"Ya Tuhan ... kasihan sekali dia. Jika aku jadi dia, tidak akan pernah mau aku menikah dengan laki-laki yang seperti ini. Benar-benar sampah yang tidak punya perasaan. Tahunya cuma bisa menyalahkan saja."
"Lila. Kenapa kamu masih terus membaca novel jam segini? Bukankah besok kamu harus bangun pagi? Kita punya rencana pergi ke makam almarhum papamu untuk minta izin. Karena lusa, kamu sudah akan mengikuti pertandingan besar, bukan?"
Lila menoleh ke arah pintu kamar, di mana mamanya sedang berdiri sambil menatapnya dengan tatapan tak senang. Dia mendengus pelan, sangking pelannya, sang mama sama sekali tidak mendengarkan dengusan itu.
"Sebentar lagi aku akan tidur, Ma. Nanggung banget jika aku akhiri bacanya sekarang. Karena ceritanya tinggal sedikit saja lagi."
"Mama jangan cemas, aku pasti akan bangun pagi-pagi besok."
Mamanya melepas napas pelan dan berat.
"Ya sudah. Ingat bangun pagi. Jangan sampai kesiangan karena kamu begadang hanya untuk membaca cerita yang tidak nyata itu."
Selesai berucap, mamanya langsung beranjak meninggalkan kamar tersebut tanpa menunggu jawaban dari anaknya terlebih dahulu. Sementara itu, Lila kembali mengalihkan perhatiannya pada novel yang ada di tangan setelah kepergian sang mama.
Lila mengeram kesal saat lembaran terakhir dari novel itu selesai dia baca. Bagaimana tidak? Dia begitu sakit hati dengan akhir dari cerita yang dia baca barusan.
Pemeran utama wanitanya mati tenggelam tanpa ada yang menolong. Sedangkan pemeran utama laki-lakinya malah memilih menyendiri, menghilang, dan hidup dalam kesepian setelah kepergian si pemeran utama wanitanya.
Sementara para penjahat, malah hidup dengan bahagia menikmati kekayaan kedua keluarga yang mereka dapatkan dengan mengadu domba kedua pemeran utama. Hal yang tidak seharusnya bisa dikatakan akhir dari sebuah cerita. Tapi sayangnya, itulah ending dari novel yang Lila baca malam ini.
Lila adalah gadis mandiri yang punya keahlian khusus dalam seni bela diri. Dia mampu menguasai beberapa macam seni bela diri hanya dengan melihatnya saja. Karena hal itu, dia dijuluki dewi bela diri kelas dunia.
Dia adalah satu-satunya perempuan yang mampu bertahan sebagai pemenang selama tiga tahu berturut-turut di ajang pertandingan bela diri kelas dunia. Dia mampu menguasai lawan dengan mudah padahal usianya masih tergolong sangat muda. Usia Lila baru menginjak dua puluh dua tahun untuk tahun ini.
Sebenarnya, pencapaian yang Lila dapatkan itu karena tekat yang kuat. Dia kehilangan sang papa saat masih berusia delapan tahun.
Kala itu, papanya adalah seorang polisi yang sangat terampil dalam melaksanakan tugas. Namun, karena tidak punya keahlian dalam ilmu bela diri, papanya harus meregang nyawa saat berhadapan dengan ******* yang punya ilmu bela diri tinggi.
Saat itulah Lila sadar, pangkat dan kuat saja tidak cukup untuk menjadi orang hebat. Yang paling berharga itu adalah ilmu dan keterampilan yang mampu menguasai segala hal yang dianggap perlu untuk mempertahankan hidup.
Maka dari itu, Lila bertekad bangkit dan menjadi orang nomor satu dengan menguasai seni bela diri. Dan beruntungnya, sang pencipta mendukung tekad itu dengan memberikan dia sebuah anugerah kecerdasan spesial yang bisa dia gunakan untuk memenuhi tekad itu. Yaitu, hanya dengan melihat saja, maka dia bisa mempraktekkan apa yang dia lihat.
Di balik semua itu, Lila yang juga seorang perempuan juga punya hobi seperti perempuan lain pada umunya. Dia juga senang berdandan, dan juga suka membaca. Dia sangat tertarik dengan novel yang berbau romantis yang penuh dengan percintaan.
Dia punya banyak koleksi novel romantis yang semua ceritanya berakhir dengan bahagia. Tapi untuk novel yang terakhir dia baca, akhir dari cerita itu malah sangat membuat dia sakit hati dan merasa akhir dari cerita itu tidak benar sama sekali.
"Huh ... novel ini benar-benar bikin kesal. Andai aku yang hidup sebagai pemeran utama, aku pasti akan menjalani kehidupan yang menyedihkan itu dengan kebahagiaan."
Selesai berucap, Lila langsung menutup novel itu. Lalu, meletakkan novel tersebut di atas nakas, samping tempat tidurnya. Kemudian, dia menarik selimut dan memejamkan mata untuk segera tidur.
Baru saja Lila memejamkan mata, dia tiba-tiba mendengar suara keributan yang datang dari luar. Tepatnya, dari arah pintu masuk kamar dia.
Dengan terpaksa, Lila berusaha membuka matanya dengan malas. Tapi anehnya, mata itu sangat sulit untuk dia buka. Seakan ada lem yang melekat dengan kuat di matanya saat ini.
Bukan Lila namanya jika putus asa. Karena dalam kamus hidup Lila tidak ada yang namanya putus asa. Dia terus berusaha membuka mata itu, sampai pada akhirnya, mata itu berhasil dia buka.
Namun, betapa kagetnya dia saat melihat keadaan sekeliling. Dia sedang berada di ruang yang bercat kan serba putih dengan bau khas obat-obatan yang menyengat.
Lila masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Dia berusaha mengangkat tangan untuk memukul wajahnya. Tapi, tangan itu terasa lumayan sakit. Karena ada selang infus yang merekat di tangan itu.
"Hah! Apa-apaan ini? Apa yang terjadi sih sebenarnya? Aku ini di mana? Ini sudah pasti bukan kamarku kan?"
Lila berucap sendiri sambil terus mengingat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Anehnya, dia tidak ingat kalau dia sudah mengalami sesuatu sampai harus masuk rumah sakit.
"Jangan bilang aku jatuh dari tempat tidur terus masuk rumah sakit. Hei Lila ... itu tidak benar sama sekali, bukan? Masa iya kamu perempuan tangguh hanya jatuh dari tempat tidur saja bisa masuk rumah sakit sih. Ya Tuhan ... tidak benar. Sama sekali tidak benar."
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba pintu kamar ruangan tersebut di buka oleh seseorang. Dari pintu kamar tersebut, muncul seorang perempuan yang datang bersama laki-laki tampan.
Ketika melihat Lila yang masih terbaring, perempuan itu segera berlari sambil memasang wajah cemas. Perempuan itu juga menangis tersendu-sendu.
"Maria. Ya Tuhan ... kamu baik-baik saja bukan? Kenapa kamu bisa terpeleset sih? Kamu bikin aku khawatir setengah mati karena kecerobohan mu itu."
Perempuan itu berucap sambil memegang tangan Lila. Sementara Lila, dia masih kebingungan dengan apa yang sedang dia hadapi saat ini.
'Maria? Tunggu! Maria itu .... '
Saat itulah, Lila baru ingat dengan penggalan novel yang dia baca sebelum dia tidur. Maria adalah nama pemeran utama perempuan yang sangat lemah dan sangat ceroboh. Sedangkan perempuan yang datang menghampirinya saat ini adalah sahabat Maria. Musuh yang menyamar menjadi sahabat tentunya.
Ini adalah adegan di mana Maria harus dirawat di rumah sakit karena dia jatuh terpeleset dari tangga di hari pertunangannya. Sebenarnya, dia tidak benar-benar jatuh karena kecerobohannya. Melainkan, jatuh karena di dorong oleh musuh yang berkedok sabahat baik.
Lila menarik napas panjang. Lalu melepaskan napas itu secara perlahan.
'Ya Tuhan ... jika mau memberikan aku anugerah memasuki novel, kenapa malah novel ini yang aku masuki? Bukankah aku membaca begitu banyak novel yang endingnya sangat indah?
'Agh ... sudahlah. Sudah masuk pun, harus diapakan lagi selain menjalankan hidup dengan baik. Akan aku ubah hidup pemerannya dan jalan ceritanya agar dapat akhir yang lebih memuaskan.'
"Maria. Kenapa kamu bengong? Kamu tidak sedang lupa ingatan bukan? Kamu masih ingat aku lagi kan, Maria? Aku Ratna, sahabat baikmu."
"Sahabat baik? Tentu saja aku ingat. Mana mungkin aku lupa dengan kamu."
"Ah ... syukurlah kalau kamu masih ingat aku. Apa yang sakit sekarang? Cepat katakan padaku sakitnya di mana!"
Lila yang menyandang nama Maria itu tidak langsung menjawab. Dia terdiam sambil melihat Ratna yang seakan benar-benar sedang peduli akan hidup sahabatnya. Tapi sebenarnya, semua itu hanyalah kepalsuan.
Kepedulian itu hanya sebatas di bibir saja. Tujuannya hanya untuk memancing Maria agar terlihat manja di mata Arkan, si calon suami yang di jodohkan dengan Maria. Karena Arkan sangat tidak suka dengan Maria yang bersikap terlalu manja juga lemah dan ceroboh.
Lila tersenyum pelan sambil melihat Ratna.
'Kau ingin memancing aku agar bersikap manja. Sayang sekali, aku tidak akan terpancing, Ratna. Karena aku Lila yang keras, bukan Maria yang lemah.'
"Aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencemaskan aku."
"Oh ya, bisakah kamu tinggalkan aku berduaan dengan kak Ken? Ada yang ingin aku bicarakan dengan dia sekarang."
"Kamu mau bicara dengan Arkan? Kenapa tidak bicarakan langsung saja, Maria? Biasanya juga kamu bicara dengan Ken ada aku di dekat kalian. Selama ini, kamu tidak pernah menutupi apapun dengan aku, bukan?"
"Ratna, itu dulu sebelum aku bertunangan dengan kak Ken. Sekarang, aku sudah menjadi tunangan dia. Jadi, aku ingin bicara hal penting hanya berduaan saja dengan dia."
Arkan yang sedari tadi hanya diam, kini menatap Maria dengan serius. Dia merasa penasaran dengan kata-kata yang baru saja Maria ucapkan barusan.
"Kamu bisa pergi dulu, Ratna. Biarkan kami bicara berduaan di sini."
Ratna menatap Maria dengan tatapan kesal sekaligus tak rela. Tapi sayangnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti apa yang Maria dan Arkan katakan.
"Baiklah, aku keluar dulu. Perlu apa-apa, langsung panggil saja aku. Kamu itu terbiasa manja, jadi jangan sungkan untuk bersikap seperti biasa walau sudah menjadi tunangan orang."
Setelah berucap, Ratna langsung beranjak meski dengan langkah berat. Sementara Maria, dia menatap Ratna dengan perasaan kesal.
'Dasar ular. Bisa-bisanya dia menghancurkan harga diriku sebelum beranjak pergi. Sempat-sempatnya dia menanamkan benih kebencian buat Arkan. Salut sekali aku dengan niat gigihnya buat menghancurkan kehidupan ini.'
Arkan menarik napas saat melihat Maria yang masih juga belum bicara setelah kepergian Ratna. Dengan wajah kesal, dia tatap Maria yang ada di hadapannya saat ini.
"Dia sudah pergi bukan? Lalu kenapa kamu masih tidak bicara padaku? Apa kamu sengaja ingin membuat dia pergi dari sini agar kamu bisa menjadikan aku sebagai pelayanmu?"
"Apa yang kak Ken katakan? Aku tidak berniat menjadikan kamu sebagai pelayan ku. Aku minta dia pergi dari sini karena aku ingin merasakan ketenangan juga ingin mengucapkan maaf padamu. Maafkan aku yang sudah mengacaukan acara besar keluarga. Aku tidak bermaksud merusak segalanya. Semua itu kecelakaan yang bisa menimpa siapa saja yang bernasib buruk seperti aku ini."
Ucapan itu membuat Arkan terdiam beberapa saat dengan mata yang terus melihat Maria. Dia menatap gadis yang ada dihadapannya dengan tatapan tak percaya.
"Aku hanya ingin bilang hal itu pada, kak Ken. Kamu bisa pergi jika kamu ingin. Karena aku sudah selesai bicara."
Arkan kembali membulatkan mata untuk melihat Maria. Dia semakin merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Karena sifat Maria kali ini sangat berbeda dengan yang biasanya dia dengar dari orang-orang.
"Aku akan pergi. Jangan menyesal dengan apa yang terjadi. Karena semua ini, kau yang memilih. Maka kau yang bertanggung jawab."
Arkan lalu beranjak meninggalkan Maria. Sedangkan Maria merasa sedikit kebingungan dengan apa yang Arkan katakan barusan. Namun, kebingungan itu segera dia singkirkan setelah ingat kalau sifat Arkan yang memang selalu dingin terhadap Maria.
Di sisi lain, Ratna sedang menggerutu kesal dengan apa yang baru saja dia alami. Bagaimana tidak? Dia tiba-tiba mendapatkan perubahan besar dari Maria yang biasanya sangat manja, kini mendadak dingin.
Biasanya, Maria akan menghambur ke dalam pelukan Ratna jika terjadi sesuatu. Tidak akan mau jauh-jauh dari Ratna dan akan selalu bicara dengan nada manja pada Ratna. Karena Maria selalu mengganggap kalau Ratna itu adalah orang paling dekat yang mengerti dia lebih dari saudara.
Tentu saja seperti itu. Karena Maria hanya punya satu teman dari dia kecil sampai dewasa seperti saat ini. Hanya punya Ratna yang tumbuh besar bersamanya.
Maria sudah tidak punya orang tua. Karena keduanya meninggal karena kecelakaan saat dia masih kecil. Sementara Ratna, dia adalah anak asisten orang tua Maria.
Ratna didik untuk dekat dengan Maria hanya karena warisan yang Maria miliki. Karena warisan itu akan di bagikan pada orang terdekat jika Maria tidak jadi menikah dengan Arkan. Anak dari sahabat baik papa Maria.
Sementara jika Maria mati sebelum menikah, maka warisan itu akan diserahkan pada yayasan amal. Hal itu yang membuat Maria masih hidup sampai saat ini. Karena Ratna tidak akan membiarkan warisan itu diserahkan ke yayasan amal oleh pihak berwenang.
Sementara itu, Maria masih punya paman yang juga mempunyai anak perempuan. Anak perempuan pamannya itu juga tertarik dengan Arkan.
Ah, jalan cerita yang sangat rumit memang. Tapi, itulah yang membuat Lila di tarik ke dalam novel ini untuk memperbaiki jalan cerita yang memang sedikit kacau dan sangat rumit ini.
___
Maria sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat satu hari satu malam di rumah sakit ini. Dengan Ratna yang selalu menjaga dia tentunya. Maklum, dia adalah orang terdekat yang begitu gigih mencari perhatian agar dapat kebagian harta warisan.
"Ria, kita akan pulang sekarang. Mana tunangan mu? Kenapa dia tidak datang juga? Cepat hubungi dia, minta dia jemput kamu di sini."
Maria tidak langsung menjawab. Dia hanya melihat Ratna yang terus membereskan perlengkapan mereka untuk dibawa pulang.
"Maria. Ayo cepat hubungi, Arkan! Katakan padanya kalau kamu minta diantar pulang."
"Tidak perlu, Ratna. Aku tidak perlu minta dia antar kan aku pulang. Karena aku bisa pulang sendiri."
Mendengar jawaban itu, Ratna mendadak menghentikan kegiatannya. Dia lirik Maria dengan penuh rasa kesal.
"Maria. Sebagai tunangan, Arkan harus bertanggung jawab penuh pada kamu, bukan? Dia harus tahu di mana kamu dan apa yang akan kamu lakukan. Jadi, cepat hubungi dia. Jadilah gadis manja yang selalu lengket pada tunangan mu. Karena sifat manja itu adalah sifat yang paling penting bagi wanita. Apalagi pada tunangannya."
'Jika aku adalah Maria, maka sudah pasti aku akan mengikuti apa yang sahabat baikku katakan. Tapi sayangnya, aku bukan Maria, Ratna. Aku Lila. Dan aku paling tahu apa tujuan kamu yang begitu kekeh menyuruh aku menghubungi Arkan. Karena saat ini, Arkan sedang ada rapat penting di kantornya. Dan kamu sudah tahu hal itu dari pesan yang Rimba kirimkan padamu. Maka dari itu, kamu minta aku menghubungi Arkan. Kamu ingin Arkan semakin membenci aku karena sifat manja yang aku miliki. Sifat manja yang kamu tanamkan dalam diri Maria sejak dia masih gadis kecil.'
Maria mengulas senyum untuk Ratna.
"Tidak perlu memberitahukan dia tentang aku yang akan pulang dari rumah sakit sekarang, Rat. Karena dia pasti punya kesibukan tersendiri, bukan? Jadi, tidak perlu mengganggunya."
"Tapi, bagaimana cara kita akan pulang sekarang?"
"Bukankah ada kamu yang selalu ada untuk aku, Ratna. Jadi, sepertinya aku tidak butuh orang lain lagi untuk menguruskan."
"Tapi .... "
"Ayo jalan, sahabat baikku. Jangan buat aku berada semakin lama di dalam rumah sakit ini. Aku sudah sembuh. Jika berlama-lama di sini mungkin akan jadi sakit lagi," ucap Maria sambil tersenyum dengan tangan yang menepuk pelan pundak Ratna.
Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Ratna lagi, Maria langsung beranjak. meninggalkan Ratna dengan satu tas besar yang isinya adalah pakaian yang Ratna bawa ke rumah sakit. Pakaian yang sama sekali tidak ada gunanya buat Maria. Tapi malah dia bawa dengan tujuan agar Arkan tahu, kalau Maria gadis yang ribet.
"Maria! Hei ... tas ini bagaimana?"
"Ya kamu yang bawalah. Masa aku sih? Aku kan baru keluar dari rumah sakit. Gak bisa bawa barang sebanyak itu."
"Aku? Kamu yang benar saja, Maria. Tas ini sangat berat. Jadi, setidaknya, kamu bantuin aku bawakan."
"Maaf, aku tidak bisa. Lagian, siapa suruh kamu bawa barang-barang itu ke rumah sakit. Aku tidak menyuruhnya bukan? Jadi, ya kamu urus sendiri saja. Aku tunggu di mobil."
Ratna menggenggam erat tali tas yang dia pegang. Dia benar-benar kesal dengan apa yang baru saja dia terima.
"Maria bodoh sialan! Bisa-bisanya dia membiarkan aku membawa barang-barang ini sendirian. Inikan barang miliknya, kenapa aku yang harus jadi pembantu?"
"Sial! Benar-benar sial. Niatnya aku ingin mengerjai dia, tapi sekarang kenapa aku yang malah dikerjai. Si bodoh ini malah bikin aku semakin kesal saja. Awas saja kamu, akan aku buat kamu menyesal karena tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Brengsek!"
Maria tersenyum ketika melihat Ratna yang keluar dari pintu rumah sakit sambil menyeret tas besar. Tubuh Ratna di penuhi dengan keringat di mana-mana.
"Pak Danang. Kenapa malah diam aja sih, ha? Kenapa gak bantuin aku sih, Pak? Bapak gak tahu apa? Ini tas berat banget. Cepat bantuin aku!"
Ratna berteriak kesal pada sopir yang sedari tadi hanya duduk diam di tempatnya. Mendengar teriakan itu, Maria yang duduk di belakang membukakan kaca mobil untuk melihat Ratna.
"Pak Danang sedang menemani aku, Ratna. Aku kan gak bisa kalo ditinggal sendiri di sini. Kamu masih ingat kalau aku baru keluar dari rumah sakit, kan?"
"Ya ya ya. Aku masih ingat. Apakah hanya ditinggal sebentar tidak bisa? Kamu tidak akan di makan setan kalau ditinggal pak Danang sebentar buat bantuin aku."
'Heh ... akhirnya nunjukin taring juga kamu, Ratna. Bersabarlah, ini bukan yang terakhir. Tapi, baru permulaan.'
Seketika, Maria memasang wajah sedih karena kata-kata yang Ratna ucapkan. Wajah sedih yang pura-pura saja. Itu dia lakukan agar kesan tertindas bisa dilihat oleh orang sekeliling yang sayang dengan Maria.
"Pak Danang. Apakah aku salah? Aku hanya ingin kamu temani aku karena aku baru saja keluar dari rumah sakit. Kenapa Ratna ... pak Danang."
"Nona tidak salah. Saya akan katakan sikap Ratna yang kasar pada orang tuanya nanti. Jadi, nona tenang saja."
"Apa? Jangan macam-macam kamu, pak Danang. Aku sama sekali tidak kasar."
"Ratna, kamu barusan bicara kasar. Mama papamu harus tahu apa yang sudah kamu lakukan pada nona Maria. Kamu jangan lupa kalau kamu itu ditugaskan untuk menjaga dia. Menjadi yang terbaik buat dia."
"Ya aku tahu. Tolong jangan katakan pada mama dan papa. Aku akan berusaha memperbaiki kesalahan yang telah aku buat."
"Minta maaf pada nona Maria. Jika dia mengatakan dia memaafkan kamu, maka aku tidak akan mengadukan kamu pada orang tuamu. Tapi jika tidak, aku akan tetap bicara agar kamu dihukum atas sikap kasar mu itu."
Ratna melepas napas kesal dan berat. Dia terlihat sedang sangat-sangat berusaha menahan emosi agar tidak dilihat oleh semuanya.
"Maria, maafkan aku karena sudah bicara kasar padamu barusan. Aku tidak bermaksud bicara sekasar itu sebenarnya. Tapi, karena kelelahan, maka aku terlewat batas. Jadi tolong, kamu mengerti aku."
"Ya, aku mengerti kamu. Tapi kamu malah bikin aku sangat-sangat sedih, Ratna. Kamu nyumpahin aku di makan setan. Itu sangat ... sangat buat aku terluka."
"Aku minta maaf. Jangan perpanjang lagi masalah ini. Bukankah kita teman?"
"Itu ... iya. Kita adalah teman. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini lagi, Ratna."
Maria bersikap sok-sok polos selayaknya Maria yang telah dituliskan dalam novel ini. Tapi sayangnya, itu hanya peran sesaat saja. Karena selanjutnya, dia sudah punya cara lain untuk membalas Ratna dengan balasan yang lebih baik.
Ratna memeluk hangat Maria dengan senyum yang mengembang. Senyum palsu tentunya. Hanya sekedar akting belaka.
Mobil yang mereka tumpangi pun akhirnya sampai dikediaman Maria. Rumah besar yang dihuni oleh keluarga pamannya dengan alasan untuk menjaga Maria yang tinggal sendirian. Tapi pada kenyatannya, semua itu hanya sandiwara agar bisa dekat dengan si pemilik warisan.
Saat pintu terbuka, bibi Maria langsung memasang wajah sedih untuk menyambut kedatangan Maria. Sementara Tiara anaknya, malah diam dengan wajah kesal di atas sofa dengan ponsel di tangan.
"Huh ... sang putri manja akhirnya pulang juga. Gimana? Apa sudah baik-baik saja setelah kecelakaan yang kamu alami kemarin? Ah, kasihan sekali kak Arkan. Bisa punya tunangan yang menyedihkan seperti kamu ini. Malang sekali nasibnya. Benar-benar malang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!