NovelToon NovelToon

Still With You

Chapter I : Feeling Left In The Shadow

Tak ada yang tahu kapan ajal itu akan datang tapi itu tak berarti untuk Reyna. Beberapa bulan terakhir ia agak aneh. Wajahnya pucat, penampilannya tak semenarik yang dulu. Ia sering terlambat masuk kuliah dan sering lupa. Reyna selalu berkata ia tak akan lama lagi hidup di dunia ini. Zelfa selalu menepis hal itu. Berkali-kali ia menyanggah berkali-kali pula ia diceramahi oleh teman karibnya.

"Kamu tau kenapa aku berkata seperti ini? Aku berkata mendahului takdir Tuhan bukan?’’, tanya Reyna.

"Kamu memang terlihat bukan seperti Reyna yang aku kenal, bukan Reyna yang selalu ceria dan optimis. Cinta tak akan menghentikan hidupmu, tapi cinta memberi alasan untukmu tetap hidup’’, Zelfa perjelas.

"Kamu selalu berputar pada kata-kata itu, seolah kau tau semuanya, apa kamu tau rasanya berjuang sendiri saat tulangku rasanya remuk,hatiku hancur dan rambutku mulai rontok, tak ada orang, bahkan kamu sendiri lupa dan menghindariku, dimana lagi aku akan bercerita, tak ada orang yang benar-benar tau rasa ini’’.

"Aku tak pernah lupa atau bahkan meninggalkanmu aku hanya tau hidupmu butuh ruang,"

 

"Baiklah, sekarang aku akan jujur, kanker ganas ini akan menjadi jembatanku menuju kematian’’.

"Andaikan kamu mengatakan ini lebih awal aku akan selalu berada di dekatmu, maafkanlah diri ini, aku menyebut diriku sebagai temanmu, tapi pada kenyataannya aku tak pernah benar-benar mengerti dan menemanimu bahkan disaat seperti ini".

"Kamu tak perlu meminta maaf, mulai detik ini, temani aku menikmati detik-detik nafasku yang berhembus, hangatnya langit sore, dan dinginnya embun saat aku rindukan hujan’’.

"Aku akan melakukannya bahkan kalau bisa akan kuberikan waktuku ini untukmu’’.

Mereka bersama-sama melalui hari yang menurut Reyna semakin membuatnya sakit. Rambut Reyna yang hitam berkilau berguguran. Matanya semakin redup. Seolah waktu terus berlalu di penghujung sore senja tiba. Rasanya keredupan lampu sama dengan yang Reyna rasakan dalam hidupnya padahal ada seorang teman yang selalu menemaninya, entah dia pantas disebut sebagai teman atau malaikat pelindungnya. Dia adalah Zelfa kakak dari orang yang mungkin pernah ia sakiti hatinya.

‘’Ah, apa aku akan semakin berdosa setelah apa yang kulakukan kepada adiknya, dia malah tetap ingin bersahabat denganku, orang yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini. Kenapa dari sekian banyak orang yang aku kenal harus dia ?’’, tanya Reyna dalam hatinya.

‘’Rey, makan dulu nih entar supnya dingin udah nggak enak lagi untuk dimakan’’, tawar Zelfa.

Reyna meniup sup yang asapnya masih membayang itu dan menikmatinya dengan perasaan sedikit bersalah. Kesalahan yang tak seharusnya menghantui dirinya yang sedang berjuang saat ini, bukankah lebih baik dia memikirkan kondisinya dulu saja dibanding harus mengkhawatirkan hal lain. Bagaimana mungkin dia dapat menebus kesalahannya jika ia saja tidak mampu bertahan hidup. Kesalahan seperti apa yang sebenarnya dilakukan Reyna kepada adiknya Zelfa bagi sebagian orang dapat dikatakan sepele tetapi tidak bagi Reyna.

Waktu itu, adik Zelfa, Vino adalah orang yang mengejar cintanya tapi ia selalu menepis perasaan itu berulang kali bahkan ribuan kali karena dihatinya hanya ada orang lain, orang yang ia cari selama ini dan itu bukanlah Vino.

‘’Rey, kamu mau makan apa ?’’, tanya Vino yang sedang kesulitan membawa banyak buku tugas teman-temannya.

‘’Lagipula ini belum jam istirahat makan siang kenapa kamu harus bertanya ?’’

‘’Aku hanya ingin makan bersamamu’’.

‘’Tapi aku tidak ingin makan bersamamu’’.

‘’Kamu mau makan apa ?’’

‘’Kenapa kamu terus mengusikku ?’’

‘’Aku hanya ingin makan denganmu, tapi kamu tak ingin, apa aku salah ingin membelikanmu makanan ?’’.

‘’Apa kita sedekat itu sehingga kamu ingin membelikanku makanan ?’'.

Vino terdiam.

‘’Apa kita berteman hingga kamu perlu terus menerus dekat denganku ? jangan kamu pikir aku adalah sahabat kakakmu lantas kita bisa berteman juga, dan satu lagi berhenti memanggil aku dengan namaku, aku ini lebih tua darimu.’’

‘’Mengapa aku tak pantas berteman denganmu Reyna ? semua orang bebas berteman dengan siapa saja dan mereka semua bebas menyapamu tapi kenapa tidak denganku ? dan maaf aku memanggilmu Reyna, seharusnya aku memanggilmu kakak’’.

‘’Kesalahan apa yang sudah aku lakukan Vino ?’’

‘’Hah ? kamu salah menanyakan hal itu, aku yang seharusnya menanyakannya’’.

‘’Disini aku yang merasa terusik, salahkah jika aku bertanya seperti itu ? aku tidak pernah mengganggumu tapi kenapa kamu terus mengusikku ? aku salah ? kumohon maafkan aku dan tolong jauhi aku’’.

Mendengar jawaban Reyna, Vino pun terdiam, mematung di tempat dan bertanya-tanya dengan apa yang dia lakukan selama ini, apakah itu semua adalah sebuah kesalahan sehingga Reyna tampak membencinya, bukan hanya tampak tapi amat sangat membencinya. Sementara Reyna sudah berjalan jauh memasuki ruang kelasnya. Ia menjadi orang yang sangat kejam di depan Vino, padahal ia adik dari sahabatnya sendiri, tapi tak ada hal lain yang bisa ia lakukan karena ia merasa kesal selalu diusik oleh Vino yang sebenarnya memberikan ia perhatian. Bukan menutup mata atau memekakkan telinga tapi ia tau Vino menyukainya dan hal itu menjadi sebab ia ingin menjauhi Vino karena ia tak menyukai lelaki itu.

Waktu pun berlalu, bel pulang sekolah berbunyi dan lagi ia masih harus melihat Vino yang baru saja keluar dari kelasnya, Reyna masih saja harus melihat dia, orang yang sangat tidak ingin dilihatnya. Dari kejauhan, Vino masih tetap meluruskan pandangannya kepada Reyna yang telah melewati gerbang sekolah. Rasanya ingin memanggil Reyna namun lidah Vino menjadi kaku dan kakinya mematung di tempat.

Perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 20 menit di bawah terik matahari membuat Reyna penuh dengan peluh. Reyna pun segera bergegas mengganti pakaiannya dan menyantap makan siang. Ia pun bersantai dengan duduk di sofa ruang tamu sambil menonton tv, ia merasakan kesejukan dari kipas angin yang berputar kencang dan matanya semakin memberat hingga ia terlelap.

Seolah waktu terus berlalu di penghujung sore senja tiba. Reyna terbangun saat matahari sudah digantikan oleh hadirnya cahaya bulan dengan keredupan lampu yang terasa sama dengan yang Reyna rasakan dalam hidupnya. Ia pun meneguk segelas air yang diambilnya dari kulkas.

‘’Ah, kenapa aku selalu terlelap hingga terbangun di malam hari ? kapan kebiasaan ini akan berhenti’’, gerutu Reyna atas dirinya sendiri.

Reyna pun pergi menuju kamar mandi dan mempersiapkan air untuk merendam tubuhnya yang terasa sangat gerah di malam itu. Ia melepas pakainnya dan mulai memasuki bathup. Sambil bersantai ia mengecek handphonenya yang dari tadi siang tak kunjung dilihat.

Pesan masuk 15...

‘’Apaaa..? sudah ada 15 pesan masuk, dari siapa saja ? dan jangan bilang Vino juga termasuk, apa aku juga harus memblokir nomornya, tapi apa aku setega itu kepada anak tampan itu, hoh ayolah kenapa aku memujinya padahal aku sangat jengkel melihat kelakuannya itu, sadarlah Reynaaa...’’, gumamnya sambil membaca pesan satu per satu sementara mukanya agak memerah mengingat wajah Vino dan seluruh perhatian yang tercurahkan kepadanya.

Dari : Zelfa

‘’Rey,...

‘’Rey,...

‘’Rey,..

‘’Bales kek, huh payah !!!

‘’Tidur yah ? gilakk udah sore masih tidur, bangun woyy

‘’Kamu harus bantui aku ngerjain tugas ini, gimana cara nyelesainnya aku nggak ngerti

‘’Tolong Reyy..ntar aku traktir bakso besok

‘’Beneran nggak ngerti nih, plisss...

Oh Zelfa ternyata “Oh Oke deh aku ntar aku bantuin yah,’’Jawab Reyna kepada temannya itu, tapi satunya lagi darii...

Dari : Vino

‘’Reyy..

‘’Upss, maaf salah,

‘’Kayaknya aku salah sambung tadi"

(‘’Apanya coba yang salah sambung, nama aja udah disebut’’, decik Reyna sambil lanjut membaca).

‘’Rey, ohya harus panggil kakak kan yah..

‘’Koq nggak dibaca sih ? nggak bales nggak apa apa deh yang penting kamu baca

‘’Aku salah, aku minta maaf, soalnya selama ini kamu merasa terusik sama aku, aku nggak maksud apa-apa, yah aku cuma pengen deket aja sama kamu’’

("Pengen deket sih nggak gitu caranya, ampun ni anak, tapi keren juga masih berani ngechat padahal tadi aku udah kasar banget,’’ Reyna pun lanjut membacanya..)

‘’Mulai besok aku bakal merubah kelakukan aku yang menurut kamu keterlaluan itu, sekali lagi maaf yah’’.

(‘’Bagus deh kalo mau berubah,’’ ungkap Reyna dalam hatinya namun ia tak membalas pesan itu. Ia pun segera menyudahi aktivitasnya dan bersiap membantu Zelfa mengerjakan tugas).

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, meskipun matanya sudah terasa sangat berat tapi ia belum ingin tidur. Malam sepi selalu menghantui selain suara jangkrik yang memekik keras, meskipun ia tidak tinggal di desa tapi suara jangkrik terdengar jelas di perumahan ini. Ia pun menyeduh coklat panas yang biasa dibuat oleh mamanya, coklat itu memang ampuh memperbaiki perasaannya dan membantunya tidur. Reyna pun terlelap, dalam mimpi yang terlihat seperti kenyataan ia melihat ibunya..

"Ma..mama ? Apa benar itu engkau ?’’

Reyna berlari mengejar ibunya yang jauh diujung sana, sampai jantungnya sempat melemah.

"Reyna..ini mama sayang, kamu sekarang sudah tumbuh tinggi dan menjadi gadis pemberani’’.

"Aku benar-benar merindukanmu ma..’’

"Mama juga sangat merindukanmu. Kenapa kau menangis disaat matahari masih bisa kau lihat dengan jelas ?’’

"Aku lelah ma, aku juga takut, rasanya detak jam selalu terdengar sangat dekat dengan telingaku, aku ingin segera ikut bersamamu dan tak mau lagi jauh darimu ma,’’

"Apa yang kau katakan? Kenapa kau merasa takut?? Bangunlah Reyna, Dunia masihh...

"Ma..mamaaa..tapi aku takut..’’

Reyna terkejut dan terbangun dengan badan yang sudah dibasahi oleh keringat.

‘’Ah, aku mimpi mama lagi, tapi mama masih tak kembali, kenapa harus aku yang terus lelah dan kenapa seolah hanya aku yang mengejar mama ? apa mama tak merindukan aku ?"

Chapter II : My Missing Puzzle Pieces

Reyna duduk melamun di depan jendela kamarnya. Pandangannya kosong menatap tetesan air hujan yang masih menghiasi jendela itu. Rasa yang menyiksa karena menyesakkan dada harus selalu ia rasakan seperti sebuah kutukan.

‘’Rey, sampai kapan kamu akan termenung seperti itu, ayolah semangat,” bujuk Zelfa yang tengah membawakan teh hangat untuk dirinya.

‘’Pergilah Fa, aku tau kamu pasti capek harus bolak-balik kesini’’.

‘’Aku memang capek tapi bukan karena harus bolak-balik, aku capek melihatmu terus dalam keadaan seperti ini, tidak ada semangat hidup’’.

‘’Untuk apa aku bersemangat kalau ujungnya aku akan mati’’.

‘’Hey, tak ada yang tau dengan kapan kematian seseorang, kalau sampai orang tau mereka pasti akan mempersiapkan semuanya sebelum meninggalkan dunia ini tapi tidak sepertimu’’.

‘’Yah, aku terlalu pesimis dengan kehidupanku ini’’. Jawab Reyna sambil meneguk segelas teh yang masih hangat itu dan memang cocok untuk diminum di sore selepas hujan.

Detik memang terus berlalu, lagi dan lagi mengantarkan siang kepada sore dimana kenangan bisa menguap dengan sendirinya tanpa disadari. Lantas mengapa harus sore ? bukan pagi ataupun malam, karena sore adalah jendela alarm antara matahari dan bulan harus bekerja dengan porsinya masing-masing. Keindahan sore tak mampu hanya dituliskan dengan sebuah kata atau kisah yang indah karena setiap sore punya ceritanya sendiri tergantung bagaimana empunya menjalani hari yang panjang sampai bertemu pada sore berikutnya.

Terbangun dari mimpi merindukan seseorang pasti menyisakan perasaan sesak dan pikiran menjadi terus membayangi orang tersebut walau sudah melupakannya sejak lama. Laju waktu tak dapat dihindari, ia akan terus berjalan tak mampu mengelaknya melainkan tetap menjalaninya.

Dari kejauhan tampak sosok Vino yang di pagi hari itu sibuk mencari buku di rak.

‘’Ah, kenapa harus bertemu dengan dia lagi, kenapa dia ada dimana-mana’’, gerutu Reyna.

Vino menyadari kehadiran Reyna yang sedang duduk membaca buku di meja sambil menatap tajam dirinya.

‘’Oh Tuhan, apa aku salah lagi,’’ gumam Vino dalam hatinya tapi ia memberanikan diri untuk menyapanya namun sebelum hal itu terjadi dia melihat ada seorang lelaki yang mendekati Reyna.

‘’Hey, Rey lagi baca buku apa ?’’

‘’Oh, Hey Do, ini lagi baca buku sejarah mau cari jawaban tugas kemarin’’.

‘’Aku udah dapet loh jawabannya, kamu liat di aku aja’’.

‘’Heheh, jadi ngerepotin Do’’.

‘’Ah, nggaklah untuk Reyna apasih yang enggak’’.

‘’Bisa aja Do, tapi bagus juga tawarannya nanti aku liat deh, oh ya aku minta uang 1 trilyun ada ?’’

‘’Hah ? 1 T ? yah aku aja sekarang cuma punya 50.000 di kantong, uang jajanku dipotong mama’’.

‘’Hah ? dipotong ? ketauan minggat ya Do ?’’

‘’Heheh, iya’’.

‘’Faldo, Faldo...’’

Faldo pun pergi meninggalkan Reyna.

‘’Hmm, bentar lagi bel mending masuk sekarang aja deh’’, Reyna berdiri dan mengambil beberapa buku yang ia pinjam di perpustakaan.

‘’Rey, eh salah maksudku kak, aku tolongin yah bawa bukunya’’ tawar Vino.

‘’Nggak usah Vin aku bisa sendiri’’.

‘’Buku yang kakak bawa itu banyak, lebih baik aku saja yang membawanya, nanti kakak kecapekan padahal ada tugas sejarah yang harus kakak buat’’.

‘’Koq kamu tau ? dari tadi kamu nguping yah ?’’.

‘’Iya, maaf kak’’, jawab Vino dengan gugup sambil menggaruk telinganya yang tidak gatal.

‘’Jujur banget ni anak, lucu, nggak lah Rey, masa lucu’’gumam Reyna dalam hatinya.

‘’Aku bawain ya kak’’.

‘’Iya Vin, thanks ya’’.

‘’Sama-sama kak, soal semalem..’’,Vino ragu meneruskan kalimatnya.

‘’Kenapa semalem ? masalah chat ?’’

‘’Eh, iya kak, maaf yah selama ini aku sering ganggu kakak, tapi jujur aja aku pengen deket sama kakak’’.

‘’Deket ?’’

‘’Iya kak, kakak kan temennya kakak aku, boleh juga dong kalo aku temenan sama kakak’’.

‘’Ntar ya aku pikir-pikir dulu’’.

‘’Loh koq pikir-pikir dulu’’.

‘’Kamu maksa ? emang temenan bisa maksa ?’’

‘’Nggak kak, nggak, bukan maksud aku kayak gitu’’, jawab Vino yang takut Reyna akan marah lagi.

‘’Hahah semakin lucu ni’’, gumam Reyna.

‘’Lucu apanya kak ?"

‘’Eh, siapa yang ngomong lucu ?’’

‘’Tadi kakak ngomong lucu, emang sih aku ni lucu, banyak juga yang ngomong kayak gitu.’’ Pungkas Vino yang memuji dirinya sendiri.

‘’(bodoh, kedengaran lagi, gumam Reyna dalam hatinya), Salah denger kali Vin’’.

‘’Oh, emang sih kadang-kadang aku kedengeran suara samar-samar gitu’’.

‘’Kenapa ni anak, hahah’’, decik Reyna dalam hatinya.

Percakapan itu berhenti saat Reyna sudah tiba di kelasnya.

‘’Jadi gimana kak ? kita temenan yah sekarang’’, pinta Vino.

‘’Nanti deh aku pikir-pikir dulu’’.

‘’Jangan kelamaan kak mikirnya’’.

‘’Lah, emangnya kenapa ?’’

‘’Terkadang besok beda sama hari ini’’

‘’Besok memang beda sama hari ini’’

‘’Iya gitu’’.

‘’Iya gitu apa ?’’

‘’Iya gitu kakak kan tau kalo besok beda sama hari ini, ya udah emang beda’’.

‘’Apaan sih Vin, buruan masuk kelas gih, tuh kelas udah rame, bukannya sebagai ketua kelas kamu harus menertibkan temen-temen kamu sebelum dimarahi guru’’.

‘’Iya kak, sampe ketemu lagi’’.

‘’Emangnya kita ketemu lagi ?’’

‘’Harus dong kak’’.

Vino pun pergi menuju kelasnya yang dari luar sudah nampak riuh itu.

‘’Hey, Rey, gimana PDKTnya ama Vino ?’’, tanya Zelfa.

‘’Hah, PDKT ? sejak kapan ?’’

‘’Sejak tadi’’.

‘’Nggak koq, dia cuma bantuin aku bawain buku’’.

‘’Oh gitu, keren juga cara Vino’’.

‘’Keren ?’’

‘’Iya, adikku kan memang keren Rey, akui saja, hahah’’.

Guru Fisika pun memasuki ruang kelas dan pelajaran pun dimulai.

‘’Duh, susah banget nih pelajaran buat otak mumet, pulang nih ke rumah aku yuk ajarin’’, bujuk Zelfa.

‘’Oke, tante masak apa ?’’

‘’Masak apa ya, aku nggak nanya tadi pagi buru-buru pergi soalnya Vino itu busett cepet banget kalo mau sekolah’’.

‘’Bagus dong, itu namanya rajin nggak kayak kakaknya nih’’.

Jam pulang sekolah pun tiba. Reyna menepati perkataannya dengan mengunjungi rumah Zelfa. Waktu belajar yang sebenarnya lama terasa sangat sebentar karena Zelfa termasuk anak yang humoris sehingga waktu belajar akan diselingi oleh gelak tawa akibat ulah konyolnya. Hingga tanpa mereka sadari sore sudah ada di penghujung waktu menembus malam. Mama Zelfa pun menyuruh Vino mengantar Reyna pulang karena takut terjadi apa-apa pada anak gadis orang. Vino pun dengan senang hati mengantar Reyna menggunakan mobil mamanya.

"Pulang dulu, tan" pamit Reyna sambil mencium tangan mama Zelfa.

"Iya, terima kasih ya nak sudah mengajari Zelfa, maaf selalu ngerepotin. Dan kamu Vino bawa mobil hati-hati", jawab Mama Zelfa.

"Nggak ngerepotin koq tan".

"Siap, ma". Jawab Vino sambil melakukan gerakan hormat kepada mamanya.

"Silahkan masuk kak", kata Vino mempersilahkan Reyna masuk dengan gaya pelayan istana.

Mereka pun menaiki mobil tersebut menyusuri jalan yang sudah diterangi oleh lampu-lampu.

"Kak, besok ke rumah lagi ya ?", tanya Vino

"Kenapa ? Tergantung Zelfanya".

"Hmm..,jawab Vino dengan nada sedikit murung.

"Jangan terlalu ngarep besok aku datang, lagian emangnya kenapa kalo aku datang ?"

"Nggak ngarep koq kak, yah kali aja besok kakak dateng lagi, gini deh gimana kalo kakak ngajarin aku ?"

Reyna pun terdiam.

"Kenapa kak ? Kakak merasa terusik lagi ya ? Maaf kak, aku nggak maksud gitu, aku cuma pengen ketemu kakak lagi aja, terus bisa nganter kakak pulang ke rumah dengan selamat".

"Oh begitu, tapi kan kamu udah pinter".

"Nggak koq kak, aku belum pinter kayak kakak, aku masih pengen diajari kayak kak Zelfa".

"Yakin cuma itu ?"

"Iya sebenarnya bukan cuma itu aja kak".

"Terus ?"

"Hmm..itu.."

Sebelum Vino selesai meneruskan kalimatnya, ternyata mereka sudah sampai di rumah Reyna.

"Oke, makasih ya Vin udah nganterin aku, btw tadi kamu mau ngomong apa?"

"Hah ? Oh itu.. Besok gimana ? Jadi kan mau ngajarin aku ?"

"Loh koq minta ajarin aku ? Nggak salah ?"

"Nggak kak, aku beneran serius".

"Kenapa ? Pasti maksudnya bukan belajar kan?"

"Belajar kak, tapi ada alasan lainnya yaitu aku pengen deket sama kakak?"

"Deket ?"

"Iya kak, kakak nggak mungkin nggak tau".

"Apa ?"

"Aku suka sama kakak".

"Hmm..kayaknya aku ada tugas tadi Vin, mending kamu pulang, udah malem juga, entar tante khawatir, aku masuk dulu yah, bye.."

"Iya kak, good night, have a nice dream,.."

Belum sempat Vino menyambung ucapannya, Reyna sudah keburu masuk ke dalam rumah.

"...dan sampai ketemu besok", sambung Vino yang merasa sedikit kecewa. Bukan hanya kecewa dia takut Reyna akan memarahinya lagi.

Tapi dibalik pintu, Reyna merasa sedikit berdebar mendengar pengakuan Vino padahal tanpa harus anak itu mengatakannya Reyna sudah mengetahuinya melalui perlakuan Vino selama ini.

"Ah, kenapa jantungku jadi sedikit berdebar, apa aku sakit ?, kayaknya nggak, apa aku tadi minum salah makan atau minum obat, tapi nggak, ah sudahlah lebih baik aku mandi dan melanjutkan tugas yang kemarin".

Krik..krik..krik..

Suara jangkrik masih terdengar jelas memecah keheningan. Untuk mengelabui keadaan sepi ini, Reyna menyetel musik dalam kamarnya sambil mengerjakan tugas. Disaat asyik memfokuskan dirinya, handphone pun bergetar.

Pesan masuk 3.

Dari : Vino

"*Kak, aku minta maaf, jangan marah yaa".

"Kalo kakak nggak mau ngajarin aku nggak papa koq, aku masih bisa ketemu kakak di sekolah walaupun kakak nggak mau nemui aku di rumah".

"Soal yang tadi, aku bener-bener jujur kak, kalo aku suka sama kakak, aku sangat yakin dengan perasaan ini, dan aku yakin aku juga nggak ngelakuin hal yang salah*".

Membaca pesan itu membuat Reyna tersipu, pipinya memerah.

"Ah, anak ini kenapa menggemaskan sekali, mana jujur banget, mau minta ajarin yah minta ajarin aja harusnya nggak perlu ngomong pengen deket dan ketemu aku terus apalagi sampe ngomong suka, kalo gini gimana cara aku ngadapinnya ? Kalo kemarin-kemarin sih mudah, aku tinggal marahi dia terus pergi, kalo sekarang aku kayak gitu terasa banget aku jahat, meskipun aku nggak suka dia, tapi kalo dilihat-lihat dia koq nambah cakep ya dari hari ke hari, atau memang dia semakin tampil bergaya, mentang-mentang ketua kelas jadi mau tampil keren mulu", gerutu Reyna yang tanpa ia sadari sudah memuji Vino.

Kehidupan yang dihimpit oleh waktu memaksa orang-orang mengatur siklus hidupnya masing-masing karena setiap orang punya cara dan porsi yang berbeda. Begitu pun dengan Reyna, lelahnya ia hari ini akhirnya terampuni dengan nikmatnya tidur. Sementara ia tertidur, bumi tetap berputar pada porosnya dan matahari siap menyambutnya dalam lingkaran kehangatan.

Pagi hari yang cerah dengan suara burung yang riuh menyambut Reyna bersama alarm yang berdering memekakkan telinga. Belum terlalu tersadar ia mengecek handphonenya. Betapa terkejutnya ia melihat pesan-pesan itu.

"Mentang-mentang jadi ketua kelas kamu jadi harus bergaya agar terlihat keren".

"Hah, kakak ini lagi muji atau ngeledek aku ?", jawab Vino 7 jam yang lalu.

"Apa-apaan tangan ini, koq malah seenaknya ngetik kayak gini, huahhh malu banget, astagaaa mau ditarok dimana muka aku". Pekik Reyna sambil berjalan ke kamar man

di dan bersiap pergi ke sekolah.

"Ah, bukannya kalo aku datang pagi, nggak akan ketemu tu anak, tapi sekarang udah jam 6.35, dia pasti udah datang, apalagi ketua kelas kan memang harus datang pagi-pagi, ahh..kesel, tenang Reyna kamu hanya perlu bersikap biasa aja, kamu tinggal ngomong kalo semalem itu salah ngirim, tapi disitu udah jelas tertulis ketua kelas, siapa lagi kalo bukan dia, apa aku ngomong aja kalo itu ketua kelasku bukan dia, iyaa ide bagus, dia juga pasti akan percaya", ucap Reyna pada dirinya sendiri.

Sesampainya di sekolah Reyna menelisik keberadaan Vino, namun hasilnya nihil dan hari ini dia selamat.

"Hey, Rey hari ini ke rumah aku yah", ajak Zelfa.

"Loh kenapa ?, kan kita udah belajar kemaren".

"Kita nggak akan belajar hari ini, kita akan main sepuasnya".

"Mama kamu pergi ?"

"Iya dong, nikmat bukan ? Nikmat Tuhan mana lagi yang mau kau dustakan ? dan Vino sakit jadi aku disuruh di rumah aja, daripada sendirian jagain tuh anak mending aku ajak kamu, ide bagus bukan ?"

"Sakit ? Kayaknya aku nggak bisa mau tidur aja pulang sekolah ini".

"Iya sakit, ciee khawatir ya ? Emang nggak dikasih kabar ?"

"Yah mana aku tau, emang dia siapanya aku".

"Oh gitu, yaudah kalo kamu nggak mau, kamu tidur aja, entar kalo kamu minta aku temenin aku juga mau tidur aja".

"Koq gitu sih Fa".

"Nah makanya ayolah ke rumah, mama udah ninggalin iga bakar kesukaan kamu di rumah",

"Serius ?", tanya Reyna sambil melotot.

"Biasa aja tuh mata, iya ada iga bakar, ada sup daging, enak deh".

"Wah boleh boleh, aku mau".

"Tadi katanya mau tidur ?"

"Nggak jadi, tidurnya entar malem aja".

"Kamu ke rumahku cuma karena makan enak ? Nggak khawatir sama Vino, kasian banget kamu dek, kenapa harus suka sama batu".

"Hah, kamu bilang apa ? Aku batu ?".

"Ya iya memang batu, kalo nggak dibujuk pake makanan aja nggak mau kamu temenin aku".

"Heheh", jawab Reyna.

Lima jam telah berlalu, bel pulang sekolah pun berbunyi. Tibalah saatnya Reyna mendatangi rumah Zelfa.

Sesampainya di rumah, Zelfa berlari menuju ke lantai atas untuk melihat adiknya disusul oleh Reyna.

"Gimana Vin, udah mendingan ?"

"Lumayan kak, dari pada tadi pagi, orang lagi sakit koq malah ditinggalin sendirian".

"Eh, tapi kamu bakal langsung seger kalo liat ini".

Tak lama kemudian Reyna masuk ke kamar Vino.

"Nggak ngomong kak kalo Reyna datang", tanya Vino.

"Huss..pake kakak, kamu koq nggak sopan banget", bisik Zelfa.

"Kak Rey dateng juga akhirnya, aku sakit nih kak, demem", rengek Vino manja.

"Oh sakit, cepet sembuh ya".

"Hahaha, kasian banget kamu Vin", ledek Zelfa

Vino pun menjadi murung.

"Kamu demem ?", Reyna mendekati Vino sambil memegang dahinya untuk mengecek panas badannya.

Vino yang merasakan Reyna memegang dahinya memberi efek merah pada pipinya.

"Kamu kenapa Vin ? Badanmu nggak terlalu panas nih, koq muka kamu merah ? Apa karena cuacanya panas diluar ? tapi kamar kamu nih rasanya sejuk", tanya Reyna.

"Eh, efek demem kak, biasanya mukaku kalau demem memang suka merah".

"Oh gitu, udah minum obat ?",tanya Reyna kembali.

"Rey, aku ke kamar dulu ya mau ganti baju sekalian ke bawah nyiapin makanan", kata Zelfa yang meninggalkan kamar adiknya itu.

"Iya Fa, jadi kamu udah minum obat lagi ? Hmm..udah makan belum ?", tanya Reyna.

"Cuma tadi pagi kak aku minum obatnya, mau makan tapi nggak ada yang siapin".

"Tunggu ya, aku ke bawah dulu ambilin makanan buat kamu".

"Iya kak, terima kasih ya".

Selang beberapa menit kemudian Reyna datang membawa nampan dan segelas teh hangat.

"Nih makan dulu".

"Duh, lemes kak, nggak nafsu makan bubur itu".

"Lemes ? Makan aja nggak bisa, baru demem manja banget kamu Vin".

"Iya kak beneran lemes, suerr.."

"Hmm karena hari ini kamu sakit dan berhasil buat aku merasa iba, aku suapin deh, kali ini gratis besok bayar".

"Heheh, karena kata iba kayaknya diberi penekanan banget, harus bayar yah ? Kalo gitu aku mau bayar asal kakak suapin aku makan".

"Eh, nggak usah Vin, tawaran itu nggak berlaku buat kamu".

"Koq gitu sih kak".

"Aaaa, yok buka mulutnya, habis ini minum obat".

"Siap kak", jawab Vino dengan semangat sambil melakukan gerakan hormat.

Bubur yang tadi semangkuk penuh sudah habis dilahap oleh Vino.

"Nih, minum obatnya, habis ini aku mau ke bawah makanan udah siap".

"Terima kasih kak", jawab Vino sebelum meminum obatnya dan menahan tangan Reyna.

Kali ini Reyna mencoba memaklumi anak itu, karena ia sedang sakit.

"Kakak tau hal sederhana yang membuat aku seketika bahagia adalah saat kakak mulai memanggil namaku", Vino berkata dengan memandang lurus ke jendela kamarnya yang mulai basah oleh air hujan.

"Hah ?", tanya Reyna heran.

"Aku senang saat kakak memanggil aku Vino".

"Kan emang nama kamu Vino, suka lucu".

"Iya dan hal sesederhana itu buat aku senang".

"Tangan nih belum selesai minjemnya ? kan obat juga udah kamu minum".

"Eh, iya kak maaf, tapi tolong kasih waktu sebentar lagi sampai aku tidur, bentar lagi kak efek obatnya bekerja".

Reyna hanya terdiam dan menuruti kemauan Vino. Dan benar tak lama dari itu mata Vino mulai memejamkan matanya.

"Padahal aku tak menyukai anak ini, tapi kenapa aku merasa aman dan sangat nyaman saat bersamanya, dia seperti kepingan terakhir yang menjadi jawab atas desak rindu yang entah untuk siapa", gumam Reyna dalam hatinya.

"Memegang tangannya benar-benar membuatku ingin menjadi pejuang yang membunuh waktu. Andai ini akan berlangsung selamanya aku takkan melepasnya walau hanya sedetik", gumam Vino dalam hatinya.

Kini ia berada di batas antara mimpi dan kesadaran.

Chapter III : Unclear Boundaries

Kematian adalah bayangan yang akan terus mengejar dan menjelma menjadi hantu yang menakutkan bagi setiap manusia. Tak ada yang tahu pasti kapan ajal itu akan menjemput pulang kembali pada Nya. Tapi waktu akan terus berputar ditengah ketidakpastian hidup sementara kematian tetap menjadi satu hal yang pasti dan sebagai manusia beriman sudah sebaiknya menyiapkan diri sebelum berpulang menghadap Nya.

Setiap hari di penghujung sore senja tiba lagi dan Reyna selalu terbangun saat matahari sudah digantikan oleh hadirnya cahaya bulan dengan keredupan lampu yang terasa sama dengan yang Reyna rasakan dalam hidupnya. Ia selalu berkata dalam hatinya, "Tuhan izinkan aku memeluk mama, aku tak meminta banyak waktu berikan aku 1 jam atau bahkan 1 menit, karena aku tau kerapuhanku akan gugur ketika aku memeluknya".

Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur meneguk segelas air dari botol berkeringat yang baru keluar dari kulkas. Setiap malam selalu terasa sepi selain kegaduhan dari sekumpulan jangkrik. Selain mengerjakan tugas, menonton tv adalah kebiasaannya menunggu kantuk tiba. Putaran kipas angin yang berderu membuat mata semakin memberat dan Reyna pun tertidur. Dalam mimpi yang terlihat seperti kenyataan ia melihat ibunya..

"Ma..mama ? Apa benar itu engkau ?’’

Reyna berlari mengejar ibunya yang jauh diujung sana, sampai jantungnya sempat melemah.

"Reyna..ini mama sayang, kamu sekarang sudah tumbuh tinggi dan menjadi gadis pemberani’’.

"Aku benar-benar merindukanmu ma..’’

"Mama juga sangat merindukanmu. Kenapa kau menangis disaat matahari masih bisa kau lihat dengan jelas ?’’

"Aku lelah ma, aku juga takut, rasanya detak jam selalu terdengar sangat dekat dengan telingaku, aku ingin segera ikut bersamamu untuk selamanya,’’

"Apa yang kau katakan? Kenapa kau merasa takut?? Bangunlah Reyna, Dunia masih bersamamu dan Tuhan masih mengirimkan malaikatnya untukmu.."

"Ma..mamaaa..tapi aku takut..’’

Reyna menangis mengejar mamanya yang perlahan menghilang. Ia terbangun dengan air mata, lalu mengusapnya dan bersiap pergi ke sekolah. Sial, dia lupa mengerjakan tugasnya. Ia pun bergerak secepat kilat mengambil handuknya dan mandi. Selepas mandi, ia menyiapkan bukunya dan mengerjakan tugas yang terlupa itu. Namun, ia tak kunjung menemukan bukunya, yang ada hanya buku-buku sistem informasi seperti , ‘’Cara Membuat Game Bagi Pemula’’ ,’’Cara Mudah Mengembalikan Data yang Hilang’’, dan satu buku yang terselip di antara buku itu,‘’Cara Cepat Mengatasi Sembelit’’,

‘’Buku apa ini ? kenapa tidak ada buku tugasku, aduh bisa dihukum berdiri di depan kelas ini’’.

‘’Reynaaa...’’

‘’Hah ? Zelfa pagi-pagi udah datang kok tumben biasa dia nggak pernah jemput ke sekolah’’.

Saat membuka pintu, Reyna dan Zelfa sama-sama ternganga.

‘’Loh, apa-apaan kamu Fa ? kenapa rambut kamu diwarnai ? nggak pake seragam dan malah pake heels’’.

‘’Hahahahaha, kamu yang kenapa ? hahahaha aduh pagi-pagi aku nggak bisa nih kayak hahahaha, kayak gini (sambil mengusap matanya yang mengeluarkan air akibat tertawa), mau reuni ? tapi apa hari ini hari aku ulang tahun jadi kamu mau ngasih surprise ? nggak deh, udah lewat’’.

‘’Kamu itu aneh, mau bolos ya ? alamak, udah jam 7 dan tugas aku belum kelar, udah telat, nggak bikin tugas, hancur banget hari ini’’.

"Sadar Rey, sadar, buruan gih ganti baju".

Reyna masih dalam keadaan bingung lalu dilihatnya kalender sudah 3 tahun lebih maju.

"Ah, apa aku bermimpi, apa ini perjalanan waktu", Reyna menyubit tangannya sendiri dan terasa sakit.

"Gilaaa, sakitnya nyata beneran ini bukan mimpi". Lalu ia mengecek handphonenya, tampilan wallpaper pertama yang dilihatnya adalah foto wisuda sekolah dan bersama seorang laki-laki.

"Tunggu, ini kan Deran, loh koq Deran ?, perasaan namanya bukan Deran tapi kenapa aku nyebut Deran, ahh koq hari ini aku kayak orang gila".

"Buruan Rey" teriak Zelfa.

Akhirnya mereka pun berangkat ke kampus. Setibanya disana Reyna disambut oleh pria tampan dengan jaket kulit dan ransel yang hanya diselempang di bahu sebelah kiri. Pria itu bukan hanya tampan, dia tinggi, bersinar dan satu kata yang akan terucap saat melihatnya adalah perfect.

"Deran, koq namanya Deran, apa aku salah lagi ? Ada apa dengan hari ini ?", tanya Reyna dalam hati.

"Hey, Rey ntar pulang mau jalan ?"tanya laki-laki itu sambil menggandeng tangan Reyna.

"Koq Deran yah, perasaan bukan Deran", tanya Reyna yang masih heran.

"Kamu suka lucu deh".

"Ini aku serius loh nanya nya".

"Iya deh aku minta maaf, Deran kan panggilan kamu khusus buat aku", jawab pria itu.

Reyna hanya terdiam sambil merenung.

"Semalem kamu kebentur ya ? Atau salah makan ? Atau kamu mau ngerjain aku ?", tanya Deran sambil mengusap kepala Reyna.

"Nggak, beneran aku nggak tau makanya aku nanya dan kamu sudah seharusnya jelasin".

"Okey, sebenarnya ini lucu tapi aku tetep harus jelasinnya kan. Jadi nama lengkap aku itu Deran Devino, dan biasanya aku dipanggil Vino dari aku kecil, terus waktu kita resmi pacaran kamu mau manggil aku Deran, kata kamu itu panggilan spesial karena beda dari panggilan biasanya orang-orang ke aku, sekarang kamu paham ? Atau inget? Atau kamu puas buat selalu ngetes ingetan aku soal hubungan kita ?", tanya Deran alias Vino.

"Oh iya, Vino yah si anak tengil kelas 11 dulu".

"Selalu itu yang kamu inget, tapi kamu nggak pernah jujur mengakui aku keren dan tampan".

"Iya, iya mendengar pujian itu berasal dari mulutmu sendiri semakin membuktikan betapa tengilnya kamu, tapi aku masih bingung".

"Bingung apa lagi sayang ? Udah dong nggak usah ngerjain aku lagi meskipun sebenarnya aku juga seneng-seneng gitu dikerjain kamu".

"Ah, jujur banget ni anak".

"Hey, aku sudah jadi pria bukan anak lagi".

"Iya, iya pria yang tak jauh beda dari waktu sekolah".

"Pulang ini jadi mau jalan ?"ajak Deran.

"Ng...jadi dong", ceplos Reyna.

"Eh, apaan ni mulut koq nggak bisa diatur aku kan nggak mau jalan sama dia tapi koq otomatis jawab jadi", rutuk Reyna dalam hatinya.

"Oke, nanti aku jemput depan kelas ya, dah sayang, semangat ya belajarnya, aku juga semangat ni buat jadi orang sukses yang bakal ngidupin kamu nanti ". Ujar Deran.

Namun Reyna hanya membalas dengan senyuman.

"Gilaa, kata-katanya makin dimanisin aja, lama-lama diabetes aku kalo kayak gini", gumam Reyna dalam hatinya.

Reyna pun memasuki ruang kelas dan menghampiri Zelfa.

"Fa, koq kamu cepet banget ninggalin aku ?"

"Yah, masa' pagi-pagi aku udah mau jadi obat nyamuk aja".

"Hahah nggak gitu koq".

"Sebenarnya aku pengen nanya tapi gimana nanya nya, entar katanya aku gila, tapi memang aku kayak orang gila hari ini, terdampar di sebuah tahun masa depan, belum lagi entar dia ngadu sama adiknya kalo aku nggak ngakui pacar sendiri, tapi koq aku takut dia beranggapan kayak gitu, aku aja nggak percaya kalo aku sekarang pacaran dengan adiknya, kapan jadiannya dan dimana", rutuk Reyna dalam benaknya.

Reyna pun memberanikan diri bertanya kepada Zelfa.

"Fa, aku mau nanya....

"Selamat pagi semua," sapa seorang dosen.

"Nanti aja Rey nanya nya, mau fokus nih", jawab Zelfa.

"Iya Fa, memang nggak boleh nanya ini namanya", gerutu Reyna.

La..lala..lala..lala..la..

Suara anak kecil bernyanyi sambil memegang balon sedang duduk di kursi kayu dekat trotoar jalan. Reyna sangat terkejut dan bingung mencoba menyadarkan dirinya sendiri, ia yakin akalnya masih sehat tapi mengapa sekarang ia ada di tempat ini padahal baru saja ia lagi ada di kelas mendengar penjelasan materi dari dosen. Reyna terus mengucek matanya berharap ia memang sedang bermimpi.

"Kak, jangan kucek terus matanya nanti sakit", tegur seorang adik kecil.

Reyna berhenti mengucek matanya dan bertanya kepada anak itu.

"Dik ? Dimana ini ?’’

"Itu kak (sambil menunjuk papan nama jalan) Jalan Sakura kak.’’

"Ah, apa ini, ada dimana ini ? Aku tak pernah mendengar nama jalan itu, halusinasiku hari ini benar-benar dalam keadaan gawat".

"Kakak kenapa ? Kakak nampak sangat kebingungan dan berkata kalau sedang berhalusinasi ? Kakak lupa ? Atau kakak tersesat ?"

"Ini bukan cuma tersesat dik, aku taktau aku ini sedang apa disini dan mengapa harus disini, aku harus pulang".

"Ah, kalau kakak pulang aku akan sendirian menunggu disini".

"Memang siapa yang kamu tunggu ?"

"Kakakku".

Datanglah seorang wanita paruh baya yang berusia sekitar 60 tahun menegur anak itu.

"Pulanglah nak, kakakmu tak akan datang".

"Kakak pasti akan datang menjemputku nek".

"Dia tak akan datang, semakin lama kamu menunggu disini akan semakin menyiksamu".

"Kakak, akan menemaniku kan menunggu kakakku datang ? Dia pasti datang kak, percaya padaku", bujuk anak itu.

"Tapi aku juga harus pulang dik" jawab Reyna.

"Kakak kan tak tau arah jalan pulang lebih baik menunggu denganku saja disini", pinta anak itu.

Apa boleh buat, perasaan tak tega membuat Reyna bersedia menemani anak itu.

"Apa kakakmu mengatakan jam berapa dia akan datang ?"

"Sebentar lagi kak".

"Baiklah setelah kakakmu datang kamu harus menunjukkan jalan untuk aku pulang".

"Aku bahkan akan mengantarmu pulang kak".

Siang itu amat sangat terik tapi tak terasa panas melainkan sejuk perasaan yang sama yang pernah Reyna rasakan.

"Ah, rasanya sangat segar padahal siang ini panas".

"Iya kak" jawab anak itu sambil tersenyum.

"Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu", kata Reyna.

"Ingat apa kak ? Kakak sudah ingat jalan pulang ?".

"Masih belum ingat, aku bahkan mungkin tak punya ingatan bagaimana aku ada disini dan caranya untuk pulang, tapi aku teringat entahlahh perasaan sama yang sejuk, dan itu kamu".

"Apa maksud kakak ?"

"Ah, aku ngelantur, mungkin karena mengantuk ditambah desiran angin ini".

"Kata mama, semakin sejuk desiran angin semakin orang ingin tidur".

"Iya memang benar".

"Pulanglah kak, ada orang yang sudah menunggumu nanti kamu malah tertidur disini".

"Aku tak tau jalan pulang".

Tanpa sadar angin memang menghembuskan Reyna semakin masuk dalam keterlelapan.

"Ah, Reyna kamu sudah bangun ?" sapa Zelfa.

"Apa aku tertidur ?"

"Iya kamu tertidur, setelah menghabiskan iga bakar".

"Iga bakar ?"

"Ah, iga sudah lenyap dan kamu tidak mengakui atas hilangnya iga itu".

"Sekarang jam berapa ? dimana anak itu ?"

"Jam 5 sore, kenapa ? Mau pulang ? terus anak siapa yang kamu maksud ?"

"Ah, anak itu sudah dijemput kakaknya. Iya aku harus pulang. Jadi tadi aku di absen nggak sama ibu itu".

"Anak mana lagi, terserah deh, kan absen udah dari pagi sebelum piket. Kamu kenapa sih ?

mending kamu nginep aja disini, mama aku baru pulang besok pagi, Vino juga masih sakit".

"Piket ? Sakit ?"

"Kenapa kamu bertanya Rey ? Kan tadi kamu yang memberinya obat".

"3 tahun lalu ?"

" Apa ? Kamu sudah PDKT sejak 3 tahun lalu ?"

"Bukan gitu, sekarang tahun berapa ?"

"2017"

"Jangan bercanda".

"Aku serius Rey".

"Ini 2020, Kita udah kuliah kan ?", tanya Reyna mencoba memastikan.

"Apaan ? Sekolah aja masih kelas 11".

"Wah gilaa".

"Emang, baru nyadar ? Kesambet apa ?"

"Nggak habis pikir aku, tadi aku di tahun 2020".

"Mimpi, makanya jangan tidur sore-sore".

"Koq aku jadi takut Fa".

"Aku yang sebenarnya takut sama kamu Rey, jadi nginep disini kan ? Ntar kita ke rumah kamu dulu ambil pakaian sama perlengkapan sekolah".

"Iya iya aku jadi nginep".

Zelfa pun mengantar Reyna mengambil barang di rumahnya, Reyna masih tidak habis pikir. Pikirannya masih terbayang bagaimana bisa ada mimpi tanpa pembatas dengan kenyataan apa karena ia sering tidur sore.

"Ahh, entahlah", hentak Reyna sambil memijat kepalanya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!