TAK! TAK! TAK!
"RINA!!! BUKA PINTUNYA RINA!"
Suara teriakan seorang pria disertai suara gedoran pintu kamar yang teramat keras membuat wanita yang dipanggil namanya tersebut seketika terjaga dari tidurnya. Tengah malam begini mendengar orang berteriak disertai suara gedoran pintu yang begitu keras tentu saja membuat terkejut.
Wanita berusia 27 tahun itu pun melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah tengah malam begini, bang Anton baru pulang. Sebenarnya dia dari mana saja? Apa kali ini dia pulang dalam keadaan mabuk lagi? Gumam Rina dalam hati.
Beberapa jam yang lalu karena kelelahan melayani beberapa orang pelanggan di salon kecil-kecilan miliknya, Rina sampai tidak sempat berganti pakaian, apalagi hanya sekedar untuk membersihkan diri sebelum merebahkan tubuhnya yang sudah teramat kelelahan karena hampir seharian ini dia berdiri melakukan serangkaian treatment pelurusan rambut pada 2 orang kliennya. Ya, Rina memiliki usaha salon kecil-kecilan. Meski pun kecil-kecilan, tapi penghasilannya lumayan.
"RINA! BUKA PINTUNYA!" Pria yang ada di luar sana pun kembali berteriak.
"I-iya, Bang! Sebentar!" Dengan terburu-buru Rina segera bangkit dari posisi berbaringnya, lalu berjalan dengan cepat membukakan pintu kamar untuk sang suami.
Ceklek. Pintu kamar terbuka lebar, sehingga menampakkan sosok seorang pria berperawakan tinggi dengan penampilan yang lumayan berantakan, disertai aroma alkohol yang cukup menyengat. Sontak saja Rina mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung lalu menutup hidungnya menggunakan sebelah tangannya. Ternyata dugaannya benar, sang suami kembali ke rumah dalam keadaan mabuk lagi.
"Buka pintu kenapa lama sekali sih?!" Pria bernama Anton itu berkata sambil menatap tajam pada istrinya.
"Kamu dari mana saja, Bang? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya Rina. Tadi pagi sebelum Anton meninggalkan rumah, dia sempat mengamuk bahkan sampai memukul Rina karena istrinya itu marah saat dirinya ketahuan mengambil uang simpanan istrinya secara diam-diam, dan uang itu adalah hasil jerih payah Rina sendiri. Rina khawatir uang itu sudah dihabiskan Anton sebelum pria itu kembali ke rumah.
Selama beberapa tahun belakangan ini, Rina lah yang bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Anton mana pernah memberikan uang belanja pada Rina. Yang ada Rina yang harus bekerja keras untuk menghasilkan uang agar bisa memenuhi segala kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan hidup mereka setiap harinya.
Setiap hari Anton kerjaannya hanya bermalas-malasan, makan, tidur, main game, keluyuran, mabuk-mabukan, minta duit, dan yang lebih parahnya lagi, Anton sering menghabiskan uang hasil keringat istrinya untuk bermain judi online. Jika Anton sedang hoki, dia akan memakai uang hasil judi itu untuk bersenang-senang dan bermain bersama wanita lain. Tentu saja hal itu di luar sepengetahuan Rina.
Padahal, saat awal-awal mereka menikah dulu, Rina itu hidup enak karena mendiang orang tua Anton waktu itu kaya raya. Namun, tidak genap 1 tahun setelah kedua orang tua Anton meninggal dunia dalam kecelakaan maut yang berhasil merenggut nyawa keduanya, yaitu tepatnya saat usia pernikahan mereka baru memasuki usia tiga tahun, Anton jatuh miskin karena semua harta warisan seperti rumah, mobil, dan tanah, semuanya habis Anton jual untuk dia pakai bermain judi dan main perempuan.
Rina saja yang bodoh. Dia masih mau memaafkan Anton meski pun kesalahan suaminya itu sudah tergolong sangat fatal. Alasannya karena Erika. Rina tidak ingin putri semata wayangnya itu bersedih karena kedua orang tuanya bercerai. Rina bertahan hingga detik ini pun semata-mata karena putrinya. Dan tentu saja Rina bertahan karena dia tidak tahu bahwa di luar sana Anton ternyata memiliki wanita idaman lain. Yang Rina tahu, Anton hanya tidak bisa menghentikan kebiasaan buruknya yang suka bermain judi, merokok, dan suka minum minuman keras.
"Bang, jawab pertanyaanku, Bang. Kamu dari mana saja?" Rina kembali mengulangi pertanyaan yang sama, karena Anton diam saja tidak menjawab pertanyaannya barusan.
"Bukan urusanmu." Dengan langkah sempoyongan khas orang mabuk, Anton berjalan menuju tempat tidur. Namun, belum sampai Anton di tempat tujuannya, Rina sudah mencekal pergelangan tangan suaminya itu.
"Bang, apa maksudmu ini bukan urusanku? Jelas ini urusanku, Bang. Aku ini istrimu. Dan, dan kamu apakan uangku yang kamu ambil tadi pagi?" Rina memberanikan diri untuk mendongak menatap Anton. Sebenarnya di dalam hati Rina sangat takut suaminya itu akan kembali memukulnya karena dia sudah berani menanyakan hal itu lagi, tapi apa boleh buat, Rina juga sangat membutuhkan uang itu.
Anton berbalik menatap tajam istrinya. Dia sangat tidak suka mendengar satu kata yang keluar dari mulut Rina, yaitu kata 'uangku', karena seolah-olah uang milik Rina hanya milik Rina saja, tidak boleh dipakai oleh Anton.
"Apa? Uangmu? Apa aku tidak salah dengar?" tanya Anton. "Rina, apa kamu lupa? Kita ini suami istri, jadi uangmu adalah uangku juga. Milik kita bersama Rina, bukan cuma kamu saja yang berhak, tapi aku juga punya hak untuk memakainya. Jadi catat dan ingat itu baik-baik."
"Tapi Bang, uang itu mau aku pakai untuk bayar sewa kontrakan. Aku juga mau memakainya untuk memeriksakan kandunganku di rumah sakit," jelas Rina. Saat ini dia tengah hamil muda. Usia kandungannya baru menginjak usia 3 bulan.
"Aku tidak peduli! Kalau uangnya habis, kamu 'kan bisa mencarinya lagi!" kata Anton. Baginya, Rina adalah mesin ATM berjalannya.
"Tapi, Bang-"
"Ah, tidak usah tapi tapi! Minggir sana!" Hanya dengan satu kali dorongan, Anton berhasil membuat istrinya itu jatuh terduduk ke lantai.
Bruk.
"Aah …! Aduh!"
B e r s a m b u n g ...
...___________________________________________...
...Hai guys! Balik lagi dengan novel terbaru aku😄 Novel ini merupakan novel lomba ya (Konflik Rumah Tangga) dengan tema 'Suami Tak Berguna' jadi jangan heran kalau sosok Anton menyebalkan seperti itu.😁 Oh iya, jangan lupa dukungannya ya biar aku makin semangat😉...
Rina hanya bisa menangis karena terus-terusan mendapatkan perlakuan kasar dari Anton. Wanita muda itu berusaha untuk bangkit seraya memegangi perutnya. Dia sangat bersyukur karena perlakuan kasar Anton barusan tidak menyebabkan dirinya kehilangan calon bayinya.
Karena sakit hati gara-gara segala perlakuan Anton, Rina pun memutuskan untuk tidur di kamar putrinya. Dia tidak ingin tidur satu kamar apalagi satu tempat tidur dengan Anton malam ini.
.
.
Keesokan paginya.
Rina terbangun karena merasakan sensasi kram disertai rasa nyeri pada perut bagian bawahnya.
Jangan-jangan, terjadi apa-apa pada calon bayiku. Apa ini gara-gara semalam aku terjatuh karena didorong oleh bang Anton? Batin Rina.
Karena mengkhawatirkan kondisi janin yang ada di dalam kandungannya, Rina pun memutuskan untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit pagi ini juga. Urusan biaya untuk membayar sewa kontrakan bisa dia cari lagi nanti setelah memastikan bahwa kondisi kandungannya baik-baik saja.
Sebelum Rina berangkat ke rumah sakit, terlebih dahulu dia harus menyiapkan makanan untuk Anton dan bekal untuk Erika bawa ke sekolah. Karena saat Anton terbangun nanti, dia pasti akan marah-marah jika tidak mendapati makanan tersaji di atas meja makan.
Dasar istri tidak becus! Tidak berguna! Mengurus seorang suami saja tidak bisa! Ya, begitulah kalimat makian yang kerap kali keluar dari mulut Anton saat dirinya tidak puas dengan pelayanan Rina. Dia mengatai Rina tanpa bercermin terlebih dahulu. Mungkin dia tidak sadar jika selama ini justru dirinyalah suami tak berguna yang tak tahu diri yang tahunya hanya merepotkan dan membebani istri saja.
Setelah semuanya siap dan Erika sudah dia antar ke sekolah, Rina pun segera bersiap-siap. Dia harus berangkat ke rumah sakit lebih pagi agar tidak kehabisan nomor antrean.
"Mau ke mana kamu sudah dandan lengkap seperti itu pagi-pagi begini?" Suara Anton seketika membuat Rina terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Anton akan bangun sepagi ini setelah pulang ke rumah dalam keadaan mabuk seperti semalam.
"Aku ... aku mau ke rumah sakit buat periksa kandunganku, Bang." Rina menjawab sembari memegang erat gagang tas yang ada di dalam genggaman tangannya. Takutnya saat Anton tahu bahwa dirinya punya uang, suaminya itu akan kembali mengambil uang itu darinya secara paksa.
"Oh, ya?" Anton berkata seraya berjalan menghampiri istrinya. Melihat hal itu, Rina semakin merasakan firasat buruk. Wanita itu pun mulai berjalan mundur. Dia ingin lari tapi takut rasa tidak nyaman di perutnya kian bertambah dan justru membahayakan janin yang ada di dalam kandungannya. Rina tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk pada calon anak keduanya.
"Bba-Bang, aku berangkat dulu, takut kehabisan nomor antrean di rumah sakit."
Baru saja Rina berhasil memutar badannya, tapi Anton tiba-tiba saja sudah mencekal pergelangan tangannya dari belakang.
"Kenapa terburu-buru sekali istriku Sayang, hm?" tanya Anton. Kini tangan pria itu sedang berusaha merebut tas yang ada di tangan istrinya.
"Bang, jangan Bang. Aku tidak punya uang lagi selain uang itu ,Bang. Tolong jangan diambil lagi," pinta Rina dengan wajah memelas. Hampir saja dia menangis. Tangannya masih berusaha sekuat mungkin untuk tidak menyerahkan tas miliknya pada Anton begitu saja.
Uang yang Rina miliki saat ini adalah uang yang dia dapatkan dari hasil meluruskan rambut 2 orang klien yang datang ke salon kecil-kecilan miliknya kemarin.
"Bang, tolong jangan diambil, Bang. Uangnya mau aku pakai untuk memeriksakan kandunganku," pintanya dengan wajah memelas.
"Lepaskan! Kalau tidak!" Anton berkata seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ingin memukul wajah Rina.
"Ah! Ampun Bang, ampun ...." Rina memekik ketakutan. Reflek sebelah tangan Rina terangkat untuk menjadi perisai di depan wajahnya.
Belum sembuh luka memar yang kemarin yang disebabkan oleh pukulan keras Anton, kini Anton ingin menambahnya lagi, tentu saja Rina tidak mau hal itu terjadi. Rasa sakit untuk luka yang kemarin saja masih terasa nyut-nyutan, masa mau ditambah lagi.
Dengan sangat terpaksa Rina pun menyerahkan tas miliknya untuk dijarah oleh Anton. Anton tersenyum penuh kemenangan saat melihat Rina menyerahkan tasnya dengan pasrah.
"Nah, begitu dong. Kamu itu jadi istri harus menurut apa kata suami, jangan suka membantah. Kamu mau jadi istri durhaka karena suka membangkang?" kata Anton.
Rina terdiam. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Anton hanya bisa membuatnya makan hati.
Istri durhaka? Kalau aku istri durhaka, lalu kamu suami macam apa, bang? Batin Rina.
Anton tersenyum lebar saat melihat isi dompet Rina. "Banyak juga rupanya. Kamu memang paling jago cari duit."
Setelah mengambil beberapa lembar pecahan uang seratus ribuan di dalam tas istrinya, Anton pun lalu mengembalikan tas itu kepada Rina.
"Nih, ambil tas kamu. Sana berangkat, nanti kamu tidak kebagian nomor antrean." Anton beranjak menuju meja makan setelah memasukkan uangnya ke dalam saku celana jeans yang saat itu dia kenakan.
Rina berjalan keluar dari rumah kontrakannya seraya menahan rasa sakit dan sesak di dadanya. Sambil menunggu angkot di pinggir jalan lewat, wanita itu pun lalu memeriksa isi tasnya. Air matanya tidak bisa lagi dia bendung saat melihat bahwa ternyata Anton hanya menyisakan selembar uang 50 ribuan di dalam tasnya.
"Astaga bang ... tega sekali kamu. Padahal janin yang ada di kandunganku ini anak kamu. Apa kamu sedikit pun tidak peduli pada darah dagingmu sendiri?" gumam Rina. Dia tidak jadi menghentikan angkutan umum. Uang segitu mana cukup untuk biaya kontrol kandungan, ditambah lagi ongkos angkutan umum pulang pergi.
"Kuatkan Mama, Sayang. Saat ini Mama sedang berusaha untuk memeriksakan keadaan kamu di rumah sakit." Rina bergumam seraya mengelus perutnya yang masih rata. Sesekali wanita muda itu menyeka air matanya yang meluncur mulus begitu saja melewati pipinya yang berwarna ungu kebiru-biruan, akibat dari pukulan Anton kemarin pagi.
B e r s a m b u n g ...
Rina terdiam dalam tangisnya. Dia memikirkan jalan keluar untuk masalah yang dia hadapi saat ini. Meski pun sekarang uang yang disisakan oleh Anton tidak seberapa, akan tetapi dia merasa tetap harus memeriksakan kandungannya di rumah sakit, tidak boleh tidak, karena takutnya terjadi masalah yang tidak diinginkan. Apalagi sejak dia bangun, dia merasa perut bagian bawahnya terasa kurang nyaman, rasanya seperti nyeri menjelang datang bulan.
"Tidak ada pilihan lain. Aku harus meminjam uang pada bu Marwah. Semoga saja bu Marwah mau membantuku," gumam Rina seraya menyeka air matanya.
Rina pun beranjak mengetuk pintu rumah tetangganya itu, setelah mengutarakan maksudnya, dengan senang hati wanita paruh baya itu meminjamkan sejumlah uang yang diminta oleh Rina.
"Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih banyak." Saking senang dan leganya, Rina sampai memeluk tetangganya itu erat-erat.
"Tidak usah sungkan, Rina. Kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri," ucap bu Marwah.
Rina merasa sangat bersyukur memiliki tetangga yang baik hati seperti bu Marwah, jadi pagi ini dia bisa langsung ke tempat tujuan utamanya, yaitu rumah sakit.
.
.
Beberapa jam kemudian, di dalam ruang Poli Kandungan/Kebidanan rumah sakit.
"Kondisi kandungan Ibu sangat lemah, sebaiknya perbanyak istirahat dan hindari stres. Jangan lupa juga untuk mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi," ucap dokter spesialis kandungan yang bernama dokter Ricko tersebut.
"Baik, Dok," jawab Rina.
Dokter tampan yang berusia kira-kira 35 tahun itu pun menatap Rina lekat-lekat. Sejak Rina masuk ke dalam ruangan, luka lebam yang ada di pipi wanita itu cukup menyita perhatiannya. Dia curiga, wanita muda yang ada di hadapannya itu mungkin mengalami KDRT.
"Itu pipinya kenapa, Bu?" Pertanyaan dokter Ricko reflek memhuat Rina memegangi pipinya sendiri.
"Oh, ini Dok, saya habis jatuh terpeleset," jawabnya berbohong.
Dokter Ricko mengangguk mengerti, antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan salah satu pasiennya tersebut pagi ini.
"Oh terjatuh, ya? Lain kali Ibu Rina harus lebih berhati-hati, demi keselamatan janin yang ada di dalam kandungan Ibu. Dan jangan lupa, minggu depan Ibu harus datang lagi ya, tapi ingat, ajak suaminya juga untuk menemani."
"Baik, Dok." Rina tersenyum kecut. Dia sangat yakin bahwa Anton tidak akan mungkin mau menemaninya.
Setelah menebus obat yang diresepkan oleh dokter Ricko di apotek rumah sakit, Rina pun segera mencari angkutan umum untuk pulang ke rumah.
Saat dalam perjalanan menuju rumah kontrakan, Rina lebih banyak termenung. Dia memikirkan ucapan dokter Ricko yang menyarankan agar dia banyak beristirahat, menghindari stres, dan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi. Tapi bagaimana caranya dia bisa memakan makanan yang bergizi, sedangkan uang yang tersisa di dalam dompetnya tidak seberapa, dan itu pun hanya cukup untuk dia pakai untuk membeli mie instan. Ya, itu pun palingan hanya cukup untuk dia makan sampai besok bersama Erika. Soal Anton, Rina tidak perlu khawatir, pasti suaminya itu baru akan pulang saat tengah malam nanti. Apalagi pagi ini Anton habis menjarah uang milik istrinya.
Untuk apa aku punya suami jika harus menderita terus-terusan seperti ini? Batin Rina, sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Rasanya dia ingin menangis, tapi coba dia tahan karena malu pada penumpang angkot yang lainnya.
Selama ini Rina sudah teramat sangat banyak menumpahkan air mata kesedihannya gara-gara perlakuan Anton. Apalagi sudah bertahun-tahun lamanya Anton seolah lupa pada kewajibannya sebagai seorang suami. Rina sudah teramat sering meminta cerai pada Anton, tapi Anton menolak dengan keras dan malah mengancam untuk membawa Erika pergi jauh jika Rina tetap nekat ingin bercerai dengannya. Rina tidak tahu kemana Anton akan membawa putri mereka. Yang jelas, Anton berkata tidak akan pernah membiarkan Rina untuk bertemu dengan Erika lagi. Tentu saja Rina tidak mau hal itu terjadi. Bagi Rina, Erika adalah segalanya untuknya.
Tidak apa jika Rina harus menderita karena hidup berumah tangga dengan Anton, dia akan coba bertahan, yang penting dia bisa tetap bersama dengan putri kesayangannya itu.
B e r s a m b u n g ...
...__________________________________________...
...Kalian udah baca tapi kok gak ninggalin jejak sih🤣 sedih aku tuh😭😭😭...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!