ia berjalan menaiki tangga. Diatas sudah ada Baskara, adiknya yang hanya menggeleng - gelengkan kepala.
****
Seminggu berlalu sejak perdebatan malam itu. Adegan itu sering terjadi sejak 3 bulan Arya pindah ke rumah ini. Tadi malam Arya pulang dalam keadaan mabuk lagi. Hari Jum’at malam sepertinya sudah menjadi rutinitas mingguannya untuk ke klub dan pulang pagi dini hari.
“Pa, boleh mama bicara serius?”, kata Inggit bertanya pelan.
Meski sudah berumah tangga lama dengan Kuswan. Inggit selalu hati - hati setiap ingin mengungkapkan ide - idenya. Terlebih jika itu perihal anak - anak mereka.
“Iya ma.”, kata Kuswan menjawab ringan.
Siang itu mereka duduk di teras depan sambil menikmati teh hijau panas dan beberapa kue bikinan Bi Rumi, pembantu di rumah mereka.
“Mama punya kenalan. Papa mungkin masih ingat. Ratna, yang dulu mama bantu modal usaha.”, lanjut Inggit setelah diberi lampu hijau.
“Yang suaminya kabur itu?”, kata Kuswan tepat sasaran. Ternyata ingatannya masih tajam.
“Iya pa. Kemarin mama datang silaturahmi ke rumah Ratna. Orangnya masih sama sederhana seperti dulu. Ramah, supel, dan mama nyaman cerita - cerita sama dia ketimbang teman - teman arisan mama.”, Inggit menyeruput tehnya sebelum melanjutkan.
“Ratna punya anak gadis, pa. Kalau papa ingat, namanya Dinda. Baru lulus kuliah dan sekarang sedang intern di perusahaan multinasional. Mama lupa tanya nama perusahaannya.”, kata Inggit bersemangat.
“Iya, papa ingat Ratna punya satu anak perempuan dan satu anak laki - laki. Tapi sudah lama gak ketemu jadi sudah gak ingat rupanya.”, kata Kuswan.
“Cantik pa anak perempuannya. Sopan dan ramah lagi, pa.”, kata Inggit antusias.
“Paling karena baru pertama ketemu, Ma.”, kata Kuswan sambil menggigit sepotong kue di sebelahnya. Kue buatan Bi Rumi yang khusus dibuatkan tanpa gula.
“Mama tu ngerasa kaya adem gitu pas bicara sama Dinda, pa. Ya… walaupun belum sempat bicara banyak.”, kata Inggit lagi.
Inggit sepertinya tidak tertarik untuk mencomot potongan kue bolu itu. Buktinya dari tadi hanya Kuswan yang sibuk mengambilnya.
“Terus, maksud mama cerita ini, apa?”, kata Kuswan to the point.
“Mama mau jodohin dia sama Arya, pa. Mama gak mau Arya kaya gitu terus. Mama juga gak mau Arya salah pilih perempuan lagi. Mama udah biarin dia memilih dulu. Dan hasilnya jadi seperti sekarang. Hidupnya hancur. Karirnya saja yang bagus, tapi jiwanya kosong.”, Inggit menunjukkan wajah serius.
“Kamu yakin, ma? Arya, saat kita suruh nikah lagi saja, dia bersikap seperti itu. Apalagi kalau perempuannya kita pilihkan. Papa gak yakin dia mau.”, kata Kuswan.
“Mama juga gak keberatan kalau ternyata Arya sudah punya pacar lain dan malah mau menikah dengan perempuan yang bukan pilihan mama. Mama gak masalah. Tapi, yang jadi masalah adalah Arya gak pernah ada pikiran kesana lagi sejak bercerai.” kata Inggit berusaha menjelaskan kenapa ia tiba - tiba mencetuskan ide ini.
“Lagian, siapa yang meminta pendapat Arya, pa. Mama udah gak mau lagi minta pendapat dia. Dia harus mau. Mama bikin drama lagi aja. Sama seperti waktu nyuruh dia tinggal disini. Emang papa sanggup melihat dia mabuk - mabukkan gak jelas seperti itu. Sebelum dia berbuat kekacauan yang lebih besar lagi dalam hidup dia, mama harus bertindak duluan, Pa.”
Kuswan masih tidak bisa menjawab ‘Iya’ atau ‘Tidak’ dengan rencana ini. Di satu sisi, apa anak nya Ratna mau dijodohkan dengan anaknya yang sudah pernah menikah? Disisi lain, Arya tidak mungkin semudah itu luluh dengan drama mamanya yang sudah episode sekian.
****
“Gimana Ratna? Kamu mau?.”, kata Inggit bertanya dengan serius. Dua minggu setelah pembicaraannya terakhir dengan suaminya, Inggit mendapatkan lampu hijau untuk coba bertanya pada Ratna.
Dalam hati, Ratna bingung. Tapi, dia tidak bisa menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya pada Inggit. Inggit sudah menyelamatkannya dan anak - anaknya. Mereka bisa kenyang hingga saat ini karena bantuan Inggit. Mereka bisa tidur tanpa kena hujan juga karena bantuan Inggit.
“Mba, saya tidak bisa memutuskan masa depan anak. Saya harus tanya Dinda dulu. Tidak apa - apa ya, mba?”, jawab Ratna sangat hati - hati.
Dia tidak ingin dianggap kacang lupa kulitnya. Selama hidup, sekali ini Ratna merasa tidak bisa berbuat apa - apa untuk anak - anaknya.
“Gapapa Ratna, nanti aku yang bantu ngomong ke Dinda juga.”, rayu Ratna.
Dia sudah terbius dengan rencananya, idenya, dan bayangan betapa indahnya masa depan Arya jika dia kembali menikah lagi. Kali ini dengan orang yang Inggit yakin tepat. Antusiasme nya membuat Inggit lupa melihat dari sisi Dinda. Yang ada di kepalanya saat ini bagaimana membuat Dinda setuju dengannya.
“Arya anak yang baik, Ratna. Dia bertanggung jawab. Dari kecil sudah dididik oleh Kuswan untuk menjadi laki - laki yang sukses. Aku yakin, Arya bisa menjaga putrimu, Dinda, dengan baik.”, jawab Inggit berusaha meyakinkan Ratna yang terlihat ragu.
“Apa Dinda sudah punya pacar?”, Inggit ragu bertanya. Seharusnya ia menanyakan hal ini di awal.
“Belum. Aku tidak pernah melihat dia bersama laki - laki. Dan dia juga jarang sekali keluar selain bertemu dengan teman - teman perempuannya.”, jawab Ratna jujur.
Dinda benar - benar belum pernah memiliki hubungan dengan laki - laki manapun. Setiap hari rutinitasnya selalu sama.
Jika setiap tetangga rumahnya ditanya, tidak akan ada yang menolak mengatakan Dinda adalah anak rumahan sejati. Ia hanya kuliah, pulang, sesekali membantu ibunya, dan menghabiskan liburan dirumah.
“Nah.. cocok kalau begitu. Aku tunggu kabar darimu ya, Ratna.”, kata Inggit sambil memegang tangan Ratna.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!