NovelToon NovelToon

Call Me Isha

1. Pendiam

Apa aku seorang pendosa sehingga kalian menghinaku dengan sadis?

  ---Call_Me_Isha

...»»———Sҽʅαɱαƚ MҽɱႦαƈα——-««...

‍‍‍‍Terlentang di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar, itu salah satu kegiatan kurang bermanfaat ketika aku bangun. Termasuk kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Malas, kata yang mungkin cocok mewakilkan perasaanku saat ini, untuk beranjak dari tempat tidur saja seperti ada ribuan ton batu yang menindih.

Tak berselang lama, aku mendesah kecil saat mengingat hari. Hari senin, waktu dimana para pelajar sepertiku dijemur sebelum melaksanakan kegiatan belajar.

Aku bangun, mengambil kacamata yang berada di atas nakas lalu memakainya sebelum berjalan kecil menuju kamar mandi.

Selesai dengan urusan mandi, kini aku duduk menghadap cermin sembari menilai rupa yang tercetak jelas disana seraya mengepang dua.

Aku memang bukan tipe yang terlalu memperhatikan penampilan, jika dirasa rapih sudah cukup bagiku.

Hampir lupa, namaku Aisha Flora Ardhani, biasa dipanggil Isha. Kini, aku duduk dibangku kelas sebelas di sebuah Sekolah swasta yang tak jauh dari tempat tinggalku.

Aku berasal dari keluarga sederhana, Ayahku pemilik toko roti dan Ibuku seorang guru TK yang penghasilannya tidak seberapa. Dulu, Ayahku memang seorang pengusaha kaya raya namun harta yang dititipkan pada kami diambil kembali oleh sang maha kuasa, namun aku cukup bersyukur walau dengan kondisi keuangan kami yang tidak seperti sediakala keluargaku masih tetap harmonis sampai saat ini.

       Kini, aku berjalan di lorong Sekolah seraya menunduk, terlalu banyak omongan manusia yang sepertinya tidak pernah akan berhenti mengkritik.

Kadang, dalam benak ingin sekali berteriak namun, perlawanan yang hanya akan menjadi angan itu selalu terhalang oleh keberanian.

Membaca novel menjadi pilihan diri sesaat setibanya aku di kelas, memilih duduk lalu hanyut dalam alur yang disuguhkan.

"Beneran! Gila! Sumpah lo berani banget!" teriakan itu membuat konsentari buyar.

Mata melirik gadis yang barusan heboh, sebenarnya aku tidak perlu melakukan hal itu karena sudah hafal dengan si pemilik suara.

Acelin Amanda Roselani, bisa dipanggil Acel, dia adalah salah satu gadis yang cukup disegani di Sekolah, dia anak yang periang, bicara tidak pernah disaring, populer serta pintar.

"Lo lihat 'kan siapa gue?!" balas salah satu teman Acel dengan bangga.

Orlin Pramusita Putri, atau biasa dipanggil Orlin, gadis dengan wajah cantik yang menjadi primadona Sekolah. Dia itu tidak pintar, hanya saja Orlin terlalu jenius.

"Heh Cupu! Ngapain liat-liat gue!" Dengan mencemooh Orlin menangkap basah tatapanku.

"Cupu! Kalo ada yang ngomong ditatap! Nunduk mulu! Leher lo patah atau gimana sih?" ujar Acel.

"Cupu! Daripada lo bengong lebih baik beliin gue bakpau!" titah Orlin yang membuatku kaget. Tentu saja, karena tinggal beberapa menit lagi bel masuk dibunyikan.

"Lo engga tuli 'kan? Cepet!" titah Acel menimpali.

"Ta---Tapi bentar lagi masuk." Aku tergagap.

"Emang gue perduli? Cepet sana!!" titah Orlin.

Orlin berdiri dari duduknya, menghampiri raga ini sebelum menarik tanganku kencang. "Lama ya lo!"

"Akh!" Aku berteriak kecil saat tubuh ini mencium lantai.

"Cepet Cupu!" Orlin menendang kakiku cukup keras membuat mulut meringis tertahan.

"Dih! Pake acara nangis lagi! Lo kira ini sinetron! Cepetan anjing!"

Perlahan aku berdiri lalu membiarkan telapak tanganku terbuka sembari menunjukkan kepada Orlin. "Lin, mana uangnya?"

"Pake uang lo lah! 'Kan lo yang mau beliin gue," balas Orlin.

"Tapi aku engga punya uang Lin," cicitku.

"Gue engga percaya, sini lo!!" Tanpa meminta izin Orlin merogoh saku bawahan yang aku kenakan.

"Ini apa? Lo jangan bohongin gue!" Orlin merampas uang yang aku miliki begitu saja.

"Jangan Lin, itu uang buat seminggu," pintaku memohon.

"Bokap lo medit amat, masa seratus ribu buat seminggu?" Tak berselang lama Orlin tertawa. "Lupa, lo 'kan miskin! Hidup lo kasihan banget ya kalau dipikir,"

"Udah miskin, jelek, bodoh lagi," lanjut Orlin, dia memang tidak akan pernah puas jika belum menghina diriku.

"Bener! Biasanya 'kan anak cupu kayak lo otaknya berisi nah ini?" Acel ikut berucap.

Celetukan itu mendatangkan tawa bagi siswa yang ada di kelas, selain Orlin dan Acel, seluruh sekolah pun bersekongkol untuk membully diriku.

"Duh, engga beruntung banget hidup lo cupu! Cupu!" Ejek Orlin lagi.

"Ada bu Saras!!!" instruksi keyla yang membuat seluruh murid berlari menuju bangku masing-masing termasuk aku.

"Cupu! Kita lanjutin nanti!!" Bisik Orlin ketika melewati bangku yang aku tempati.

2. Butiran Debu

‍‍‍Aku melangkah cukup yakin menuju kelas, dengan harap ruangan itu kosong karena penghuninya menghabiskan waktu istirahat di luar.

Sedikit bercerita, aku memang berasal dari MIPA, kelas yang biasa dipenuhi dengan anak yang pintar, sebenarnya aku juga bingung mengapa orang bodoh sepertiku bisa masuk seleksi. Belum lagi sekarang ditempatkan di kelas sebelas MIPA dua, kelas yang menghimpun para juara sekolah,

Bokong milikku didaratkan ke atas permukaan kursi dengan buku yang siap mengalihkan perhatian dari rasa lapar serta bosan.

"Heh Cupu! Enak banget lo pergi tadi!" Orlin menggebrak meja hingga membuat diri ini tersentak kaget.

"Lo ingat 'kan tadi pagi gue minta apa?" tanya Orlin sembari bersedekap dada. "Sekarang lo ke kantin dan beliin gue batagor! S. E. K. A. R. A. N. G!" titah Orlin bagaikan seorang Ratu.

Tanpa berdosa, Orlin menarik tanganku lalu mendorong raga ini hingga membuat aku terjatuh di atas permukaan lantai.

"Denger 'kan! Sekarang pergi bangsat!" bentakan Orlin membuatku takut dan sesegera mungkin berdiri.

"Tunggu!" Acel menghentikan langkahku. "Beliin gue juga nasi goreng, tapi nasinya jangan terlalu coklat soalnya gue engga suka manis, terus jangan pedes, tapi ada pedesnya." Menjeda beberapa detik. "Timun tiga biji, kulitnya dikupas, sama tomat juga."

"Tomatnya setenang matang. Nasi goreng telur," jelas Acel. "Satu lagi! Gue juga mau jus jeruk, tapi harus ada bulirnya."

"Udah 'kan, denger kan! Sekarang lo pergi! Kita tunggu sepuluh menit! Kalau lo engga balik saat itu, lo tahu sendiri akibatnya!" ancam Orlin.

"Eh malah ngalamun, pergi!" usir Acel membuatku kaget lalu segera mungkin menuju kantin.

    Dengan sedikit terhuyung aku menghampiri Orlin dan kedua temannya di kelas yang kini tengah tertawa renyah bersama.

"Lin ini!"

Mereka berhenti sejenak lalu menatap makanan yang aku bawa, membuatku mengigit bibir karena takut.

"Eh Cupu! Lo masih inget 'kan tadi gue ngomong apa?" tanya Orlin.

Orlin memperlihatkan minuman dingin yang ada di tangannya ke arahku membuat kepala menunduk serta menutup mata sejenak karena merasa takut.

"Ini tuh udah lebih dari sepuluh menit! Jadi lo harus tahu akibatnya! Gue engga suka menunggu, gue benci menunggu, karna lo udah paham maksud gue jadi langsung aja." ucap Orlin yang kemudian menerbitkan senyum yang membuat bulu kuduk meremang.

"Nih buat lo! Lo belum makan 'kan?" Orlin menumpahkan batagor di atas permukaan baju putih yang aku kenakan.

"Makanya, jadi orang tuh jangan lelet!" ucap Anoora.

Anorra Ayu Damiyanti, gadis cantik yang hampir sebelas gua balas dengan Orlin dan Acel, dia berada di kelas sebelas matematika dan sains satu.

"Lo juga lihat 'kan gue udah minum apa? Jadi nasi gorengnya gimana nih? Gue udah kenyang. Buat lo ajah deh, Gue kasihan lihat tubuh lo yang kayak tripleks ini!" hina Acel dengan nada dibuat manis.

"Nih buat lo! Dimakan ya!" Dengan sengaja Acel menumpahkan nasi goreng yang sudah susah payah aku carikan, dan kini tanpa berempati menumpahkannya.

Orlin menghampiri lalu menarik rambut kepang milikku membuat aku meringis. "Makanya lain kali jangan macem-macem sama gue!"

"Ingat itu!" ucap Orlin dengan gayanya lalu berjalan meninggalkanku yang masih terisak.

"Sedih deh lihat lo nangis, kita lanjutin lagi nanti ya Cupu!" pamit Anoora seraya menepuk pipi ini. "Jangan lupa dimakan nasi gorengnya!"

Kakiku melemas seperti tak bertulang, hingga membuat raga ini terjatuh seraya menangis, mereka benar-benar manusia yang tidak mempunyai hati, masih baik aku membeli makanan pesanan mereka serta membayarnya.

......................

Mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu Kota yang masih terbilang pagi namun, sudah sangat ramai. bukan hanya para pengendara yang memadati jalanan, namun juga para pedagang kaki lima yang mulai menjajakan dagangan mereka.

Terlalu menikmati perjalanan hingga tidak sadar bila kini aku sudah berada di depan gerbang Sekolah dan mulai memasuki gedung kelas sebelas.

"Eh ada Cupu, hari ini lo piket?" tanya Orlin begitu aku memasuki ruang kelas.

"I-iya," balasku.

Diamlah yang bisa aku lakukan ketika melihat Orlin dengan sengaja menumpahkan jus kemasan yang tadi diminumnya.

"Ups!! Sorry gue sengaja!"

Meski menyebalkan, aku tetap harus melaksanakan tugas jika tidak ingin terkena imbas.

   

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Bu Tari selaku guru Bahasa Indonesia.

"Pagi Bu!" balas semua orang serempak.

"Sekarang kumpulkan PR yang kemarin Ibu beri!" titah Bu Tari membuat seluruh siswa menaruh buku mereka di atas meja yang ditempati Bu Tari tanpa terkecuali.

"Kalian kerjakan buku paket halaman 35 dan jangan berisik!" titah Bu Tari lagi yang membuat seluruh siswa patuh.

Ruangan seketika senyap, seluruh anak mengerjakan tanpa terkecuali hingga sebuah suara yang berasal dari guru yang mengajar kembali menarik perhatian.

"Isha, kamu sedang jatuh cinta?" tanya Bu Tari.

Dalam duduk, aku melebarkan mata, belum lagi tatapan seluruh ruangan yang kini beralih fokus kepadaku.

"A-apa Bu?"

"Kalau mau nulis puisi itu di buku harian Isha, bukan di buku tugas jadi, engga ketahuan," ujar Bu Tari.

"Bu coba bacakan puisinya!" pinta Orlin semangat, membuat batin makin awas.

"Iya Bu, bacakan Bu!" pinta seluruh siswa serempak, genap sudah kemalangan hari ini.

"Biar ini menjadi rahasia Isha, Ibu dan Tuhan saja."

"Ya siapa tahu kita bisa belajar gitu Bu dari puisi itu," ungkap Arga.

"Sudah-sudah, kembali kerjakan tugas tadi!" titah Bu Tari.

Kring!

"Baiklah anak-anak sampai sini saja pelajaran Ibu, selamat mengikuti pembelajaran selanjutnya!" pamit Bu Tari meninggalkan ruang kelas.

Tanpa aba, seluruh siswa perempuan di kelas menghampiri diriku sebelum mengambil paksa ransel lalu mengobrak-abrik isi di dalamnya.

Berbagai cara aku lakukan untuk mendapat kembali ransel itu namun kekuatan yang dimiliki kalah telak oleh mereka.

"Diam Cupu! Kalian pegangin Cupu! Jangan sampai lepas!" titah Orlin.

Sebagian siswi melaksanakan perintah yang Orlin berikan, aku terus memberontak hingga akhirnya Orlin menemukan benda yang dicari.

"Nih! Tas butut lo!" Orlin melempar ransel itu kasar tepat di wajahku.

"Kalian semua! Lihat! Apa yang gue pegang!" pamer Orlin di depan papan tulis membuat semua orang memfokuskan pandangan ke arahnya.

Aku lemas seketika karena tidak bisa melakukan apapun, saat ini pasrah yang bisa dilakukan.

"Puisi Cupu? Bacain Lin!!" pinta Dzaki.

Aku mendorong anak yang mengunci tubuhku dengan sekali hentakan keras, bersiap mengambil alih buku yang ada ditangan Orlin, namun usahaku nampak percuma karena berhasil dihalangi Acel dan yang lain.

"Cupu, lo diam aja. Siapa tahu kita bisa bantu lo buat dapetin dia, iya 'kan temen-temen?!" Kalimat Orlin mendapat seruan semua orang.

"Langsung aja! Dengerin semua dan jangan ada yang berisik!!" pinta Orlin yang mulai membuka buku milikku.

"Untuk kamu." Dengan senyum meledek Orlin membaca.

"Eaaaa!" ledek seluruh kelas kompak.

"Aku tidak ingin kamu mencintaiku seperti halnya aku mencintaimu."

"Karna aku tahu, aku tidak akan pernah bisa mendapatkannya apalagi merasakannya," lanjut Orlin.

"Sadar diri lo?" cemooh Acel dengan tawanya.

"Aku sadar, aku hanya gadis Cupu yang pendiam dan selalu dibully."

"Nah itu tahu!" ucap Arga yang membuat tawa seluruh orang.

"Ya, Itu lah aku, tapi jika kamu bertanya kenapa aku mencintai tapi tak ingin dicintai balik. Jawaban hanya satu." Orlin menjeda kalimatnya lagi. "Aku cukup tahu serta sadar jika, aku hanya butiran debu diantara ribuan berlian yang mengelilingimu."

"Anjir!"

"Sialan, gue tertawa."

"Itu buat siapa si?"

"Semua dimohon tenang! Gue lanjut baca lagi ya!!" ucap Orlin.

"Apa kamu tahu apa yang membuat aku bahagia?"

"Tawamu, aku suka melihat tawa dan senyummu. Bahkan jika aku disiksa setiap hari untuk membuat tawa tetap ada, aku akan bersuka rela melakukannya, hanya satu alasanku. Aku mencintaimu."

"Uhuy! Aku mencintaimu!"

"******, bengek hyung!"

"Lin lanjut!" pinta Acel tak sabaran.

"Kalian mau tahu, orang yang Cupu taksir?" tanya Orlin yang kini tengah menatapku dengan remeh.

"Siapa Lin?" tanya semua orang.

"Orang yang Cupu taksir adalah sepupu gue."

"Maksud lo Arga Lin?" tanya Acel.

Kelas hening untuk beberapa detik lalu ricuh kembali karena tawa kencang seluruh siswa.

Aku melirik tempat dimana Arga berada, disana keadaanya sama dengan yang lain, tertawa dengan terbahak.

Kenapa dulu aku begitu mecintai orang seperti Arga.

Orlin mendekatiku. "Inget ini dengan baik Cupu!" Jari telunjuknya digunakan guna menekan berulang kepalaku. "Gue engga sudi lo suka sama sepupu gue. Dan jangan  harap lo bisa dapetin dia."

Memundurkan langkah yang Orlin lakukan sembari memindai tubuhku dengan senyum sinis. "Lo sadar diri aja deh!"

"Selamat Ga! Gue engga nyangka ternyata Cupu sukarela dibully lo!" ledek Dzaki menepuk pundak Arga.

Arga kini berdiri di depanku lalu meludahi sepatuku dengan pongah. "Lo denger ini! Gue engga suka dan engga akan pernah mau sama lo!"

"Harusnya lo bisa ngaca lah, siapa lo dan siapa gue!" Menjeda beberapa detik. "Lo punya apa buat dibanggakan? Orang tua lo itu miskin, tampang lo?"

Arga ikut meneliti penampilanku sebelum berdecih. "Lo banyakin ngaca deh!"

"Cupu! Cupu! Lo ngimpi?" Dzaki, teman dekat Arga ikut meledek. "Diluar sana, banyak cewek cantik yang Arga tolak. Lah lo? Lebih baik lo modar aja deh!"

"Lihat? Arga engga mungkin suka sama lo. Cupu engga guna!" hina Orlin. "Lain kali, kalau mau jatuh cinta ngaca dulu. Penampilan kayak anak TK tapi mau sama pangeran. Mimpi!"

3. Cinta jadi Kecewa

‍‍‍Aku terisak di dalam salah satu bilik toilet sembari memandang buku catatan yang telah dibaca Orlin tadi, aku memang menyukai Arga, siapa yang tidak akan menyukai sosok sempurna seperti dia, tidak terkeculi aku.

Aku juga sama seperti perempuan lain yang memimpikan seorang pangeran tampan yang bisa melindungi, tapi aku juga masih sadar diri.

Sedikit mengingat, aku memendam rasa pada Arga tidak tahu kapan pasti waktunya, mungkin saat aku masih anak-anak ataupun saat disekolah menengah.

Alasanku menjatuhkan hati karena Arga yang dulu aku kenal ialah sosok siswa teladan yang berkharisma namun, itu dulu. Waktu dimana aku belum tahu betapa busuknya sifat Arga asli, sang Raja bully.

Hal paling bodoh yang aku lakukan yaitu bersuka rela disakiti Arga hanya membuat laki-laki itu tertawa.

Mengenai surat itu, aku tulis saat pertama kali aku mengetahui jika Arga dan aku satu kelas dan itu juga kali pertama aku dibully Arga. Tentu aku sangat senang, raga yang dulu hanya bisa kutatap jarak jauh kini bisa saling berhadapan.

Setelah puas aku keluar dari bilik toilet, berjalan menghampiri cermin seraya memperhatikan pantulan diri.

Aku tertawa kecil. "Benar kata mereka, aku tidak pantas mencintai Arga atau siapapun. Penampilanku sendiri saja seperti ini."

"Rambut yang selalu dikepang dua seperti anak TK, belum lagi kacamata persegi yang membingkai mata serta gigi yang tidak rapi," lanjutku.

Sekolah tidak seramai beberapa jam lalu, hampir seluruh siswa telah pulang dari acara menimba ilmu namun masih ada beberapa yang tinggal.

"Tunggu! Mau kemana lo?!" cegah Orlin menghampiriku berjalan di Koridor.

"Pu-pulang!" balasku menunduk.

"Nih!" Orlin menyerahkan tasnya kepadaku.

"A-apa?" tanyaku yang mulai menatap matanya takut.

"Ck! Dasar bego! Bawa Cupu! Bawa!" bentak Orlin layaknya nyonya besar.

"Ta-tapi ak-aku---" elakku langsung dipangkas sebelum sepenuhnya habis.

"Lama amat sih ngomongnya! Udah bawa aja! Nih sekalian punya gue juga!" Acel ikut menyerahkan tasnya beserta Anoora kepadaku seperti halnya Orlin.

"Dan jangan lupa! Lo harus ekstra hati-hati bawanya! Jangan sampai lecet! Gaji Bokap lo setahun engga mungkin bisa buat ganti rugi," hina Anoora.

"Lo bawa tas kami sampai parkiran!" titah Orlin lalu berjalan lebih dahulu bersama kedua sahabatnya, melupakan aku yang mengekor dengan ketiga tas menggantung di pundak.

"Itu "kan Arga, siapa yang ada di sampingnya?" batinku bertanya penasaran saat sampai diparkiran.

Beberapa meter dari tempat, sosok Arga bersama seorang gadis nampak, Arga dengan  senyum membukakkan pintu mobil guna mempersilahkan perempuan di samping masuk.

"Lo lihat cewek barusan yang bareng Arga?" Acel mengajakku berbicara sembari matanya memperhatikan mobil Arga. "Dia Yollan, anak sebelas  MIPA satu," jelas sekali jika Acel membuat hatiku menciut.

"Acelin Amanda Roselani cepetan masuk! Ngapain juga ngenalin Yollan sama Cupu!" kata Orlin di belakang kami sembari memegang pintu mobil.

Acel memuatar tubuhnya menghadap Orlin. "Biar Cupu panas!" Lalu, kemudian melirikku. "Sekaligus sadar diri."

"Cupu! Udah puas lo liatin kakak gue sama pacarnya?" tanya Orlin yang membuat kesadaranku kembali lalu menatapnya. "Sini lo!"

"Malah bengong!" Orlin menghampiriku dan menarik ketiga ransel di tangan. "

"Orlin ayo! Katanya udah terlambat malah bicara sama calon kakak ipar!" ejek Acel dari dalam mobil.

"Anjing lo!" balas Orlin lalu dia masuk ke mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.

     Sore ini, dengan sepeda aku mengunjungi toko roti yang Papaku bangun demi mencukupi kebutuhan, berhubung sekarang malam minggu aku niatkan untuk membantu beliau.

"Sore Pa!" sapa diri ini kepada Papa yang terlihat sedang menata roti.

"Sore, udah pulang?"

"Iya Pa," balasku yang diangguki oleh beliau.

Tanganku terulur mengambil celmek lalu mengikatnya di tubuh sebelum memulai memanggang roti.

Tring!

Suara lonceng yang terdorong pintu kaca menjadi pertanda kedatangan pelanggan.

"Han biasa!" Pesan seseorang, yang sudah sangat aku kenal.

"Isha, ambilkan roti yang sudah tante Nesya pesan!!" titah Papa.

"Iya Pa!" balasku.

Selepas memasukkan roti pesanan, aku menghampiri Tante Nesya yang sedang duduk menunggu.

"Tan ini rotinya!"

"Makasih sayang," balas Tante Nesya, pelanggan sekaligus teman semasa sekolah Mama Papa.

"Mau teh atau kopi Tan?" tawarku seperti biasa karena cukup akrab dengan beliau.

"Teh saja."

"Ini Tan! "Aku menaruh cangkir teh itu dan beberapa biskuit di atas meja yang Tante Nesya tempati.

"Makasih, ouh iya. Tante bawa ini buat kamu semoga kamu suka ya!" Tante Nesya menyodorkan sebuah kotak padaku.

"Makasih Tan,"

"Mah, cepat aku ada acara!" kata seseorang yang tepat berada di belakangku.

"Lah kamu ini, Mama baru mau minum tehnya," tolak Tante Nesya."Kamu diajak engga mau, malah milih di mobil sekarang apalagi?"

"Mah aku udah ditunggu!" pinta orang itu memberi alasan.

Aku hanya diam mematung di antara percakapan antara anak dan ibu itu,  enggan untuk ikut campur.

"Maaf Isha, Tante engga bisa lama, nih Arga bawel. Engga niat antar Mamah-nya belanja ya gini!" sindir Tante Nesya membuatku tersenyum ramah untuk menanggapi.

"Ouh iya! satu lagi, Isha terima ya ponsel dari Tante."

"Duh Tan, ini engga perlu," tolakku saat mengetahui isi bungkusan itu.

"Eh, engga apa. Biar kamu terbantu juga dalam belajar, kamu juga sering pulang terlambat 'kan, jadi terima aja buat jaga-jaga."

Ingin menolak rasanya tidak enak, dengan terpaksa aku mengangguk mantap sembari menerbitkan senyum.

"Makasih Tante."

"Ayo Ga!" ajak Tante Nesya pada Arga yang sedari tadi merengek minta pulang.

"Iya, Mama duluan aja!" balasnya.

Arga yang semula berada di belakang punggung kini sudah berdiri dihadapan sembari memandangku dengan hina.

Arga membisikkan beberapa patah kata di depan daun telinga. "Jangan pernah lo manfaatin Mama gue buat menuhin kebutuhan lo! Gue tahu Mama gue itu baik, tapi buat lo?" Menjeda beberpa detik sembari menjaga jarak. "Gue engga sudi."

"Aku memang miskin, aku memang Cupu, tapi aku masih punya harga diri, dan aku tidak pernah memanfaatkan orang, apalagi Tante Nesya yang sudah aku anggap sebagai Ibuku sendiri!"

Ingin sekali kalimat diatas aku lontarkan, akan tetapi keberhasilan yang dihasilkan diri tidaklah cukup hingga aku lebih milih diam.

 

Purbalingga 10 januari 2020.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!