Sepasang suami istri yang saling menguatkan, mengenai rahasia yang sudah tersimpan selama belasan tahun, seorang pria yang masih tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi menggenggam tangan istri sholehahnya. "Apa yang membuatmu cemas, suamiku?"
"Aku sangat mencemaskan putri kita, Rasidha." Sahut Zaid yang membalas menggenggam tangan sang istri.
"Kita akan membicarakan ini setelah waktunya tiba, walau bagaimanapun juga dia harus mengetahui kebenaran itu."
"Bagaimana jika dia membenciku? Aku tidak bisa menahan rasa kebencian di mata putriku untukku." Zaid meneteskan air mata, dia sangat menyesal dengan kekejaman dan juga kebengisannya dulu. Seorang mantan militer tentara Israel yang begitu memusuhi umat muslim di negara Palestina, membunuh tanpa ampun dan pandang bulu. Tapi, hidayah menghampirinya saat anak dari orang tua yang dia bunuh membuka mata hatinya yang begitu buta, ditambah lagi dengan pertemuannya dengan Suci, wanita yang menjadi relawan di negara itu.
"Memang cukup sulit untuk mengatakannya, dia harus menerima kenyataan pahit ini. Aku selalu berdoa, agar Rasidha bisa memahamimu yang sangat mencintainya." Tutur Suci yang berkata sangat lembut.
Zaid sudah jenuh dengan sorban yang menutupi wajah, hanya menyisakan bagian mata biru yang tampak. Segera dia melepaskan sorban dan melemparnya sembarang arah. "Aku tidak akan bisa menatap mata Rasidha yang penuh kebencian, akulah pembunuh keluarganya dan aku juga bertanggung jawab mengenai dirinya. Anak itu telah merubah sisi pandang yang buruk dan mendapatkan hidayah dengan memeluk agama Islam." Begitu banyak kecemasan yang selama beberapa hari mengganggu pikiran dan juga hatinya.
"Serahkan semuanya kepada Allah subhanallah ta'ala."
Tanpa mereka sadari, jika seseorang mendengar segalanya. Bahkan tungkai kaki yang tidak sanggup menopang tubuhnya, kenyataan yang tidak pernah diketahui. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, menangis dalam diam. Dia segera meletakkan teko yang baru saja diisi, takut jika dirinya ketahuan. Rasidha tak menyangka dengan apa yang baru saja dia dengar, sebuah rahasia yang selama ini ditutupi oleh kedua orang tua angkat yang selalu dianggap seperti orang tua kandung. Gadis berkerudung biru yang menangis mendengar kenyataan sangat memilukan hati, membayangkan kenangan dan kehangatan sebuah keluarga. "Apa kesalahanku? Sehingga tidak mengenali dengan siapa aku tinggal." Batinnya yang menutup mulut menggunakan kedua tangannya.
Ya, Rasidha merupakan anak yatim piatu dari pasangan yang tinggal Palestina. Pertempuran antara dua negara yang masih bentrok hingga sekarang masih membekas di hati walau dia sudah berumur dua puluh dua tahun. Seorang pria bersorban membawanya ke yayasan perlindungan anak-anak dan menjadi tempat pengungsian. Hidup yang begitu memilukan dan pil pahit harus ditelan saat berusia lima tahun. Dia melihat tentara Israel yang membantai kedua orang tuanya tepat di hadapan mata. Sampai sekarang trauma akan Israel dan juga militer membuatnya gemetar hebat, berkeringat dingin, dan juga wajah pucat pasi.
Dia segera meninggalkan pintu kamar kedua orang tua angkatnya menuju kamar, berjalan gontai saat kebenaran ada di depan mata. Kepercayaan dan semua kasih sayang ternyata hanyalah dusta, semua terlihat fatamorgana. Rasyidha menutup pintu kamar dan perlahan menyusut, duduk memeluk kaki dan menenggelamkan wajah. "Ya Allah...ya Tuhanku, jadi ini alasan mengapa ayah menyembunyikan wajah di balik sorban?" Mengapa kenyataan begitu pedih?" batinnya yang menangis dengan tersedu-sedu, sebuah fakta mengejutkan yang selama ini disimpan rapat oleh Zaid, ayah angkatnya.
Dia tidak ingin berlarut- larut dalam kesedihan, segera berdiri dan mengambil wudhu. Membentangkan sajadah dan ingin mengadu kepada sang Rabb yang menentukan takdirnya. Waktu sepertiga malam tidak dilewatkan dengan sia-sia, melaksanakan sholat tahajud untuk mencari ketenangan dirinya. Menadahkan tangan setelah mengucap salam, dan berdzikir terlihat dulu, mengagungkan nama tuhan begitu menentramkan hatinya, perasaan kecewa yang mendalam sedikit terobati.
Rasidha mengangkat kedua tangannya, berdoa untuk kedua orang tua dan juga dirinya. "Ya Allah, mengapa baru sekarang hamba mengetahui kebenaran mengenai identitas Ayah? Seorang ayah yang selama ini aku banggakan. Selama tujuh belas tahun hamba terjebak, ayah Zaid yang memberi hamba cinta dan juga kasih sayang berlimpa merupakan mantan komandan militer tentara Israel. Hamba masih mengingatnya dengan jelas, wajah pria yang selama ini hamba panggil dengan sebutan ayah. Seorang pria yang menutupi wajah dengan sorban adalah pembunuh kedua orang tua kandungku. Bimbing hambamu ini dengan jalan yang benar. Aamiin."
Rasidha kembali membuka mukenanya dan menggantungnya kembali, tapi kesedihan tidak bisa hilang. Ingatan tujuh belas tahun silam, peperangan antara Israel dan Palestina merenggut keluarganya. Kemarahan saat melihat kedua orang tuanya dibunuh oleh komandan tentara militer Israel yang begitu kejam dan juga bengis.
Cairan bening yang membasahi pipi terus saja mengalir tanpa henti, dia berdzikir semampunya hingga mata kembali terkatup.
Di pagi hari, seperti biasa keluarga itu menyantap sarapan pagi dengan memakan roti yang diolesi selai. "Ini Sayang, makanlah." Suci meletakkan dua lembar roti yang sudah diolesi krim kesukaan anak bungsunya, selai coklat.
Rasidha tampak tidak bersemangat, dapat diketahui dengan sangat mudah. "Kenapa Kakak terlihat murung? Apa tidak menyukai roti itu?" ucap seorang pria remaja yang baru berusia 15 tahun yang penasaran.
"Aku tidak lapar."
"Eh, kenapa matamu bengkak? Apa habis menangis?" Zaid menyadari ada yang tidak beres dengan putrinya, dia hendak memberikan simpati dari seorang ayah. Tapi, Rasidha menolak dan menjauh.
"Aku tidak apa-apa, ini karena aku membaca novel sedih." Ujar Rasidha yang berbohong.
"Baiklah."
"Apa rencanamu kedepannya, Sayang? Ingin mengolah toko kue milik Ibu atau membantu urusan kantor?" Suci memecahkan kecanggungan yang terjadi di meja makan.
"Aku belum siap untuk menjalankan bisnis, aku ingin menuntut ilmu."
"Kakak mau kuliah lagi? Apa itu masih belum cukup? Kakak baru saja selesai kuliah di Kairo dan sekarang ingin pergi lagi?" protes Azzam, anak kandung Suci dan Zaid. Pria yang sangat menyayangi kakaknya dengan sepenuh hati, tidak akan pernah membiarkan apapun terjadi.
Cukup berat dengan orang-orang yang selama ini memberinya kasih sayang yang berlimpah, tidak tega untuk meninggalkannya. "Tenang saja , aku telah memikirkannya."
"Apa?" tanya Zaid penasaran.
"Aku ingin menuntut ilmu, bukankah menuntut ilmu sangatlah penting? Ini tidak akan jauh, hanya ke pesantren milik paman Doni."
"Berapa lama kamu disana, Nak?" Suci sangat terkejut dengan keputusan dari anak gadisnya itu, padahal Rasidha baru saja pulang dari Kairo dan sekarang ingin pergi lagi.
"Setelah aku siap," sahut cepat Rasidha yang ingin menjauh dari masalah, menenangkan pikirannya dengan cara pergi ke pesantren milik keluarga Aisyah yang dikelola oleh kakak dari ibu angkatnya, lebih tepatnya pamannya.
"Maaf, aku harus pergi dan berharap bisa menyelesaikan masalah ini. Aku ingin mencari jawaban, dan maafkan aku ayah…ibu." Batinya yang terlihat sedih.
Rasidha mengemasi barang yang akan dibawa ke pesantren, bersiap-siap dengan membawa beberapa keperluan saja. Cukup sulit sebenarnya untuk meninggalkan rumah dan juga keluarga yang begitu menyayanginya, walau dia tahu jika dia hanyalah orang asing yang beruntung. Tapi tak bisa dipungkiri, jika kesalahan di masa lalu dari ayah angkatnya begitu berpengaruh, kepercayaan yang telah dikhianati hanya terlukis lewat cairan bening yang menetes membasahi kedua pipi. "Jadi ini alasan mengapa ayah menyembunyikan wajahnya, selama tujuh belas tahun aku mempercayainya dan bahkan tidak meragukan sedikitpun. Mengapa dunia ini begitu kejam padaku? Tidak seharusnya aku mendengar percakapan antara Ibu dan Ayah." Batinnya yang begitu terluka, dia segera menyeka air mata dan menyeret koper yang tidak terlalu besar.
Inilah saat yang paling berat bagi Suci, melepaskan kembali anak sulungnya untuk pergi ke pesantren yang dikelola oleh kakaknya, kerinduan masih saja terasa tetapi Rasidha kembali pergi meninggalkan rumah. Walaupun gadis yang berkebangsaan Palestina dan bukanlah darah dagingnya, tatp tetap saja dia sangat menyayangi dan tidak membedakan anak-anaknya. "Apa kamu sudah memutuskan ini dan berpikir sekali lagi?"
"Aku sudah memikirkannya Bu, dan akan pergi untuk menuntut ilmu." Jawab Rasidha yang mencari alasan untuk menenangkan dirinya, walau dia merasa kecewa kepada ayah angkatnya. Tapi, dia tidak bisa membenci Zaid, ayah angkat yang keturunan dari bangsa Israel.
"Tapi bagaimana dengan kami? Selama beberapa tahun kamu berada di Kairo dan baru saja kembali ingin pergi lagi ke pesantren? Setidaknya pikirkan Ibu, Nak." Suci berusaha untuk menghentikan anaknya, sangat menyakitkan jika berpisah dengan orang yang di sayang.
"Kalian bisa mengunjungiku kapan saja, karena jaraknya juga tidak jauh dari sini, aku juga tidak pergi lama." Rasidha menggenggam kedua tangan wanita yang masih cantik di usianya yang selalu dipanggil ibu, ibu kedua setelah ibu kandungnya tiada.
"Ada apa dengan Kakak sebenarnya? Siapa yang akan membantuku membuatkan tugas sekolah dan juga menemaniku bermain?"
Rasidha segera menoleh menatap Azzam, dia tersenyum sembari mengelus puncak kepala adiknya itu. "Ini tidak akan lama, percayalah pada kakakmu ini."
"Baiklah, mari kita buat kesepakatan!" ajak Azzam yang menantang kakaknya itu.
"Tidak ada kesepakatan," sergah Suci yang menatap putranya, sedangkan Azzam menggaruk tengkuk kepala dan cengengesan.
"Apa kamu sudah memikirkan ini?" Celetuk Zaid yang juga tidak bisa menerima keputusan anaknya yang begitu mendadak, apalagi baru pulang dari Kairo.
Rasidha menatap ayah angkatnya yang mengenakan sorban menutupi wajah, hanya memperlihatkan bagian matanya saja. Rasa kecewa masih tertanam dalam dirinya, ingin dia membenci pria yang menggantikan posisi ayahnya. Tapi, semua itu tidak terjadi. Kasih sayang Zaid sangatlah tulus, dan bahkan dia lupa dirinya hanyalah orang asing dalam keluarga itu. "Biarkan aku pergi, Ayah." Dua sorot mata yang memelas.
Pandangan Zaid menatap sang istri yang memberinya bahasa isyarat dengan cara menganggukkan kepala pelan. Mereka menghela nafas dan merasa tak berdaya, keputusan final dari Rasidha tidak bisa dihalangi lagi. "Baiklah, Ayah tidak bisa melakukan apapun. Yang terpenting jaga dirimu dengan sangat baik, jika terjadi sesuatu maka segera kabari kami!"
"Baik, Ayah. Aku pergi dulu!" pamit Rasidha.
"Tunggu, Sayang. Biarkan Ayah yang mengantarmu," pekik Zaid berlari menghampiri anak gadisnya.
"Itu tidak diperlukan, Ayah. Masih ada pak supir yang mengantarku, bukankah pekerjaan kantor Ayah menumpuk?"
"Biarkan saja, masih ada asisten Ben."
Rasidha terus menolak, dia hanya ingin menghindari dengan pergi jauh. Mencoba untuk berdamai dengan masa lalu yang begitu pahit. Zaid hanya pasrah, dan Suci kembali meneteskan air mata.
"Mengapa Rasidha tiba-tiba memutuskan pergi ke pesantren?" tanya Zaid yang tidak mengerti.
"Aku juga tidak tahu, bahkan dia pernah berkata untuk tinggal bersama kita setelah menyelesaikan pendidikannya di Kairo. Apa ada yang membuatnya tersinggung?" Sahut Suci yang tampak berpikir.
"Sudahlah Ibu, jangan terlalu di pikirkan. Lagipula kakak masih muda dan perlu menuntut ilmu. Bukankah di pesantren itu milik paman Doni? Jadi tidak ada yang oerlu dikhawatirkan. Kita berdoa saja untuk keselamatan kak Rasidha," sela Azzam, pria bermata biru dan wajahnya sangat mirip dengan sang Ayah.
"Wah, Ayah tidak menyadari jika Azzam menjadi orang bijak sekarang." Puji Zaid.
"Aku menjadi bijak itu tergantung kondisi dan situasi, terutama sekarang. Berikan aku uang!" Azzam menadahkan salah satu tangannya meminta belas kasih dari kedua orang tuanya.
Zaid segera mengeluarkan selembar uang berwarna biru, membuat pria remaja itu menghela nafas panjang.
"Lima puluh ribu? Jangan bercanda denganku, Ayah. Uang ini hanya bisa membeli tusuk gigi, aku butuh lima ratus ribu." Keluh Azzam yang mengembalikan selembar uang berwarna biru.
"Kemarin Ayah memberimu uang, kenapa kamu royal sekali? Kita harus berhemat untuk masa depan." Zaid selalu saja pusing dengan kelakuan putranya yang gemar sekali meminta uang. Tanpa di ketahui semua orang, Azzam gemar membantu orang-orang fakir miskin. Sikap yang begitu terpuji selalu tertanam pada dirinya, ibu yang menjadi gurunya itu. Suci selalu menanamkan adab, ilmu, dan perilaku terpuji lainnya.
"Uang itu sudah habis."
"Tidak bisa. Kalau menginginkan uang saku, kamu bekerja di toko roti milik ibu. Bagaimana?" tantang Zaid.
"Deal." Sahut cepat Azzam yang tersenyum, mengapa dia tidak memikirkan cara itu sebelumnya. Ada beberapa cabang toko roti, dan dia bisa bekerja salah satu toko.
"Akan di bayar perhari."
"Ya, aku setuju."
Suci tersenyum melihat interaksi ayah dan anak yang tampak dekat. Dia melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah dan kembali mengerjakan pekerjaan yang tertunda untuk sementara waktu.
Rasidha membuka jendela mobil dan membiarkan semilir angin menerpa wajahnya, dengan begitu pak supir tidak melihat kesedihannya, pergi ke kota lain untuk menghilangkan rasa kecewa yang begitu berat. "Aku harus kuat."
Perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa jam akhirnya sampai dengan selamat, dia segera mengucapkan syukur dan turun dari mobil. Pak supir membantu mengeluarkan satu koper miliknya dan tas punggung.
"Terima kasih Pak."
"Sama-sama Non."
Rasidha menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan, sebuah pesantren yang cukup maju dan terkenal di kota itu. Dia menjejakan kaki selangkah demi selangkah, berjalan mencari ruangan milik Pamannya yang mengelola tempat itu. "Astaghfirullah, aku lupa mengabari paman Doni terlebih dulu. Bagaimana aku bisa menemukan di tempat yang sangat luas ini?" gumamnya yang seperti ayam kehilangan induk.
Rasidha terus berjalan sambil menyeret koper, beberapa santriwati yang lewat memandangnya. "Kenapa mereka menatapku begitu?" lirihnya yang terus berjalan, mencari ruangan pamannya.
Namun langkahnya terhenti saat seorang gadia remaja seusia Azzam menghadang. Rasidha sangat terkejut dengan reaksi dari gadia itu yang tak lain adalah Ayna. "Kak Rasidha, aku tidak percaya Kakak ada disini."
"Ayna." Rasidha membalas pelukan adik sepupunya itu dengan erat, merasa lega saat punya harapan menemukan pamannya lewat gadis remaja di hadapannya.
Rasidha mengikuti langkah Ayna, dia masih merasa asing di tempat yang sudah lama tidak pernah menjajakan kaki kesana. Kesibukannya di Kairo dan tinggal bersama Hana, adi angkat dari Suci membuatnya fokus dalam pendidikan.
Dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, saat mendengar perkataan Ayna yang tidak berhenti selama perjalanan mereka. Gadis remaja yang begitu bersemangat menceritakan para gus dan juga ustadz tampan uang mengajar, disisi lain dia menggelengkan kepala.
"Aku yakin, Kakak pasti suka dan nyaman tinggal disini." Racau Ayna yang tersenyum penuh semangat.
"Ayna…Ayna, tidak seharusnya kamu mengatakan hal itu. Lihat usiamu sekarang! Bagaimana bi Aisyah dan paman Doni sampai tahu hal ini?" pikirnya yang menakuti adik sepupu.
"Aku hanya mengungkapkan kebenaran saja," elak Ayna yang takut mendengar nama ayahnya yang di sebutkan.
"Sudahlah, lupakan itu. Aku tidak akan mengatakan apapun pada mereka. Oh ya, bagaimana kondisi nenek Ainun dan juga kakek Baharuddin? Sudah lama aku tidak bertemu mereka."
"Alhamdulillah, kakek nenek juga sehat tanpa kurang satu apapun." Sahut Ayna yang bersemangat. "Mereka selalu menanyakan keadaan Kakak, kapan Rasidha mengunjungi kami…kapan Rasidha mengunjungi kami. Hanya kata itu yang selalu mereka tanyakan padaku. Sungguh, aku sangat senang melihat Kakak dan sedikit terkejut."
Sementara Rasidha terus saja menjadi pendengar yang baik, dia sangat merindukan Ayna yang sangat gemar mengoceh tanpa henti seperti burung beo.
Perjalanan menyusuri tempat itu tidak terasa saat Ayna bercerita banyak mengenai pesantren yang dikelola oleh ayahnya. Karena kakeknya sudah tidak sanggup mengurus sendirian mengingat usia yang tidak muda lagi.
"Assalamualaikum," ucap Ayna dan dan Rasidha dengan kompak, menyunggingkan senyuman khas mereka saat berada di ambang pintu.
Terlihat sepasang suami istri tersenyum ke arah mereka, dan bergegas menyambut kedatangan tamu. "Rasidha, kenapa tidak mengabari Nenek?" Ainun memeluk tubuh gadis yang sangat dia rindukan selama beberapa tahun terakhir. Sangat menyayangi gadis keturunan Palestina yang kehilangan kedua orang tua. Semua orang sudah mengetahui fakta dan kebenaran, apalagi Zaid juga menceritakan kepada mereka.
Rasidha menyambut pelukan itu dengan hangat. "Aku juga merindukan Nenek."
"Tapi, kamu tidak pernah menghubungi kami." Ainun berpura-pura merajuk, dia ingin lihat bagaimana jawaban dari gadis cantik di hadapannya.
"Aku jarang memegang ponsel, Nek."
"Ya, Nenek tahu itu. Pasti kamu sibuk belajar dan mendapatkan predikat cumlaude." Puji Ainun yang tersenyum bangga, sedangkan Rasidha hanya tersenyum.
Setelah pelukan selesai, Kyai Baharuddin mempersilahkan Rasidha untuk duduk dan menunggu kedatangan Doni dan Aisyah yang masih mengajar di kelas. "Kami sangat terkejut dengan kedatanganmu, apa orang tuamu sudah tahu? Mengapa mereka tidak mengatakan terebih dulu kepada kami?"
"Maaf Kek, aku datang tanpa memberi tahu terlebih dulu. Maksud dan tujuanku kesini ingin menetap dan juga belajar beberapa bulan saja," putus Rasidha yang sangat yakin.
"Kami tidak mempermasalahkannya, menuntut ilmu suatu hal yang sangat di perlukan. Rasidha ingin tinggal bersama kakek dan nenek atau di asrama bersama dengan Ayna?" kata kyai Baharuddin yang tersenyum.
"Di asrama saja Kek, Rasidha ingin merasakan menjadi santriwati disini." Jawabnya dengn suara lemah lembut.
"Ya sudah, jika keputusannya sudah begitu. Rasidha boleh tinggal di mana saja, karena tempat ini juga rumahmu." Sela Ainun yang mengelus lembut kepala gadis cantik di sebelahnya.
"Kakak tidur di kamar ku saja, bagaimana?" celetuk Ayna yang mengacungkan tangan.
"Itu ide yang bagus, mulai sekarang Rasidha bisa mengawasi dan juga membimbing Ayna menjadi baik lagi." Sahut Ainun, sedangkan nama yang di sebutkan itu sedikit cemberut.
"Beristirahatlah dulu, Cu. Besok pagi Kakek akan mengatur kelas sesuai angkatan."
"Iya, Kek."
Rasidha masuk ke dalam kamar, sebelum ke asrama dia akan tinggal semalam di rumah kyai Baharuddin. Segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang untuk mengatakam jika dia sudah sampai.
"Assalamualaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam, Sayang."
"Aku sudah sampai dan sekarang berada di rumah kakek dan neneknya Ayna."
"Syukur alhamdulillah, jaga dirimu dan kesehatan ya. Ayah sudah mengabari paman dan juga bibimu di sana, jangan menyusahkan mereka."
"Iya, Bu. Rasidha tutup dulu teleponnya."
"Iya, Sayang."
Rasidha membaringkan tubuhnya di kasur yang tidak terlalu besar, bersyukur dengan apa yang berikan. Masih teringat perkataan dari kedua orang tuanya, dan sangat menyesali diri. "Kenapa aku harus mengetahui kebenaran dengan cara seperti itu? Seharusnya aku tidak datang kesana dan mendengar percakapan ayah ibu."
Di malam hari, Rasidha sholat maghrib dan berdoa untuk keselamatan orang tua kandung dan orang tua angkat yang telah membesarkannya. Tak lupa untuk berdzikir dan melantunkan ayat suci Al-Quran dengan begitu merdu, alunan yang membuat siapa saja takjub.
"Masya Allah, suaranya sangat merdu. Inilah yang paling aku rindukan dari sosok Rasidha dalam murottal." Gumam Aisyah, dia berniat untuk mengundang makan malam, tapi tertegun saat mendengar bacaan ayat suci Alquran yang dilantunkan dengan begitu merdu merupakan yang awalnya.
"shadaqallahul adzim." Rasidha menutup Al-Qur'an dan menciumnya, meletakkannya di tempat tinggi. Baru saja dia ingin membuka mukena, tapi menangkap sosok di depan pintu yang tersenyum ke arahnya. "Bibi Aisyah," ucapnya yang segera menghamburkan pelukan, dia sangat merindukan tempat itu dan juga orang-orang yang ramah, sangat beruntung mempunyai keluarga seperti mereka.
"Maaf, Bibi baru bisa melihatmu sekarang." ungkap Aisyah yang membalas pelukan dari keponakannya dan melepaskannya setelah beberapa detik.
"Aku tahu Bibi sibuk, apa Paman juga sudah kembali?"
"Paman akan terlambat, setelah mengurus pesantren pamanmu juga mengurus urusan perusahaan."
"Tidak masalah, Bi."
"Ini waktunya makan malam, Bibi sudah masak untuk menyambut kedatanganmu. Oh ya, bagaimana keadaan ayah ibumu dan juga Azzam?"
"Alhamdulillah mereka semua sehat."
Di meja makan, Rasidha melihat beberapa menu masakan yang sudah tersaji di atas piring. Walau makanan yang terbilang sederhana, tetapi dirinya sangat merindukan masakan yang berasal dari rumah itu, kembali mengingat sewaktu kecil yang pernah disuguhkan dengan makanan yang sama, begitu asing dan setelah mencoba dia menjadi ketagihan.
"Duduklah Kak, jangan di lihat saja. Makanan itu untuk dimakan," gurau Ayna membuat semua orang tertawa, gadis remaja yang menjadi keceriaan dalam keluarga itu.
"Tentu saja, bibi Aisyah sudah memasaknya untukku." Jawab Rasidha yang membalas guyonan itu.
Baru saja selesai membaca doa makan, terdengar suara yang tak jauh dari mereka. Rasidha menoleh dan melihat Siapa yang datang, yang ternyata adalah Doni, ayahnya Ayna.
"Apa aku terlambat?"
"Tidak Abi," sahut Ayna yang mencium tangan ayahnya.
Sungguh, keluarga kecil yang membahagiakan dapat dirasakan oleh Rasidha, dia sangat bersyukur jika menjadi bagian anggota keluarga itu.
"Semoga ayah dan ibu tidak mengetahui niatku kesini," batin Rasidha.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!