Pov Arfan
"Pulang berdua?" Tanyaku menyambut kedatangan istri dan sahabatku yang baru pulang dari kantor.
"Yah, sekalian! kebetulan Farid mau main ke sini." Jawab Erni, Wanita yang sudah hampir 4 tahun menemaniku.
"Kangen gua sama lu! Sudah lama kita nggak main PS." Timpal Farid sambil mengepalkan tangan, untuk mengajakku tos.
"Ya sudah! ayo masuk." Ajakku tanpa ada sedikitpun rasa curiga, karena kita bertiga sudah bersahabat, sejak duduk di bangku SMA.
"PS. nya, sudah update apa belum?" Tanya Farid yang berjalan mendahuluiku.
"Sudahlah! masa, Master ketinggalan update." Jawabku yang merasa bangga, karena memang setiap ada update pemain aku selalu mengupdatenya.
Istriku yang berjalan paling depan, dia masuk ke kamarnya. Sedangkan kita berdua masuk ke kamar ruang Kerjaku, karena semua peralatan dan mainanku ada di sana.
Sesampainya di ruang kerja, dengan cepat aku menyalakan PA. nya. lalu mengambil joystick sebagai kontrol permainan. kita pun duduk dengan santai, di kursi sofa. Sambil menunggu PS itu selesai booting.
"Gua pakai Madrid saja!" Gumam Farid sambil memilih salah satu klub favoritnya untuk duelkan.
"Nggak ngaruh, karena menurut gua. klub itu nggak penting, yang terpenting adalah, siapa orang yang memainkannya." jawabku sambil memicingkan mata ke arah Farid.
"Kita buktikan! siapa yang paling hebat." Tantang Farid sambil memencet tombol Start untuk memulai permainan.
"Goooooooooool! Tahan dong Bro! masak sama Atletico Bilbao saja, Madrid bisa kebobolan."
"Tenang Bro, ini baru pemanasan, gua masih belum panas nih."
"Pemanasannya. jangan panas-panas! nanti bisa meledak." ujarku sambil mengangkat satu sudut bibir.
"Benzemaaaa! Benzemaaaaa! gooooool! masukkan Bro?" ujar Farid sambil berdiri, setelah bisa membobol gawang Atletico Bilbao, tim yang aku mainkan.
"Jangan senang dulu, Lihat skornya!"
"Skor nggak penting, gua bisa membobol gawang Lo, saja! itu sama dengan 10 gol." Jawab Farid sambil mendudukkan kembali tubuhnya.
"Minumnya!" tawar istriku sambil menyimpan dua gelas jus mangga meja yang ada di hadapan kita.
Tak ada respon dari kita berdua, kita hanya terfokus Menatap layar 32 inci, mengamati setiap pergerakan karakter game yang ada di dalamnya, seolah melupakan keadaan sekitar.
Istriku yang sudah mengetahui sikap kita, ketika bermain PS. dia hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu pergi keluar kembali, tak memperdulikan kita yang sedang asyik bermain PS.
"Aduh!" Gumam Farid.
"Kenapa Bro?" tanyaku sambil menatap ke arah wajahnya yang meringis.
"Mules banget perut gua! Mugkin gara-gara tadi siang makan ayam geprek, dari karyawan yang sedang berulang tahun." jawab Farid sambil memegangi perutnya.
"Lah, kok bisa? sudah tahu, lu tidak kuat dengan pedas? Kenapa masih di embat saja?" ujarku sambil menggelengkan kepala. merasa khawatir dengan keadaannya.
"Namanya juga gratis, ya gua embat sajalah Bro!" jawab Farid sambil berdiri
"Eh, lu mau ke mana?"
"Mau buang yang ada didalam perut. Elu main sendiri saja dulu! sama komputer!" Jawab Farid sambil melangkah menuju pintu kamar.
"Wc-nya kan ada di situ! Ngapain lo keluar?" Terangku sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi.
"Kalau di sini, Nanti ruang kerja lo, bau! Emang lu mau? mendengar bunyi-bunyi yang membuatmu mual." jawab Farid yang pergi meninggalkan kamar ruang kerjaku.
Mendengar penjelasannya seperti itu, aku hanya mendengus kesal. Kemudian melanjutkan kembali, bermain PS yang sempat tertunda.
Babak pertama permainan game itu sudah selesai, namun Farid Belum menunjukkan batang hidungnya, atau memberi tanda dia akan cepat kembali.
"Dasar aneh! orang sudah tahu nggak kuat makan pedas, malah main embat saja." gumamku sambil melanjutkan permainan ke babak kedua.
Di menit ke 85. barulah Farid muncul, dengan muka pucat. Dia terus memegangi perut, masuk ke kamarku.
"Bagaimana?" tanyaku sambil mem-pause game.
"Waduh, sumpah! bener nggak enak banget. gua izin pulang saja! sekalian mau membeli obat di apotek." Farid tergesa-gesa mengambil tas yang ada di samping kursi.
"Gua antar, nggak?" aku menawarkan jasa, mengingat tidak tega jika sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara, menahan sakit seperti itu.
"Nggak usah Bro! lagian nanti setelah minum obat juga sembuh."
"Serius? nanti lu kenapa kenapa, lagi?" Aku memastikan khawatir takut terjadi sesuatu terhadapnya.
"Kalem saja bro! nanti kalau gua sudah sampai rumah, pasti gua telepon lu!" ungkap Farid sambil menaikan kedua sudut bibirnya, menandakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Setelah rapi, Farid pun berpamitan. lalu mengajakku tos kembali. "Sorry banget ya, bro! Lain kali kita lanjut!" Ujar Farid sambil berlalu pergi menuju arah luar.
Aku yang hobi main PS, tidak memperdulikan lagi dengan keadaan Farid, mataku kembali terfokus ke arah layar. karena ini adalah hiburan mudah, setelah 6 hari berkutat dengan urusan kantor.
Setelah selesai memainkan game pertama, sepeninggal Farid, yang pulang ke rumahnya. aku mematikan PlayStation ku, lalu merapikan kembali aksesorisnya.
Dengan malas aku pun menyeret tubuhku keluar, dari kamar yang kujadikan tempat kerja, ketika aku berada di rumah. menuju kamar pribadi yang ada di samping.
"Baru beres mandi ya?" aku bertanya Sama istriku yang sedang memoles tubuhnya di meja rias.
Erni hanya menoleh sebentar, lalu kembali memperhatikan wajahnya, yang berada di dalam cermin. seolah tidak mau diganggu, ketika dia berada di dunianya.
Perlahan kudekati istriku, lalu memeluknya dari belakang. tercium aroma tubuhnya yang begitu khas, membuatku sedikit menginginkannya.
"Udahan main ps-nya?" Tanya istriku yang tak bergeming.
"Sudah! si faridnya sakit perut, Jadi nggak seru kalau main sendiri." Jawabku sambil terus mendekat tubuh Istriku yang sint4l.
"Sudahlah jangan dekat-dekat! mending kamu mandi. katanya Nanti sore, mau ke rumah ibu!" usir Erni sambil melepaskan pelukanku.
Namun aku tak menghiraukan penolakannya, aku malah menc1um pundaknya, yang tidak tertutup apapun. karena Erni hanya memakai handuk yang dililitkan di dad4nya. aku menc1umi pundak sampai ke leher jenjang milik Erni, dengan begitu lembut, sehingga dia pun mulai menggelenjang kegelian.
"Sudah mandi sanaaaaaaaaa! jangan buat mandiku sia-sia!" usir Erni untuk yang kedua kalinya, namun dengan suara yang sedikit tertahan, terlihat di cermin istriku yang memejamkan mata, seolah menikmati sentuhan yang keluar dari bibirku.
Tak Ada Jawaban yang keluar dari Mulutku, aku terus menc1umi pundak leher sampai ke punggungnya. mendapat perlakuan seperti itu. Erni, hanya mendesis pelan menikmati setiap sentuhanku yang menyentuh kulitnya.
Perlahan ku balikan tubuhnya, agar aku bisa mencium bibir yang begitu indah, bibir tipis yang berwarna merah muda. Membuat Siapa saja yang melihatnya, pasti mereka akan menginginkan menyentuh bibir tipis itu dengan bibirnya.
Aku mendekatkan bibirku ke bibir Erni, sehingga pertarungan itu tidak terelakkan.
Cium4nku perlahan turun ke bawah dagunya, menikmati leher jenjang milik istriku. kutarik handuk yang menutupi tubuhnya, agar leluasa ketika hendak menikmati benda berukuran 38b milik istriku. namun aktivitas itu terhenti, setelah melihat ada tanda merah di d4danya.
Merasa kenikmatan yang kuberikan berhenti, Erni pun perlahan membuka mata, menatap sayu ke arahku, seolah bertanya kenapa berhenti.
"Kok dad4 kamu merah?" Tanyaku dengan nafas tersenggal-senggal, karena hasrat lelakiku yang sudah meninggi.
Mendapat pertanyaan seperti itu Erni yang semula menatap sayu, menjadi segar. lalu memperhatikan tubuh bagian dad4. di mana tanda merah itu terpampang dengan begitu jelas.
"Eeeeeeee, emmmmm, eeeeee. Tadiiii akuuuu kerikan. ya aku kerikan." jawab Erni yang sedikit tergagap, Entah kenapa dia bisa seperti itu.
"Kamu sakit?" pandanganku memenuhi wajahnya.
"Iya! tadi aku nggak enak badan!"
"Ayo kita ke klinik, biar kamu bisa diobati."
"Halah! lebay, baru masuk angin saja, sudah panik seperti itu." jawabnya sambil menyempitkan pandangan mata.
Ku perhatikan kembali tanda merah yang ada di dad4 istriku, dengan teliti. memang benar terlihat seperti goresan yang memanjang, namun di bagian titik lain goresan itu membulat sempurna. seolah bukan hasil dari benda tumpul yang digesekkan.
"Lanjut nggak?" tanya istriku sambil meraih handuk yang sudah tergeletak di lantai.
Aku yang sudah on fire, tidak rela kalau hasratku tidak tersalurkan. dengan cepat aku peluk tubuh istriku, lalu membopongnya ke atas kasur. membaringkan tubuhnya yang begitu indah di atasnya .sehingga walaupun sudah 4 tahun menikah, aku tidak pernah merasa bosan memandangi tubuh istriku.
Perlahan aku melanjutkan aktivitas tubuh, dengan menc1um dan meremas benda berukuran 38b milik istriku. bibirku terus menari di atas tubuhnya, menjelajahi dari atas Dad4 sampai ke bawah perut. memberikan kenikmatan yang tidak bisa terlukiskan, sehingga hanya eregan dan desah4n yang keluar dari mulut istriku.
30 menit berlalu. akhirnya tubuhku ambruk di tubuh Erni, setelah menyemprotkan cairan kenikmatan. Perlahan aku mengangkat tubuhku dari atas tubuhnya, membaringkan di sampingnya.
"Terima kasih ya, sayang!" ujarku sambil mencium lembut keningnya kemudian menatap istriku dengan penuh cinta.
Erni hanya tersenyum, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Dan mengganjal bagian bawahnya, agar usaha yang baru kita lakukan, membuahkan hasil. karena sudah 4 tahun menikah, buah hati itu belum hinggap di keluarga kecil kami.
Tubuhku yang begitu lemas, seusai melaksanakan pergulatan suami istri. membuat mataku mulai terpejam, dengan perlahan meninggalkan semua rasa nikmat, yang baru saja kudapatkan dari istri tercintaku.
Pov Arfan
"Yang, bangun! sayang!" ujar istriku membangunkan, sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku kereyepkan kedua mataku, agar bisa terfokus dengan keadaan sekitar. terlihat Bidadari yang tersenyum menyambut kehadiranku kembali, setelah lelap dari tidurku.
"Ayo! bangun, terus mandi! tadi ibu sudah menelpon, menanyakan Kapan kita ke rumahnya!" lanjut istriku memberitahu.
Mendengar penuturan istriku, dengan sedikit malas aku pun membangunkan tubuhku. lalu mengambil handuk untuk membersihkan badan dari keringat, yang tadi menempel sehabis melakukan kewajibanku terhadap istrinya.
Selesai mandi aku memakai baju dengan rapi, yang sudah disiapkan oleh istriku. Bersiap untuk pulang ke rumah orang tuaku, karena minggu ini adalah jadwal pulang ke rumah ibuku.
"Oh iya! tadi kata ibu sebelum pulang, beliau menitip pesan! supaya mampir ke supermarket terlebih dahulu." jelas Istriku, yang sudah berpakain rapih dari tadi, dia sudah siap berangkat kerumah ibu.
"Ibu minta apa?" Tanyaku sambil mengambil kunci mobil yang ada di meja ruang tamu.
"Minta beliin buah, katanya di rumahnya sudah nggak ada." Jelas istriku sambil mengikutiku keluar dari rumah, menuju carport.
Setelah semuanya dirasa rapih, aku dan istriku masuk ke dalam mobil. kemudian pergi meninggalkan rumah yang sudah 3 tahun kurang kita tempati. Mobil pun melaju perlahan menuju rumah Ibu, sebelum sampai tak lupa membelikan buah pesanannya.
Pukul 19.30. aku sampai di rumah orang tuaku. jarak rumahku dan ibu tidak terlalu jauh. namun kemacetanlah yang membuat kita datang terlambat.
"Ayo masuk! Ibu sudah menunggu kalian dari tadi." ujar ibu yang berada di teras menyambut kedatangan kita, sambil mencium pipi anak dan menantunya.
Aku hanya tersenyum mendapat perlakuannya, merasa bahagia karena memiliki dua wanita yang selalu menyayangiku.
Ibu menuntun menantunya, menuju meja yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan, terutama makanan kesukaan kita berdua. Ibu memang wanita yang selalu mengertiku, selalu memanjakanku, karena aku hanya satu-satunya anak yang ibu miliki. jadi semua yang aku harapkan, Ibu tidak pernah menolaknya. termasuk menikahi Erni yang awalnya beliau tidak setuju. namun ketika aku memintanya dengan memaksa, Ibu Pun dengan berat hati mengijinkan.
Selesai makan malam. aku menemani Ibu menonton TV di ruang keluarga, sedangkan istriku seperti biasa Dia merapikan perabotan bekas makan.
Memang istriku sangat rajin, walaupun ibu memiliki ART, dia tidak canggung, membantu merapikannya, tanpa mengandalkan para pembantu di rumah ibu.
Aku dan ibu mulai mengobrol, mulai dari kegiatanku di kantor dan di rumah. tak sedikit diselingi mengobrolkan orang yang kita kenal, supaya obrolan kita menjadi sedikit menarik.
"Oh iya, Kenapa istrimu sampai sekarang belum hamil?" tanya ibu dengan wajah serius.
"Namanya juga makhluk, Bu! kita hanya bisa berharap, namun tidak bisa mewujudkannya." jawabku membela.
"Kamu harusnya lebih fokus untuk mempunyai anak, Ibu sudah tua, Ibu ingin di masa tua Ibu, dihabiskan dengan mengasuh cucu!" ungkap Ibu sambil menarik nafas pelan.
"Ya semua usaha sudah kita lakukan, Bu! namun Ya mau bagaimana lagi?" jawabku yang merasa bingung, karena masalah anak memang susah ketika kita belum dipercaya.
"Dan satu lagi! kamu jangan membiarkan istrimu terlalu dekat dengan si Farid, ibu takut suatu saat, itu akan menjadi bumerang dalam hidupmu!" lanjut nasihat Ibu, yang merasa khawatir dengan kedakatan mereka berdua.
"Biarkan saja Bu! namanya juga sahabat, pasti mereka akan dekat, aku yakin Istriku yang baik, dan sahabat aku yang pengertian, tidak mungkin mereka berbuat tega di belakangku." aku menyangga pendapat ibu, karena memang benar selama istriku dekat dengan Farid, Aku tidak pernah menemukan hal-hal yang aneh. Atau mendapat laporan yang aneh.
"Tapi walau begitu, kamu yang sekarang sudah menikah. Ibu harap kamu bisa membatasi istrimu jangan terlalu bergaul dengan si Farid, apalagi kamu dan mereka beda kantor, jadi nggak setiap saat kamu bisa mengawasi mereka."
"Sudahlah, Bu! Jangan paranoid seperti itu, Ini zaman modern, zaman kebebasan, jadi ibu jangan punya pikiran senaif itu." jawabku tak mau kalah dengan pendapatku.
"Beda, Fan! antara sudah menikah dan sebelum menikah, Ibu merasa ada yang aneh dengan mereka." Ibu mengungkapkan firasatnya.
"Sudahlah Bu! lihat Istriku, yang begitu baik. mana mungkin dia menyakitiku, menyakiti kita. lihat saja sekarang dia masih sibuk di dapur merapikan peralatan makan." aku membanggakan istriku.
Ibu hanya menarik napas pelan, sambil menatap nanar ke arahku. dengan Tatapan yang menggambarkan beliau begitu khawatir. namun aku tetap mengacuhkan tatapan itu, seolah apa yang dicemaskan oleh ibu hanya angin lalu.
"Tehnya, Bu!" tawar Erni sambil menyimpan gelas di meja.
Ibu hanya melirik sebentar, lalu menatap kembali ke arah televisi, dengan Tatapan yang begitu kosong. Setelah kedatangan istriku, ruang tamu menjadi hening seketika, suasana horor antara menantu dan mertua Begitu Terasa.
"Kapan kamu mau memberikan Ibu cucu?" Tanya ibu tiba-tiba. Beliau bertanya perihal yang begitu sensitif, sehingga bisa membuat istriku terluka.
"Sudahlah Bu! Ibu Jangan bahas itu terus." Gerutuku dengan nada suara yang sedikit kesal, rasanya tidak pantas seorang mertua memaksakan kehendaknya, yang sangat sulit untuk diwujudkan.
Namun Erni hanya tersenyum menunjukkan gigi putih yang berbaris dengan rapi, tak sedikitpun dia menunjukkan wajah yang tersinggung dengan perkataan ibu.
"Malah nyengir! kapan?" tanya ibu seolah memaksa.
"Lagi berusaha, Bu!" jawab istriku, senyumnya yang begitu manis hilang seketika. Erni hanya tertunduk lesu meratapi nasibnya.
"Berusaha terus, hasilnya mana?" ucapan Ibu seperti orang yang tidak beragama, padahal beliaulah yang selalu mengajarkan terhadap anak dan menantunya, tentang takdir.
"Doakan saja Bu! Semoga saya bisa dengan cepat diberikan keturunan!" ucap istriku yang mulai terlihat raut wajahnya, yang begitu sedih, ketika ditekan terus-menerus.
"Sudahlah Bu! kita sudah berusaha semaksimal mungkin, bahkan kita sudah menemui dokter kandungan terbaik yang ada di kota ini. kalau Tuhan belum mengizinkan, mau bagaimana lagi?" ungkapku yang merasa tidak enak, ketika istriku terpojokan seperti itu. padahal ketika ibu memojokkan istriku, harusnya Ibu juga memojokkan anaknya. karena anak tidak bisa hadir tanpa perjuangan keduanya.
"Kalau Erni tidak bisa memberikan keturunan, mendingan kamu cari wanita yang lain saja!" ancam ibu yang terlihat tegas, wajahnya yang dipenuhi dengan keseriusan, menatap ke arah kita berdua yang duduk di hadapannya.
"Ya Tuhan! ibuuuuuuuuuuuu! Ibu Tidak sepantasnya berbicara seperti itu, kepada istriku." bentakku yang merasa ucapan Ibu sudah kelewat batas.
"Kamu tega membentak ibu?" ucap Ibu, terlihat matanya yang mengembun hendak menumpahkan cairannya.
"Lagian kalau ngomong itu dijaga. belum tentu ini semua salah Erni, Siapa tahu saja ini adalah salahku!" Aku membela istriku karena memang sepantasnya seorang laki-laki membela martabat istrinya.
"Sudahlah, sayang! kamu jangan membentak ibu! sana cepat masuk ke kamar!" Istriku yang baik itu menenangkanku, sehingga dengan terpaksa aku pun berjalan menuju lantai 2, agar aku tidak menjadi anak yang durhaka.
Aku Meninggalkan Istriku yang sibuk menenangkan mertuanya, walau ucapan ibuku sudah tidak bisa di tolelir, Erni tetap menjaganya dengan penuh kasih sayang.
Itulah kelebihan istriku, yang tidak pernah marah walaupun ibu sering berkata sangat menyakitkan. justru aku yang selalu kesal dengan sikap ibu yang semena-mena.
Agrhhhhh!!!!!
Teriakku setelah sampai di dalam kamar, yang dulu kujadikan tempat tidur, sebelum aku menikah. kujatuhkan tubuhku di tepian ranjang, sambil meremas kepalaku, yang sedikit terasa nyeri, memikirkan apa yang terjadi dengan hidupku .
Walau Hidupku sangat bahagia, dengan memiliki istri yang pengertian, dan Ibu yang selalu perhatian. namun selalu ada saja yang mengganggu ketenangan itu.
Sebenarnya aku tidak kesal sama ibu, aku hanya kesal sama diriku sendiri. karena Mengapa sampai saat ini momongan yang selalu aku impikan, belum hadir dalam kehidupan pernikahanku. banyak orang yang menganggapku mandul atau menuduh Istriku yang mandul, namun semua itu tidak benar, karena ketika kami mengecek di dokter kandungan, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan itu. memang Tuhannya saja yang belum mempercayai pernikahan kita, dengan hadirnya seorang anak.
Pov Arfan
"Kamu belum tidur?" tanya istriku yang baru masuk ke kamar.
"Betah amat! ngobrol sama Ibu?" aku malah balik bertanya menyambut kedatangan istriku.
padahal ibu selalu memojokkannya, namun istriku terlihat nyaman ketika mengobrol sama beliau, sehingga baru pukul 10.00, Erni baru masuk ke kamar.
"Betah lah! kan itu ibuku, lagian ngapain kamu harus berteriak seperti tadi?" ujar istriku menyayangkan sikapku yang berlebihan terhadap ibu.
"Kesal saja! seharusnya beliau mendoakan, agar kita cepat diberi momongan, bukan malah memojokkan. jadi tidak pantas seorang ibu berbicara seperti itu." jawabku meluapkan kekesalan.
"Nggak boleh seperti itu! walau bagaimanapun beliau adalah ibumu, ibu kita!" jawab istriku yang nampak cuek.
Erni membuka semua pakaiannya, lalu menggantinya dengan pakaian tidur. tidak memperdulikanku lagi, yang masih duduk termenung, mengingat kejadian yang tadi kualami.
"Sudah tidur! jangan terlalu banyak pikiran!" ajak Erni sambil mematikan lampu, menggantinya dengan lampu tidur, Kemudian ia membaringkan tubuhnya di sampingku.
"Terima kasih ya! kamu baik banget!" aku membalikkan tubuh menatap ke arah istriku yang terlihat samar, karena penerangan yang kurang.
"Udah jangan banyak bicara! mending kita bobo." ungkap Erni sambil tersenyum, dengan perlahan ia memejamkan mata.
Tak ada pergerakan lagi dari tubuhnya, menandakan Erni sudah masuk ke alam bawah sadarnya. melihat istriku sudah tertidur, dengan perlahan aku mulai memejamkan mata, meninggalkan kehidupan yang begitu rumit.
********
Keesokan paginya. setelah mandi dan mengganti pakaian, akupun dipanggil oleh istriku, yang sudah bangun dari subuh, untuk sarapan bareng di ruang makan.
Walau Sebenarnya aku males sarapan bareng sama ibu, rasanya masih kesal saja ketika mengingat kejadian semalam. namun istriku terus memaksa. dan akhirnya dengan perlahan aku mengikuti istriku turun dari lantai 2.
Tak ada pembicaraan ketika kita menyantap sarapan, ibu hanya diam fokus memakan sarapan yang ada di piringnya. Tidak seperti biasanya, beliau selalu mengajakku untuk bertutur sapa, menemani waktu sarapan.
Selesai sarapan, Ibu langsung berdiri, meninggalkan kita. yang masih duduk menghabiskan sarapan masing-masing.
"Sana temuin Ibu! minta maaf sama dia. mungkin kelakuanmu udah menyakiti hatinya." seru istriku sambil merapikan piring.
"Biarin saja! biar Ibu ngerti dia tidak boleh membebani kita dengan permintaan yang sulit untuk diwujudkan." jawabmu sambil menyandarkan punggung ke kursi.
"Hush! nggak boleh begitu! sana cepetan temuin!" Erni menarik lenganku untuk segera bangkit dari tempat duduknya.
Kemudian dia mendorong tubuhku, untuk menemui ibu. bahkan saking baiknya istriku dia mengantarkan sampai depan pintu kamar. Namun sayang Ibu tidak berada di kamarnya, menurut salah satu asistennya, Ibu sedang berjemur di taman samping.
Istriku kembali mendorong tubuhku, menuju taman samping. setelah berada di dekat Ibu, Dia pun kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Sini duduk!" ajak ibu mempersilahkan, dengan suara lembut tak seperti malam yang berbicara memojokkan kita. beginilah sikap orang tua terhadap anaknya, kadang cepat marah, Kadang juga cepat baik.
Aku mengikuti perintah ibu, duduk di kursi yang berada di sampingnya, kemudian menatap ke arah tanaman bunga dan tanaman obat, yang berjejer rapih di halaman samping.
Karena semenjak kepergian bapak, Yang sudah meninggalkan kami beberapa tahun lalu. ibu terus menyibukkan diri dengan bertanam. menurutnya agar tidak merasa kesepian. sehingga seluruh area tanah kosong di rumahku, penuh dengan tanaman dan tumbuh-tumbuhan.
"Bagus-bagus ya Bu! tanamannya." pujiku memecahkan suasana yang begitu Hening di pagi hari itu, memecahkan rasa canggung setelah perdebatan tadi malam.
"Iya bagus karena ibu selalu merawatnya setiap hari." jawab ibu sambil memperhatikan bunga mawar yang sedang mekar di pagi hari, ditambah sinar mentari yang belum terlalu panas, membuat mawar itu terlihat sangat indah.
"Itu! bunga apa, Bu?: Tanyaku yang mulai kepo.
"Itu bunga sepatu, bunga yang sudah sangat langka, kalau dulu di setiap pekarangan rumah, pasti ada bunga itu."
"Bagus ya!" gumamku lirih, mengagumi kecantikan bunga dengan kelopak yang begitu lebar.
"Merawat bunga sama seperti merawat kehidupan!" jawab ibu sambil menatap ke arahku.
"Kok bisa, filosofinya seperti itu?" Tanyaku mulai antusias, melupakan perdebatan tadi malam.
"Iya sama karena ketika kita merawat bunga, kita akan menjaganya, dari benih sampai bisa tumbuh dewasa. setelah tumbuh dewasa, kita juga masih terus harus merawatnya, sampai pohon bunga itu mengeluarkan bunganya yang begitu indah. sama seperti kehidupan, kita harus merawatnya setiap saat, jangan sampai lalai! karena ketika kita lalai, bunga itu bisa layu, ataupun bisa terserang hama. sehingga keindahan dari kehidupan itu, akan sirna. hanya menyisakan pemandangan yang tidak elok untuk mata. maka Ibu titip pesan sama kamu! rawat keluargamu! rawat dirimu! agar bisa mengeluarkan bunga yang begitu indah." ungkap ibu panjang kali lebar, diakhiri dengan nasehat untuk kehidupanku.
"Terima kasih ya bu! maaf kalau tadi malam perkataanku menyakiti ibu. aku cuma berharap, Ibu jangan terlalu memojokkan istriku, kasihan dia, kalau diperlakukan seperti itu. Erni sangat baik, Buktinya dia tidak pernah marah, walaupun banyak perkataan ibu yang menyakitkannya."
"Ibu juga minta maaf! namun Ibu harap kamu jangan lalai, jangan sampai istrimu terlalu bebas, Ibu memang sayang sama Erni. Ibu tidak pernah membedakan mana anak dan menantu, semuanya anak ibu. namun ketika ada yang melakukan kesalahan, Ibu berhak menegurnya. karena walau bagaimanapun kalian adalah anak ibu!" lirih Ibu pelan terlihat wajahnya menunjukkan Aura ketakutan.
Aku hanya menganggukan kepala, tak ada bantahan seperti semalam. mungkin sangat wajar, ketika seorang ibu mengkhawatirkan kelangsungan rumah tangga anaknya.
Pukul 08.30. aku mengajak Ibu untuk masuk ke dalam, karena matahari yang sudah mulai terasa terik, sehingga tidak baik untuk tubuh kita.
"Sudah minta maafnya?" tanya istriku yang berada di ruang keluarga.
Sudah, terima kasih ya! kamu baik banget, kamu selalu menjadi penengah ketika ada perdebatan dengan ibu. kamu memang Istri terbaik!" aku mendudukkan tubuhku di samping istri, lalu menyandarkan kepalanya ke Bahuku.
"Terus sekarang Ibunya ke mana?" tanya istriku sambil menatap ke arah wajahku.
"Katanya mau mandi dulu, soalnya gerah setelah mengurus tanaman di samping rumah!"
Tak Ada pertanyaan lagi dari istriku, dengan nyaman dia menyandarkan kepalanya. Matanya terfokus menatap ke arah televisi, membuatku merasa bahagia, berada di sampingnya, berada di dekat wanita yang selalu memberikan perhatian dan pengertian. bahkan selalu mengingatkan ketika aku melakukan kesalahan. aku mencium ubun-ubun kepala istriku, sebagai ungkapan terima kasih.
"Belum mandi tahu! jangan cium-cium!" ujar istriku tanpa mengalihkan pandangannya.
Aku hanya mengucek-ngucek rambut panjang milik istriku, kemudian memeluknya dengan erat. berumah tangga 4 tahun, tak membuatku merasa bosan dengan tingkah lakunya, dia selalu pandai membuatku terus merasa kagum, dan merasa nyaman berama-lama di sampingnya.
Tring! tring! tring!
Handphone istriku yang berada di atas meja berdering, dengan malas Ia pun bangkit, lalu mengambil handphonenya.
"Kenapa telepon si Arfan nggak diangkat?" terdengar suara orang yang bertanya di ujung sana. karena istriku meloud Speakerkan suara panggilan itu.
Aku menatap istriku, seolah bertanya siapa yang menelpon. tanpa dipinta, dia pun memberikan handphone itu ke arahku. Aku perhatikan nama yang tertera di layar ponsel milik istriku.
"Halooooo!" sapa seseorang di ujung sana dengan nada sedikit kesal, karena tidak kunjung mendapatkan respon dari kita.
"Sorry, rid! handphone ku di atas, jadi nggak tahu, kalau lu telepon." jawabku sambil mendekatkan telepon itu ke arah wajahku, agar suaraku terdengar jelas olehnya.
"Pantes aja aku telepon berpuluh-puluh kali, tak ada yang mengangkat. kirain lu ke mana?" ujar Farid.
"Ada apa? pagi-pagi kok telepon?"
"Nanti sore, kita bikin ikan bakar, kebetulan gue lagi mancing nih! sambil melanjutkan pertarungan yang kemarin sempat tertunda." Farid mengungkapkan tujuannya menghubungiku.
"Iya! nanti gua kabarin, soalnya masih di rumah orang tua, nih!"
"Makanya, gua ngajakin lu sore. karena gua tahu sekarang Lu pasti ada di rumah orang tua lu."
"Ya sudah! nanti gua kabarin lagi, tapi gua nggak janji ya!"
"Oke! bilang saja lu takut kena bantai!"
Tap! tap! tap!
"Sial4n!" ungkapku sambil melihat ke layar handphone, memastikan bahwa telepon itu memang sudah benar-benar terputus.
"Kenapa?" tanya Istriku yang sejak tadi memperhatikan.
"Mau nggak, bikin ikan bakar?"
"Aku terserah kamu saja ,aku kan istrimu, aku nggak bisa memutuskan." jawab Erni sambil menggulung senyum manja.
"Ya sudah! Sehabis asar kita pulang ke rumah, sudah lama juga kan, kita nggak makan ikan bakar."
"Terserah kamu, tapi pamit dulu ya sama ibu!" Jawab istriku sambil kembali merebahkan kepalanya di Dadaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!