...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Hai......
Selamat datang kembali di novel aku yang baru...
novel ini mengisahkan tentang poligami yang dilakukan seorang suami. Hati wanita mana yang rela suaminya menikah lagi dengan wanita lain? tentu itu tidak akan mudah.
sakit hati, kecewa, marah, kesal, semua pasti dirasakan istri pertama.
namun siapa sangka jika suaminya mempunyai tujuan lain?
penasaran kan...😍
ikuti terus ceritanya ya🙏😍
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Namanya Zoya Adhisty. Dia bersyukur karena Tuhan masih memberikan dia keluarga harmonis dan bahagia walau sudah tiga tahun ini, dirinya belum juga diberi amanah oleh yang Maha Kuasa.
Zada, suaminya selalu mendukung dan menemani Zoya. Zada tidak pernah menuntut Zoya dengan ini dan itu. Zada selalu berpikir, jika dirinya belum dikaruniai anak, mungkin suatu saat Allah akan memberikan kepercayaan itu padanya dan Zoya.
Zada sangat mencintai Zoya. Dia tidak mau membuat istrinya tertekan hanya karena masalah momongan. Bila ditanya, Zada ingin sekali segera mempunyai momongan. Tapi, balik lagi pada Zoya yang akan menanggung semua rasa sakit sewaktu hamil dan melahirkan.
Saat ini, Zoya dan Zada sedang sarapan bersama. Rutinitas yang selalu keduanya lakukan. Sejak tadi, Zoya memerhatikan suaminya yang hanya mengacak-acak isi piringnya, seperti tidak berselera. "Kok nggak di makan, Mas? Nggak enak ya, masakannya? Apa Mas nggak terlalu suka?" tanya Zoya begitu manis dan lembutnya.
Zada mengangkat kepala untuk menatap istrinya. Dia tersenyum tipis dan menjawab. "Tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," Zoya mengernyit kebingungan. "Memikirkan apa memangnya? Mas nggak mau cerita gitu, ke aku?" Zoya mencoba untuk membuat suaminya mau bercerita.
Namun, Zada hanya tersenyum. "Nggak, hanya masalah kantor saja. Kalau begitu, aku berangkat dulu ya, Sayang. Jaga diri kamu baik-baik," Zada berpamitan pada istrinya itu.
Zoya beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menyalimi tangan suaminya. "Hati-hati di jalan ya, Mas. Semoga, Allah memberikan kelancaran dan kemudahan pada pekerjaan Mas hari ini," Dengan tulus, Zoya mendoakan suaminya. Tidak lupa, Zoya menyunggingkan senyum manisnya terkhusus untuk Sang suami.
Zada mengangguk dan tersenyum tipis. Zoya mengantarkan Zada sampai depan. Setelah mobil Zada tidak terlihat, Zoya masuk kembali untuk merapikan meja makan.
Jam terus berputar dan pagi sudah berganti siang. Setelah mengantarkan suaminya tadi pagi, hati Zoya dirundung gelisah tiada henti. Zoya tidak tahu apa penyebabnya. Tidak berapa lama, azan Zuhur terdengar dan Zoya segera mengambil air wudu.
Zoya yakin, setelah wudu dan salat, pasti suasana hatinya akan kembali tenang. Namun, saat salatnya sudah selesai, Zoya tak kunjung mendapat ketenangan batinnya.
Akhirnya, Zoya memilih untuk menelepon suaminya. Kebetulan juga, jam menunjukkan jika saat ini waktunya Zada istirahat. Dia mencari nama suaminya dan mendial tombol hijau. Tut, tut, tut. Hingga dering ketiga, belum ada tanda-tanda jika Zada akan menerima panggilan.
Zoya mencoba menghubungi lagi saat sambungan itu berakhir tidak terjawab. Tut,Tut,Tut,Tut. Tepat dering ke lima, Zada menerima panggilannya.
"Assalamualaikum, Mas Zada."
Zoya tidak langsung mendapat jawaban dari seberang sana. Zoya malah mendengar suara berisik yang bisa Zoya perkirakan seperti kerumunan. Setelah itu, suara berisik itu berubah menjadi kresak-kresek. 'Mungkin, Mas Zada sedang makan siang,' batin Zoya menebak-nebak.
"Waalaikumsalam, Zoya."
"Mas Zada lagi makan ya? Kok berisik banget. Pasti makan di kantin kan?"
"I–iya. Mas lagi makan."
Zoya menjauhkan ponselnya saat mendengar suara gugup dari suaminya.
"Mas Zada nggak kenapa-napa kan? Kok kaya gugup gitu?"
"Nggak papa, Zoya. Mas cuma lagi lapar aja, jadi nggak konsentrasi."
"Ya udah, aku tutup ya. Aku cuma mau memastikan kalau Mas Zada baik-baik saja. Sejak tadi, pikiran dan hati Zoya nggak tenang, kepikiran Mas terus,"
"Jangan banyak pikiran. Mas baik-baik saja. Kalau gitu, mas lanjut makan lagi ya? Wassalamu'alaikum,"
Belum sempat Zoya menjawab salam dari suaminya, Zada sudah memutuskan sambungan teleponnya. Zoya menatap layar ponselnya yang sudah berubah gelap. "Waalaikumsalam," lirih Zoya.
Zoya merasa aneh dengan sikap suaminya sejak pagi. "Semoga, mas Zada baik-baik saja. Semoga hari Mas Zada berjalan dengan lancar,"
*
"Saya terima nikahnya Ghaida Sanjaya binti bapak Rudi Sanjaya dengan seperangkat alat sholat di bayar ... Tunai!"
Dengan lantang, Zada mengucapkan ijab Qabul yang hanya di hadiri oleh kerabat dan keluarga dekat. Sesuai doa Zoya, hari ini berjalan lancar.
"Para saksi, sah?"
"SAH!"
"Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltahaa alaih."
Setelah penghulu membacakan doa ijab qobul, Ghaida dipersilahkan untuk mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu, Zada mencium kening Ghaida, istri keduanya.
Zada tahu, yang dilakukannya akan membuat Zoya sakit hati. Tapi, Zada tidak punya pilihan lain selain menikahi Ghaida yang sedang hamil.
Setelah ijab qobul selesai, Zada dan Ghaida masuk ke salah satu kamar hotel untuk beristirahat dan berganti baju. Zada mandi terlebih dahulu dan akan menjalankan salat asar. Hal itu juga diikuti oleh Ghaida.
Zada tidak langsung salat melainkan menyempatkan dirinya untuk melamum. Sejak tadi, Zada sama sekali tidak membuka suaranya untuk berbicara dengan Ghaida. Pikirannya sedang kalut memikirkan reaksi Zoya. "Mas Zada, kita salat berjamaah kan?" tanya Ghaida saat Zada belum melaksanakan kewajibannya.
Zada mendongak untuk menatap istri keduanya. "Iya, kita salat berjamaah," jawab Zada lalu memposisikan dirinya berada di depan. Zada memimpin salat itu dengan khusyuk.
Setelah salam, Ghaida menyalimi dan mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu, keduanya larut dalam doanya masing-masing.
"Ya Allah, jika memang ini tanggung jawab yang Engkau berikan padaku, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Ya Allah, ini bukan keinginan nafsuku. Engkau tentu sangat mengetahui niatku. Bantulah aku menerima semua ujian hidup yang menerpa rumah tanggaku dengan Zoya, Ya Allah. Tolong, jangan buat Zoya sakit hati terlalu lama. Mungkin setelah ini, Zoya akan membenciku. Tapi aku mohon Ya Allah, segera sembuhkan luka di hati Zoya yang telah aku torehkan aamiin."
Zada berdoa panjang lebar untuk ketenangan hati Zoya. Jika Zoya merasa sakit hati, Zada juga akan merasakannya.
"Mas Zada." Ghaida memanggil Zada dengan lembut. Wanita yang memakai kerudung bergo berwarna navy itu mendekati suami barunya.
Zada yang sedang duduk di sofa pun menoleh dengan tatapan yang ... Entahlah. "Ada apa Ghaida?" tanya Zada lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Zada tidak mampu menatap sorot mata Ghaida yang penuh kelembutan itu.
Zada takut, dirinya akan menghianati cinta Zoya. "Terima kasih karena telah sudi menikahiku," ucap Ghaida sambil menunduk dan memainkan jari-jarinya.
Zada menghela nafasnya lelah. "Duduklah di sini, Ghaida," perintah Zada lembut dan menepuk ruang kosong di sebelahnya.
"Jangan bahas itu lagi. Semua sudah kehendak Allah SWT," ucap Zada menatap ke depan. Ghaida tersenyum manis. Ghaida tidak menyangka jika laki-laki di sebelahnya sudah resmi menjadi imamnya.
Namun, hati Ghaida sangat bimbang saat suaminya mengatakan ingin mengajaknya pulang ke tempat istri pertamanya tinggal. Ketiganya akan tinggal di dalam satu atap yang sama.
Ghaida takut akan menyakiti istri pertama suaminya.
"Mas, apa nggak sebaiknya kita menyembunyikan pernikahan kita dulu? Aku takut, istri pertama Mas akan sakit hati,"
"Namanya Zoya Adhisty. Wanita yang sangat aku cintai." terang Zada merasa tidak terima Ghaida hanya menyebut Zoya dengan sebutan 'istri pertama'
Ghaida langsung tertunduk lesu. Dia cukup sadar diri yang hanya berstatus sebagai istri siri. Sedangkan Zoya, dia istri yang sudah sah di mata hukum dan negara.
Malam harinya, Zada pulang ke rumah. Dia tidak bisa membuat Zoya khawatir karena dirinya. Bila dirinya tidak pulang, sudah dipastikan bahwa Zoya tidak akan tertidur sampai pagi. Dan itu sudah sering terjadi bila Zada lembur bekerja.
Zada sampai rumah saat jarum jam menunjuk angka 11 tepat. Zada bisa melihat suasana rumahnya yang masih terang pertanda Sang pemilik rumah belum tertidur.
Zada mengedarkan pandangan mencari keberadaan Zoya. Barangkali, Zoya masih berada di dapur atau di ruang tengah. Dan benar saja, saat dirinya melewati ruang tengah, Zada melihat Zoya sudah tertidur pulas dengan televisi yang masih menyala.
Zada berjalan tanpa suara menghampiri Zoya. Setelah sampai, Zada menekuk lututnya untuk menatap wajah istri cantiknya. Rambutnya yang tergerai indah telah menutup sebagian wajah putih mulusnya.
Zada menyingkirkan rambut nakal itu dan memandang Zoya penuh cinta. Dia sangat mencintai Zoya. Tidak ada niat sedikit pun untuk menghianatinya. 'Semoga, kamu bisa mengerti, Zoya,' monolog Zada dalam hati.
Zada mengecup kening Zoya dan menekannya cukup lama. Zada sudah berfirasat bahwa setelah ini, dirinya pasti akan didiamkan cukup lama oleh Zoya karena sudah menikah lagi secara diam-diam.
Tapi apa pun itu, Zada akan menerima semua amarah Zoya padanya. Bahkan, jika Zoya memukul, menendang, menampar, dan menjambak rambutnya pun, Zada akan menerimanya.
Rasa sakit karena pukulan dan di tampar tidak sebanding dengan rasa sakit yang telah Zada torehkan. Saat Zada sedang larut dalam pikirannya, Zoya menggeliat dan membuka sedikit matanya.
"Mas ... Mas Zada sudah pulang dari tadi? Maaf, Mas, aku ketiduran," Zoya langsung menegakkan tubuhnya untuk duduk. Zada mencegahnya karena Zoya pasti lelah seharian ini mengurus toko bunganya.
"Nggak usah bangun. Biar Mas gendong kamu ke kamar ya?" pinta Zada dengan tatapan sendu. Zoya tersenyum simpul dan mengangguk. Setelah itu, Zada menggendong Zoya menuju kamar ala bridal style.
Zoya segera mengalungkan tangannya pada leher suaminya dan menatap wajah tampan Zada penuh puja. "Makasih ya, Mas. Karena sudah mencintaiku sebanyak dan sedalam ini. Aku bersyukur mempunyai suami seperti Mas Zada," ucap Zoya saat Zada sedang berusaha menaiki anak tangga.
Hati Zada semakin dihunus rasa bersalah yang besar. Zoya begitu mempercayai dirinya dan dengan mudahnya, Zada menghianati kepercayaan Zoya. Tanpa menatap Zoya, Zada menjawabnya. "Aku juga merasa beruntung punya istri sepertimu,"
Tidak terasa, Zada dan Zoya sudah sampai di kamarnya. Zada membawa tubuh Zoya ke atas ranjang dengan hati-hati. Setelah itu, Zada berpamitan untuk membersihkan diri.
Tidak berapa lama, Zada sudah kembali dan bergabung dengan Zoya yang sedang duduk di ranjangnya dengan bersandar di headboard. "Bagaimana hari ini, Mas? Lancar kan? Kamu pasti lelah kan, pulang sampai larut begini?" tanya Zoya perhatian.
Zada langsung memeluk pinggang istrinya dengan manja dan menyandarkan kepalanya di bahu Zoya. Zada memejamkan mata merasakan kenyamanan. Semua masalah yang baru saja Zada temui seakan hilang begitu saja saat dirinya sudah bersama Zoya.
Zoya memang wanita terbaik yang telah Allah SWT kirimkan untuknya. "Cukup melelahkan, Sayang." Zada menjeda ucapannya terlebih dahulu. "Dan Alhamdulillah lancar," lirih Zada karena batinnya tidak pernah bisa berbohong.
Hari ini merupakan hari terberat untuk Zada. Dan mungkin saja, esok akan menjadi hari terberat untuk Zoya. Zada percaya, Zoya wanita yang kuat. Zada kemudian mengendus-endus wangi Zoya yang sudah menjadi candunya.
"Ih, Geli Mas. Kenapa sih, lagi manja banget? Hahaha," Zoya tergelak saat merasakan geli akibat ulah suaminya. Zada hanya tersenyum sendu menatap senyum Zoya yang begitu merekah dan penuh kebahagiaan.
Rasa-rasanya, Zada semakin tidak tega bila harus merusak kebahagiaan itu. Tapi, Zada harus berterus terang agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Zoya berhenti tertawa saat melihat Zada terdiam menatap dirinya.
"Kenapa Mas? Kok liatinnya begitu?" tanya Zoya penasaran. Zada segera tersadar dan tersenyum sendu. "Nggak papa. Memangnya salah ya? Kalau aku mau menatap istri sendiri? Habis, kamu cantik banget," puji Zada tulus.
Zoya tersenyum malu-malu mendapat pujian dari Zada. "Makasih ya, Mas. Aku memang beruntung memiliki suami seperti Mas Zada. Semoga, cinta kita sampai jannah-Nya,"
"Aamiin ya rabbal'alamin."
..............
Zada harus ke kantor dulu sebelum nanti sore menjemput Ghaida. Zada akan mengajak Ghaida tinggal bersama Zoya. Zada selalu dihantui rasa bersalah karena Sikapnya kemarin pada Zoya seperti mencerminkan laki-laki yang setia. Padahal, diam-diam Zada menikah lagi.
Hingga waktunya bekerja, Zada masih belum bisa mengembalikan fokusnya. Zada memikirkan sesuatu yang akan terjadi nanti. Seketika Zada menyebut nama Tuhannya. Dia sudah menduga-duga terlebih dahulu padahal Zada belum tahu apa rencana Allah SWT nanti.
"Astaghfirullahal'azdim. Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah. Hamba percaya bahwa Engkau tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan Hamba-Mu. Maafkan Hamba yang sudah berprasangka yang tidak-tidak," monolog Zada menyesali pikiran buruknya.
Bukankah yang menentukan jalan hidup manusia adalah Tuhan? Lalu mengapa Zada harus khawatir? Zada menghela dan mengembuskan nafasnya beberapa kali. Dia berusaha untuk mengembalikan fokusnya kembali.
Zada harus menyelesaikan pekerjaannya. Dia cukup percaya bahwa Allah SWT selalu bersama dirinya.
Sore pun akhirnya tiba. Zada harus menjemput Ghaida yang masih berada di hotel. Tadi pagi, Zada sudah menyuruh Ghaida untuk mengemas barang-barangnya yang berada di rumah juga.
Rencananya, Zada akan menjemput Ghaida terlebih dahulu lalu, mengambil barang-barang Ghaida sekalian berpamitan pada kedua orangtua Ghaida. Tidak berapa lama, mobil Zada sudah terparkir di lobi hotel. Dia segera naik ke lantai atas tempat Ghaida berada.
Ting. Tong.
Zada menekan bel agar Ghaida membukakan pintu. Tidak berapa, pintu terbuka dari dalam.
Ceklek.
"Assalamualaikum Mas Zada." sapa Ghaida saat suami barunya sampai di hotel lagi. Dia menyalimi dan mencium punggung tangan Zada. "Waalaikumsalam Ghaida," Zada menjawabnya dan mengelus puncak kepala Ghaida yang tertutup kerudung.
Bagaimana pun, Zada harus adil pada kedua istrinya. Walau sejujurnya, Zada belum bisa mencintai Ghaida, gadis yang baru saja di temuinya.
Zada berjalan memasuki kamar hotel. "Sudah dibereskan semua kan?" tanya Zada saat melihat satu koper yang berada di pinggir ranjang tertutup rapat. "Sudah, Mas. Tinggal ke rumah ambil barang-barang Ghaida lalu pamit sama ayah dan bunda," jawab Ghaida sambil mempersembahkan senyum manisnya.
Tidak mengapa bukan? Zada adalah suami sahnya. Jadi, Ghaida boleh menunjukkan senyum manis di hadapan imamnya. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang saja," ucap Zada yang berhasil membuyarkan lamunan Ghaida.
"Baiklah, Mas."
Ghaida bergerak untuk menyeret kopernya. Namun hal itu segera dicegah oleh Zada. "Biar aku saja yang bawa. Kasihan kamu sama kandunganmu," Lalu, Zada mengambil alih koper yang sudah berada di tangan Ghaida.
Diam-diam, Ghaida mengulum senyumnya. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. 'Mas Zada memang suami idaman. Beruntungnya aku karena menjadi istrinya,' batin Ghaida merasa senang.
Lalu, Zada keluar kamar diikuti Ghaida. Kaki Zada terasa berat melangkah. Pikirannya mengatakan untuk menyembunyikan pernikahan keduanya. Namun, hatinya berkata bahwa Zada harus jujur. Jujur memang menyakitkan. Namun, Akan lebih berbahaya lagi jika Zoya tahu dari orang lain.
Lebih baik, Zada segera mengakui perbuatan dosanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!