NovelToon NovelToon

First Sight

Prolog

“Kita udah telat, teman-teman. Itu kertas pengumumannya udah ditempelin!!” Seru Tyas, temanku di Ekstrakurikuler Paskibra ini. Sekarang kami sudah berada di PPI (Purna Paskibraka Indonesia) Kabupaten Jombang untuk melihat pengumuman hasil tes yang akan menentukan nasib kami apakah tetap menjadi Paskibra Sekolah ataukah naik ‘pangkat’ menjadi Paskibra Kabupaten.

Dan hari ini, di tengah terik mentari Jum’at yang begitu membakar, kami datang telat karena berbagai alasan. Ada yang nggak bawa motor, jadi harus kesana kemari pinjam motor, ada juga yang lama banget nggak datang-datang. Kalau bukan kami adalah anak Paskibra, yang apapun hal yang akan terjadi harus tetap sama-sama, kami sudah meninggalkan itu anak dari tadi.

Sesampainya di PPI, sudah banyak anak dari sekolah lain yang datang dengan tujuan sama yaitu melihat pengumuman tersebut. Kami sempat pesimis melihat anak-anak dari SMA lain. Mereka rata-rata mempunyai tinggi lebih dari 165 cm bagi yang cowok dan 160 cm bagi yang cewek dengan berat badan ideal. Sedangkan teman-temanku, hanya bisa dihitung dengan jari yang diatas 160 cm. Baik cowok maupun cewek. Tapi karena memang kami adalah ‘kecil-kecil cabe rawit', maka kami dituntut untuk mempunyai mental baja.

Kami pun melaju ke papan pengumuman yang sudah banyak anak itu dengan hati berdebar. Kami melangkah mantap, tapi sebenarnya dalam hati, kami tak dapat memungkiri jika kami pesimis. Dan aku, salah satu yang pernah diberi semacam amanat oleh Bang Jaya, pendiri Paskibra Sekolah kami, bersimbah keringat memikirkan kata-kata beliau yang terus terngiang dalam hati dan pikiranku. Beliau berpesan, “Kamu adalah harapan kami, dan kamu adalah salah satu yang mampu membawa nama PRASAKA (Paskibra SMAN 1 Karunia) ini menjadi lebih baik. Berjuanglah menjadi seorang Paskibra sejati. Gapailah segala kesempatan dimana PRASAKA bisa menjadi yang terbaik.”

Dan kakak-kakak seniorku pun berfikiran sama karena memang aku diuntungkan dari segi fisik. Tinggiku 165 cm dan berat badanku 55 kg. Dari segi administrasi aku sudah jelas lolos. Dan, wajah. Tak dapat dipungkiri jika menjadi seorang Paskibra harus mempunyai ‘tampang’ yang enak dilihat. Tidak hanya cantik, tapi kemenarikan dan aura tersendiri juga harus dimiliki. Aku sempat berfikir hal itu sebaiknya tidak harus dimasukkan kriteria seorang Paskibra. Karena cantik itu relatif dan aku tidak ingin diistimewakan gara-gara mempunyai tampang yang lumayan.

Baiklah, kembali ke dunia ini, dimana terik mentari masih membakar badan kami dan kami sudah tak tahan melihat pengumuman yang jaraknya masih jauh itu. Kami sempat frustasi melihat keadaan sekitar papan pengumuman yang sudah banyak anak dan berjubel tak karuan seperti antri BLT tersebut. Tapi karena rasa penasaran kami, kami pun tetap melaju.

Kami semakin dekat ke papan pengumuman saat beberapa anak cowok yang hanya dapat melihat dari belakang berbalik dengan wajah sumringah dan sangat bahagia. Agaknya mereka sudah berhasil membawa nama baik sekolah dan Paskibra sekolah mereka. Mereka pun berjalan berlawanan arah dengan kami sambil tertawa bahagia. Sampai melihat jalan pun sudah tak berarti lagi agaknya bagi salah satu personil kelompok tersebut yang berjalan paling depan dari semuanya. Arah jalannya lurus denganku, dan saat aku menatap matanya, aku teringat kejadian tepat 2 bulan yang lalu.

**************

Selamat membaca 😊

Semoga suka...

Like, komen, dan vote ya... ☺☺☺

1. Awal Mula

Saat itu kami mengikuti lomba PBB Dasar, Kreasi dan Formasi Paskibra SMA-SMK se-derajat tingkat Jawa Timur yang diselenggarakan oleh SMAN 2 Jombang, GELEGAR (Gerak Langkah Kreativitas Generasi Paskibra), yang bertempat di GOR (Gedung Olah Raga) Jombang. Dan apa hubunganku dengan dia???

Dia adalah Danton (Komandan Pleton) dari pasukan Paskibra SMAnya, SMAN 1 Prapanca Jombang. Dan SMA tersebut adalah rival Battle PBB Kreasi kami.

Dari awal kami menginjakkan kaki di halaman depan GOR Jombang, pundak kami terasa kaku oleh beban tanggung jawab yang kami emban. Semua orang menasehati kami bahwa menang adalah bukan segalanya. Tapi tunjukkanlah penampilan yang terbaik. Dan kami tidak hanya punya pemikiran sampai disitu. Kami harus menang untuk membuktikan kepada semua orang yang ikut maupun tidak ikut berkecimpung dalam dunia Paskibra kami bahwa kami mampu membawa nama Paskibra SMAN 1 Karunia (PRASAKA JAYA) menjadi yang terdepan.

Dan kami pun melenggang maju dengan hati yang dipaksa mantap. Melewati meja absensi, pemeriksaan tas, dan stempel anggota badan. Kemudian kami menaiki tangga tribun peserta dengan hati dag dig dug tak karuan. Sesampainya diatas, kami juga sudah melihat banyak peserta lain dari SMA-SMA baik dari dalam kota ataupun luar kota. Aku tercenung melihat mereka begitu optimis dalam menghadapi apa yang ada di depan mereka saat ini. Sangat berbeda jauh dari diriku sekarang. Menanggung beban nama baik banyak orang. Dan saat ini aku semakin pucat melihat wajah-wajah mereka, benar-benar aku tak layak diperhatikan jika mereka memperhatikanku sekarang, karena aku sendiri tak dapat tidur semalaman.

Kami menempati tribun kami dengan sangat tidak percaya diri, sedikit salah tingkah, walaupun kenyataannya tak ada yang memperhatikan siswa-siswi anggota Paskibra sekolah pinggiran seperti kami. Aku memilih duduk 2 tingkat dari bawah, melepas tas, duduk tenang, membaca sholawat dan terus mengingat apa saja aba-aba yang harus aku berikan saat kami berlaga nanti. Karena aku adalah Danton-nya, maka aku adalah sentral dari semuanya. Sukses atau tidaknya, sedikit lebih banyak tergantung dari aku. Aku sempat pusing mendadak memikirkan hal ini.

Beberapa menit kemudian, kawanan rival kami, Paskibra SMAN 1 Prapanca datang. Mereka melangkah mantap seperti pasukan Rasulullah berangkat perang. Mereka menempati bagian tribun sebelah kanan kami, karena mereka memang mendapat urutan tampil nomer 4 dari 32 peserta SMA se-Jatim.

“Yang mau ke kamar mandi mendingan sekarang aja. Sebelum nanti Upacara Pembukaan!” Seru Mas Fariz Pelatih Paskibra kami sekarang.

Dan mendadak bagai tersengat listrik di bagian perut bawahku, aku pun merasakan sensasi itu. Begitu menyesakkan.

“Eee… Rin, ikut aku ke kamar mandi yuk! Aku kebelet pipis nih…” Ajakku pada temanku Rina.

“Iya deh Nin, aku juga kebelet pipis!” Kata Rina. Dan kami pun izin ke Maz Fariz untuk turun ke kamar mandi.

Tapi agaknya jalanan tribun tidak bisa diajak kompromi. Banyak peserta yang masih sliwar-sliwer tak karuan. Ada yang baru datang, ada yang entah kemana, ada juga yang sejalan dengan kami, ke kamar mandi. Di tangga utama apalagi… Hanya satu per satu anak tangga kami bisa turun dengan jarak waktu yang cukup lama. Padahal rasa kebelet kami seakan sudah sampai ke ubun-ubun. Satu pelajaran penting kalau kalian suka nervous jadi orang, jangan pernah melupakan rasa pengen pipis, karena kalau kalian sudah ingat panggilan alam itu muncul, rasa itu bisa mencekikmu sampai ke ubun-ubun.

Dan di tangga utama inilah, awal dari semua hal terjadi. Aku turun, dan dia naik. Entah karena sebab apa dia memandang nomer dadaku seperti itu, yang memang waktu itu aku tempatkan di dada sebelah kiri. Dan pandangan itu serentak ke atas ke arah mataku. Lama. Dan memang diuntungkan oleh kepadatan orang-orang yang lewat disekitar kami. Pandangan itu hangat, indah, menyentuh, dan yang paling membuatku tak tahan adalah seperti mengulitiku. Padahal hanya sebatas lewat mata. Tapi seakan sedikit celah hatiku terbuka karena melihat makhluk semenarik dia. Dia mempunyai postur yang lumayan. Dengan tinggi sekitar 175 cm atau lebih, badan ideal, kulit sewarna madu yang seksi, dan mata indahnya, mendukung penampilan dia yang juga seorang Danton. Tapi aku tak sempat melihat dia nomer urut berapa, karena dia kelihatannya sengaja membalik nomer dadanya tersebut. Semoga saja bukan nomer 4, do’aku dalam hati. Kalau misal dia nomer 4, maka dia adalah rivalku.

Pandangan itu kuakhiri duluan karena jarak kami juga sudah lumayan jauh. Terasa aneh kalau kami terus saling pandang. Dan bagai tersengat listrik lagi di daerah perut bawahku, sensasi itu kembali ada. Akupun mencekeramnya dan sambil menggandeng tangan Rina, dia pun ku ajak berlari ke kamar mandi.

“Gimana, puas mbak???” Canda Anggis, salah satu temanku.

“Huh… Berjubel banget di tangga. Kayak antri BLT!” Sahutku. Dan akupun kembali duduk di tempat dudukku tadi. Terasa lega karena sensasi menyesakkan itu sudah hilang. Ganti sekarang kembali berkosentrasi ke aba-aba dan terus membaca shalawat.

Tapi tak lama kemudian kudengar suara-suara yang seakan dekat banget di telingaku. Ku biarkan saja karena memang kami dengan sekolah-sekolah lain hanya dipisahkan oleh tali rafia. Aku toleh ke arah teman-temanku. Mereka semua diam. Hanya OT (Official Team) kami yang berbincang dengan Mas Fariz. Dan itupun dengan sangat perlahan, bahkan aku tak mendengarnya. Lalu siapa yang ngomong seenak udelnya sendiri ini?

Lamat-lamat kudengarkan pembicaraan mereka.

“Gimana perkembangan paskib sekolah kamu Do?” Kata salah satu suara yang lumayan enak didengar.

“Biasa-biasa aja San. Gak ada perkembangan yang berarti. Kalau kamu sendiri gimana?” Sahut satunya.

“Emm… Sama sih sebenarnya. Cuma kami berusaha agar apapun yang ada di depan kami dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Termasuk event GELEGAR ini. Soalnya kapan lagi kami bisa unjuk gigi seperti ini. Tapi…”

“Tapi apa???”

“Rival kami nggak sepadan. Gimanapun kami berusaha buat bisa mengungguli mereka, tetap aja kami pesimis. Kayaknya mereka mendobrak kali ini.” Kata suara yang lebih enak didengar tersebut.

“Emang siapa rival kalian??” Tanya salah satunya.

“Tuh…” Si suara lumayan menunjuk. Tapi aku tak berani menoleh ke arah yang ditunjuk oleh dia. Karena dengan aku menoleh, maka akan terbongkar kedokku sebagai penguping. Maka akupun tetap mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan.

“Hahahaha….. Mereka??? Beneran San??? Kok aku nggak tahu ya kalau mereka lawanmu? Berarti kamu nomer urut 4??”

“Iya… Nih!!” Dan si suara lumayan tersebut seakan menunjukkan sesuatu ke satunya. Entah apa yang ditunjukkannya tersebut karena aku juga nggak mungkin menoleh ke arah mereka hanya untuk pengen tahu apa yang ditunjukkannya.

Tapi… Aku jadi berfikir, berarti si suara merdu tersebut adalah salah satu dari anggota Paskibra SMAN 1 Prapanca yang sekarang berada di sebelah kananku. Tapi yang satu ini melesat sendiri seakan tak perlu berdo’a di tempat duduknya sendiri, malah harus berkunjung ke tribun peserta dari SMA PGRI 2 Jombang yang berada di sebelah kiriku. Terus kuperhatikan saja apa perbincangan mereka.

“ Hahaha… Yang sabar aja ya… !!!” Komentar satunya.

“Yahh… Kamu jangan gitu dong Do. Kami kan udah berusaha keras banget buat nunjukin yang terbaik. Kami gak mau dong kalau keringat kami diinjak-injak sama mereka. Aku sendiri sih nggak peduli mereka siapa, punya reputasi apa, punya prestasi apa, atau bentuk formasi pasukan yang gimana. Mereka tetap rival kami. Dan kami harus lebih baik dari mereka.” Sembur si suara merdu dengan semangat yang berapi-api.

“Hahaha… Oke Hasan… Aku ngerti gimana semangat kamu bawa nama SMA kamu dan Paskibra Sekolah kamu. Tapi liat mereka juga San. Mereka itu kuda hitam. Kapanpun mereka bisa mendobrak kalau mereka mau.” Kata yang satunya dengan suara polos dan tidak dibuat-buat.

Aku jadi berfikir lagi, apakah yang dimaksud si suara merdu itu adalah SMA ku. Karena tadi dia menunjuk sesuatu yang sekiranya adalah tempat SMA ku, dibuktikan dengan dia mendapat nomer urut 4. Berarti memang yang dimaksud kuda hitam oleh yang satunya adalah SMA ku. Tapi… Ah… Itu nggak mungkin. SMA ku nggak mungkin sampai dipertaruhkan menjadi kuda hitam seperti itu. Biasanya malah tak pernah terfikirkan oleh kalangan SMA-SMA kota.

“Udah lah San… Dijalani aja dulu. Soal menang nggak menang itu urusan belakangan. Yang penting kita bisa tunjukkan yang terbaik yang udah kita siapkan selama ini.” Kata yang satunya.

“Tapi aku nggak puas kalau nggak bisa kalahkan mereka. Paling nggak suporterku bisa berteriak mengejek lah. Kan jarang-jarang kita bisa buat malu SMA Karunia! Hahaha…”

Dan darahku berdesir mendengar nama itu. Tuh kan… Aku serentak tegak dan menoleh ke arah mereka. Ternyata mereka memang duduk tidak jauh dariku. Hanya berjarak 1 tingkat dan sedikit lebih ke kiriku. Kuperhatikan si suara lumayan yang ngomong terakhir tersebut. Dan dia pun juga memandang ke arahku. Dan ternyata dia adalah si mata indah. Seseorang yang aku temui di tangga tadi. Aku tak menyangka jika kami akhirnya bertemu lagi. Dan yang paling membuatku tak percaya adalah bahwa dia sedari tadi membicarakan aku dan kawan-kawanku. Dan berniat untuk membuat kami malu. Ku telusuri ke bawah ke arah nomer dada dia yang terpancang di sebelah kanan. Tercetak dalam kertas karton berwarna biru dan melingkar itu nomer 4. Aku sekejap menganga dan tak sanggup lagi berkata-kata. Ternyata dia…..

Aku kembali duduk dan mukaku merah seperti penggorengan panas.

“Ya Allah… Kenapa ini harus terjadi???”

Bersambung

**************

Selamat membaca ☺

Semoga suka...

Tetap baca lanjutan ceritanya ya... Akan semakin asyik lho 😉

Like, komen, dan vote ya...

Terima kasih 😘

2. Pertempuran Pun Dimulai

Peraturan GELEGAR kali ini sedikit beda dari tahun kemarin. Diantaranya adalah PBB Kreasinya disendirikan dan dibuat Battle dengan peserta nomer urut selanjutnya. Seperti kami, kami mendapat nomer urut 3, itu artinya kami Battle Kreasi dengan nomer urut 4. Dan itulah masalahnya kini, nomer urut 4 itu adalah SMAN 1 Prapanca. Yang kalau dinilai dari segi kualitas masih kalah dari kami. Tapi semangat mereka untuk mengalahkan kami, terutama dari yang ku dengar tadi dari seseorang bernama Hasan, Danton-nya itu, bahwa mereka harus bisa mengalahkan kami. Kenapa harus kami?? Kenapa tidak SMA-SMA kota seperti SMA 3 Jombang, SMA 1 Jombang, atau SMA tetangga, Mojokerto?? Atau SMA-SMA luar kota yang sering jadi langganan juara. Seperti SMAN 1 Malang, SMAN 5 Kediri, atau SMK KAL 1 Surabaya. Mereka lebih layak diperhitungkan. Tapi itu tak penting sekarang. Yang terpenting adalah aku harus segera memberi tahu temanku agar benar-benar menunjukkan yang terbaik. Karena sekarang kami juga benar-benar ‘under pressure’ dari SMA Prapanca.

“Teman-teman, dengerin aku bentar ya. Aku harap kalian konsentrasi dengan aba-abaku. Jangan dengarkan sedikitpun suara-suara di luar sana. Tetap konsentrasikan pada satu suara yaitu aba-abaku. Tampilkan yang terbaik. Karena aku tahu kita dicap kuda hitam oleh beberapa sekolah. Kita gunakan kesempatan ini untuk mendobrak. Terutama kalau kalian bisa mengalahkan SMA Prapanca, itu lebih baik.” Pesanku kepada teman-temanku saat sebelum terjun ke lapangan.

“Kenapa harus SMA Prapanca Nin?” Tanya Tita.

“Sudahlah, pokoknya ada aja….” Jawabku.

“Panggilan ditujukan kepada SMA Negeri 1 Karunia, agar segera memasuki lapangan.” Terdengar panggilan dari panitia. Dan segera kami turun tribun untuk menuju ke lapangan.

Sebelum aku berjalan turun dari tempat dudukku, pandangan indah itu kembali menghampiriku. Aku harus menahan rasa tak jelas ini karena hatiku sendiri sudah dag dig dug tak karuan. Aku lemparkan selayang pandang untuk membalas tatapan dia. Dan dia tersenyum. Senyum yang memukau tapi juga menyimpan misteri.

“Langkah tegap majuuu---- jalan!” Lantangku untuk memulai semua usaha keras kami ini. Aku dobrak semangat teman-teman untuk mengeluarkan kemampuan terbaik yang mereka punya.

“PRA-SA-KA-JAYA…” Itulah awal mulai kita mendobrak. Menunjukkan bahwa kita adalah Paskibra SMA Negeri 1 Karunia. Dan serentak satu GOR bergemuruh menyaksikan kreasi dobrakan kami. Selanjutnya sebagai awalan adalah aku laporan ke Dewan Juri. Kemudian menempati kotak Danton yang berada di sebelah kanan Juri Utama. Hatiku sudah dag dig dug deer tak karuan campur aduk jadi satu seperti gado-gado. Tapi aku berusaha mengontrol hati ini. Hal itu diperparah dengan berkumpulnya kakak-kakak seniorku ditengah tribun penonton. Mereka menampakkan wajah-wajah sumringah memberi semangat kepada kami. Tapi kenyataan itu mendorongku untuk kembali konsen kepada aba-aba yang harus aku lancarkan karena waktu juga sudah berjalan.

Kemudian setiap PBB Dasar terlalui dengan lancar. Ada yang menurutku baik, cukup, bahkan kurang. Entah pendapat Dewan Juri seperti apa. Yang terpenting sekarang adalah berusaha menjalankan apa yang sudah kami programkan dengan baik.

PBB Dasar terlalui. Kemudian beranjak ke Formasi dan Yel-Yel. Selanjutnya Tutup Formasi yang didahului dengan yel terakhir yang mendobrak. Serentak seluruh GOR bergemuruh. Kemudian aku keluar dari kotak Danton untuk laporan terakhir, selanjutnya menuju ke barisan dan keluar dari lapangan sementara untuk beristirahat.

Kami bisa sedikit bernafas lega ketika aku memberi aba-aba untuk istirahat di tempat. Dan kami disuguhkan dengan pemandangan lawan kami yang berlaga. Aku heran dengan sendirinya, karena aku tak dapat sedikitpun mengalihkan pandangan dari Hasan. Danton SMA Prapanca yang bernomor dada 4 tersebut. Dia terlalu menarik untukku. Terlebih dengan pandangan misteriusnya dan mata indahnya. Oh Tuhan… Apa maksud semua ini?

Dia menempati kotak Danton dengan keyakinan yang mantap dan seakan-akan benar-benar menunjukkan mental juara. Aku mendadak pindah haluan saat memikirkan ini. Tubuhnya yang gagah, suaranya yang lantang membelah GOR, sudah tak terlihat lagi di depanku. Apalagi saat aku teringat niatnya tadi untuk mengalahkan SMA ku. Yang ada adalah dia sebagai batu yang siap membuatku jatuh kapan saja. Dan aku harus menyingkirkan batu itu jika tidak ingin terjatuh.

Saatnya bagi mereka untuk mengakhiri perjuangannya di putaran pertama. Putaran kedua inilah yang paling ditunggu-tunggu. Mereka sudah stand by di lapangan bagian kanan dari Juri Kreasi. Dan pasukanku pun datang. Menempati posisi lapangan bagian kiri. Kemudian Wasit Battle menempati posisinya dan menyiapkan kedua pasukan yang ada di depannya.

Aku sudah menempati kotak Danton kedua sebelum Hasan menempati kotak Danton pertama.

“Pleton satu siap?” Seru Wasit Battle.

“SIAP!!” Jawab kami memecah sorakan penonton yang sudah menggelegar.

“Pleton dua siap?”

“SIAP!!” Jawab Pleton SMA Prapanca dengan tak kalah lantangnya dari kami. Tapi memang disana banyak cowoknya. Ada 10 cowok, sedangkan pasukanku sendiri hanya 3 cowok. Selebihnya cewek. Oohh… Sungguh tak adil. Tapi kami memang minim cowok. Disaat aku asyik memikirkan ini, yang sebenarnya tak penting, suara Wasit Battle memecah lamunanku dan membuatku kembali berkosentrasi pada serentetan aba-aba yang harus aku lancarkan segera.

“Battle dimulai!!” Komando Wasit Battle. Dan serentak seluruh GOR bergemuruh. Entah itu suporter dari kedua belah pasukan ataupun dari SMA lain.

Dan akupun memulai sederet aba-aba Kreasi dengan diselingi oleh aba-aba dari Hasan sendiri. Bergantian suporter-suporter dari kedua kubu melancarkan yel-yelnya. Dan itu menambah semangat kami untuk menunjukkan yang terbaik.

Dan ini adalah kesempatan kedua dimana dia dapat memandangku dengan leluasa. Tempat kami lurus diantara dua pasukan kami. Dan aku berusaha agar tidak memandang dia. Walaupun aku tahu hal itu mudah dilakukan. Yang aku herankan, dia tidak memandang pasukannya. Melainkan memandangku. Ada apa sebenarnya?? Aku jadi salah tingkah sendiri. Apakah aku terlihat lucu disini?? Padahal menurutku tidak. Penampilanku sudah aku maksimalkan. Dan pandangan dia juga tidak menunjukkan aku lucu. Malah mengandung sejuta misteri. Bukan pandangan ingin menjatuhkan seperti yang aku lihat dari dia tadi saat berbicara dengan temannya dari SMA PGRI 2 Jombang yang ternyata juga Danton. Aku sebenarnya mengerti pandangan itu. Tapi aku menepisnya. Aku mencoba untuk fokus kepada apa yang aku emban.

Dua menit berselang. Dan kami terus saling pandang. Ada saatnya aku mengalihkan pandangan ke arah pasukanku. Tapi dia tidak. Ahh… Biarlah. Mungkin itu yang dimaksud dengan menjatuhkan mentalku. Karena cara setiap orang berbeda. Asal kamu tahu saja bro, aku tidak termakan oleh godaanmu. Suaraku dalam hati. Dan mulai saat itu aku tidak memandangnya lagi. Agaknya dia tetap memandangku. Tapi aku biarkan saja.

Pas di menit ketiga, Battle PBB Kreasi ini selesai. Aku menutupnya dengan membubarkan pasukanku di tengah lapangan. Sebenarnya itu agak nggak etis. Banyak pasukan lain yang tidak dibubarkan di tengan lapangan, tapi aku memilih jalan itu karena memang itulah yang kami konsepkan. Jika aku merubah konsep, anak-anak bisa bingung dan bisa hancur tak karu-karuan karena melenceng dari konsep. Maka kami jadinya adalah yang paling aneh diantara 32 pasukan yang mengikuti lomba ini. Tapi kami PD. Sedangkan pasukan dia dikeluarkan dari lapangan dengan cara yang lazim. Yaitu dengan belok, tiap-tiap banjar, ataupun aba-aba yang lain. Dan itulah akhir dari pandangan dia selama kami di lapangan.

Bersambung

***************

Selamat membaca ☺

Semoga suka...

Tetap ikuti terus kisahnya ya, berikutnya akan sangat seru... 😉

Jangan lupa like, komen, dan vote ya..

Terima kasih 😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!