Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, akan tetapi Rose masih harus berkutat dengan pekerjaannya. Dia bekerja serabutan, jika pagi dia bekerja sebagai karyawati sebuah butik. Sore hingga malam dia menjelma sebagai seorang kurir.
Dia telah sampai di sebuah hotel mewah berbintang lima untuk mengantarkan sebuah paket pesanan salah satu pengunjung di hotel tersebut.
Dia sengaja bekerja keras, supaya bisa memberikan hadiah untuk calon suaminya yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahun.
Dia hanya seorang gadis biasa, akan tetapi memiliki calon suami dari kalangan elite anak seorang pengusaha kaya raya dari kota K.
Dia bekerja keras bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk menghidupi ibu dan adik tirinya. Dia menjadi tulang punggung keluarganya sejak ayahnya meninggal satu tahun yang lalu.
Selama ini, Rose berpacaran dengan Raymond secara jarak jauh atau Long Distance. Raymond pewaris tunggal dari seorang pengusaha bernama Robert.
Raymond sangat sibuk mengurus perusahaan papahnya hingga dia harus sesekali terbang ke luar negeri.
Mereka telah berpacaran cukup lama yakni tiga tahun. Pacaran mereka di dasari hanya saling kepercayaan, karena jarak yang memisahkan hingga mereka bertemu cuma sesekali.
Rose sengaja ingin memberikan kado yang indah untuk tunangannya yang beberapa hari akan merayakan ulang tahunnya.
"Sudah tak sabar aku bertemu dengan, Ray. Walaupun kadang aku berat hati, sebulan hanya sekali saja bisa bertemu dengannya."
Saat Rose bekerja sebagai kurir, sia sengaja berpenampilan seperti seorang pria. Dia mengenakan topi dan juga masker. Sengaja dia lakukan demi keamanannya, karena dia seorang wanita tetapi di tengah malam masih harus bekerja mengantar barang pesanan orang.
Rose melangkah pasti masuk ke dalam hotel dengan membawa paket kecil pesanan orang. Dia sempat takjub dengan hotel yang ada di depan matanya.
"Ini kan hotelnya orang kaya untuk menghamburkan uang dan bersenang-senang. Hanya kalangan elite dan terhormat yang datang ke hotel ini."
Rose memegang paketnya dan tak membiarkan matanya jelalatan.
Wajah cantiknya tertutup oleh masker, hanya sepasang matanya yang teduh dan tenang yang sedikit menunjukkan sikap dingin.
Setelah menaiki lift dan berhenti di lantai sepuluh. Dia segera mencari kamar nomor 235, dan lekas memencet bel pintu.
Sebelum pintu terbuka, sangat jelas terdengar erangan mesum dan bergairah dari pria dan wanita dewasa.
"Sayang, kita berhenti sejenak. Sepertinya paket telah datang."
"Biar aku saja yang menerimanya."
Pintu segera di bukanya dan keluarlah pria dengan hanya mengenakan jubah mandi.
Rose tidak menatap pria tersebut, hanya menyerahkan kotak paket pesanannya. Pria tersebut tidak bergerak, menatap heran pada kurir.
"Sepertinya aku mengenalnya," batinnya.
Rose sengaja membuka topi dan maskernya di depan pria tersebut, dan dia sangat terkejut.
"Rose, kamu ..
"Kenapa, kaget? seharusnya aku yang kaget, ternyata seperti ini tingkahmu di belakangku?"
Pria yang berdiri di dekat pintu dengan tubuh tinggi dan hanya mengenakan jubah mandi berwarna putih. Wajahnya di penuhi dengan keterkejutan, kekecewaan, serta kepanikan.
"Raymond, siapakah itu?"
Terdengar suara dari dalam.
"Bukan siapa-siapa, hanya seorang kurir."
Raymond hanya mengambil kotak pesanannya dan membanting pintu menutupnya hingga membuat, Rose terhenyak kaget.
Mata Rose berkaca-kaca, wajahnya pucat pasi, hampir saja dia limbung karena badannya mendadak gemetar.
"Tidak, aku tidak boleh menangis. Untuk apa aku tangisi pria seperti dia! lihat saja, Ray. Aku akan buat perhitungan dengan dirimu!"
Saat dari dalam terdengar suara rintihan dan erangan orang bercinta, dia menghela napas besar seraya menggelengkan kepalanya. Dia melangkah pergi, akan tetapi pada saat sampai di depan pintu lift, dia sengaja berhenti sejenak dan meraih ponselnya.
[Hallo, pak. Saya ingin melaporkan ada tindak prostitusi, hubungan terlarang di hotel A tepatnya kamar nomor 235.]
Beberapa menit kemudian...
Sebuah mobil polisi datang bersama dengan sejumlah wartawan media dengan membawa kamera. Mereka tahu jika hotel ini hanya kalangan elite dan tersohor yang bermalam.
Mendengar ada berita seseorang melakukan prostitusi di hotel membuat gempar para wartawan.
Aparat polisi mengetuk kamar hotel yang telah di laporkan oleh, Rose.
"Tok tok tok"
"Pak polisi?" Raymond tergagap saat melihat aparat polisi dengan begitu banyak wartawan yang mengarahkan kamera pada dirinya.
"Tuan Raymond, saya mendapat laporan jika anda sedang bermalam dengan seorang pelacur di kamar hotel ini, apakah benar?"
"Tuan Raymond, anda sebagai pewaris tunggal dari perusahaan milik Tuan Robert, menurut anda perilaku seperti ini benar?"
"Siapa wanita yang bersama anda? apakah memang dia wanita penghibur bayaran? apa itu benar?"
"Tuan Raymond, kenapa anda hanya diam dan tak menjawab pertanyaan saya."
Raymond sangat marah pada saat dirinya di sorot oleh banyak kamera milik para wartawan.
"Enyahlah kalian!"
Para wartawan ketakutan mendengar teriakannya, semuanya mundur.
Raymond menatap tajam ke arah Rose dengan penuh kebencian dan kebengisan.
"Inikah yang kamu inginkan? puas kamu!"
Rose hanya tersenyum sinis.
"Lihat saja, aku tidak akan tinggal diam! kelak aku akan balas perbuatanmu ini!"
Rose menghampiri Raymond.
"Plak "
Tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Raymond. Suasana di sekitar menjadi sunyi.
"Nona, apa yang anda lakukan?"
Tegur seorang aparat polisi.
"Maaf, tangan saya tergelincir."
Rose tersenyum sinis dan mengusap pergelangan tangannya. Dia menatap penuh kebencian kepada, Raymond.
Polisi segera menggiring, Raymond dan wanita yang bersamanya. Wanita ini terus saja menutupinya wajahnya dengan slayer, sehingga semua orang tak bisa melihat wajah aslinya termasuk, Rose.
"Siapa sebenarnya wanita yang bersama, Raymond. Membuatku semakin penasaran saja, ah nanti aku juga mengetahuinya saat berada di kantor polisi," batinnya.
Sejenak suasana hotel menjadi sepi kembali. Para wartawan dan aparat polisi sudah pergi meninggalkan hotel mewah tersebut.
Kejadian ini tak lepas dari pantauan atau penglihatan dari seorang pemuda tampan kaya raya dari kota lain yang kebetulan sedang bermalam di hotel tersebut.
Dia sempat takjub melihat keberanian, Rose.
"Hem, aku haris mencari tahu lebih dalam lagi tentang gadis pemberani itu," batinnya tersenyum kecil saat melihat Rose melangkah pergi dari hotel tersebut.
Sebagai pelapor, Rose mengikuti polisi ke kantor polisi. Begitu dia menyelesaikan pernyataannya, seseorang datang menghampirinya yang tak lain adalah ibu tirinya yang terkenal kekejamannya pada, Rose.
Tiba-tiba ibu tirinya menamparnya dengan keras, membuat Rose terhenyak kaget dan mengerutkan alisnya. Darah merembes keluar dari sudut bibirnya.
"Dasar bodoh!"
Merry gemetar karena marah.
"Kamu tahu benar jika wanita itu adalah adikmu sendiri, tetapi kamu tetap memanggil polisi? apa karena hanya adik tiri, sehingga kamu kejam dan tega? apa kamu ingin aku mati karena serangan jantung mendadak?"
Rose menyela darah yang terus keluar dari sudut bibirnya, dan menatap wanita di depannya dengan senyuman sinis.
"Adikku? apakah itu, Siska?"
"Buat apa berlagak bodoh, karena ulahmu ini tersebar kabar tak sedap jika Siska merayu tunangan orang!"
Kamulah biang keladi dari semua ini!"
Mata Rose berkaca-kaca, dia sedang menahan supaya tidak menangis. Dia pun tertawa pelan menata ibu tirinya.
"Jadi wanita itu adalah, Siska? Aku pikir seorang pelacur yang sedang mencari uang. Aku benar-benar tak tahu karena tak bisa melihat wajahnya yang selalu di tutup kain pada saat di tangkap polisi."
Merry kembali marah pada, Rose.
"Dasar perempuan ******! apa katamu?"
Rose tersenyum sinis." Memang benar kok."
Rose tidak menyangka jika wanita yang bersama, Raymond adalah Siska adik tirinya.
Awalnya apa yang Rose lakukan hanya ingin mempermalukan kekasihnya yang telah tega mengkhianatinya. Dia melakukan hal itu untuk menumpahkan rasa kekeselannya pada, Raymond.
Rose sama sekali tidak menyangka jika selingkuhan dari kekasihnya adalah adik tirinya sendiri.
Ibu tirinya hendak memukulinya, akan tetapi aparat polisi dengan cepat menghentikannya.
"Bu, semua bisa di selesaikan dengan baik tak perlu dengan emosi. Apalagi ibu dengan si pelapor masih keluarga."
"Dia bukan keluargaku, pak polisi! dia hanyalah anak dari almarhum suamiku."
Aparat polisi sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Dua petugas polisi hanya saling pandang dan menghela napas besar.
Tak berapa lama datanglah saudara dari ayah, Rose. Dia ikut saja memojokkan, Rose.
"Puaskan kamu dengan menyeret adikmu dan tunanganmu ke kantor polisi? apa kamu memang sengaja ingin mempermalukan keluarga? mempermalukan kami?"
"Kamu telah mencoreng nama baik adikmu yang pekerjaan sebagai artis. Bagaimana dia akan bersikap di depan umum setelah apa yang kamu lakukan padanya? apakah nantinya dia masih bisa bekerja menjadi publik figur lagi? apa yang akan terjadi dengan hubungan antara orang tua, Raymond dengan keluarga kita? Apa kamu tidak berpikir sebelumnya?"
"Hanya itukah yang paman pikirkan? seharusnya paman membela aku yang memang keponakan asli paman, bukan membela keponakan tiri paman."
Paman Sam, diam saja.
"Kenapa paman malah membenarkan mereka yang benar-benar bersalah? kenapa di mata paman aku yang selalu salah? apa maunya paman aku berdoa supaya mereka panjang umur dan bahagia hidup bersama, sedang aku menderita karena perselingkuhan mereka."
"Kamu tidak bisa menjaga pacarmu, tetapi malah menyalahkan orang lain yang telah merebutnya!" paman mendengus kesal.
"Jika memang kamu gadis yang baik, pacarmu tidak akan mencampakkanmu begitu saja. Seharusnya kamu instrospeksi diri ketika terjadi sesuatu, bukannya malah menyalahkan orang lain. Watakmu mirip sekali dengan almarhumah ibumu! sama sekali tidak berharga! tidak berguna!" sang paman terus saja menghina, Rose.
Rose tidak percaya dengan apa yang telah di katakan oleh pamannya. Padahal selama ini, dia sudah menganggap pamannya sebagai pengganti almarhum papahnya. Mata Rose berkaca-kaca berusaha menahan supaya air matanya tak tertumpah.
Dulu almarhum papahnya berselingkuh dengan Merry. Dan dia membawa Merry serta Siska ke dalam keluarga. Baru kemudian, Rose baru mengetahui bahwa dia memiliki seorang adik perempuan yang tiga tahun lebih muda darinya.
Pada saat itu juga, mamahnya tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya selingkuh. Hingga mamahnya sengaja mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
Sejak saat itu, Rose di kirim ke luar negeri oleh ibu tirinya karena khawatir mengacaukan rencananya. Ternyata ibu tirinya hanya cinta pada harta papahnya saja.
Baru beberapa bulan di luar negeri, Rose mendapat kabar jika papahnya meninggal dunia. Rose pulang ke tanah air dengan penuh kedukaan.
Belum juga kesedihannya hilang, semua warisan peninggalan almarhum papahnya habis untuk membayar hutang papahnya.
"Heh, Rose. Pokoknya mamah nggak mau tau, kamu mulai sekarang harus mencari kerja untuk mamah dan adikmu menyelesaikan kuliahnya. Kalau kamu menolak silahkan pergi dari rumah ini!"
Rose sejenak teringat masa lalu tersebut, lantas dia tersenyum sinis.
"Iya, aku memang tidak berguna! tetapi aku bangga karena ibuku tidak pernah menjadi wanita simpanan. Makanya aku tidak mewarisi keahlian dalam hal merayu pria. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Siska benar-benar mewarisi bakat dari ibunya. Kini mataku telah terbuka lebar."
Siska yang ada di hadapannya mendadak pucat pasi.
"Apa katamu,!" Merry sangat marah.
"Memangnya harus aku jelaskan lagi, bagaimana cara anda berhasil merebut almarhum papah dari almarhumah mamah?"
"Kau...!"
"Cukup ya."
Merry tiba-tiba berteriak keras. Pada saat Paman Sam akan mengatakan sesuatu, mulutnya ditutup paksa oleh Merry dengan satu tangan nya.
Ketika mereka mendongak, di ujung koridor mereka melihat Boby berjalan di depan Raymond dan Siska keluar dari ruangan interogasi. Expresi ketiganya tampak tidak senang.
Siska bergelayut di lengan Raymond dengan wajah panik dan gelisah. Matanya sembab karena menangis.
Boby menghampiri, Rose.
"Kakak, aku minta maaf atas apa yang telah di lakukan oleh, Ka Raymond. Atas nama keluarga Robert, kami minta maaf."
"Kejadian ini memang sangat memalukan, tapi apa tidak bisa kita selesaikan dengan cara damai."
"Berapa pun kompensasi yang kakak inginkan, pasti kami penuhi. Tinggal Ka Rose sebutkan saja."
Rose menatap dingin dan sinis pada, Boby adik dari Raymond. Rose memberanikan diri berkata.
"Kompensasi? apakah kamu ingin membayar kejadian ini dengan uang? mentang-mentang kalian banyak uang, hingga apa pun di nilai dengan uang!"
Boby merasa tidak enak hati pada Rose dengan kelakuan bejad kakaknya. Dia menyerahkan urusan tersebut pada, Robert sang ayah.
"Dasar anak tak tahu diri! seharusnya sebelum berbuat kamu pikir dulu sebab dan akibatnya! gara-gara perbuatanmu telah mencoreng nama baikku!"
Robert begitu marah atas apa yang telah di lakukan oleh anak sulungnya. Robert meminta pada, Raymond supaya dia meminta maaf pada Rose.
Dengan rasa enggan, Raymond menghampiri Rose. Akan tetapi bukan permintaan maaf yang dia lontarkan melainkan memutuskan tali pertunangan.
"Rose, kita tidak cocok dan batalkan saja pertunangan kita!"
Rose terhenyak kaget, matanya membola mendengar apa yang barusan di katakan oleh, Raymond. Hatinya bagaikan tersayat sembilu, terluka tapi tak berdarah.
Meskipun dia sudah menduga akan. hal itu, dia tak kuasa menahan perasaan kesal saat dia mendengar apa yang di ucapkan oleh, Raymond.
Dia berubah menjadi dingin, dan menatap Raymond penuh dengan kebencian dan amarah. Matanya berkaca-kaca sedang menahan supaya air mata tak jatuh tertumpah.
"Raymond, kita bersama bukan sehari atau dua hari. Tapi tiga tahun lamanya kita menjalin kasih. Aku tak menyangka akan berakhir tragis seperti ini."
Raymond sama sekali tak merasa bersalah, dia hanya diam saja mendengar ucapan dari, Rose. Tidak ada daya upaya untuk mencoba menebus kesalahannya. Ataupun permintaan maaf, dia malah memutuskan pertunangan begitu saja.
Hatinya hancur, akan tetapi Rose mencoba tegar, iklhas, dan kuat. Dengan bibir gemetar dan tanpa rasa ragu lagi, Rose berkata," Baiklah, aku setuju."
Robert terhenyak kaget mendengar perkataan dari calon menantunya.
"Apa kamu serius dengan ucapanmu barusan?" tanyanya menautkan alisnya.
"Bukankah telingamu masih normal, jadi aku tak perlu mengulang lagi apa yang sudah aku katakan."
"Tidak bisa! kalian tidak bisa seperti ini! pertunangan bisa dibatalkan jika paman dan ibu dirimu mengembalikan uang yang telah di pinjamnya padaku!" Robert berkata dengan lantangnya.
"Apa? jadi aku hanya di pakai sebagai alat membayar hutang Paman Sam dan Tante Merry?"
"Om Robert, urusan hutang piutangmu dengan mereka. Tolong jangan bawa-bawa diriku. Aku tetap berkeras hati berpisah dengan, Raymond."
Robert sudah sangat sayang pada, Rose. Dia sangat tahu jika Rose gadis yang baik.
"Nak, om minta tolong jangan menyetujui permintaan dari Raymond. Om akan membujuknya supaya merubah keputusannya."
"Maaf, om. Sebaiknya om tidak perlu melakukan hal itu, karena jika Raymond bersedia melanjutkan pertunangan tetapi dia tak cinta padaku lagi, itu sungguh percuma."
"Baiklah, Rose. Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu, om sudah tak bisa berkata lagi."
Robert melangkah pergi dari kantor polisi di ikuti oleh Bobby dan beberapa anak buah mereka.
Bahkan keluarga dari Rose juga telah pergi. Kini di koridor tinggal dirinya, Raymond, dan Siska.
Rose sangat kecewa dengan Siska maupun Raymond. Dia pergi dengan wajah dingin, tetapi Siska memanggil namanya, sehingga terhenti langkahnya.
"Kakak"
Wajah pucat Siska berlinang air mata, dia meraih tangan Rose dan berkata," Kakak maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk jatuh cinta pada, Raymond. Tolong jangan marah pada kami. Ini semua salahku. Jika kakak ingin marah atau memukulku, lakukanlah!"
Rose sama sekali tak iba atau luluh dengan bujuk rayu Siska. Dia bahkan menepis pegangan tangannya.
Rose merasa jijik dengan adik tirinya.
"Lepaskan aku, enyahlah kamu dari hadapanku! kamu pikir dengan kamu minta maaf dan aku memukulmu, semua akan kembali seperti sedia kala! jangan mimpi!"
Rose mendorong perlahan tubuh adik tirinya, tetapi dia tersungkur jatuh. Membuat Raymond marah pada Rose.
"Heh, apa yang kamu lakukan
padanya? jika kamu ingin lampiaskan amarahmu seharusnya padaku bukan pada, Siska!"
"Whats, aku tidak berbuat apa pun padanya. Dia sengaja menjatuhkan dirinya sendiri," Rose mencoba membela dirinya.
"Omong kosong apa lagi, apa kamu tidak lihat Siska meringis kesakitan gara-gara kamu dorong dirinya hingga jatuh!"
"Sayang, apa kamu tak apa-apa? apa ada yang luka padamu?"
"Raymond, aku tak apa-apa kamu tak usah khawatir. Jangan menyalahkan Ka Rose, karena dia tak salah. Jika pun dia ingin memukulku aku rela."
Pandangan mengejek sangat terlihat pada mata, Siska. Dia tersenyum sinis penuh kemenangan menatap pada Rose.
"Prok prok prok"
"Hebat kamu, Siska. Bakatmu di dunia akting kamu praktekan pula di dunia nyata."
Rose bertepuk tangan seraya mencibir sinis pada adik tirinya.
"Dan kamu, Raymond. Aku merasa kasihan sekali padamu!"
"Kamu pikir aku mendorong nya hingga jatuh?"
"Kamu tak perlu membel diri, karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku selalu merasa kamu memang agak berhati dingin, tetapi kamu tetap orang baik. Baru kali ini aku menyadari bahwa kamu kejam dan pendendam. Aku telah salah menilaimu selama ini!"
Mendengar akan apa yang di katakan oleh Raymond, Rose hanya tersenyum sinis. Rose melihat ke arah Siska yang matanya bersinar dengan kebanggaan dan kebencian.
"Bukankah kalian saling mencintai? baiklah aku restui kalian."
"Waktuku sangat berharga untuk di sia-siakan di sini bersamamu. Mulai sekarang tolong jaga si penghianat yang ada di sampingmu itu dan enyahlah dari pandanganku! Aku mengharapkan yang terbaik untuk kalian berdua."
"Semoga anjing dan kekasihnya bisa hidup berbahagia."
Rose berlalu pergi dari hadapan Raymond dan Siska. Tanpa memberi mereka kesempatan untuk berbicara.
Raymond sangat marah." Apa yang kamu katakan! berhenti kamu!"
Akan tetapi Rose terus saja berjalan pergi tanpa menghiraukan panggilan dari Raymond. Tanpa Rose sadari ada sepasang mata tengah melihat semua adegan tersebut dari balik kaca mobilnya .
"Gadis yang kuat dan baik juga tegar. Biar pun sedemikian rupa dia di sakiti tetapi tak setetes pun air mata keluar dari matanya ."
Rose menahan sesak yang mendalam, dia masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi.
Rose melajukan sepeda motornya menuju ke suatu tempat yang sunyi. Tempat yang selalu dia kunjungi di kala hatinya sedih. Dia pergi ke makam mamahnya.
"Ikuti motornya." Perintah seorang kepada sopir pribadinya, pada saat mengintai Rose.
Tanpa Rose sadari, ada sebuah mobil mengikuti laju motornya. Hanya beberapa menit saja, dia telah sampai di makam mamahnya.
"Mah, kenapa dulu mamah tak mengajak ku serta ikut pergi. Kini aku merasakan pula apa yang pernah mamah rasakan dulu."
"Padahal aku selalu berusaha baik pada adik tiriku, mah. Walaupun aku selalu di perlakukan tak baik oleh Tante Merry dan Siska."
"Aku selalu berusaha menjadi kakak yang baik pada, Siska. Aku rela banting tulang demi dirinya bisa berpendidikan tinggi."
"Tapi seperti ini balasannya padaku, sakit sekali rasanya, mah. Apakah lebih baik aku menyusul mamah saja?"
"Orang yang selama ini aku sayang dan cinta, tega dia berkhianat dengan adik tiriku."
"Kini aku bagaikan sebatang kara, tak ada yang membela diriku sama sekali. Paman Sam yang aku pikir sebagai pengganti papah, dia juga bertindak sama."
Air mata yang sedari tadi di tahannya, kini tertumpah di pusara almarhumah mamahnya.
"Kasihan sekali gadis itu, selama ini berbuat baik tapi bukan hal baik yang dia dapatkan melainkan pengkhianatan."
Seseorang ini terus saja mengintai Rose dari jauh.
Sementara seperginya, Rose. Telah terjadi sesuatu pada, Siska.
"Raymond, tolong aku." Rintihnya tiba-tiba dia pingsan begitu saja.
Raymond lekas membawa, Siska ke rumah sakit. Dan Siska langsung mendapatkan pemeriksaan intensif.
"Selamat ya, nona. Saat ini anda sedang mengandung empat Minggu."
Mendengar kabar tersebut, mengembanglah senyuman di bibir, Siska.
"Yes, usahaku untuk menjebak Raymond ternyata sukses. Tak butuh waktu lama untuk diriku hamil.
Walaupun sebenarnya ini bukanlah anak, Raymond," batinnya riang.
"Nona, ini ada obat penguat kandungan dan juga vitamin. Kalau bisa anda juga harus mengkonsumsi makanan yang bergizi serta susu khusus ibu hamil."
Setelah cukup lama berada di rumah sakit, Raymond mengajak pulang Siska.
"Ray, aku hamil. Lantas bagaimana dengan hubungan kita berdua?"
"Sayang, kamu tak usah khawatir karena aku akan bertanggung jawab dengan segera menikahimu."
"Lantas bagaimana dengan, Ka Rose?"
"Kamu nggak usah memikirkan dirinya. Pikirkan saja calon anak kita supaya selalu sehat."
Siska sangat bahagia karena dia merasa begitu mudahnya menjebak, Raymond.
"Terima kasih, Ray. I love u."
"Sayang, kamu tunggu sebentar di lobi rumah sakit, karena aku akan membeli susu ibu hamil. Supaya nanti sudah sampai di rumah, kamu tinggal meminumnya."
Seperginya, Raymond. Siska sengaja menelpon Rose.
[Hallo, kakakku tersayang.]
[Untuk apa lagi kamu menelpon?]
[Jangan marah dulu, ka. Bagaimana pun kakak harus mendengar kabar baikku ini. Saat ini aku tengah hamil anak dari, Raymond. Kakak udah kalah telak dariku]
[Aku tidak yakin jika anak yang sedang kamu kandung itu adalah anak, Raymond. Aku telah tahu bagaimana pergaulanmu selama menjadi artis.]
[Terserah apa yang ingin kakak katakan, yang terpenting Ray percaya sepenuhnya padaku. Dan posisimu tergeser olehku. Aku yang akan menikah dengan, Ray bukan kamu Ka Rose.]
Setelah cukup lama menelepon Rose hanya untuk mengejeknya. Siska menutup panggilan telepon nya .
Di depan Raymond dan Siska, Rose bisa berpura-pura kejam dan percaya diri. Tetapi sebenarnya hatinya sangat hancur. Rasa ini hanya dia yang tahu.
Sejenak Rose melamun, dia masih tidak percaya jika hubungan kasihnya dengan Raymond selama tiga tahun terjalin, kini musnah karena suatu perselingkuhan.
"Aku yakin mampu melewati semua ini. Lihat saja kamu Raymond, Siska. Suatu saat nanti kalian berdua pasti akan bertekuk lutut di hadapan ku! juga ibu tiri dan Paman Sam. Semua akan aku balas suatu saat nanti!"
Mendengar kabar kehamilan Siska, hati Rose remuk.
"Aku nggak menyangka ternyata hubungan mereka sudah sejauh ini. Padahal dulu saat aku masih bersamanya, kami bisa menjaga diri kami. Sehingga tiga tahun lamanya, kami sama sekali tak pernah melakukan hubungan intim."
Rose menenangkan diri sendiri, dan dia telah bersumpah tidak akan rapuh walaupun dia punya permasalahan yang sangat pelik.
Dia kini memutuskan untuk pergi dari rumah, sebelum dirinya terusir dia akan meninggalkan rumah peninggalan orang tuanya yang saat ini di tempati oleh ibu tiri dan adik tirinya.
"Sudah tidak ada lagi yang bisa aku harapkan lagi. Orang tuaku sudah meninggal dalam kurun waktu yang cukup lama. Paman Sam, saudaraku satu-satunya malah membenciku dan dia lebih membela ibu tiriku dan adik tiriku."
"Lebih baik aku pergi saja, dari padaku jadi pesakitan, jadi bulan-bulanan mereka. Aku nggak mau selamanya peralat dan di tindak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!