NovelToon NovelToon

Kirana

Bab 1. Kirana Menolong Orang Asing

Malam sangat pekat, tak ada cahaya bintang atau pun bulan, langit begitu gelap. Angin dingin menusuk tulang. Tak ada suara terdengar, bahkan jangkrik pun enggan berderik. Hanya suara sendal yang berjalan di atas jalan yang beraspal. Suaranya terdengar tergesa-gesa. 

 Bagaimana tidak? Dia berjalan seorang diri di malam yang gelap. Kanan kirinya tidak ada pemukiman, hanya pohon-pohon yang tinggi, menjadikan jalan ini sangat gelap. Kirana terpaksa berjalan menggunakan senter ponselnya saja sebagai penerangan.

Kirana sedikit berlari, punduknya terasa dingin dan merinding. 

Sayup-sayup Kirana mendengar suara, seperti ada yang merintih meminta tolong. Kirana mempercepat langkahnya, karena dia berpikir kalau itu adalah makhluk halus yang ingin mengganggunya.

Namun, dia berpikir lagi, bagaimana jika itu adalah seorang manusia yang memang butuh pertolongan? Kirana melambatkan langkahnya dan berhenti, dia kembali menimbang, haruskah dia melihat untuk memastikan apakah itu manusia atau bukan?

 Kirana melihat ke sekeliling dengan senter ponsel jadulnya, sangat sepi. Dia lalu mengambil nafas dan berdoa lalu berbalik badan. Di senterinya jalan di depannya, tidak ada apa pun.

Kirana melangkah perlahan menyusuri jalan, sambil terus berdoa dalam hati. Sayup-sayup terdengar kembali suara rintihan itu, Kirana berhenti. 

Netranya berkeliling mengamati sekitarnya dengan cahaya senter yang mengikuti arah pandang Kirana.

Tidak ada siapa pun, atau apa pun. Lantas dari mana suara rintihan itu? Apakah itu makhluk gaib? 

"Tolong." Suara itu terdengar lagi. Namun, kali ini terdengar lebih jelas. Suaranya berasal dari sebelah kanannya.

Kirana memberanikan diri mendekati suara itu. Semakin dekat, suara itu semakin jelas terdengar, walau pelan. Senter ponselnya dia arahkan menuju selokan air. 

Kirana melihat sepasang kaki yang memakai sepatu hitam di dalam selokan, reflek Kirana menutup mulut dengan tangannya. Dia sempat menahan nafasnya sesaat. Jantungnya berdebar kencang, darah seakan turun dari kepala menuju kakinya. 

 "Apa itu? Manusia atau setan?" gumam Kirana pelan. Lalu cahaya senternya dia arahkan terus lebih ke depan. Terlihat oleh Kirana sepasang kaki memakai celana jeans, terus lebih naik lagi dan terlihat kaos merah. Pelan-pelan tapi pasti, Kirana semakin mengarahkan cahaya senternya ke depan dan terlihat sebuah kepala dan kedua tangan di atas kepalanya, dalam keadaan terikat. 

 "Astagfirullah! Ini mah orang, manusia, cowok. Aduh gimana ini?" Kirana panik dia bergegas mendekati lelaki itu. 

 "Aduh maaf, mas. Tadi saya pikir setan," ucap Kirana tidak enak, seraya turun ke selokan yang untungnya airnya hanya sedikit.

 "Mas, ... Mas! Bisa dengar saya nggak?" Tanya Kirana. Tidak ada  jawaban dari lekaki itu. 

 "Aduh, udah mati kali, ya?" Tanya Kirana pada dirinya sendiri. 

 "Tolong." Lelaki  itu  kembali bersuara pelan.

 "Eh, dia bisa ngomong! Berarti belum mati. Ayo Mas, saya bantu ke atas." Kirana berusaha mengangkatnya, tapi dia hanyalah seorang perempuan yang tenaganya tidak seberapa. Di samping itu lelaki ini terlihat lebih tinggi darinya. 

Kirana menyerah, lelaki itu tidak terangkat sedikit pun. Kirana lalu berpikir apa yang harus di lakukannya? Dia melihat ke arah sekeliling, mungkin saja ada orang yang lewat untuk dimintai tolong. Namun, di jam seperti ini di kampung, mana ada yang berkeliaran padahal jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. 

Kirana mencoba lagi mengangkat lelaki itu. Kali ini dia mengangkatnya dari depan dengan cara menarik tangannya yang terikat. Kirana lupa belum melepaskan ikatan tali itu, lalu Kirana membuka ikatan talinya. 

Setelah terbuka, Kirana memegang pergelangan tangan lelaki itu lalu menariknya, posisi Kirana, adalah berdiri, kakinya berada di sebelah kanan dan kiri badan pria itu. Kirana lalu membungkuk dan menarik tangan pria itu sekuat  tenaga, namun, yang terjadi justru di luar prediksinya. Kirana yang tertarik dan terjatuh di atas tubuh lelaki itu. 

"Ugh ...."  Lelaki itu merintih karena tertiban tubuh Kirana dengan keras. Mata kirana membelalak, dia terpaku di atas tubuh lelaki itu, bibirnya pun menyentuh bibir sang lelaki.  Kirana tersadar dan cepat-cepat bangkit, takut dia melukainya selain itu dia merasa malu. 

"Maaf, tidak sengaja. Kamu lupakan saja, ya," pinta Kirana pada sang lelaki, yang tentu saja tidak akan ada tanggapan karena lelaki itu tidak sadarkan diri. Kirana merasakan tubuhnya basah karena lelaki itu berada di selokan air. Kirana berpikir, tubuhnya pasti kedinginan. Kirana harus cepat menolongnya. 

Kirana menyentuh bajunya yang basah, tetapi dia mencium sesuatu, bau hanyir. Kirana melihat tangannya ada darah, dia lalu menyenteri bajunya, benar bajunya terkena noda darah. Kirana lalu mengarahkan senternya pada lelaki itu dan terlihat bajunya yang berwarna merah. 

 Setelah diamati lagi, ternyata bukan bajunya berwana merah, melainkan merah itu adalah darah yang merembas ke pakaiannya. Kirana panik seketika, itu artinya jika tidak cepat di tangani lelaki ini akan kehabisan darah. Kirana segera berpikir bagaimana cara membawa lelaki ini.

Kirana mengedarkan pandangannya dan mengarahkan senter mengikuti netranya. Dia melihat sebuah tali panjang, bekas mengikat tangan pria ini. Kirana mengambilnya dan memeriksanya, lumayan cukup panjang. 

Kirana lalu menyelipkan tali itu di bawah punggung sang pria. Ujung tali satunya dia pegang lalu dia berdiri membelakangi di antara sela kaki si pria. "Bismillah semoga berhasil. Amin." Kirana lalu duduk membelakangi di sela paha si pria. Dia memegang tali itu di kanan dan kiri, lalu tangan Kirana  masing-masing memegang tangan kanan dan kiri si pria, l dia menarik tangannya ke arah punggungnya. Pria itu, kini duduk bersandar pada punggung Kirana. Tangan sang pria berada di atas pundak kanan dan kiri Kirana.

Ditarik tali yang dia pegang, sampai dia rasa cukup lalu diikatkan pada dirinya. Diulangi sekali lagi dan di ikatkan.

Dia berusaha bangkit dengan memegang pinggir selokan.

"Bismillah, semoga berhasil. Ya Allah bantulah hamba, menolong pria ini, selamatkan dia. Amin." Kirana mengusap wajahnya lalu dia berusaha bangkit. Kirana berpegang pada pinggir selokan sekuat tenaga dia berusaha bangun. Alhamdulillah akhirnya Kirana berhasil berdiri.

Namun, dia tidak bisa berdiri tegak karena punggungnya menahan tubuh pria ini. Kirana berusaha naik ke atas keluar dari selokan.

Satu tangannya memegang kedua tangan si pria agar mengalung di lehernya.

Dia kemudian merangkak naik, sungguh, penuh perjuangan. "Kamu berhutang banyak padaku." ucap Kirana.

Kirana berhasil naik, dia lalu berusaha berdiri, syukurlah dia bisa, tubuh pria ini juga tidak jatuh. Kirana mengambil ponsel di saku celananya, lalu menyinari  jalan yang gelap.

Kirana berjalan perlahan, punggungnya mulai sakit dan dadanya terasa sesak karena ikatan pada tubuhnya. Dia juga membungkuk sepanjang jalan. Rumahnya sudah dekat, dia mempercepat langkahnya. 

Saat sudah sampai di depan rumahnya, Kirana mengetuk pintu dengan kencang. Pintu terbuka dan tampaklah seorang pria paruh baya mengenakan pakaian koko dan sarung serta peci putih. Dia melihat ke arah Kirana yang membungkuk, sambil menggendong seorang  pria di punggunggnya. 

 

Bab 2. Ke Rumah Sakit

"Kirana?" tanya pria itu memastikan.

"Iya Abah. Tolong Abah, punggung Kirana sakit," pinta Kirana pada abahnya.

Abahnya segera membantu Kirana masuk dan melepaskan ikatan tali itu. Dia menahan tubuh si pria. Setelah talinya terlepas, abah mengangkat pria itu ke bale-bale yang ada di ruang tengah. 

"Apa yang terjadi, Kirana?” tanya Abah.

"Kirana menemukan pria ini tergeletak di dalam selokan, dalam posisi tangan terikat dan bersimbah darah. Jadi, Kirana tolong dia dan bawa pulang."

"Kamu, tolong ambilkan baju dan celana Abah!" 

"Iya Abah." Kirana pergi ke kamar orang tuanya. Sedangkan Abah pergi ke dapur untuk membuat ramuan obat. 

Kirana mencari abah ke dapur. "Ini, Abah bajunya." Kirana menyodorkan baju dan celana Abah.

"Kamu teruskan membuat ramuan, biar Abah ganti baju pria itu." Abah mengambil baju dan celananya lalu bergegas kembali ke lelaki itu. 

Begitu Abah membuka bajunya, terlihat luka tusukan di perut. "Seharusnya orang ini ke rumah sakit tapi kalau malam begini tidak ada kendaraan. rumah sakit juga jauh. Apa aku minta bantuan nak ujang saja? Tapi tidak enak ini sudah malam, biarlah, ini darurat menyangkut nyawa." Abah bergumam sendiri.

Datang Kirana membawa ramuan, dia mendekati abah dan memberikan ramuan itu. “Ini Abah.” Kirana memberikan ramuan itu. Abah mengambilnya dan mengoleskan pada luka tusuknya.

“Itu luka kenapa, Bah?” tanya Kirana  melihat luka di perut  polos pria itu.

“Entahlah, tapi sepertinya ini luka tusukan benda tajam. Kita harus membawa dia ke rumah sakit Kirana. Dia butuh tindakan operasi secepatnya. Kita tidak tahu seberapa dalam dan parah luka itu.” Ucap abah.

“Bagaimana caranya Abah?”

“Kiran, kamu teh ditanya malah pergi!” Datang ambu yang menegur Kirana. Tadi ambu memang bertanya, buat apa baju abah?

“Maaf, Bu. Kiran buru-buru.”

“Buru-bu ... astagfirullah! Siapa itu? Kenapa dia?” tanya Ambu, saat matanya melihat lelaki yang terbaring.

“Nanti saja menjelaskannya, Bu. Kiran, sekarang kamu telepon si Ujang, suruh ke sini bawa mobil kolbak!” Abah menyuruh Kirana.

“Iya Bah.” Kirana lalu menelepon Ujang.

Abah mengikatkan kain di atas ramuan tadi, kain itu di lilitkan ke badan si pria lalu diikat. Kemudian Abah memakaikan pria tadi baju. Sedangkan untuk celana dan ********** abah sudah memakaikannya lebih dulu.

10 menit kemudian terdengar suara mobil. “Tuh si Ujang sudah datang! Ayo Kiran bantu Abah, kita bawa dia ke belakang mobil.” Abah dan Kiran bersama mengangkatnya.

Saat mereka  berjalan cepat, sambil  mengangkat  pria itu, di pintu mereka terhalangi oleh seorang  pria. “Assalamu’alaikum. Loh Abah, Kiran, siapa ini?” tanya pria itu.

“Duh Ujang, nanti aja nanyanya, berat nih. Minggir, bantuin sini!” Kiran protes pada Ujang.

“Ih, si bebeb malah marah-marah. Sini, akang bantuin.” Ujang  ikut membantu. 

Mereka meletakkan pria  itu di atas mobil bagian belakang yang terbuka. “Kiran, ambilkan selimut, cepat!” Kiran berlari mendengar instruksi abahnya. Tak lama Kirana datang membawa selimut.

“Kamu, duduk sama Ujang di depan.” Biasanya Kirana akan menolak. Namun, kali ini dia tidak mau berdebat karena situasi sedang darurat.

“Bah, Kiran, kalian hutang penjelasan sama Ambu. Ujang hati-hati nyupir mobilnya.”

“Iya, dah Ambu,” balas Kiran. Mobil pun melaju menuju rumah sakit.

Ambu sendirian di rumah. Dia membereskan pakaian pria tadi. Lalu membawanya ke belakang untuk di cuci. “ Ya ampun, pakaiannya penuh darah begini. Semoga pria itu selamat ya Allah.”  

Ambu lalu mengepel bale-bale dan lantai. Setelah selesai dia menunggu Kirana dan Abah.

Gubrak ...

Ambu terbangun matanya terbuka, rupanya dia tertidur. Ambu kemudian mencari asal suara. Dia perlahan berjalan ke dapur, terlihat oleh Ambu talenan terjatuh, juga se-ekor kucing.

Meong ...

Kucing itu berjalan melewati Ambu. Kemudian Ambu membereskan talenan itu. Di lihatnya jam sudah menunjukkan pukul 01.30.

Ambu kembali ke ruang tengah dan saat akan duduk di kursi, dia mendengar pintu di ketuk. Ambu pun membukanya. Ternyata abah dan Kirana.

Mereka menjelaskan kalau orang yang mereka tolong telah ada keluarganya dan akan di bawa pulang oleh keluarganya, setelah selesai operasi.

“Oh, jadi begitu. Terus bagaimana mereka bisa menemukan pria itu?” tanya Ambu.

“Entahlah Abah juga gak paham, yang penting sekarang kita bisa tenang. Dia sudah ditangani.”

“Abah yakin, mereka  keluarganya? Bukan justru  orang jahat yang  ingin melukainya?” tanya Ambu.

“Abah yakin mereka keluarganya. Mereka menunjukkan identitas dan foto pria itu bersama mereka.”

“Iya Mbu. Mereka memberi kita uang sebagai rasa terima kasih tapi,  Abah menolaknya. Mereka akhirnya memberikan kartu nama ini.” Kirana memberikan kartu nama pada Ambu.

“Buat apa kartu nama? Seharusnya, Abah terima saja uangnya,” ucap Ambu.

“Yang namanya menolong itu harus ikhlas tanpa pamrih. Kalau kita berbuat baik, orang  lain juga akan berbuat baik pada kita. Semua yang kita lakukan pada orang lain akan berbalik pada kita sendiri.” Abah menasehati Ambu.

“Terserah Abah saja lah,” Ambu mengambil tangan Kirana lalu meletakkan kartu itu di tangan Kirana. Kemudian dia masuk ke dalam kamar, karena sejujurnya dia sudah mengantuk.

Kirana melihat kartu itu dan meletakkannya di meja. Dia lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Abah pun ke kamar mandi bergantian dengan Kirana.

 Kirana masuk ke kamarnya tidak lupa dia mengambil kartu di meja dan berganti baju lalu berbaring di tempat tidur. Kirana termenung menatap langit-langit. Memorinya memutar kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Dari awal dia bertemu pria itu  sampai mengantarnya ke rumah sakit yang cukup jauh jaraknya sekitar 40 menit.

Kirana juga teringat wajah pria itu yang cukup tampan, menurutnya. Dia cukup penasaran, siapakah pria itu? Dia langsung di datangi oleh orang-orang yang berpakaian jas hitam-hitam. Dia juga di interogasi layaknya pelaku kriminal.

Namun, setelah di jelaskan olehnya dan abah mereka justru berterima kasih dan meminta maaf atas kecurigaan mereka. Bahkan mereka memberikan uang yang jumlahnya fantastis, lima ratus juta rupiah. Kalau Ambu tahu dia pasti akan bertambah protes.

Abah menolak pemberian itu dengan halus. Seorang pria tua, lalu memberikan kartu nama dan mengatakan, jika dia dan abah butuh bantuan, apa pun itu, hubungi saja nomer yang tertera di kartu itu, kapan pun. Lalu Abah menerimanya.

Kirana juga tadi mendonorkan darahnya, lelaki itu kehabisan darah sedangkan stok darah golongannya di rumah sakit sedang kosong. Kirana tidak bisa langsung pulang, karena dia merasa pusing setelah mendonorkan darah untuk pria itu. Sedangkan pria itu akan segera di bawa pulang setelah dilakukan operasi.

Kirana mengambil kartu yang tadi di taruhnya di atas meja samping tempat tidur. Dia menatap kartu yang berada di tangannya.

 Orion Company nama perusahaan yang tertera di kartu itu. Juga ada nomer telepon dan namanya, Galaksi Orion. Di kartu itu juga ada tanda tangan beliau. Kirana meletakkan kartu itu di meja dan dia memejamkan matanya.

Dalam hati dia berdoa, semoga pria itu selamat.

 

Bab 3. Bertemu Di Jakarta

Hari ini Kirana pulang dengan wajah yang kacau. Matanya terlihat sembab. Ambu yang berada di rumah untuk mengambil makan siang dan membawanya ke sawah, terkejut melihat Kirana yang pulang dalam keadaan wajah yang kacau.

“Kamu kenapa pulang-pulang  mukanya kok jadi jelek begitu?” tanya Ambu.

“Ambu maafkan Kiran, Kirana gak mau kerja di tempat itu lagi. Kirana mau berhenti saja!”

“Aduh, bagaimana ini? Nanti saja bicaranya ya, Ambu harus segera ke sawah mengantar makanan untuk Abah. Kamu tenangkan dirimu dulu. Nanti kita baru bicara lagi.” Ambu bingung di satu sisi anaknya sedang butuh dirinya, disisi lain suaminya butuh makan setelah bekerja dari pagi. Akhirnya dia pilih ke tempat suaminya dulu dan langsung pulang.

“Iya Ambu,” ucap Kirana. Ambu segera pergi ke sawah membawa bekal untuk suaminya.

“Kirana, Kirana ... maafkan Akang! Akang tidak tahu kalau Tati akan melakukan itu.” Teriak seseorang dari luar. Kirana membuka pintu dan menghampiri Ujang.

“Kang Ujang, Kirana sudah bilang jangan mendekati Kirana dan membuat orang lain salah paham. Kita ini hanya teman tapi perlakuan Akang terlalu berlebihan. Bukannya Kirana tidak menghargai Akang, Kirana sangat berterima kasih atas semua kebaikan Akang, tetapi Akang sudah punya gadis yang akan dijodohkan dengan Akang. Semua orang berpikir kalau Kirana ini yang menggoda Akang. Semua  orang di pabrik membicarakan Kirana. Bahkan Tati jodoh Akang itu, dia menghina Kiran dan membuli Kiran."

Kirana mengungkapkan kekesalannya pada Ujang. Dia sudah sering memperingati Ujang agar jangan mendekatinya. Ujang sudah di jodohkan oleh orang tuanya. Lagipula Kirana juga tidak mencintai Ujang.

“Maaf Kiran, Akang minta maaf. Percayalah Akang tidak cinta sama Tati dan tidak mau dijodohkan dengannya.”

“Aku gak perduli, Akang mau dijodohin sama siapa dan cinta sama siapa? Asal itu bukan aku. Aku tidak cinta sama  Akang. Sekarang Kirana minta Akang pulang!"

“Bailklah Kiran, Akang  pulang, tapi kamu harus ingat satu hal kalau Akang tidak akan menyerah dan berhenti mencintaimu. Akang akan terus berjuang untuk mendapatkan kamu.”

“Terserah Akang! Teruslah berjuang, tapi Akang juga ingat satu hal, perjuangan Akang akan sia-sia karena aku tidak akan mencintai Akang sampai kapan pun!” Kirana berkata dengan tegas kemudian dia masuk ke dalam.

Ujang yang ditinggalkan kemudian mengepalkan tangannya. “Ini semua terjadi karena Tati dan ibunya. Awas Tati, aku akan membalasmu,” gumam Ujang. Dia lalu pergi dari pekarangan rumah Kirana.

Kirana tidak tahu harus bagaimana? Dia bertambah kalut mendengar ucapan Ujang. Kirana lalu mengambil tas besarnya dan memasukkan baju-bajunya yang ada di lemari ke dalam tas. Dia  juga memasukkan berkas-berkas  penting, kemudian beberapa foto.

Kirana berganti baju setelah itu keluar kamar. Saat dia akan duduk, Ambu datang. “Assalamualaikum.” Ambu dan Abah datang memberi salam, lalu duduk d samping Kirana. 

“Wa’alaikumsalam. Kebetulan  Ambu dan Abah sudah pulang.” Kirana lalu mencium tangan kedua orang tuanya. Dia kemudian menceritakan semua yang terjadi. Dia juga mengatakan niatnya yang ingin pergi  ke Ibu Kota, Jakarta. Dia ingin mengadu nasib di sana. Meskipun mereka bilang Ibu Kota lebih kejam dari pada ibu tiri.

Ambu awalnya tidak mengizinkan, tapi Kirana menjelaskan alasannya, akhirnya dengan berat hati Ambu mengizinkan Kirana pergi. Abah juga  mengizinkan dan memberi beberapa wejangan singkat. Abah lalu pergi mandi, dia akan mengantar Kirana pergi ke Jakarta.

***

Mereka sampai sekitar pukul setengah tujuh malam di Kampung Rambutan. Kemudian Abah dan Kirana sholat magrib dahulu di mesjid yang ada di terminal. Setelah sholat mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Abah mengantar Kirana ke tempat teman Abah di daerah Kebun Jeruk Jakarta Barat. Bukan untuk tinggal di sana. Karena Abah tidak mau merepotkan orang lain. Selain itu dia tidak mau Kirana merasa tidak nyaman dan merasa canggung.

Abah minta di antar ke tempat kos di daerah itu, yang khusus perempuan. Alhamdulillah akhirnya mereka dapat tempat yang nyaman dan aman.

Malam itu juga Kirana langsung tinggal di kost-an, Abah akan langsung pulang ke kampung. Namun, sebelumnya Abah mengantar Kirana membeli perlengkapan makan dan mandi.

Kirana berjalan pulang setelah mengantar Abah ke jalan raya untuk naik bus menuju terminal. Sampai di kamar Kirana menyiapkan berkas lamaran kerja untuk besok. Dia akan langsung melamar pekerjaan. Semoga saja berhasil.

***

Satu bulan sudah berlalu, Kirana sudah bekerja di Perusahaan Property sebagai OG. Dia melamar lewat jalur resmi bukan jalur belakang. Bekerja di sini sangat melelahkan tetapi orangnya baik-baik. Suka memberi tip membuat dia semangat bekerja.

“Eh cepat, bos baru sudah sampai di lobi!” seru seorang pegawai wanita bertag nama Ririn.

“Aduh, gimana ini? Aku udah cantik belum? Sebentar bibirku kurang sexy,” timpal Eka.

“Aku juga, bedakku belum rata.” Suara wanita-wanita yang ribut berdandan di toilet, hendak menyambut kedatangan bos baru.

“Mba, disuruh ke ruangan secepatnya.” Kirana datang menyampaikan pesan dari manager.

“Iya Kir, makasih. Yuk cepat!” ajak Eka yang lebih dulu pergi, di susul teman-temannya.

“Cantik-cantik sekali. Mereka pasti ingin di lirik bos.” Kirana terkekeh.

Dia lalu mulai bekerja membersihkan toilet. Setelah selesai Kirana lalu keluar dari toilet. Kirana berjalan pelan, dia melihat para karyawan yang berbaris. Kirana segera kembali ke toilet.

"Mereka masih baris, berarti Bos barunya belum datang. Padahal ini sudah lima belas menit." Kirana bergumam sendiri.

Dia menunggu di dalam. Setelah lima belas menit berlalu, Kirana yakin Bos barunya pasti sudah datang. Kirana keluar dari toilet, dengan membawa senjata perangnya, berupa alat-alat kebersihan.

Baru saja satu langkah dia keluar, tiba-tiba ....

Brugh

"Aww." Kirana reflek teriak karena dia terjatuh setelah membentur sesuatu.

Peralatan Kirana jatuh berantakan di lantai. Kirana bangun dan mengusap celana belakangnya, rasanya sungguh sakit. Kirana melihat ke arah Pria yang ada di hadapannya.

Dia merasa wajah pria ini tidak asing. Di mana dia pernah melihatnya. Kirana berusaha untuk mengingat. Memorinya berputar lalu Kirana teringat saat dia menolong seseorang pria yang tertusuk pisau.

Benar, pria ini adalah pria itu, pria yang telah dia tolong. Jadi pria itu bekerja di sini juga, tetapi Kirana tidak pernah melihatnya. Kirana termenung menatap Pria di hadapannya.

"Hei, bisa kamu menyingkir? Saya mau ke toilet."

"Ha, oh iya. Maaf ... silahkan." Kirana tersadar dari lamunannya. Kemudian dia menggeser badannya sambil menunduk. Benarkah pria ini orang yang di tolongnya? Hati Kirana bertanya-tanya, tetapi sikap pria ini sombong sekali.

Kirana lalu mengedikkan bahu, dan membereskan peralatan perangnya. "Aduh, bokong gue sakit banget lagi. Itu badan apa tembok keras amat, sampai gue mental" Kiran bergumam seraya mengusap bokongnya.

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!