...༻⌘༺...
Seorang wanita berjalan sambil membawa banyak barang bawaan. Di bahu kanannya terdapat ponsel yang di apit dengan telinga.
Altesa namanya. Wanita cantik yang merupakan pewaris keluarga Dewangga. Harta kekayaannya bahkan lebih banyak dibanding suaminya sendiri. Meskipun begitu, Altesa selalu berusaha menjadi istri yang baik.
"Tumben banget Mas mau jemput Azka? Tapi bagus deh. Aku akan langsung pulang ke rumah aja. Aku udah beli daging untuk menu makan malam nanti," ujar Altesa. Dia membuka pintu mobil belakang. Lalu meletakkan semua barang belanjaan ke sana.
"Berhati-hatilah, sayang. Maafkan aku," ungkap Wildan dari seberang telepon. Dia tidak lain adalah suami Altesa sendiri.
Dahi Altesa berkerut. "Kenapa Mas minta maaf? Mas nggak ada salah apa-apa kok." tanggapnya. Merasa lucu dengan sikap Wildan yang terasa berbeda dari biasanya. Altesa baru saja duduk ke kursi kemudi.
"Aku mencintaimu..." bukannya menjawab, Wildan malah mengungkapkan kalimat jitu yang sukses membuat Altesa tersipu malu.
"Aku juga cinta kamu," balas Altesa sembari mengaitkan anak rambut ke daun telinga. Pembicaraannya dan Wildan berakhir disitu. Altesa segera menjalankan mobil.
Segalanya terasa baik-baik saja. Altesa mengemudi dengan tenang seperti biasa. Jalur transportasi juga tidak begitu macet.
Lama-kelamaan, Altesa merasa mobil di belakang sangat aneh. Entah kenapa dia berpikir kalau mobil itu mengikutinya.
Kening Altesa mengernyit. Dia mencoba berpikir positif terlebih dahulu. Namun saat berusaha tenang, mobil hitam yang dicurigai Altesa tiba-tiba menghimpit.
"Hei!" seru Altesa yang tidak terima. Dia menoleh ke arah mobil tersebut. Berusaha melihat sosok yang sedang mengemudi. Nihil, Altesa hanya bisa melihat seorang lelaki yang memakai topi dan masker. Wajahnya sama sekali tidak jelas.
Kekhawatiran Altesa terhenti, saat mobil misterius itu melaju lebih dulu. Tetapi siapa yang menduga, mobil tersebut justru kembali membuat ulah. Dia tiba-tiba berbelok dan menyebabkan sebuah truk oleng. Truk itu menabrak susunan mobil yang ada di lampu merah.
Altesa kaget setengah mati. Dia berupaya keras memutar setir agar bisa menghindar. Namun usahanya gagal karena sudah terlalu dekat dengan truk yang ada di depan.
BRAK!
Suara dentuman mobil yang bertabrakan terdengar menggema. Kecelakaan yang terjadi tidak hanya mengenai satu mobil. Akan tetapi puluhan mobil lainnya. Termasuk Altesa sendiri.
Mobil Altesa tidak sengaja menghantam belakang truk. Bagian depan mobilnya tampak penyok. Kaca-kaca jendela pecah berkeping-keping. Sedangkan mobil yang menabrak dari belakang, membuat mobil Altesa bergeser ke pinggir.
Keadaan Altesa sekarang bersimbah dengan banyak darah. Dia langsung tidak sadarkan diri dalam keadaan tertelungkup ke alat kemudi.
Asap mengepul memenuhi udara. Suara sirine dari mobil ambulan dan polisi saling sahut-menyahut. Keadaan kota begitu kacau dalam sekejap.
...***...
Kabar tentang kecelakaan Altesa telah sampai ke seluruh keluarga Dewangga. Mereka bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Altesa.
Wildan menjadi orang yang pertama datang. Wajahnya tampak datar. Dia seolah tidak terganggu dengan segala hal yang menimpa istrinya.
Wildan duduk di kursi depan UGD. Menunggu Altesa selesai di operasi. Dia terlihat masih mengenakan setelan jas dan dasi. Bersama anak semata wayangnya yang bernama Azka.
"Pah, Bunda mana? Aku mau ketemu Bunda," seru Azka yang belum tahu keadaan sang ibu.
"Bunda sedang sibuk. Sebentar lagi nenek akan datang ke sini." Wildan tersenyum lembut sembari mengusap puncak kepala Azka.
"Kita mau apa?" tanya Azka.
"Mending Azka duduk dulu di sebelah Papah. Kamu pasti capek," tutur Wildan. Dia membawa Azka duduk ke sampingnya.
Tidak lama kemudian, Ratna datang. Dia adalah ibu kandung Altesa. Dari kejauhan, Wildan bisa mendengar tangisan wanita itu.
Wildan menghela nafas. Dia menundukkan kepala dan terlihat sedih.
"Bagaimana kabar Altesa, Wil?" tanya Ratna di sela-sela isak tangisnya.
"Al masih dalam proses operasi, Mah." Wildan menjawab dengan mimik wajah sendu. Dia segera memeluk lembut Ratna.
Azka yang melihat terheran. Wajah polosnya itu memperlihatkan segalanya. "Kenapa Papah sama Oma nangis?" tanya-nya.
Perlahan Ratna melepas dekapan Wildan. Dia segera berjongkok ke hadapan Azka.
"Nggak apa-apa, Ka. Semuanya baik-baik saja," ucap Ratna seraya mengusap air mata yang menetes.
Azka lantas mengangguk. Dia perlahan menerima pelukan dari neneknya.
Beberapa jam terlewat. Dokter Stevan akhirnya keluar dari ruang operasi. Dia memberitahukan bagaimana keadaan Altesa.
Wildan dan Ratna bergegas berkumpul untuk mendengar kabar tentang Altesa. Sementara Azka, hanya celingak-celingukan dalam pelukan Ratna.
"Kami sudah mencoba semaksimal mungkin. Kecelakaan yang menimpa pasien menyebabkan gangguan otak cukup parah. Dan... aku tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun," jelas Stevan selaku dokter yang bertugas.
"Maksudnya gimana, Dok?" tanya Wildan.
"Pasien mengalami koma. Kecil kemungkinan dia akan kembali bangun. Mengingat kecelakaan yang terjadi menyebabkan fungsi sarafnya terganggu." Stevan memegangi pundak Wildan. Berharap hal itu bisa menenangkan.
Mendengar kabar tersebut, tangisan Ratna pecah seketika. Dia menangis dalam raungan dan terduduk di lantai.
Hal serupa juga dilakukan Wildan. Dia berusaha menenangkan Ratna sebisa mungkin. Keduanya meratap cukup lama. Azka yang tak tahu apa-apa, jadi ikut menangis.
Tidak ada angin dan hujan, kesadaran Altesa direnggut dalam sekejap. Ratna merasakan kepiluan yang amat mendalam. Dia tenggelam dalam isakan tangis yang menjadi-jadi.
Beberapa waktu berlalu. Altesa sudah dipindahkan ke ruang VIP. Keadaannya tampak tidak berdaya dan di kelilingi banyak peralatan medis.
Ratna terus berada di sisi Altesa. Sedangkan Wildan sengaja tidak memperlihatkan keadaan Altesa kepada anak itu. Dia hanya tidak mau Azka ikut sedih.
Kini Wildan beranjak keluar rumah sakit. Membelikan es krim untuk Azka. Dia menyuruh sang anak untuk duduk menunggu di sebuah bangku panjang.
Wildan beranjak tidak jauh. Dia menghubungi seseorang melalui ponsel.
"Kerja bagus. Tapi aku tidak menyangka, kecelakaan yang terjadi bisa sampai begitu," ujar Wildan.
"Kau pikir Ivan sengaja melakukannya?! Kau memang keterlaluan! Sekarang lebih baik kau tepati janjimu!" sahut suara lelaki misterius dari seberang telepon.
"Tenang saja. Aku hanya butuh waktu. Kau pikir mengurus harta warisan adalah perihal mudah? Bersabarlah..."
"Jika kau melanggar janji, maka aku tidak akan segan-segan membocorkan rencana jahatmu kepada polisi!"
Wildan menarik sudut bibirnya ke atas. Dia membalas, "Kau tenang saja. Aku akan memberikanmu uang muka lusa nanti."
Pembicaraan Wildan dan pria misterius berakhir. Dia mendengus lega sembari menatap langit jingga sore hari.
Sebuah panggilan telepon kembali masuk. Wildan langsung sumringah ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Sayang, bagaimana?" tanya wanita yang bernama Erma dari seberang telepon.
"Rancana kita berhasil, sayang."
"Syukurlah. Aku sangat mencemaskanmu..."
"Do'akan saja agar rencana kita selanjutnya bisa berjalan lancar. Aku pastikan, sebentar lagi kita akan menikah."
"Aku sudah tidak sabar menunggu momen itu."
"Aku juga..." Wildan tersenyum senang. Pembicaraannya dan Erma berakhir.
Wildan perlahan menoleh ke arah Azka. Lalu berjongkok ke hadapan anaknya tersebut.
"Sayang, Papah ingin kasih tahu kamu," tutur Wildan.
"Apa, Pah?" Azka bertanya dengan ekspresi polosnya.
"Mulai sekarang, Bunda tidak akan menemui kita lagi..." ucap Wildan lirih.
"Kenapa?" tanya Azka.
"Papah nggak tahu. Bunda meninggalkan kita tanpa alasan yang jelas." Wildan memasang raut wajah sendu.
Mendengar hal itu, tangis Azka pecah seketika. Es krim yang dipegangnya sontak terjatuh ke tanah. Wildan lantas menenangkan dengan pelukan.
"Kenapa?... kenapa bunda tinggalin kita? Kenapa, Pah?" Air mata Azka berderai di pipi.
"Dia lebih memilih keluarga barunya dibanding kita..." Wildan memutar balikkan fakta. Dia tidak akan membiarkan Azka mengetahui bagaimana keadaan Altesa yang sebenarnya.
...༻⌘༺...
Dua tahun delapan bulan berlalu. Suara detak jantung dari mesin EKG terus menggema. Altesa sedang telentang tak berdaya dalam balutan masker oksigen.
Karena terus menerima asupan makan dan minum melalui cairan, tubuh Altesa justru tambah berisi. Dia lebih gemuk dibanding saat terakhir kali mengalami kecelakaan.
Seorang perawat bernama Nirina masuk ke dalam ruangan. Dia menyuntikkan sesuatu ke tubuh Altesa.
"Kasihan banget kamu. Padahal cantik banget. Hari ini suamimu memutuskan untuk menyerah denganmu..." lirih Nirina sembari mengamati wajah Altesa. Dia termangu sejenak.
Kebetulan Nirina merupakan perawat yang bertugas untuk menjaga Altesa. Selama bertahun-tahun dia terus melakukan hal sama setiap hari. Nirina merasa dekat dengan Altesa walau tidak pernah saling bicara.
Saat terpaku menatap wajah pasiennya, Nirina tidak mengetahui satu hal. Jari telunjuk Altesa mendadak bergerak. Itu pertama kalinya dalam dua tahun terakhir. Dan pastinya, pergerakan kecil tersebut merupakan sebuah keajaiban.
Setelah jari telunjuk bergerak. Jari-jemari Altesa lainnya ikut bergerak. Selanjutnya barulah mata perempuan itu terbuka.
Silaunya cahaya langsung menghantam penglihatan Altesa. Dia berusaha beradaptasi terlebih dahulu.
Nirina yang melihat, kaget bukan kepalang. Dia bergegas memanggil dokter yang bertugas. Memberitahukan kabar tak terduga atas pasiennya.
Stevan selaku dokter yang bertugas datang. Dia tidak menyangka Altesa bisa tiba-tiba tersadar. Padahal hari itu Stevan disuruh mempersiapkan proses euthanasia. Namun sepertinya hal tersebut tidak bisa dilakukan karena pasien mendadak sadar.
"Al? Jika kau bisa melihat tanganku, tolong anggukan kepalamu," ujar Stevan sambil melambaikan tangan ke depan wajah Altesa.
Altesa masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Meskipun begitu, dia menganggukkan kepala untuk memberi jawaban.
"Ini benar-benar keajaiban! Wildan pasti sangat senang!" seru Stevan. Dia memerintahkan Nirina untuk memberitahu Wildan perihal keadaan Altesa.
"Tenanglah, Al. Kita lakukan semuanya dengan bertahap." Stevan berucap dengan raut wajah sumringah.
Karena sudah mampu mencerna semuanya, Altesa mulai bisa merespon melalui suara. Dia menanyakan apa yang sudah terjadi kepadanya.
"Kau mengalami koma selama dua tahun lebih. Ini adalah keajaiban!" ucap Stevan.
"Be-benarkah? Apa aku akan baik-baik saja?" sahut Altesa yang terlihat cemas. Dia merubah posisi menjadi duduk.
"Keadaanmu sangat baik. Kau hanya perlu terbiasa untuk melakukan pergerakan aktif saja. Tubuhmu pasti terasa kaku karena terlalu lama tidak digerakkan." Stevan memberikan penjelasannya lagi.
"Bagaimana dengan keluargaku? Dimana suami dan anakku? Bolehkah aku bertemu dengan mereka?" pinta Altesa. Dia tentu merindukan keluarga kecilnya.
"Suamimu sedang dalam perjalanan ke sini!" jawab Stevan.
Altesa mengangguk. Dia segera dibimbing Stevan dan Nirina untuk berdiri. Altesa juga diperbolehkan menggerakkan kaki. Semua itu dilakukan agar dia dapat terbiasa.
Sesekali Altesa nyaris terjatuh. Tetapi itu tidak berlangsung lama, sebab dirinya dapat beradaptasi cukup cepat.
...***...
Mendengar kabar sadarnya Altesa, Wildan sangat terkejut. Dia yang sedang sibuk melakukan rapat perusahaan, bergegas pergi ke rumah sakit.
"Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi..." gumam Wildan yang masih merasa tidak percaya. Dia baru masuk ke mobil. Saat itulah dia mendapatkan pesan baru dari Stevan. Lelaki tersebut mengirimkan bukti berupa foto bahwa Altesa sudah bangun.
Mata Wildan menyalang hebat. Dia mengeratkan rahang dan langsung menginjak pedal gas. Wildan akan membuktikan sendiri dengan cara mendatangi rumah sakit.
Sekian menit terlewat. Wildan akhirnya sampai di tempat tujuan. Dia segera mencari keberadaan Altesa. Istrinya itu terlihat berdiri di depan jendela dan melihat pemandangan kota.
Wildan sempat mematung dari balik pintu. Mengamati Altesa dari ujung kaki hingga kepala. Dia masih tidak menyangka kalau istrinya itu sudah sadar kembali. Mengingat kecelakaan yang menimpa Altesa terbilang sangat parah.
Rencana Wildan gagal untuk melakukan proses euthanasia. Anehnya dia tersenyum miring, lalu melangkah ke belakang Altesa.
"Al..." panggil Wildan lirih.
Altesa terkesiap. Dia langsung menoleh dan tersenyum penuh haru. Tanpa pikir panjang, Altesa menghamburkan pelukan kepada Wildan.
"Mas... aku kangen banget..." ungkap Altesa sembari memeluk erat sang suami.
Wildan hanya diam saja. Ia hanya membalas pelukan Altesa dengan lemah. Seakan tidak tertarik terhadap pertemuannya dengan Altesa.
"Mana Azka? Mas nggak bawa dia?" Altesa melepas pelukan. Dia celingak-celingukan karena berusaha mencari keberadaan anak kandungnya.
"Dia sedang sekolah." Wildan menjawab singkat.
"Benarkah? Dia pasti sudah besar sekarang. Kalau dua tahun aku koma, itu berarti usia Azka sekarang menginjak enam tahun kan?" Altesa tampak antusias.
Wildan mengangguk lemah. Senyumannya bahkan terlihat kecut.
"Terus gimana kabar ibuku? Kok dia juga nggak ada?" tanya Altesa lagi.
Mendengar pertanyaan Altesa, kepala Wildan perlahan tertunduk. Menampakkan mimik wajah sendu. Selanjutnya, barulah dia memberitahu Altesa kalau Ratna sudah meninggal dua tahun yang lalu. Tepat satu minggu setelah Altesa divonis mengalami koma.
"A-apa?! Mas bercanda kan? Tolong kasih tahu aku kalau itu nggak benar!" Altesa mengguncang badan Wildan dengan histeris.
"Maafkan aku..." perkataan Wildan menunjukkan keseriusan. Membuat Altesa tidak bisa membantah lagi. Perempuan malang itu akhirnya memecahkan tangis.
Wildan sigap membawa Altesa kembali ke dalam pelukan. Mencoba menenangkan sang istri sebisa mungkin.
Altesa cukup lama meratap dalam dekapan Wildan. Dia merasa sedih karena tidak sempat menemui ibunya sendiri.
"Kau harus beristirahat. Apa ada makanan yang sangat ingin kau makan? Aku akan membelikannya untukmu," tawar Wildan lembut.
Altesa tersenyum. Dia terenyuh dengan sikap sabar Wildan. "Mas nggak pernah berubah. Perhatiannya nggak pernah hilang," balasnya yang semakin mengencangkan pelukan.
"Wildan adalah satu-satunya orang yang selalu menjagamu, Al..." Stevan tiba-tiba menyahut. Dia tahu kalau Wildan adalah orang yang paling sering menjenguk Altesa.
Wildan segera membawa Altesa duduk ke hospital bed. Menyuruh istrinya menunggu sebentar. Sementara dirinya pergi untuk membelikan makanan.
Altesa menanti kedatangan Wildan. Kebetulan dia sendirian di kamar. Sesekali matanya melirik ke arah jam dinding.
Pintu mendadak terbuka. Namun bukan Wildan yang datang, melainkan Nirina. Perawat tersebut membawakan makanan pembelian Wildan.
"Loh, Mas Wildannya mana?" tanya Altesa terheran. Dahinya mengerut dalam.
"Katanya ada pekerjaan mendesak. Makanya makanan ini dikasih lewat aku," jawab Nirina seraya menyiapkan makanan untuk diberikan kepada Altesa.
"Oh begitu... tapi dia akan ke sini lagi kan?" Altesa memastikan.
"Itu pasti. Nggak mungkin suamimu tidak kembali ke sini. Kamu tenang saja." Nirina melontarkan kalimat yang menenangkan. Alhasil Altesa percaya dan mengangguk.
Tidak terasa hari telah malam. Akan tetapi Wildan tak kunjung datang. Altesa akhirnya mencoba menghubungi Wildan melalui telepon rumah sakit. Sayangnya, nomor Wildan tidak aktif.
"Mas Wildan pasti sibuk banget. Mungkin dia akan datang besok." Altesa berusaha berpikir positif.
Di sisi lain, Stevan baru selesai mengobati seorang pasien. Dalam perjalanan menuju kamar Altesa, dia mendapat kabar tak terduga.
"Pasienmu yang bernama Altesa sudah tidak memiliki wali lagi!" kata seorang perawat bernama Raihan.
"Apa? Maksudmu?" kening Stevan mengernyit.
"Wali yang dahulu sudah mencabut haknya untuk tidak bertanggung jawab lagi. Jadi untuk sekarang, pasien itu belum membayar biaya pengobatan!" terang Raihan.
Stevan tercengang. Dia yang selama ini menduga Wildan berhati baik, ternyata tega menelantarkan istrinya sendiri.
..._____...
Catatan Kaki :
Euthanasia : Adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghilangkan penderitaannya.
...༻⌘༺...
Satu malam berlalu. Namun Wildan tetap tidak datang. Perasaan Altesa otomatis dirundung rasa gelisah. Meskipun begitu, dia selalu mencoba berpikir positif.
Dari balik pintu, Stevan muncul dengan balutan jas putih. Ia tersenyum dan melangkah masuk ke ruangan. Menghampiri Altesa yang sudah duduk di ujung tempat tidur.
"Bagaimana? Apa pagi ini kau mau dibawa berkeliling? Kebetulan aku punya waktu luang untuk menemani," tawar Stevan dengan senyuman lembut.
"Tentu saja. Aku sudah lama menunggu untuk keluar dari kamar ini." Altesa perlahan turun dari hospital bed.
"Ayo kita pergi! Kau juga harus banyak bergerak." Stevan membukakan pintu untuk Altesa. Keduanya berjalan berdampingan menyusuri koridor rumah sakit.
Kemunculan Stevan di keramaian langsung menyita banyak pasang mata. Dokter bertatus duda itu sangat tampan dan gagah. Keramahan serta kharismanya disukai oleh banyak orang.
"Kau sepertinya punya banyak penggemar, Dokter Stevan." Altesa menyenggol Stevan dengan siku. Tersenyum mengejek, hingga membuat Stevan menggeleng malu.
"Entahlah, setiap dokter memang diwajibkan bersikap ramah. Aku tidak mungkin cemberut dan mengabaikan mereka bukan?" tanggap Stevan sambil mengulurkan dua tangan ke depan.
"Kau benar. Aku tidak akan mendatangi klinik yang dimiliki oleh dokter judes." Altesa menyetujui pendapat Wildan. Keduanya terus melangkah bersama.
"Apa kau mendengar kabar dari suamiku? Dia baik-baik saja bukan?" tanya Altesa. Menatap Stevan dengan sudut matanya.
"Emm..." Stevan menggaruk kepala yang tidak gatal. Sebenarnya dia sangat sulit memberitahukan yang terjadi kepada pasiennya. Terlebih Altesa juga baru saja sadar dari koma. Menurutnya, perempuan itu sudah cukup banyak mendengar berita mengejutkan.
"Kita bicarakan nanti saja. Lebih baik kau tenangkan pikiran dengan cara pergi ke taman," ujar Stevan sembari memegang pundak Altesa. Dia memilih untuk menutupi apa yang dilakukan Wildan untuk sementara.
Altesa mengernyitkan kening samar. Dia hanya diam dan berusaha memahami gelagat Stevan. Pria itu malah mengalihkan perhatian dengan cara menghampiri sebuah mesin pembuat kopi.
"Aku boleh minum kopi bukan?" tanya Altesa.
"Boleh. Asal jangan berlebihan," jawab Stevan seraya membuat dua gelas kopi.
Altesa terkekeh. Usai mengambil kopi, dia dan Stevan pergi ke taman. Keduanya duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang.
Stevan diam-diam melirik Altesa. Ia berusaha mencari waktu yang tepat untuk mengatakan perihal Wildan.
Altesa baru saja menyesap kopi hangat. Dia lalu tersenyum dan memejamkan mata. Wajahnya mengenai pancaran sinar matahari pagi. Kulit putih bersih yang sudah di isi sedikit lemak itu, tampak sangat cantik jelita.
Stevan justru terpaku menatap Altesa. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab ponselnya tiba-tiba berdering. Stevan segera mengangkat panggilan dari salah satu staff rumah sakit. Dia disuruh untuk melakukan sesuatu terhadap Altesa. Jika pasiennya tersebut belum bisa membayar biaya pengobatan, maka Altesa akan mendapat pengusiran serta dituntut melakukan pembayaran dengan cara apapun.
Kini Stevan tidak dapat menunda-nunda lagi. Jika bukan dirinya yang mengatakan, kemungkinan pihak rumah sakit akan memberitahu dengan cara kasar.
"Al, ada yang ingin aku bicarakan." Stevan akhirnya angkat suara.
"Apa?" Altesa langsung menoleh.
"Ini tentang suamimu... aku tidak tahu apa yang terjadi kepadanya, tapi sepertinya dia tidak akan kembali untuk menemuimu," jelas Stevan dengan raut wajah masamnya. Mengatakan kebenaran kepada pasien merupakan hal tersulit bagi seorang dokter.
Deg!
Jantung Altesa dibuat berjengit. Matanya membulat sempurna. Walaupun begitu, dia tidak langsung mempercayai apa yang dikatakan Stevan. Itu wajar saja, karena sosok Wildan selalu bak malaikat saat ada di hadapannya.
"Apa?! Itu tidak mungin! Kau pasti bercanda. Wildan akan kembali menemuiku lagi. Dia tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini! Dia bukan tipe orang yang tega berbuat begitu." Altesa menepis ucapan Stevan.
"Maafkan aku, Al... tapi Wildan sudah--"
"Cukup! Kau tidak mengenal Wildan! Bagaimana kau bisa tahu? Aku akan kembali ke kamar dan menunggu suamiku di sana." Tanpa sengaja Altesa memotong pembicaraan Stevan. Dia segera beranjak meninggalkan taman. Sebagai orang yang sudah lama mengenal Wildan, dia yakin terhadap keputusannya.
"Tapi--" Stevan kehabisan kata-kata.
Altesa berjalan menghentak menyusuri koridor rumah sakit. Dia benar-benar kesal dengan apa yang dikatakan Stevan tadi.
"Berani sekali dia menjelek-jelekkan suamiku. Mas Wildan tidak mungkin tega meninggalkanku," gerutu Altesa. Dia baru saja melangkah masuk ke kamar. Langsung duduk menghempas ke atas hostpital bed.
Tidak terasa, hari sudah sore. Altesa masih setia menunggu Wildan. Dia selalu mengusir semua pihak rumah sakit yang masuk. Sebab mereka terus berusaha memberitahukan yang tidak-tidak perihal Wildan.
Altesa terlanjur sangat mempercayai Wildan. Ia tidak terima dengan ocehan semua orang terhadap suaminya tersebut.
Perlahan sore berubah jadi malam. Penantian Altesa masih belum tergapai. Batang hidung lelaki yang ditunggunya tidak kunjung muncul.
Akibat terlalu lama menunggu, Altesa tidak sengaja tertidur. Dia meringkuk sembari menutupi separuh tubuhnya dengan selimut.
Kala waktu menunjukkan jam tiga dini hari, Altesa terbangun. Dia menemukan dirinya masih sendirian di kamar. Tidak ada Wildan, apalagi Azka.
"Kenapa Mas Wildan nggak datang-datang? Apa dia tertimpa sesuatu yang buruk?" gumam Altesa. Dia memilih turun dari hospital bed. Altesa tidak lupa untuk membawa infus ikut bersamanya.
Altesa menghampiri meja resepsionis. Lalu meminta bantuan untuk menghubungi Wildan seperti beberapa waktu sebelumnya.
Usai menghubungi nomor telepon Wildan, hasilnya tetap sama seperti dulu. Nomor itu tidak aktif.
Perawat yang bertugas di meja respsionis kebetulan adalah Nirina. Sebagai asisten yang membantu Stevan, dia tentu mengetahui masalah Altesa.
"Al... apa yang dikatakan semua orang benar. Kau harus percaya demi kebaikan dirimu sendiri. Suamimu tidak akan ke sini lagi. Dia..." ucapan Nirina terjeda, saat melihat Altesa pergi begitu saja. Perempuan tersebut belum juga berubah pikiran.
Nirina mengepalkan tinju di kedua tangan. Dia sudah tidak tahan lagi. Semakin lama Altesa tidak tahu, maka semuanya akan berdampak buruk. Alhasil Nirina keluar dari meja resepsionis. Kemudian menghentikan pergerakan Altesa.
"Wildan sudah tidak mau menjadi walimu, Al! Kau sempat ingin dituntut untuk membayar semua biaya rumah sakit! Andai Dokter Stevan tidak membantumu, mungkin kau sudah di usir dari sini!" cerocos Nirina.
Altesa terhenyak. Matanya menampakkan binar getir. "I-itu tidak mungkin... kau tidak punya bukti..." nada bicara Altesa bergetar. Hatinya mulai terasa sesak. Dia tidak ingin mempecayai fakta yang diberikan Nirina. Akan tetapi kenyataan Wildan yang tidak kunjung datang, membuatnya tidak bisa berkutik.
"Mudah... aku yakin kau tahu buktinya apa. Kau sudah dua hari menunggu Wildan, tapi lelaki itu belum datang juga kan?" tukas Nirina yang sebenarnya merasa ikut sedih.
Altesa meledakkan tangis. Dia menghamburkan air mata dengan tergugu. Perlahan dirinya tidak bisa menopang tubuh dan terduduk ke lantai.
Nirina mendekat dan memegangi pundak Altesa. "Maaf kalau aku harus begini... tapi jika kau terus keras kepala, maka sakit hatimu akan tambah parah..." ungkapnya seraya membawa Altesa masuk ke dalam pelukan. Nirina segera mengajak Altesa beristirahat di kamar.
Kini Altesa diselimuti sakit hati yang mendalam. Dia terus bertanya-tanya mengenai kesalahannya terhadap Wildan. Kenapa lelaki itu tega menelantarkannya seorang diri di rumah sakit?
Tiga hari berlalu. Altesa masih sedih atas segala ketidakpedulian Wildan. Lelaki itu memang tidak pernah kembali lagi.
Merasa bosan terus berada di kamar, Altesa mencoba berjalan keluar. Dia melenggang pelan. Sampai suara seorang wanita memanggil namanya.
"Altesa?" panggil wanita misterius itu.
Altesa lantas menoleh. Dia menyaksikan teman lamanya yang bernama Rika. Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berpelukan.
"Kau kemana saja, Al? Mana suami dan anak barumu?" tanya Rika. Menyebabkan dahi Altesa sontak berkerut.
"Maksudmu?" Altesa malah berbalik tanya.
"Semua orang mengira kau pergi ke luar negeri karena... maaf sebelumnya. Kata Wildan kau berselingkuh," jelas Rika yang merasa tidak enak.
Altesa tercengang. Dia kali ini benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Wildan. Kini suaminya tersebut menyebarkan kabar yang jelas tidak benar adanya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!