Zhafira Adzra Nadhifa biasa dipanggil dengan sebutan Zhafira. Gadis berparas cantik ini memiliki kekasih yang sudah tiga tahun lamanya mereka berhubungan.
Beberapa hari lalu, Daffa Pradipta udah melamar Zhafira untuk dipersunting sebagai istrinya.
Awalnya, Papa Fadlan selaku orang tua Zhafira menolak dengan berbagai alasan. Tetapi, setelah melihat putrinya berhari-hari mengurung diri di kamar, membuat Papa Fadlan menyetujui Daffa melamar anaknya.
Tak ingin menunggu lama, mereka segera mempersiapkan pernikahan Daffa dan Zhafira yang akan digelar di rumah Zhafira.
“Pa, Ma, makasih udah merestui hubungan kami. Fira seneng banget deh, akhirnya impian Fira menikah dengan Daffa akan terwujud,” ucap Fira sambil melamun membayangkan kehidupan rumah tangannya kelak.
“Apapun itu, demi kebahagiaan putri Papa satu-satunya ini, pasti Papa turuti,” balas Papa Fadlan dengan perasaan yang tak dapat diartikan.
Begitu juga dengan Mama Latifah yang memiliki firasat tidak enak. Mungkin, hanya perasaan seorang Ibu saja yang begitu peka dengan sang anak.
Mereka selalu disibukkan dengan persiapan pernikahan, seperti membeli gaun, membeli cincin, bahkan mengurus catering dan dekorasi pernikahannya sudah dipersiapkan bersama.
Papa Fadlan dan Mama Latifah tidak melakukan semuanya sendiri. Mereka berdua dibantu oleh kedua orang tua Daffa juga, yaitu Pak Widodo dan Bu Widya.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Semakin menghantarkan Zhafira untuk menuju hari bahagia yang diimpikannya.
Zhafira didatangi oleh sepupunya yang berbeda usia empat tahun dibawahnya. Namanya Maisyara Salsabila.
“Kak, Syara cantik datang!” teriak Syara masuk ke dalam kamar Zhafira heboh.
“Berisik deh, Dek,” balas Zhafira yang masih sibuk menatap gaun pengantin yang ada dihadapannya.
“Tinggal besok kok, Kak. Sabar dong. Oh iya, gimana rasanya mau nikah sama pacar kakak yang udah tiga tahun bersemayam di hati kakak, hmm?” tanya Syara. Ya, hanya Syara yang mengetahui hubungan Daffa dan Zhafira yang dulunya tak ada yang tau termasuk kedua orang tua Zhafira.
Setelah satu tahun terakhir, barulah Zhafira memberitahu kedua orang tuanya kalau dia sudah memiliki kekasih.
“Diem deh, ntar ada yang denger, Dek.” Zhafira membungkam mulut Syara.
“Gue seneng deh, Dek. Akhirnya, Daffa mau melanjutkan hubungan kami lebih serius,” lanjut Zhafira menopang dagunya kembali menatap gaun yang terpampang jelas itu.
“Oke, Syara turut bahagia deh, Kak. Apalagi, hanya Syara yang tau gimana proses hubungan kalian dari sebelum pacaran sampai mau nikah.” Syara bangkit dari duduknya dan segera melihat dengan intens gaun pengantin yang akan dipakai Zhafira besok.
“Ngapa sih lihatin gaun gitu amat?” tanya Zhafira.
“Kapan ya Syara pakai ginian,” lirih Syara, mendengar hal itu pun Zhafira tertawa.
“Selesaikan dulu kuliahnya. Dan, cari calon suami dulu dong,” ucap Zhafira membuat Syara teringat sesuatu.
“Oh iya, Syara kan ke sini mau nanya,” ujar Syara.
“Kebiasaannya gak hilang ya. Selalu pelupa! Mau nanya apa sih?” seru Zhafira seraya bertanya.
“Itu, Tante Latifah suruh nanyain. Mbak yang mau masangin henna tuh, Kak. Datangnya kapan? Sore ini atau nanti malam?” tanya Syara.
“Oh, katanya malam, Dek. Kalau yang make up, setelah subuh datangnya,” jawab Zhafira membuat Syara ber-ooh ria. Kemudian segera berlari kecil menghampiri Tante Latifah selaku Mama dari Zhafira.
Sementara di ruang tamu, keluarga serta saudara tengah berkumpul untuk acara pernikahan Zhafira besok hari.
Papa Fadlan tampak sibuk menelpon teman-teman rekan kerja. Tak lupa pula Papa Fadlan menelpon Reyhan yang sudah dianggap seperti saudara Fadlan sendiri.
Flashback On
Dua puluh tahun yang lalu, di pinggir jalan, tampak seorang laki-laki yang tengah membersihkan jalanan. Dia adalah Reyhan yang berusaha mencukupi kehidupannya dengan menjadi tukang sapu jalan.
Siang itu, dia melihat bapak yang tengah menyebrang. Mungkin karena buru-buru hingga membuat bapak tersebut tak melihat kanan kiri terlebih dahulu.
Reyhan yang melihat ada mobil yang melaju cepat pun segera berlari menolong bapak tersebut.
“Pak, bapak gapapa?” tanya Reyhan.
“Gapapa, Nak. Terima kasih. Siapa namamu?” jawab Pak Chairul Amri.
“Saya Reyhan, Pak.”
Setelah perbincangan singkat itu, Reyhan diminta Pak Chairul mengantarkannya ke rumah.
Sesampainya di rumah, Reyhan bertemu dengan anak juga menantu Pak Chairul yang tak lain adalah Fadlan dan Latifah.
Mereka ber-empat mengobrol, hingga Pak Chairul memutuskan agar Reyhan bekerja bersama anaknya. Serta permintaan Pak Chairul untuk Reyhan memanggil dirinya dengan sebutan Bapak.
Cukup lama Reyhan mengobrol dengan keluarga barunya itu, dan Reyhan memutuskan untuk pamit pulang karena adanya istri dan anaknya yang berusia sepuluh tahun tengah menunggunya di rumah.
“Baiklah. Tapi, lain kali, ajaklah anak dan istrimu ke rumah kami ini,” ucap Fadlan yang tentu diangguki oleh Reyhan.
Berjalan sebulan Reyhan bekerja bersama Fadlan di restoran. Selama Reyhan bekerja, istri dan anaknya berkumpul bersama keluarga Pak Chairul di rumah.
Fadlan saat itu memiliki anak berusia tiga tahun dan juga Reyhan memiliki anak berusia sepuluh tahun. Kedua anak kecil itu bermain bersama ditemani para ibu mereka juga Pak Chairul yang begitu senang melihat kedua anak kecil itu bermain.
Hingga beberapa tahun kemudian, Pak Chairul meninggalkan mereka semua. Sebelum meninggal, Pak Chairul memberikan restoran juga rumah untuk Reyhan serta keluarganya.
Meninggalnya Pak Chairul tak membuat persaudaraan antara Fadlan dan Reyhan putus begitu saja. Mereka berdua tetap menjalankan bisnis restoran bersama.
Flashback Off
“Kami akan ke sana subuh, agar bisa bantu-bantu terlebih dahulu sebelum acara. Tapi, maaf anakku gak bisa. Dia ada kerjaan besok,” ucap Reyhan di sebrang telpon.
“Kalau emang karena kerjaan, gapapa. Baiklah, Han, kami tunggu kehadiran mu dan keluarga besok, ya!” seru Fadlan segera menutup ponselnya.
Fadlan menghampiri istri dan saudara lainnya yang berbincang, sementara Zhafira ditemani Syara di kamarnya.
...****
...
Keesokan harinya, Zhafira tengah duduk berhadapan dengan kaca cermin menampilkan kecantikan wajahnya yang tengah dipoles make up.
“Kak, cantik banget gak sih henna di tangan Syara,” celoteh Syara yang sejak pagi sibuk mengagumi henna yang telah diukir indah di tangannya.
“Iya, cantik. Kayak lo, Dek,” puji Zhafira membuat Syara begitu senang.
“Tapi, masih cantikan gue sih, Dek,” lanjut Zhafira berhasil melihat Syara yang merengut kesal.
“Iya deh, iya. Yang cantik bagaikan permaisuri itu gak bisa dikalahkan deh!” gerutu Syara hingga Zhafira dan mbak MUA tertawa bersamaan.
Tak lama, Zhafira sudah siap dengan balutan gaun pernikahan yang putih disertai hijab yang senada dan tak lupa dengan roncean bunga melati pengantin yang sudah ikut terpasang.
“Kak, ini beneran Kak Fira? Cantik deh lo, Kak,” puji Syara dengan mulut yang sedikit terbuka.
“Nah tuh, terpesona ‘kan?” tanya Zhafira membuat Syara melengos pergi.
“Nyesel Syara muji Kak Fira!” teriaknya sambil berjalan meninggalkan kamar.
Syara berjalan menghampiri keluarganya dan berkata pada tantenya, “Tante Latifah, pengantin wanita udah siap di kamar tuh.”
“Iya, Nak. Kamu temenin dulu, ya.”
Syara mengangguk dan bergegas menuju kamar Zhafira kembali.
Tak lama, yang ditunggu oleh Fadlan pun tiba, Reyhan dan istrinya datang dengan senyuman yang membuat Latifah sedikit tenang. Karena, sejak tadi Latifah selalu mendapat firasat buruk untuk putrinya.
“Kamu apa kabar?” tanya Latifah pada Hanum selaku istri Reyhan.
“Kabarku baik. Aku gak nyangka, Fira udah mau nikah aja. Pasti deh laki-laki itu beruntung mendapatkan Fira yang cantik dan baik itu,” jawab Hanum sembari memuji Fira.
“Semoga saja, Num. Jujur, sampai saat ini perasaanku gak enak,” balas Latifah dengan raut wajah gusar.
“Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan. Percayalah, pasti itu hanya perasaan seorang Ibu yang akan melihat anaknya menikah,” ucap Hanum menenangkan.
Tepat pukul sembilan pagi, keluarga mempelai pria datang. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Tak lama, penghulu pun tiba dengan petugas KUA juga pak modin / bapak kaum yang menemani.
“Lho, Afkar!” panggil Reyhan.
“Lho, Afkar!” panggil Reyhan.
“Yah, kok Ayah di sini?” tanya Afkar yang ternyata anak Reyhan yang menjadi penghulunya.
“Kamu kok gak bilang ke Ayah jadi penghulu di sini? Ini lho, rumah Om Fadlan dulu, ingat gak?” balas Reyhan membuat Afkar tampak mengingat sesuatu.
“Owh, ternyata ini nikahannya anak Om Fadlan? Ayah gak bilang,” titah Afkar sembari berjalan diantar oleh Reyhan menuju tempat meja akad berlangsung.
Afkar duduk disamping Papa Fadlan juga pak modin serta petugas KUA yang berhadapan dengan mempelai pria yang tak lain adalah Daffa.
“Baiklah, silakan mempelai wanitanya dipanggil,” ucap Afkar selaku penghulu.
Latifah dan Widya segera menjemput Zhafira di kamar untuk diantarkannya duduk di samping Daffa.
“Nak, ayo, kamu udah ditunggu,” ucap Mama Latifah.
“Iya, Ma.” Zhafira berjalan mendekati Mamanya juga calon mertuanya.
“Cantiknya kamu, Nak,” puji Widya membuat Zhafira bersemu.
Zhafira diapit oleh Mama Latifah juga Mama Widya. Di belakang Zhafira ada Syara yang selalu mengikuti.
Kini Zhafira sudah duduk di samping Daffa. Dengan berdo’a dalam hati agar acara pernikahannya akan berjalan dengan lancar.
“Baiklah. Saudara Daffa Pradipta, apakah sudah siap?” tanya Afkar.
“Sudah, Pak,” jawab Daffa.
“Silakan berjabat tangan dengan Pak Fadlan selaku wali pengantin wanita,” titah Afkar.
Daffa menarik napas dalam. Mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan Fadlan selaku Papa dari Zhafira.
“Bismillahhirohmannirrohim, saudara Daffa Pradipta, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya Zhafira Adzra Nadhifa binti Fadlan Amami Amri dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta cincin berlian dibayar TUNAI.”
“Sa-saya terim— ”
Ring...Ring...Ring...
Tiba-tiba ponsel Daffa berdering dengan keras hingga membuat akad nikah pun terhenti.
“Sebentar, Om. Saya harus angkat telpon terlebih dahulu,” ucap Daffa tanpa menunggu jawaban dari Papa Fadlan.
“Sa‐sayang,” lirih Zhafira menatap kepergian Daffa.
Entah hal penting apa hingga membuat Daffa lebih memilih pergi meninggalkan akad nikah yang tentu lebih penting dari segalanya.
“Daffa ada urusan penting ya, Nak?” tanya Papa Fadlan pada Zhafira.
“Fira sama sekali gak tau, Pa,” jawab Zhafira yang memang benar adanya dirinya tidak tau sama sekali.
Tak lama, Daffa kembali. Zhafira tersenyum melihat kehadiran Daffa kembali di sisinya. Namun, siapa yang menyangka, ternyata hadirnya Daffa kembali hanya mengucapkan sesuatu pada Zhafira.
“Fir, sory, gue harus pergi. Maaf, gue gak bisa lanjutkan pernikahan ini,” ucap Daffa pada Zhafira tepat dihadapan Papa Fadlan juga seluruh keluarga, saudara, juga tamu yang hadir.
Daffa dengan enaknya langsung pergi meninggalkan rumah Papa Fadlan.
“Daf, Daffa!” teriak Zhafira.
“Tapi kenapa, Daf? Daffa!” tanya Zhafira yang tak malu langsung berteriak begitu saja tanpa memperdulikan tatapan para tamu saat ini.
Zhafira menoleh pada Widodo dan Widya yang sejak tadi menatap bingung pada putranya yang pergi begitu saja.
“Tan?” panggil Zhafira seakan meminta jawaban dari kepergian Daffa.
“Kami gak tau, Nak. Akan kami susul Daffa,” ucap Widya segera berlari menyusul langkah kaki suaminya yang tengah mengejar Daffa.
Zhafira begitu syok, dia tak dapat memikirkan bagaimana dirinya kedepannya hanya karena kepergian Daffa saat ijab qobul berlangsung.
“Kak, ayo gue antar ke kamar,” ucap Syara yang diangguki oleh Zhafira.
Zhafira pun menangis tersedu-sedu di dalam kamar ditemani oleh Syara.
Sementara keadaan di luar, sedang dikondisikan oleh Papa Fadlan dan keluarga.
“Inilah ternyata, firasatku yang gak enak sekarang udah terlihat jelas, Num,” ucap Latifah terkulai lemas.
“Fah, ayo masuk,” ajak Hanum sembari memapah Latifah.
Kepergian Daffa berhasil membuat Mama Latifah dan Zhafira menumpahkan air matanya. Papa Fadlan begitu tidak tega dengan melihat dua bidadarinya menangis.
Papa Fadlan lebih tenang saat melihat Hanum yang menemani istrinya. Dengan begitu, dia akan mengamankan suasana di luar rumah.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, kami akan berusaha menghubungi mempelai pria, mohon menunggu sembari menikmati hidangan yang telah tersedia,” ucap Fadlan.
Berbeda dengan Ayah Reyhan yang mengajak putranya masuk ke dalam rumah untuk berbicara sesuatu.
“Yah, kenapa?” tanya Afkar.
“Apa kamu gak bisa bantu keluarga Fadlan, Nak?” balas Ayah Reyhan yang malah balik bertanya.
“Tugas Afkar hanya membantu ijab qobulnya saja, Yah. Ya lebih baik Afkar menunggu saja pengantin pria datang kembali,” jawab Afkar.
“Kamu berpikir dia akan kembali?” tanya Ayah Reyhan.
“Gak akan kembali, Nak. Dia udah membuat Latifah dan anaknya terpukul. Fadlan sudah menanggung malu. Apa kamu gak bisa bantu, Afkar?” lanjut Ayah Reyhan menatap serius pada putranya.
Afkar berusaha berpikir keras dan memang tak mendapatkan jawaban.
“Afkar gak tau harus bantu apa, Ayah. Afkar gak bisa bantu Om Fadlan, Yah,” balas Afkar.
“Kalau Ayah yang meminta tolong, apa kamu mau, Nak?” tanya Ayah Reyhan.
“Apapun itu. Asal Afkar sanggup, Afkar gak keberatan bantu Ayah,” jawab Afkar membuat Reyhan tersenyum.
“Ayah minta tolong, bantu Fadlan. Tolong kamu bersedia untuk menikah dengan Zhafira.”
“Gak, Yah. Gak mungkin itu ,Ayah ‘kan tau sendiri kalau Afkar udah punya aurel, Yah,” tolak Afkar.
“Kalian udah pacaran berapa tahun, dan selama itu Ayah dan Bunda gak melihat keseriusan sama pacar kamu. Jadi, tolong penuhi permintaan Ayah ini. Selama ini Ayah gak pernah minta apa-apa sama kamu, Nak. Jadi penuhi satu permintaan Ayah ini. Ayah hanya merasa utang budi pada keluarga Fadlan, tanpa keluarga ini, kita masih menjadi tukang sapu jalanan, Nak,” jelas Ayah Reyhan.
“Ayah ... kalau yang lain, Afkar mampu menuruti. Tapi, kalau yang ini, Afkar gak bisa,” balas Afkar.
“Afkar, apa perlu Ayah bersujud sama kamu, Nak?” tanya Ayah Reyhan sambil menunduk seakan ingin bersujud.
“Yah, Ayah,” ucap Afkar menahan tubuh sang Ayah.
“Ayah, jangan seperti ini. Baiklah, ini demi Ayah, Afkar akan turuti permintaan Ayah. Tapi, dengan satu syarat. Kalau pernikahan ini udah jalan enam bulan dan gak berjalan dengan baik. Afkar mau bercerai,” balas Afkar.
“Baiklah, Ayah setuju.”
Afkar dan Reyhan berjalan menghampiri Fadlan yang tengah gusar mondar-mandir mencari kejelasan dari Daffa.
“Fadlan, ayo ikut aku masuk!” seru Reyhan.
“Gak bisa, Han, gak tega lihat anak istri nangis gitu. Gapapa kok aku di sini, Han,” balas Fadlan membuat Afkar semakin tak tega melihat Om Fadlan.
“Ada yang akan aku sampaikan,” ucap Reyhan yang kali ini membuat Fadlan menurutinya untuk masuk ke dalam rumah.
Kini di ruang keluarga semua berkumpul, Fadlan, Reyhan, Afkar, Latifah, dan juga Hanum. Keluarga lain dan saudara tidak ada yang ikut serta diantara mereka.
“Fah, tolong panggilkan Zhafira kemari,” ujar Reyhan.
“Yah, ada apa ini?” tanya Hanum dengan raut wajah bingung.
“Nanti bunda akan tau,” jawab Reyhan.
Latifah menelpon seseorang, “Syara, tolong bawa Kak Fira ke ruang keluarga, Nak,” ucap Latifah saat panggilan terhubung.
Tak lama, Zhafira datang dan duduk disamping Mamanya dan langsung dipeluk oleh Zhafira.
“Ma, Fira gak berhak bahagia, ya?” tanya Zhafira lirih yang masih dapat didengar oleh sekitarnya.
“Kak, udah dong, Kak. Syara gak tega lihat kakak gini, Kak,” ucap Syara membuat Zhafira mengelap air matanya dengan tisu.
“Tante, Mama Papa belum sampai, ya?” Tanya Syara.
“Belum, Nak. Coba kamu hub—”
Ring...Ring...Ring...
“Ha—halo? Ini siapa?” tanya Latifah.
“ ..... ”
“Astagfirullah, di mana?”
“ ..... ”
“Baiklah, segera antar saja ke rumah saya. Akan saya share loc,” balas Latifah segera mematikan telponnya.
“Ada apa, Tan?”
“Kenapa, Ma?” tanya Papa Fadlan bersamaan dengan Syara.
“Maya dan Heksa kecelakaan, Pa. Dan, mereka ditemukan dalam keadaan meninggal,” jawab Latifah membuat Syara terpaku.
“Mama, Papa,” lirihnya. Kemudian, pingsan.
“Pa, sudahlah, hari ini tak ada yang membahagiakan. Pernikahan anak kita gagal, adikku dan suaminya kecelakaan. Hari ini tak berpihak pada keluarga kita. Batalkan saja acara hari ini. Mama udah gak kuat melihat dekorasi di depan!” seru Latifah menunduk sedih. Dia merasakan sedih yang amat mendalam.
Fadlan segera mengangkat tubuh Syara, diletakkannya di sofa panjang di ruang keluarga.
“Dibatalkan, Ma?” tanya Zhafira lirih.
“Kamu juga, udah jelas kami gak merestui dari awal, kenapa malah menyiksa diri hingga membuat kami terpaksa menyetujuinya dan sekarang lihatlah daffa sdh membuat mama & papa malu.”
“Ma—maafkan ... maafkan Fira, Ma,” balas Zhafira menunduk sedih.
Cukup lama keheningan tercipta di ruang keluarga, hingga Reyhan pun membuka suara.
“Fadlan, Latifah, aku yang mengumpulkan kalian di sini. Ada yang ingin aku sampaikan. Ini Afkar anakku, penghulu dari nak Zhafira. Apa boleh aku meminta anak kalian Zhafira sebagai menantu kami?” tanya Reyhan dengan harapan penuh dapat membantu keluarga Fadlan dari keterpurukan ini.
Cukup lama keheningan tercipta di ruang keluarga, hingga Reyhan pun membuka suara.
“Fadlan, Latifah, aku yang mengumpulkan kalian di sini. Ada yang ingin aku sampaikan. Ini Afkar anakku, penghulu dari nak Zhafira. Apa boleh aku meminta anak kalian Zhafira sebagai menantu kami?” tanya Reyhan dengan harapan penuh dapat membantu keluarga Fadlan dari keterpurukan ini.
“Apa maksudnya ini, kamu mau menjadikan Zhafira menantumu? Karena apa, Han? Kalau hanya untuk balas budi, aku gak mau!” seru Fadlan.
“Bukan, bukan seperti itu maksud aku. Aku benar-benar ingin menjadikan Zhafira sebagai menantuku. Itu keinginan terbesarku,” kata Reyhan membuat semua orang diam mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Fadlan.
Zhafira tak kalah terkejutnya mendengar hal tersebut, sesekali dia melirik penghulu yang tadi sempat akan menikahkannya dengan Daffa.
‘Ganteng sih, tapi gue ‘kan gak cinta sama dia,’ batin Zhafira seraya melamun. Namun, seketika lamunannya dikagetkan dengan suara dari Fadlan, papanya.
“Bagaimana dengan Afkar? Apa dia setuju atau terpaksa?” tanya Fadlan.
“Tanya langsung aja sama anaknya, toh dia ada di sini,” jawab Reyhan meminta Afkar sendiri yang mengatakan untuk menginginkan Zhafira sebagai istrinya.
“Afkar, gimana? Apa kamu mau menikah sama Zhafira atau kamu dipaksa Ayah kamu?” tanya Papa Fadlan menatap serius pada Afkar.
Afkar pun bingung mau menjawab apa, karena kenyataannya ini adalah permintaan ayahnya. Afkar pun melihat Reyhan yang tengah menatap Afkar dengan tatapan permohonan.
Akhirnya, Afkar pun menjawab dengan tegas kalau dia mau menikahi Zhafira, “I—iya, Om. Saya Afkar Nurdiansyah Muwaffaq ingin menikahi Zhafira Adzra Nadhifa.”
Bagaikan disambar petir, Zhafira kaget, dia mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk sedih.
Zhafira pun berlari masuk kamar. Mama Latifah segera menyusul anaknya dengan perasaan khawatir.
“Fadlan, kamu udah dengar sendiri ‘kan kalau anakku mau menikah sama anak kamu, tunggu apa lagi?” tanya Reyhan.
“Sebentar, aku ke kamar Zhafira,” balas Fadlan Segera menyusul istrinya yang terlebih dahulu sudah di kamar Zhafira.
Di dalam kamar, Zhafira sedang menangis di pangkuan Mama Latifah.
“Fira, kamu mau menikah sama anaknya om Reyhan?” tanya Papa Fadlan.
“Enggak, Pa. Zhafira gak mau. Zhafira mau menunggu penjelasan Daffa,” jawab Zhafira tanpa berpikir panjang.
“Ngapain masih nungguin anak itu. Dari awal kami tau kamu pacaran sama Daffa, Papa gak pernah suka. Dan, Papa juga awalnya tidak merestui ‘kan? Kamu yang keras kepala dan gak bisa dilarang. Setelah kejadian seperti ini pun kamu juga masih menunggu penjelasan Daffa. Emang kamu gak pernah mikirin perasaan orang tua. Sekarang ini, kedua orang tua kamu sudah di permalukan. Kami yang malu, bukan Daffa mu itu. Tapi, kamu masih saja berharap sama dia. Gak ngerti lagi Papa sama jalan fikiran kamu!” seru Papa Fadlan emosi.
“Oke, kali ini kamu harus nurut apa kata papa. Kamu harus menikah sama Afkar. Kalau kamu nolak, berarti kamu senang Papa dan Mama menanggung malu. Tamu-tamu, saudara, dan rekan bisnis Papa belum pulang, mereka pasti akan mencemooh Papa juga Mama karena anak kami satu-satunya gagal nikah. Kalau itu yang kamu mau, yaudah gak usah keluar kamar. Tapi, kalau kamu masih mikirin orang tua kamu, Papa tunggu sepuluh menit duduk di sebelah Afkar untuk melakukan ijab qobul.” Setelah mengatakan itu Papa Fadlan pun keluar kamar Zhafira.
“Ma, Fira gak mau, Ma. Tolong jangan paksa Fira. Mama, tolong bantu bilang ke Papa,” lirih Zhafira dengan tatapan memohonnya.
“Fira sayang, kamu hanya punya waktu sepuluh menit. Pikirkanlah, Sayang, Mama keluar dulu agar kamu lebih leluasa memikirkan apa keputusan kamu,” titah Mama Latifah sambil mencium kening Zhafira. Kemudian berlalu pergi keluar kamar.
Mama Latifah kembali di ruang keluarga melihat semuanya berada di sana termasuk suaminya yang ternyata menceritakan apa yang dikatakannya pada Zhafira. Semua menunggu waktu lima menit, kemudian duduk di tempat meja akad nikah sambil menunggu lima menit berikutnya.
“Pa, tolong bantu angkat Syara ke kamarnya. Setelah akad selesai, nanti Mama yang akan menenangkan,” ucap Mama Latifah.
Papa Fadlan Segera mengangkat tubuh Syara menuju kamar yang Syara tempati tadi malam.
Waktu sudah pas lima menit, tidak ada tanda-tanda Zhafira keluar dari kamar. Papa Fadlan memutuskan untuk semuanya menunggu ditempat meja ijab qobul berlangsung.
Semuanya menunggu dengan harap-harap cemas. Afkar pun yg seharusnyanya jadi penghulu sekarang duduk di hadapan pak modin karena dirinya lah sekarang yang menjadi calon mempelai pria.
Berbeda dari yang lainnya, Afkar begitu terlihat santai karena dalam hati Afkar berharap kalau pernikahan ini tidak akan terjadi.
Di menit terakhir, akhirnya sosok Zhafira keluar dengan make up yang kembali sempurna. Semua bernafas lega kecuali Afkar.
Zhafira langsung duduk di sebelah Afkar tanpa menatap, Zhafira menunduk sambil sesekali menitikkan air mata. Tanpa menunggu lama pak modin pun bertanya.
“Bagaimana, Pak. Mas kawin apa tetap pakai yang ini?” tanya Pak modin pada Fadlan.
Fadlan yang ditanya malah bertanya pada Afkar, “Afkar, mas kawinnya pakai ini atau kamu mau pakai uang?”
“Jujur, Afkar kalau keluar hanya membawa uang di dompet itu pun cuma ada uang cash dua juta aja, Om. Gimana?”
“Tidak apa-apa. Kami semua juga tau ini mendadak,” balas Papa Fadlan.
“Kalau gapapa, saya mau pakai uang saja, Om, saya gak mau kalau pakai mas kawin sebelumnya nanti ada bayang-bayang orang lain,” putus Afkar yang disetujui oleh keluarganya juga keluarga Zhafira.
“Baiklah klo begitu. Mari akad nikah segera dilaksanakan,” ucap pak modin.
“Saudara Afkar sudah siap?” tanya pak modin.
“InsyaaAllah sudah,” jawab Afkar tegas.
Afkar dan Papa Fadlan pun berjabat tangan. Ada getaran yang sebelumnya tak dirasakan oleh Afkar.
“Saya terima nikah dan kawinnya Zhafira Adzra Nadhifa binti Fadlan Amami Amri dengan mas kawin tersebut dibayar TUNAI,” ucap Afkar dengan sekali tarikan napas.
“Bagaimana para saksi, Sah?”
“Sah!” seru semua orang.
Dan akhirnya ijab qobul pun berjalan dengan lancar. Zhafira mencium tangan Afkar, begitu juga dengan Afkar mencium kening Zhafira dan membacakan do’a di ubun-ubun Zhafira.
Mama Latifah dan Bunda Hanum sangat bahagia karena akhirnya mereka berbesanan, Fadlan merangkul Reyhan.
Setelah Reyhan menemui para tamu, Reyhan pun menghampiri Afkar. Reyhan memeluk Afkar berkata, “Terima kasih, Nak, kamu udah memenuhi permintaan Ayah.”
Mama Latifah pun segera menghampiri Zhafira dan Afkar untuk menyuruh berganti baju, karena mereka harus duduk di pelaminan.
Selama acara berlangsung, Zhafira tidak berani menatap Afkar, begitu juga Afkar.
Afkar ingin segera selesai dan pergi dari pelaminan. Malu rasanya jika dilihat oleh banyak orang, sejujurnya risih dengan tatapan orang yang menatapnya termasuk ibu-ibu dan juga gadis yang menghadiri acara pernikahan tersebut.
“Kak Zhafira, suami kamu ganteng banget. Selamat, ya!” seru salah satu anak tetangga yang mengagumi Afkar dan meminta foto bersama Afkar.
‘Ganjen banget!’ lirih Zhafira yang didengar oleh Afkar.
‘Apa dia cemburu ya?’ batin Afkar yang tetap tak peduli dengan Zhafira.
****
Setelah keluarga pulang dari sholat ashar di masjid, bertepatan pula dengan acara resepsi yang telah selesai.
Saat Zhafira dan Afkar masuk bersamaan ke dalam rumah atas perintah Mama Latifah dan Bunda Hanum.
Saat Zhafira sampai di dalam rumah, dia melihat Syara yang duduk melamun di ruang tamu.
“Sayang!” seru Zhafira berlari kecil membuat Afkar mengernyit heran entah siapa yang dipanggil sayang olehnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!