Panas cahaya matahari begitu terik hingga membuat peluh bercucuran, hiruk pikuk keramaian di sebuah terminal bis membuat kepala rasa nya mau pecah. Apalagi menjelang hari libur, keadaan di terminal akan lebih padat dari hari-hari biasa nya.
Maura yang mengenyam pendidikan di sebuah Universitas ternama di Ibu kota kini akan menghabiskan masa liburan nya dengan pulang ke kampung halaman.
Dia pulang bersama Medina dan Jeny sahabat nya yang juga masih satu wilayah dengan kampung halaman nya.
Mereka bertiga mencari-cari bis dengan jurusan ke kota asal mereka. Hingga menemukan satu bis ekonomi berukuran besar yang sudah cukup padat penumpang.
'' Kita naik yang ini saja, lagian susah nyari bis yang tujuan nya ke kampung kita. Mungkin ini bis terakhir, '' ajak Medina.
'' Ayo, '' ucap Maura dan Jeni kompak.
Mereka pun mulai naik ke dalam bis, mencari-cari jok yang muat untuk mereka bertiga. Setiap sisi bis memiliki tiga jok, tapi sayang nya di sebelah kanan hanya tinggal dua jok kosong karena ada seorang penumpang laki-laki yang duduk di sana.
Sedang di sebrang nya atau sebelah kiri jok tadi, hanya ada satu jok lagi yang dua sudah terisi. Mau tak mau salah satu dari mereka harus duduk terpisah.
'' Ya udah kalian di sana gih, biar aku sebelah sini. '' Maura segera memilih jok sebelah kiri sementara Medina dan Jeni duduk di sebelah kanan.
'' Yah gak barengan deh, '' cetus Jeni.
'' Kita selfy dulu yuk, sini merapat. '' Medina yang biasa di panggil Dina pun mengajak Maura untuk lebih mendekat ke jok nya.
'' Kata orang tua ku, pamali kalau kita berfoto bertiga, karena salah satu dari kita akan mati. '' Ungkap Jeni polos.
'' Ah aturan dari mana tuh, ada-ada aja deh di zaman modern gini masih nurutin pamali, '' celoteh Dina tak percaya.
Maura sedikit percaya dengan perkataan Jeni, biasanya ucapan orang tua zaman dulu memang ada benar nya, tentu semua itu ada alasan nya salah satu nya untuk kebaikan para generasi berikut nya. Ia dengar, tak baik melawan kata pamali karena bisa saja menjadi bumerang untuk diri sendiri.
'' Kok pada bengong, ayoo..'' Medina menarik lengan Maura yang masih merenung menimbang-nimbang omongan Jeni tadi.
Tapi apa boleh buat ia pun akhir nya menuruti kemauan Dina.
Jepret !!
Mereka berhasil mengabadikan momen di dalam bis tua tersebut, seseorang yang duduk di sebelah Maura melirik sekilas ke arah mereka yang tengah berfose.
'' Udah ah pegel aku, '' Maura kembali menyenderkan punggung nya di kursi bis.
Medina dan Jeni melihat hasil jepretan mereka.
'' Iya udah sekali doang, lumayan buat kenang-kenangan kan. '' Medina kembali memasukan handphone nya ke dalam tas.
Bis sudah mulai padat penumpang, beberapa orang yang tak kebagian tempat duduk pun terpaksa harus berdiri berdesakan dengan penjual asongan yang dari tadi bolak-balik menawarkan dagangan mereka.
Di tambah lagi para pengamen menambah riuh suasana di dalam bis, mereka datang silih berganti.
Sumpek, panas dan sesak keadaan dalam bis tersebut. Bau keringat bercampur bau makanan dan asap rokok membuat perut serasa mual. Biasanya Maura menaiki bis ber-Ac namun kini terpaksa naik bis ekonomi yang berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Beberapa saat bis pun mulai melaju keluar dari kawasan terminal. Maura sedikit bosan karena tak ada teman ngobrol, ia pun mulai memainkan ponsel nya. Ia memberitahu keluarga nya jika diri nya sedang dalam perjalanan pulang, sekitar lima jam ke depan mungkin baru bisa sampai ke tempat tujuan.
Di sebelah Maura ada seorang ibu dan anak nya yang berusia sekitar sepuluh tahun. Ibu itu duduk di dekat jendela sementara anak nya duduk di jok tengah tepat di samping Maura. Mereka terlihat ngantuk dan tertidur.
Baru satu jam perjalanan mereka, kaki Maura rasa nya sudah pegal, kalau saja bisa ia ingin selonjoran tapi tentu tak mungkin ia lakukan. Belum lagi di sebelah nya ada orang yang berdiri hingga menghalangi pandangan nya untuk melihat kedua teman nya Jeni dan Medina.
Maura pun memutuskan untuk tidur, ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Tangan nya memeluk erat tas ransel yang berisi pakaian dan barang-barang lain milik nya.
Hawa panas dalam bis membuat rasa kantuk tak kunjung muncul, Maura hanya terdiam memejamkan mata meski ia tak tidur karena kegerahan dan pengap.
Beberapa jam kemudian bis memasuki rest area, para penumpang pun segera turun menuju warung makan yang berada di sana. Mereka mengisi perut yang lapar karena perjalanan masih sekitar tiga jam lagi, tak lupa membeli minuman dan makanan ringan untuk bekal di dalam bis nanti. Sebagian juga ada yang ke toilet untuk buang air kecil.
Maura dan kedua teman nya pun segera duduk di bangku warung makan, memesan gorengan dan lontong untuk mengganjal perut mereka.
'' Akhir nya bisa bernafas lega, '' ucap Maura menghirup dan menghembuskan oksigen.
'' Iya nih, di bis sumpek bener. Kebanyakan penumpang sih, '' ucap Medina.
'' Kalau aku fine-fine aja, yang penting kita bisa pulang. Wajar kalau libur emang pemudik membludak. Enjoy dan tidur aja lah, tau-tau sampe aja. '' Jeni melahap gorengan yang sudah tersaji di meja.
'' Boro-boro bisa tidur, yang ada pingin muntah, '' cetus Maura menjulurkan lidah seakan akan ia benar ingin muntah.
'' Ih gak sopan orang lagi makan ngomongin muntah, '' gerutu Jeni. Maura hanya tertawa kecil melihat mulut Jeni yang mengerucut.
'' Emang sih awal nya gak ngantuk tapi lama-lama juga ketiduran sendiri, maklum habis bergadang semalam, '' ujar Medina.
Tak lama kemudian kondektur bis memberitahu para penumpang untuk kembali masuk ke dalam bis karena akan kembali melakukan perjalanan.
Para penumpang pun mulai memasuki bis, duduk di tempat semula. Tak ada perubahan posisi di dalam bis. Maura sempat menawarkan kursi nya pada Bapak-bapak yang dari tadi berdiri di dekat nya namun orang itu menolak, ia bilang biar perempuan saja yang duduk ia sudah terbiasa berdiri dalam bis lagi pula sebentar lagi ia sampai ke tempat tujuan.
Maura pun tak bisa memaksa, setidak nya dia sudah menawarkan diri untuk berganti posisi. Gak enak juga kalau orang tua harus berdiri sedang dia duduk di kursi jok.
Bis pun kembali melaju melewati jalanan yang berkelok-kelok. Kali ini tak melewati jalan tol lagi melainkan jalan raya biasa, karena daerah situ belum ada jalan tol.
Bahkan mereka harus melewati jalan dengan tikungan-tikungan tajam , menurun juga menanjak.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba saja bis itu oleng saat melintasi jalanan menurun, seakan tak bisa di rem hingga menabrak banyak kendaraan di depan nya.
Suara jerit histeris dan teriakan para penumpang belum lagi orang-orang di luaran sana membuat suasana getir.
'' Allahu akbar..Allahu akbar.., '' seruan takbir memenuhi seisi bis yang mulai tergoncang.
Maura menahan tubuh dengan berpegangan ke jok depan, benar-benar campur aduk perasaan nya saat ini. Tak tau apa yang harus di perbuat selain berdo'a.
Sopir yang sudah hilang kendali pun membanting stir ke kiri jalan guna menghindar dari kendaraan lain nya, suara dentuman bis terguling pun terdengar sangat keras.
Kini Maura sendiri pun tak bisa menahan tubuh nya. Apalagi saat bis terguling beberapa penumpang tergoncang tubuh nya, terombang ambing dan terpental ke segala arah.
Maura yang masih sadarkan diri pun mulai melihat ke sekeliling, walau tubuh nya masih tergencat kursi bahkan kaki terganjal badan salah satu penumpang. Kini mata nya yang masih sedikit terbuka melihat beberapa orang di depan nya sangat mengenaskan, darah segar mengucur di kepala sedikit demi sedikit pandangan nya pun kabur dan tak sadarkan diri.
Kecelakaan terjadi pada bis yang Maura tumpangi, semua korban di evakuasi dan di larikan ke Rumah Sakit.
Mayoritas penumpang tewas di lokasi kejadian, selebihnya ada yang meninggal di perjalanan menuju Rumah Sakit ada pun yang mengalami luka berat.
Pukul 12.00
Maura mengerjapkan mata, ia baru siuman setelah beberapa jam tak sadarkan diri.
Pandangan nya mengedar ke seluruh ruangan, kini ia tengah berada di Rumah Sakit.
Ia di kejutkan oleh suara tangis seseorang di bilik sebelah yang hanya terhalang oleh satu gorden pemisah antara bilik satu dan yang lain nya.
Perlahan ia mencoba meraih gorden tersebut dengan satu tangan, ia nampak kesulitan menyibakan kain berwarna coklat itu.
Sret
Saat gorden terbuka setengah nya, ia melihat seseorang terbaring membelakangi nya. Nampak bahu nya bergerak-gerak karena sedang menangis terisak.
Maura pun kembali menutup gorden dengan susah payah mengingat tubuh nya terlalu lemas untuk meraih ujung gorden tersebut.
Namun sebelum kain itu tertutup rapat, ia sempat melihat wajah perempuan itu menoleh ke arah nya, sangat menyeramkan.
Maura berharap ia sedang berhalusinasi setelah lama tak sadarkan diri, ia mencoba tetap tenang dan berfikir positif.
Lampu temaram membuat ruangan tersebut sangat kurang pencahayaan. Maura kembali di kejutkan oleh bayangan yang berdiri di balik gorden sebelah.
Seseorang berdiri di sana. Maura mengamati bayangan itu, ia yakin perempuan tadi lah yang ada di sana. Perempuan di balik gorden itu tiba-tiba saja bergerak tidak wajar, tubuh yang tadi nya berdiri kini mulai melengking ke belakang punggung nya. Gerakan kayang yang tak lazim itu menimbulkan suara retakan-retakan tulang seperti patah.
Maura mulai ketakutan kali ini ia tak mungkin salah lihat apalagi berhalusinasi. Maura mulai melongok ke bawah sana di mana gorden tersebut tak menutupi bagian lantai.
Betapa terkejut nya Maura saat melihat kaki berwarna putih pucat dengan luka-luka berdarah di beberapa bagian, bahkan kaki itu sedikit melayang dan tak menginjak lantai keramik.
'' Si-siapa kamu ? '' tanya Maura dengan suara bergetar.
Namun tak ada jawaban dari balik gorden, hanya suara rintih kesakitan dan tangis yang ia dengar. Tangis yang sangat memilukan, seakan ia sedang menahan rasa sakit.
'' Maura, '' tiba-tiba seseorang memanggil nama nya di sisi yang lain.
Maura menghela nafas saat mendapati Medina muncul di balik gorden depan ranjang nya.
'' Dina, kenapa kita ada di sini ? Bukankah seharusnya kita pulang ? Apa yang terjadi ? '' Maura menghujani nya dengan banyak pertanyaan.
Medina mengulas senyum namun wajah nya sedikit tanpa ekspresi. Ia duduk di kursi sebelah ranjang, tatapan nya masih melekat tajam pada Maura. Mata yang teduh namun seakan menyembunyikan sesuatu.
'' Kamu lupa jika bis yang kita tumpangi mengalami kecelakaan ? '' ucap Medina.
Maura mencoba mengingat-ingat kejadian tadi siang, sebelum akhir nya ia terbaring di sini.
Bayangan-bayangan melintas di benak Maura, ia mulai mengingat kejadian naas yang menimpa dirinya dan kedua sahabat nya itu.
'' Mana Jeni ? '' Maura teringat pada Jeni, harusnya gadis itu ada bersama mereka.
'' Jeni.. dia baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir, '' jawab Medina.
'' Kamu sendiri pun baik-baik saja ? Jadi hanya aku yang terbaring lemah di Rumah Sakit ? '' Maura sedikit heran, diri nya saja saat ini terasa lemas tak berdaya. Tapi Medina terlihat baik-baik saja bahkan Jeni pun Dina bilang juga baik-baik saja.
'' Aku sudah di obati, hanya sedikit luka saja. '' Medina membuang muka saat berbicara.
'' Syukurlah kalau kamu dan Jeni tidak kenapa-kenapa. Tapi Din, aku lihat sosok mengerikan di balik gorden itu, '' Maura teringat sosok perempuan tadi, meski bayangan di sana sudah menghilang tapi ia masih penasaran siapa sosok itu.
Telunjuk Maura mengarah ke gorden di sebelah kiri nya, Medina mengikuti arah telunjuk lentik itu. Ia terdiam beberapa saat kemudian mulai berbicara.
'' Di sana tidak ada siapa-siapa. Pasien di sebelah sana sudah meninggal sore tadi, kamu ingat seorang Ibu yang duduk satu jok dengan mu ? Dia lah orang nya. '' Perkataan Medina membuat Maura tercengang, jadi yang tadi dia lihat hantu ibu-ibu itu.
'' Apa ? Jangan nakutin gitu dong, yang bener aja masa iya aku lihat hantu. Seumur-umur aku gak pernah liat begituan. '' Mimik muka Maura mulai kembali tegang.
'' Gak perlu takut, ada aku di sini. '' Medina mulai menenangkan diri nya, namun tetap saja Maura takut jika sewaktu-waktu sosok hantu itu kembali muncul.
'' Aku mau pulang dari sini Din, mana Jeni kita pulang yuk ! Aku takut, '' ajak nya.
'' Jeni sudah pulang duluan, dia di jemput keluarganya. Nanti kalau kamu sudah baikan baru bisa pulang. Berdo'a saja dan yakin kalau kamu masih bisa berjuang, '' Medina memelankan perkataan nya di akhir kalimat.
Maura tak mengerti apa maksud sahabat nya itu, apa mungkin Dina sedang menyemangati diri nya agar lekas sembuh. Entahlah yang jelas saat ini Maura merasa baik-baik saja, ada rasa sakit namun entah bagian mana yang sakit. Dia sendiri pun bingung mengapa bisa merasakan hal seperti itu.
Ia hanya merasa sekujur tubuh nya lemas bagai tak bertenaga.
.
.
Sementara itu Jeni masih kebingungan mencari kedua sahabat nya. Bis yang ia tumpangi begitu sepi, beberapa penumpang yang ada di sana hanya berdiam diri tatapan mereka kosong dan wajah mereka pucat pasi.
Padahal sebelum nya bis tersebut ramai oleh suara-suara orang yang mengobrol. Jeni yang sempat tertidur dalam bis pun kini terbangun karena kesunyian yang tiba-tiba saja menyergap. Terlebih saat ini Medina atau pun Maura tak ada di sana.
'' Apa mungkin mereka turun dan meninggalkan aku, '' Jeni celingukan melihat keluar jendela.
Hanya kegelapan yang ia lihat di luar sana, rupanya sudah larut malam tapi anehnya ia tidak kunjung turun dari bis tersebut. Jeni pikir kedua teman nya itu sudah lebih dulu turun dan meninggalkan nya yang sedang terlelap.
'' Bang, berhenti di sini bang ! '' seru Jeni pada kondektur bis yang berdiri di depan pintu bis tersebut.
Seketika bis itu pun berhenti, namun aneh nya bis berhenti seakan tanpa rem. Tak ada goncangan pada tubuh nya seperti layaknya kendaraan yang mengerem mendadak.
Tak mau memusingkan hal itu, Jeni segera berdiri berjalan ke pintu depan dimana si kondektur berada.
'' Bang, udah di bayar belum ongkosnya sama dua teman ku ? '' tanya Jeni.
Tak ada jawaban dari nya, hanya sebuah anggukan pelan dari wajah pucat si kondektur itu. Jeni heran melihat sikap nya, belum lagi tatapan kondektur itu lurus ke kaca depan dan tak menoleh ke arah nya.
Jeni pun segera keluar dari bis itu , setelah ia yakin Medina dan Maura sudah membayar ongkos nya.
Bis pun kembali melaju setelah Jeni berhasil turun. Jeni memandang ke sekeliling jalanan, kawasan yang tak asing bagi nya seperti dejavu ia mulai melangkah kembali.
'Untung aku keburu bangun, pas banget di sini lagi. Kampung halaman ku, kalau telat bangun dikit aja pasti kelewat nih, ' gerutu Jeni.
Bis pun kembali melaju setelah Jeni berhasil turun. Jeni memandang ke sekeliling jalanan, kawasan yang tak asing bagi nya seperti dejavu ia mulai melangkah kembali.
'Untung aku keburu bangun, pas banget di sini lagi. Kampung halaman ku, kalau telat bangun dikit aja pasti kelewat nih, ' gerutu Jeni.
Jalanan nampak sepi, hanya ada beberapa orang dan kendaraan yang melintas. Arloji di tangan nya menunjukan pukul empat, padahal saat ini sudah malam.
'' Jam tangan ku ngaco nih, '' Jeni menepuk-nepuk arloji di lengan kiri nya.
Ia kembali melangkah menuju gang yang tinggal sekitar tiga meter lagi dari dia berdiri. Ia melintasi warung kopi Pak Bejo, nampak beberapa orang yang akan meronda duduk di warung tersebut.
'' Pak Bejo, hai.. '' Jeni melambaikan lengan ke warkop tersebut. Dia memang kenal dekat dengan Pak Bejo , pasal nya Ayah Jeni selalu nongkrong di sana. Dan ia sering di suruh Ibu nya untuk memanggil Ayah nya itu jika sudah kemalaman nongkrong di warkop tersebut.
Saat ini dia tak melihat Ayah nya di sana, tumben sekali. Biasa nya Ayah nya paling sering nongkrong di warkop milik Pak Bejo. Bahkan tak ada jawaban dari Pak Bejo saat Jeni memanggil beliau.
Malah beberapa orang yang duduk di sana pun tak menoleh ke arah nya sedikitpun. Jeni yakin betul suara nya kencang dan tak mungkin jika mereka tak mendengar.
Merasa di acuhkan Jeni pun kembali berjalan, pintu gang hanya tinggal beberapa langkah lagi.
Jeni mengernyitkan dahi saat berada tepat di depan gang. Bendera kuning terpasang tepat di samping gapura gang. Biasanya jika ada bendera kuning , berarti ada penduduk yang meninggal di daerah gang itu.
Jeni segera mempercepat langkah nya, berharap segera sampai ke rumah yang terletak tak jauh dari sana, hanya terhalang tiga rumah saja dari pintu gang tadi.
Jeni kembali di kejutkan oleh kerumunan orang di depan pekarangan rumah. Bendera kuning pun tertancap di pagar besi rumah nya.
Jeni segera masuk tanpa menyapa siapapun yang ada di pekarangan rumah nya itu. Bahkan mereka yang ada di sana pun nampak acuh pada nya.
Bau pandan dan wewangian yang sering di pakai untuk jenazah pun tercium menyengat.
Jeni membelalakan mata saat melihat jasad seseorang terbujur kaku di ruang utama. Nampak Ayah, Ibu, Kakak dan Adik nya menangisi jenazah itu. Begitupun kerabat nya yang ada di sana, wajah mereka begitu pilu dan berduka.
Ayah nya membuka penutup wajah jenazah tersebut saat ada kerabat jauh yang baru datang. Betapa terkejut nya Jeni melihat siapa jenazah yang terbujur kaku di sana.
Itu adalah jasad nya sendiri. Raga tanpa ruh yang tergeletak mengenaskan. Tubuh nya yang sudah terbalut kain kafan dan kapas bagai seonggok patung terbujur tak berdaya.
Ingin rasa nya menjerit namun Jeni tak bisa melakukan nya, sakit teramat sakit yang ia rasakan saat ini. Ia benar-benar belum siap dengan kematian nya. Kecelakaan telah merenggut jiwa nya.
Seketika memori nya pun mengingat kejadian yang sudah merampas kehidupan nya, saat ia tertidur dalam bis musibah naas itu terjadi begitu cepat. Hingga ia tak menyadari azal menjemput nya.
Jeni tak kuasa melihat kedua orang tua yang tangah menangisi jasad nya. Ingin sekali ia memeluk Ayah dan Ibu juga Kakak dan adik nya, Jeni ingin bilang bahwa diri nya ada di dekat mereka. Namun dia tak tau bagaimana cara nya, sedang raga yang dulu ia pakai pun kini sudah rusak dan tak berfungsi.
Ruh dan raga tak mungkin bisa kembali bersatu, karena sudah tak ada detak dan nafas di sana.
Surat Yasin pun mulai di lafadzkan oleh keluarga dan para tetangga yang ada di sana. Miris sekali nasib nya, tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu waktu nya tiba dimana diri nya harus menghadap sang Kuasa. Besar kemungkinan 40 hari ke depan ia akan pergi meninggalkan keluarga nya.
Waktu 40 hari itu adalah waktu untuk yang terkahir kali diri nya tinggal di rumah itu bersama keluarga tercinta.
Jeni akan berusaha memanfaatkan waktu tersebut untuk melepas rindu nya pada keluarga meski tanpa bisa menyentuh bahkan memeluk mereka. Tak ada perbincangan apalagi senda gurau yang biasa nya ia lakukan bersama keluarga saat berkumpul.
Momen yang di nanti-nanti selama ia berada di perantauan, kini hanya angan semata. Keadaan sudah berubah, jasad nya menunggu ke tempat peristirahatan terakhir sementara ruh nya masih sangat tersiksa karena ketidaksiapan nya meninggalkan duniawi.
Jeni baru sadar jika sedari tadi di dalam bis ia bersama arwah-arwah penasaran sama seperti diri nya, ia pun baru paham saat Pak Bejo tak mendengar sahutan nya. Itu karena diri nya tak bisa terlihat oleh mata kasar.
Jarum jam arloji menunjukan pukul empat, mengingatkan waktu peristiwa naas itu terjadi. Dimana Jeni meregang nyawa melepaskan ruh dari jasad nya.
Kini ia pun mulai melihat banyak sosok seperti diri nya berada di lingkungan rumah nya. Antara manusia dengan makhluk gaib sebangsanya sangat berdekatan, beberapa di antara mereka terlihat mengerikan.
Begitu pun Jeni sendiri, ia menatap diri nya yang sangat menyeramkan jika manusia bisa melihat nya, namun menurut diri nya ini sangat mengenaskan.
Tubuh yang selama hidup di bangga-bangga kan, kini hanya akan menjadi makanan belatung. Harta dan semua keindahan di dunia fana tak bisa ia bawa. Bahkan tak dapat menolong diri nya saat ini.
Ada rasa sesal dalam hati, andai saja di beri kesempatan untuk hidup mungkin Jeni akan merubah semua kebiasaan buruk nya. Dia akan lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta, dia pun akan lebih taat pada perintah Sang Maha Pencipta.
Sekarang semua terlambat. Waktu tak akan bisa di putar kembali, ia hanya tinggal meratapi nasib nya.
Suasana malam yang begitu getir yang di hiasi isak tangis keluarga Jeni serta lantunan orang mengaji Yasin di samping jenazah, sungguh sangat menyayat hati.
Apalagi melihat Ibu nya mulai tak sadarkan diri karena tak kuasa melepas kepergian putri nya.
Ingin rasa nya membelai wajah sang Ibu, namun berkali ia mencoba menyentuh tetap saja tak bisa. Sentuhan Jeni seakan menembus bagai angin.
Salah satu dari mereka yang memiliki kondisi lemah dan mudah merasakan keberadaan makhluk astral pun mulai meremang tengkuk nya. Berkali-kali mengusap bagian belakang leher dan mencoba menepis perasaan yang terasa sangat aneh itu.
( Cerita ini hanya imajinasi dari author, dalam 40 hari setelah kepergian seseorang maka ruh orang yang telah meninggal itu masih berada di lingkungan rumah nya. Fiktif !!)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!