"Huhuhu..." suara tangisan yang menghiasi ruang kamar seorang gadis, anak perdana menteri Wang yang bernama Wang Xi Yue.
'Berisik sekali!' umpat Nara kesal dalam hati yang merasa terganggu dengan suara isak tangis ditelinganya.
Di sisi lain, ada seorang tabib yang sedang sibuk mengelap keringat dinginnya yang terus mengalir dikeningnya. Tabib tersebut tampak ketakutan karena gagal mengobati Xi Yue. Sebelumnya ia sudah di ancam akan di nonaktifkan statusnya sebagai tabib ternama apabila ia tidak dapat menyembuhkan putri seorang perdana menteri yang cukup ternama di negaranya. Ancaman tersebut berhasil membuat sang tabib harus bertanggung jawab atas apa yang sudah disepakati sebelumnya.
"Hamba sudah berusaha, tuan besar," kata sih tabib dengan nada bergetar. "Tapi... Nyawa putri tuan..." ia tidak berani melanjutkan kalimat berikutnya.
Dengan kedua mata terbuka lebar dan emosi yang sudah terpancing, tuan Rong Zhi mencengkeram pakaian sih tabib dengan erat.
"Apa kau bilang? Apa yang terjadi dengan putriku?" tanyanya dengan nada tinggi dan wajah memerah.
"I...itu..itu..." tiba-tiba tabib jadi gagap.
"Cepat katakan dengan jelas!" bentak tuan Rong Zhi.
Suasana ricuh ini membuat beberapa orang ketakutan, tapi turut mengundang perhatian beberapa orang yang penasaran ikutan masuk kedalam. Salah satu dari mereka adalah istri kedua tuan Rong Zhi, nyonya Meili.
"Tuan, ada apa?" tanya nyonya Meili yang baru tiba dengan dayang pribadinya. "Tuan, tolong redakan emosimu! Tidak baik kalau kamu marah-marah seperti ini," katanya sembari membujuk suaminya.
"Lihat apa kamu?" tanya tuan Rong Zhi pada sang tabib yang sempat menengok ke arah nyonya Meili seraya minta bantuan agar dapat meredakan emosi tuan Rong Zhi.
"A... Ampun, tuan! Ha...hamba...sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi nyawa putri tuan tidak tertolong lagi," jawab sang tabib dengan takut.
"Kamu bilang apa? Ucapkan sekali lagi!" seru tuan Rong Zhi tak percaya apa yang didengarnya.
"Putri tuan sudah meninggal," tegas sang tabib.
"Apa? Tidak mungkin putriku meninggal begitu saja. Ini pasti ulah kamu yang tidak becus mengobatinya!" tuduh tuan Rong Zhi pada tabib.
"Tuan, sudahlah! Jangan menyalahkan tabib lagi! Ini sudah takdir Yue-er (nama panggilan dari Xi Yue)," kata istri pertamanya, nyonya Su Shi.
Nyonya Su Shi berusaha melerai suaminya agar melepaskan tabib tadi yang tidak bersalah itu. Walaupun ia sendiri masih berat menerima kenyataan, tapi ia sebagai seorang ibu harus berusaha tegar.
Setelah berhasil dilerai, tuan Rong Zhi akhirnya melepaskan tabib itu. Nyonya Su Shi langsung bersujud dengan rasa penyesalannya disebelah ranjang putri tunggalnya sambil menangis meratapi putrinya yang sudah tiada.
"Tabib Song (nama sang tabib), mulai hari ini aku akan melaporkan tindakanmu yang semena-mena sehingga menyebabkan putriku Yue-er meninggal dunia pada kaisar agar usahamu dan profesimu segera dicabut dan..." ucap tuan Rong Zhi penuh dendam. "Kamu akan diungsikan di kota terlarang agar kamu hidup susah disana," lanjutnya dengan nada dingin.
Tabib Song langsung bersujud mohon pengampunan pada tuan Rong Zhi.
"Ampuni hamba, tuan! Hamba bersumpah tidak ada niat jahat pada keluarga ini, termasuk pada putri tuan. Kasihanilah istri dan anak-anak hamba yang masih kecil-kecil! Kalau kami pindah kesana, itu sama saja kami mengantar nyawa kami disana," keluhnya sambil menangis memelas diberi pengampunan.
'Kenapa mereka berisik sekali?' batin Nara makin kesal karena tidurnya terusik.
Karena sudah tidak tahan lagi, Nara bangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk diam di atas kasurnya. Semua orang terkejut dibuatnya. Mereka mundur menjauh dari Nara. Ada yang ketakutan, hingga berlari keluar. Ada juga yang bersembunyi dibalik pilar-pilar sambil mengintip. Tuan Rong Zhi juga terkejut hingga kedua bola matanya hampir keluar. Hanya satu orang yang bertahan pada posisinya. Ia tidak takut sama sekali, melainkan ada senyum haru terpancar dari wajahnya. Siapa lagi kalau bukan nyonya Su Shi, ibu kandung sih pemilik tubuh asli yang ditempati oleh Nara sekarang.
"Kenapa kalian sangat ribut? Ganggu tidurku saja!" dumel Nara pada orang-orang disekitarnya.
'Eh.. Ini dimana? Kenapa orang-orang disini memakai baju kuno?' batinnya bertanya-tanya keheranan saat mengamati sekelilingnya. 'Aku juga kenapa berpakaian seperti ini?' Ia melihat pakaian tertutup yang dikenakannya. 'Apa aku sedang bermimpi?'
'Pok! Pok! Pok! Pok!' suara tepukkan ringan yang ia lakukan saat menampar wajahnya sendiri.
'Sakit!' Ia merasakan kesakitan dari tindakannya itu. 'Berarti ini bukan mimpi, tapi aku berada di dimensi alam lain.'
Nyonya Su Shi bangun dan beralih duduk disamping putrinya. Ia menyeka air matanya sendiri dengan sapu tangannya yang selalu ia bawa kemana-mana.
"Yue-er, kamu sudah bangun? Apa ada bagian tubuhmu yang kesakitan?" tanya nyonya Su Shi khawatir sambil memeriksa keadaan putrinya.
"Kamu, siapa?" tanya Nara menatap tajam pada nyonya Su Shi.
Semua orang yang berada disana tercengang dengan pertanyaan Nara, bahkan nyonya Su Shi dibuatnya terdiam.
"Kenapa kamu diam saja? Cepat periksa putriku!" suruh tuan Rong Zhi yang paling sadar diantara lainnya pada sang tabib.
"Baik, tuan!" jawab tabib Song dengan cekatan bangun dari sujudnya.
Nyonya Su Shi memberi ruang pada sang tabib untuk memeriksa putrinya.
"Nona muda, hamba ingin meminjam tangan kiri nona sebentar," ucapnya sopan pada Nara.
Tanpa berkata apapun, Nara menyetujui permintaannya dan menyerahkan tangannya untuk diperiksa.
'Apa yang sedang dia lakukan? Apa dia sedang mengecek kesehatanku dengan cara kuno?' batin Nara yang memperhatikan kegiatan tabib tersebut.
Dengan memeriksa urat nadi pada pergelangan tangan Nara, tabib dengan teliti merasakan setiap denyutan-denyutan yang bergetar. Tidak lupa juga ia melihat dengan jelas kedua bola mata Nara sebagai alhir pemeriksaannya.
"Lapor tuan besar, nyonya besar, hamba sudah memeriksanya! Nona muda sudah dalam keadaan stabil. Arti kata, bahwa nona muda telah melewati masa kritisnya dan sembuh total dari penyakit-penyakit yang telah dideritanya sebelumnya," lapor sang tabib dari hasil pemeriksaannya.
Mendengar laporan dari tabib Song, banyak yang tidak percaya dan terheran-heran. Pikir mereka kebanyakan, bagaimana bisa orang yang sudah hampir mati dan berpenyakitan sejak kecil dapat sembih begitu saja?
"Kamu tidak main-main kan dengan ucapanmu?" tanya tuan Rong Zhi dengan tatapan tajamnya.
"Hamba tidak berani, tuan," jawabnya sambil bersujud menunduk ketakutan didepan tuan Rong Zhi. "Ini juga menyangkut nyawa nona muda, mana mungkin saya bohong."
"Tapi kenapa dia tampak seperti orang asing? Dia seperti sedang hilang ingatan," protes nyonya Meili saat menanggapi sikap Nara tadi.
Sang tabib juga merasa heran, tapi ia juga harus menemukan cara agar dapat terbebas dari ini semua.
Sang tabib juga merasa heran, tapi ia juga harus menemukan cara agar dapat terbebas dari ini semua.
"Izinkan hamba menjawab!" kata tabib Song yang masih mempertahankan posisi sujudnya. "Nona muda telah sembuh total. Ia juga tidak akan menderita lagi, hanya saja efek sampingnya yang harus ia terima adalah kehilangan ingatannya. Mengenai ini, hamba hanya bisa menjelaskan sampai disini, karena hamba sendiri baru pertama kali menemui kasus seperti ini," jelas tabib Song.
"Dasar kamu tidak becus!" maki tuan Rong Zhi pada sang tabib.
"Sudahlah, tuan!" kata nyonya Su Shi yang memegang lengan tangan suaminya seraya menenangkannya.
"Diam semua!" teriak Nara yang mendapat perhatian banyak orang disekitarnya.
"Yue-er!" panggil tuan Rong Zhi refleks.
"Kenapa kalian menindasnya?" tanya Nara saat melihat sang tabib yang diperlakukan tidak adil. "Apa kalian tidak bisa dengar dia bilang kalau aku sudah baik-baik saja?"
"Yue-er, kenapa kamu bicara seperti itu?" protes nyonya Su Shi.
"Kenapa aku tidak boleh bicara? Apa ada yang salah dengan kata-kataku tadi?"
"Yue-er, kami adalah orang tua kandungmu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Oleh karena itu, ayah memintanya agar lebih bertanggung jawab mengobatimu," timpal tuan Rong Zhi.
"Ckck!" Nara senyum menyeringai.
Nara mengibaskan selimutnya ke samping yang sedari tadi menutup tubuhnya. Kemudian, ia berdiri di hadapan semua orang.
"Lepaskan dia! Aku sudah tidak apa-apa. Kalian bisa lihat sendiri!" seru Nara tegas.
Tuan Rong Zhi menatap nyonya Su Shi dengan wajah bingungnya. Ia tidak menyangka kalau putrinya bisa bicara seperti itu dihadapannya.
"Tabib Song, kamu boleh pergi sekarang!" suruh nyonya Su Shi. "Upahmu akan kami bayar nanti lewat orang suruhan kami."
"Terima kasih, nyonya besar, tuan besar. Hamba tidak akan lupakan budi kebajikan nyonya dan tuan besar," ucap sang tabib penuh syukur sambil memberi hormat dan menunduk 30° pada tuan Rong Zhi, kedua istri tuan Rong Zhi, dan Nara.
Tanpa berlama-lama, tabib Song membawa kota perkakasnya segera meninggalkan kediaman perdana menteri Wang. Ia merasa lega karena ia baru saja terbebas dari ancaman yang hampir membuat mata pencahariannya hilang.
"Yue-er, jaga sikap dan bicaramu!" tegas tuan Rong Zhi.
"Tuan, sabar sedikit! Yue-er baru sembuh," kata nyonya Su Shi mengingatkan.
"Yue-er, bibi sangat senang kamu baik-baik saja," kata nyonya Meili datang menghampiri Nara dengan senyum manisnya.
'Kenapa dengannya? Senyumnya terlihat aneh,' batin Nara saat melihat bibinya itu.
"Yue-erku, cepat duduk sini!" ajak nyonya Meili sambil menggandeng lengan tangan Nara agar duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu yang ada di ruangan itu.
Tidak mau ketinggalan, nyonya Su Shi juga ikut bergabung dengan mereka. Setelah mereka bertiga duduk, tuan Rong Zhi pun menyusul.
"Kalian semua, keluarlah dulu!" suruh tuan Rong Zhi pada seluruh bawahannya.
"Yue-er, apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?" tanya nyonya Meili perhatian.
"Tidak ada," jawab Nara singkat.
Nara memperhatikan lagi seisi ruangan. Ia melihat banyak ornamen kuno estentik pada setiap furniture disekitarnya.
'Masa iya aku ada di zaman ini? Lalu orang-orang ini, siapa? Apa mereka adalah keluarga dari pemilik tubuh ini?' Nara memperhatikan wajah tiga orang asing yang kini berada dihadapannya.
"Yue-er, apakah kamu tidak bisa mengingat kami?" tanya nyonya Meili lagi.
Nara berdiri dari tempat duduknya. Ia tidak menjawab pertanyaan dari nyonya Meili. Ia mencari sebuah cermin untuk melihat penampakkan dirinya yang sekarang. Setelah berjalan ke meja rias, ia menemukan sebuah cermin bulat agak kekuningan. Disanalah, ia nampak jelas wajahnya yang baru.
'Wajah ini sangat polos, pucat, dan badannya terlalu kurus. Hanya sisa tulang belulang,' batinnya sambil mengomentari si pemilik tubuh ini.
"Yue-er, bibi kedua sedang bertanya, kenapa tidak dijawab?" tanya tuan Rong Zhi dengan nada tidak sabaran.
Nara langsung menengok ke arah pemilik suara. Ia juga menampakkan wajah tidak sukanya, karena tuan Rong Zhi mendesaknya.
"Maaf, aku tidak ingat siapa kalian!" ucapnya tiba-tiba dengan gaya angkuhnya.
Tuan Rong Zhi langsung berdiri dari tempat duduknya. Matanya menatal tajam ke Nara.
"Sabar, tuan! Yue-er kita baru sembuh dan bukankah tabib Song sudah memberitahu kita kalau Yue-er telah hilang ingatan karena efek kesembuhan dari penyakitnya?" Nyonya Su Shi berusaha membujuk suaminya agar tidak marah pada putri mereka.
"Hm..." hela tuan Rong Zhi yang akhirnya harus terpaksa sabar. "Yue-er, aku adalah ayah kandungmu. Namaku Wang Rong Zhi, seorang perdana menteri kesehatan ternama di negara ini," katanya sambil memperkenalkan dirinya. "Wanita disamping kiriku ini adalah ibu kandungmu, namanya Lim Su Shi. Sedangkan yang disebelah kananku ini adalah bibi keduamu yang bernama Xu Meili," lanjutnya sambil memperkenalkan kedua istrinya.
*Wang Rong Zhi (ayah kandung Yue-er)
*Lim Su Shi (ibu kandung Yue-er)
*Xu Meili (istri kedua tuan Rong Zhi atau bibi kedua)
"Baiklah! Aku akan mengingat kalian mulai sekarang. Jadi...tadi kalian memanggilku Yue-er. Apa itu namaku?"
"Iya, tentu saja, nak. Itu adalah nama panggilan kesayangan kami untukmu," jawab nyonya Su Shi dengan nada lembut ciri khasnya.
"Tapi aku tidak menyukai nama itu."
"Apa? Kau..." tuan Rong Zhi menahan amarahnya lagi, tapi langsung dibujuk oleh nyonya Su Shi.
"Maaf membuat ayah dan ibu kecewa! Aku tidak menyukai nama yang kalian berikan, karena nama itu hampir membuatku kehilangan nyawaku. Mulai sekarang, aku ingin dipanggil Nara!" pintanya.
"Tidak bisa! Nama yang kami berikan sebelumnya adalah nama dari langit. Tidak bisa seenak kamu ingin merubahnya begitu saja," protes tuan Rong Zhi.
"Oooo...jadi ayahku ingin melihat putrinya mati untuk kedua kalinya?" tanyanya dengan nada mengancam.
"Lancang!" seru tuan Rong Zhi dengan nada tinggi.
"Tuan, tidak ada salahnya dia berganti nama. Aku rasa, apa yang dia ucapkan adalah benar. Kadang kala, kita tidak tahu apakah nama kita akan cocok dengan nasib kita atau tidak. Buktinya Yue-er telah mengalami penderitaannya sejak kecil dan belum lagi ia telah melewati masa kritisnya. Benar bukan, kakak?" bela nyonya Meili dan ia berharap dapat dukungan dari nyonya Su Shi.
"A... Aku.." kata nyonya Su Shi bingung mengambil keputusan.
Nara tersenyum. "Ibu!" panggilnya pada nyonya Su Shi.
"Ya, nak!" jawab nyonya Su Shi.
"Apa ibu juga tidak bersedia mengganti namaku? Apa ibu sama seperti ayah yang hanya suka dengan namaku sebelumnya yang membawa kesialan itu?"
"Jaga ucapanmu!" bentak nyonya Su Shi. "Kamu tidak boleh bicara sembarang!" larangnya lagi.
"Jaga ucapanmu!" bentak nyonya Su Shi. "Kamu tidak boleh bicara sembarang!" larangnya lagi.
"Hahahaha..." tawa Nara yang membuat mereka bingung. "Kalian berdua... Apakah benar adalah orang tua kandungku?" tanyanya memandang sepeleh kedua orang tuanya.
"Yue-er, kamu kenapa bisa seperti ini? Kamu berbeda dengan Yue-erku yang dulu," protes nyonya Su Shi.
"Tentu saja aku berbeda. Aku bukan Yue-er kalian yang dulu lagi, tapi sekarang... aku adalah Nara," ucapnya congak. "Aku tidak akan menuruti perintah siapapun bagi yang tidak memanggilku Nara," lanjutnya bersikukuh.
"Yue..." Nyonya Meili hampir saja keceplosan. "Nara!" Akhirnya ia terpaksa menyebut nama asing itu. "Nara, kamu harus memberikan mereka waktu untuk berpikir sejenak, karena masalah nama keluarga ini tidak boleh main-main. Apalagi ayahmu adalah seorang terkemuka. Apa kata orang-orang diluar sana, kalau saja kamu ganti nama terang-terangan seperti ini?"
"Apa peduli orang-orang diluar sana? Apa mereka dapat membantu kalian saat sedang kesulitan? Apa mereka yang membayar kalian? Apa mereka juga yang menjamin kehidupan kalian sampai sekarang ini?"
"Tentu saja, bukan," jawab nyonya Meili.
"Kalau bukan mereka, untuk apa berpikir terlalu jauh tentang sebuah nama? Aku masih bisa memakai marga ayahlu didepan namaku dan aku hanya mengganti nama belakangnya saja. Kenapa dipersulit?"
"Bagus! Bagus!" puji tuan Rong Zhi sambil tersenyum lebar hingga membuat nyonya Su Shi tidak nyaman, karena ia takut anaknya disakiti. "Setelah aku dengar semua ucapanmu, aku akan menyutujui tentang pergantian namamu."
Kedua istri tuan Rong Zhi terkejut mendegar keputusan suami mereka. Bagaimana bisa seorang yang keras kepala melebihi batu, bisa menyetujui permintaan seorang anak kecil seperti Yue-er? Mereka tercengang bercampur dengan rasa takut didalam hati mereka, karena suami mereka kadang lain dihati lain dimulut.
"Benarkah?" tanya Nara memastikan dan segera diberikan anggukkan kecil sebanyak dua kali oleh tuan Rong Zhi.
"Tuan, anda tidak main-main dengan ucapanmu, kan?" tanya nyonya Su Shi ikut memastikan.
"Tentu saja aku tidak main-main dengan ucapanku," jawabnya yakin. "Putriku yang sebelumnya sangat lemah, terlalu pendiam, pasif dalam segala hal, tapi semenjak ia bangkit kembali dengan nama barunya, aku dapat melihat sisinya yang banyak kesamaan dengan diriku, yakni sifat keras kepala akan keberaniannya dan kegigihannya," komentar jujur tuan Rong Zhi yang memuji Nara.
Setelah mendengar ucapan tuan Rong Zhi, para istrinya dapat bernafas lega. Pikiran negatif sebelumnya juga sudah sirna. Rasa takut mereka sudah berganti dengan senyuman yang merekah penuh haru.
"Putriku... Nara!" panggil tuan Rong Zhi dengan senyum puas. "Bolehkah ayah memelukmu?"
Tanpa menjawab apapun, Nara mengizinkan ayah Yue-er memeluk dirinya. Mereka berpelukkan di depan kedua istri tuan Rong Zhi yang menjadi saksi awal kebahagiaan Nara di kediaman perdana menteri Wang.
*****
Di sebuah gajebo klasik halaman keluarga Wang..
Mendengar Xi Yue sembuh dan telah hilang ingatan, membuat para saudara-saudari tirinya senang. Mereka berpesta kecil ditemani teh dan beberapa kudapan ringan.
"Shiya, apa kau dengar kalau Xi Yue kemarin dimarahi oleh ayah karena dia berani membangkang?" tanya Li Xun, kakak laki-lakinya.
"Benarkah?" tanya Shiya memastikan kebenaran ucapan kakaknya barusan.
"Tentu saja, benar. Apa kakak pernah membohongimu?"
"Kakakku ini paling baik dan jujur sejagad raya, mana mungkin membohongi adiknya yang cantik ini," kata Shiya yang jago menjilat.
"Entah gimana nasibnya sekarang?" tanya Li Xun dengan senyum menyeringai.
"Matilah dia!" umpat Yun Xiang sambil tersenyum puas membayangi Xi Yue yang sedang dihukum oleh ayah mereka. "Semoga dia kena hukuman yang berat dari ayah!" harapnya.
"Kalian tidak boleh bicara seperti itu pada kak Xi Yue!" kata Ji Cheng yang sudah berani pasang badan bela Xi Yue.
"Heh bocah kecil, aku adalah kakak kandungmu. Kenapa kamu malah membela Xi Yue jelek itu?" protes Yun Xiang sambil berkacak pinggang.
"Karena dia lebih baik daripada kamu," sahut Ji Cheng.
Yun Xiang yang terpancing emosi, akhirnya menjewer telinga Ji Cheng dengan kuat.
"Aw! Aw! Aw! Sakit! Sakit!" kata Ji Cheng sambil menahan rasa sakit pada telinganya yang sudah memerah.
"Hahahaha...." tawa saudara saudari lainnya yang ikut menyaksikan kejadian itu.
"Lepaskan! Cepat, lepaskan!" pinta Ji Cheng yang sudah tidak tahan lagi.
"Siapa suruh kamu lebih membela gadis jelek itu? Rasakan kekuatanku!" kata Yun Xiang tidak mau melepaskan Ji Cheng, malah menambah kekuatannya menarik telinga Ji Cheng hingga hampir menangis.
"Aku akan adukan pada ayah dan ibu, agar kau dihukum," ancam Ji Cheng tengah menahan sakit.
"Coba saja kalau berani! Aku ingin lihat, ucapan siapa yang paling dipercaya oleh ayah dan ibu."
Karena Ji Cheng masih kalah tinggi dari Yun Xiang, ia hanya bisa menginjak salah satu kaki Yun Xiang dengan sekuat tenaga untuk membebaskan diri.
"Aaaaaa.....!!!" teriak Yun Xiang kencang karena kesakitan.
Kini, giliran Yun Xiang yang berjingkrak-jingkrak kesakitan.
"Dasar anak nakal!" umpat Yun Xiang kesal.
"Blek!" ledek Ji Cheng sambil menjulurkan lidahnya seraya meledek Yun Xiang.
"Rasakan ini!" seru Yun Xiang yang hendak menampar Ji Cheng.
Yang lain hanya menjadi penonton saja tanpa mau campur tangan memisahkan kedua kakak beradik itu. Untung saja Nara tiba tepat pada waktunya, sehingga ia dapat menahan tangan Yun Xiang yang hampir mendarat ke wajah Ji Cheng.
"Siapa yang menahanku?" tanya Yun Xiang tidak senang, karena ada seseorang yang menggenggam pergelangan tangannya.
Sontak ekspresi saudara saudari tirinya terkejut saat melihat penampakkan Xi Yue sudah berada diantara mereka.
"Aku," jawab Nara hampir membuat kedua bola mata Yun Xiang keluar.
Yun Xiang berontak agar tangannya segera dilepaskan, tapi Nara malah menambah kekuatannya agar Yun Xiang kesakitan.
"Aw! Aw! Aw!" jerit Yun Xiang kesakitan. "Kamu berani melawanku?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Kenapa? Sakit, ya?" tanya Nara dengan senyum menyeringai.
"Kau!" seru Yun Xiang yang akan menampar Nara dengan tangan yang satunya.
Untung saja Nara gerak cepat, sehingga saat tangan Yun Xiang melayang, Nara dapat mengelak dan tidak mengenainya melainkan mengenai yang lain.
'Plak!' suara tamparan keras mengenai wajah Shiya.
Shiya tidak dapat mengelak saat itu. Kini pipinya merah, panas, dan meninggalkan bekas tanda tapak lima jari disana.
"Yun Xiang, kenapa kau menamparku?" protes Shiya sambil memegang bekas tamparan itu.
"Shiya, aku sama sekali tidak berniat menamparmu, tapi dia..." kata Yun Xiang sambil menatap tajam Nara penuh amarah. "Dia yang seharusnya menerima tamparanku."
"Ckckckck!" Nara tersenyum tipis dengan ulah para saudarinya tadi sambil melepaskan tangan Yun Xiang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!