Pagi ini mungkin menjadi yang terberat dalam hidupku karena beberapa saat lalu, dengan berat hati, aku harus menolak perasaan Andi, si siswa populer yang juga merupakan kakak kelasku. Harusnya aku bisa tenang, karena dia pun menerimanya dengan lapang dada sehingga tidak ada masalah apapun di antara kami, malah dia memastikan bahwa hubungan aku dan dia akan baik-baik saja.
Tapi tetap saja, aku tidak bisa berhenti cemas. Bukannya apa-apa, aku takut aku baru saja mencoreng reputasinya. Yah, kalian tahu, beban terberat dari seorang populer adalah kegagalan.
Namun, apa yang bisa aku lakukan? Aku memang tidak punya perasaan suka padanya. Tapi bagaimanapun, rasa bersalah dalam dadaku tetap hinggap, tidak peduli sekeras apapun aku berusaha mengeyahkannya.
Tapi, kalau boleh aku jujur, selain karena aku tidak ada rasa padanya, ada satu hal lagi yang menjadi alasan kuatku untuk menolak Andi.
Alasan itu adalah, karena aku telah menyimpan cintaku untuk seseorang. Sesosok penyelamat yang tidak sempat kukenal. Seorang pahlawan.
Sekarang, aku di kelas, membaringkan kepala di atas meja. Memikirkan segala yang telah terjadi antara aku dan Andi membuatku mengantuk padahal jam belajar bahkan belum dimulai. Sungguh, jika bisa, aku ingin tidur.
Kemudian, seseorang menepuk bahuku dari belakang berbarengan dengan diriku yang menghela napas.
Aku menoleh dan mendapati Sarah, teman sekelasku yang juga primadona sekolah yang sering dikira pedagang sawo karena warna kulitnya yang sama dan semanis seperti buah itu. Memandangku sambil tersenyum, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang putih sekali.
“Ada apa, sih? Kok, lesu begitu?” Dia bertanya dengan suara halus yang terdengar menggemaskan bagi sebagian kalangan. Tentu saja aku tidak termasuk.
“Tidak ada, cuma mengantuk,” kilahku padanya seraya menegakkan kembali badanku. Tentu saja aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya karena Andi adalah kenalannya yang cukup akrab.
“Aku sudah tahu, kok. Kau baru menolak Andi, kan?”
Aku mengerjap. Bagaimana bisa dia tahu soal itu?
“Tidak apa-apa lagi.” Dia tertawa sambil membenarkan kacamata ovalnya. “Lagian, dia sendiri kok, yang cerita padaku.”
“Syukur deh, kalau begitu.” Kuhela napas lega.
“Hei, Nda.” Sarah membungkukkan badan sehingga wajah kami saling berhadapan dekat sekali. “Aku minta tolong padamu boleh tidak?”
“Hm? Minta tolong apa?”
“Hari ini kakakku ulang tahun. Aku ingin ke toko buku untuk membeli hadiah untuknya. Aku ingin kau menemaniku.”
“Wah, hebat. Keturunan keluarga cendekiawan memang beda. Sampai ulang tahun saja kadonya buku.”
Aku pun tertawa. Sarah tersenyum sipu, sampai-sampai dia harus mengusap kepalanya yang dihiasi oleh rambut bergelombang bergaya bob dengan poni menutupi sebagian besar dahinya yang kalau dilihat sekilas tampak seperti wig karena terawat sekali.
Di samping itu, yang aku katakan tentang keluarganya memang benar. Ayahnya seorang pakar astronomi dan ibunya adalah dosen sastra di sebuah universitas ternama. Belum lagi kakak laki-lakinya yang baru saja kembali dari Inggris setelah menyelesaikan studinya dan sekarang menjadi penggelut dunia teknologi informasi.
Sarah sendiri merupakan siswi yang paling berprestasi di sekolah. Kerap dia diisukan memiliki kecerdasan super oleh para murid di sini. Yah, walau berlebihan, tapi sepertinya itu memang benar adanya.
“Bagaimana, mau tidak?” Sambung Sarah lagi.
“Emm ... bagaimana, ya?” Aku mengerling ke atas. Memastikan kalau aku tidak memiliki jadwal lain. Oh, ternyata tidak ada! Bagus! “Oke, deh. Deal!” kataku spontan yang sukses mengundang tawa Sarah.
***
Selepas dari toko buku, Sarah mengajakku untuk santai sebentar sebelum pulang. Menikmati sore di pinggir jalan raya kota sambil duduk-duduk ditemani es kelapa dan berbagai pedagang kaki lima yang ada di sini.
Hempasan angin dari lesatan kendaraan yang lewat menampar mukaku dengan polusinya yang pengap. Belum lagi rambutku yang panjang ini kerap ikut tertiup hingga menghalangi pandangan yang membuatku sewot sendiri. Tapi tidak apalah, yang penting aku bisa minum es kelapa yang enak. Gratis! Hehe ....
Kami berbicara mengenai banyak hal, namun yang menjadi fokus utama adalah Andi. Yah, sebetulnya aku merasa tidak nyaman membahas tentang apa yang telah terjadi di antara aku dan dia, tapi kupikir lebih baik mengesampingkan perasaanku ketimbang kami hanya diam-diaman saja.
Obrolan kami pun menemui akhirnya setelah aku, atau mungkin juga Sarah, sudah kehabisan topik yang bisa digoreng. Tapi, kupikir tidak apa-apa. Lagian, minuman kami sudah nyaris habis dan sebentar lagi juga Sarah pasti akan mengajak pulang.
Sambil menunggu, kurasa asyik kalau aku menebar pandangan ke sekitar. Barangkali ada sesuatu yang menarik yang bisa kutemukan. Atau mungkin, ada dompet jatuh. Siapa yang tahu, ya, kan?
Karena tidak mendapati apapun yang menarik, kupindahkan perhatianku ke trotoar di seberang. Beda dengan di tempatku berada sekarang, trotoar sana banjir dengan manusia. Saking penuhnya, kadang beberapa dari mereka harus bersenggolan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku berada di dalam aliran orang-orang itu. Melihatnya saja sudah terasa sangat pengapnya. Apalagi di tangga jembatan penyeberangan, yang saking ramainya membuatku ngeri sendiri karena terbayang dalam benakku bagaimana kalau tempat itu runtuh.
Ketika kulihat Sarah lagi, dia sedang sibuk mengetik di ponselnya sambil cekikikan sendiri. Dasar gila! Pikirku. Dan saat aku kembali ke seberang sana, aku melihat ada sepasang anak SMA sepantaranku berjalan beriringan, sambil bergandengan tangan pula. Mereka tampaknya tidak terganggu dengan arus manusia yang banyak sekali di sana. Sepertinya ungkapan ‘dunia milik berdua, yang lain cuma mengontrak' kalau sedang jatuh cinta ada benarnya juga.
Aku mengerjap. Menyadari bahwa pasangan yang tengah kuperhatikan itu telah membangkitkan lagi sebuah rasa dalam dadaku. Ah, sepertinya aku teringat lagi dengan orang itu. Orang yang demi dia, sampai aku dengan berani menolak Andi.
Kuletakkan tangan kananku di tempat hatiku berada. Rasanya hangat. Andai saja waktu itu aku sempat menanyakan namanya, mungkin aku tidak perlu berharap sangat lama seperti sekarang. Atau mungkin, aku bisa seperti pasangan tadi. Berjalan dengannya sambil bergandengan tangan dengan mesra.
Sadarku pun kembali dan dengan segera aku menggelengkan kepala dan menutupi mukaku yang panas dengan kedua tangan. Ah, sial! Apa sih yang aku pikirkan! Astaga Amanda! Apakah sebegini ngenesnya dirimu ini sampai berkhayal yang aneh-aneh?
“Hei!” Aku melonjak sampai setengah berteriak ketika Sarah tiba-tiba saja menepuk bahuku. “Kau kenapa, sih?”
Akibatnya aku pun jadi kelabakan. “A-Aku ... aku ... ah, tidak ada, kok! Suer!” Kataku sambil menyengir kuda dan memamerkan peace di kedua tanganku padanya.
“Dasar! Kau berkhayal lagi, kan?”
“Tidak, kok! Mana ada?!”
“Maaf saja, Nda. Tapi aku pernah melihatmu tidur di kelas sambil senyum-senyum sendiri.”
Apa? Aku? Jadi aku pernah mengigau di muka umum? Tidak! Itu tidak mungkin! Pasti Sarah cuma membual saja.
“Aku tidak ingat, tuh!” Protesku. Aku memang benar-benar tidak ingat, sungguh demi Tuhan, deh!
“Tentu saja!” Balasnya. “Mana ada orang mengigau yang sadar?”
Kata-kata itu, melayang bagai tinjunya Muhammad Ali. Mengenaiku telak sekali, membuatku diam seketika.
Panas di wajahku yang sempat hilang, kembali lagi, dan aku yakin pipiku sudah merah sekarang. Membayangkan bagaimana diriku tidur sambil senyum-senyum layaknya orang sinting ... Ahhhh! Ingin sekali aku lari ke tengah jalan dan membiarkan diri ditabrak sampai mati.
“K-Kalaupun benar, itu adalah hal normal ketika orang bermimpi indah!” Aku terus berusaha membela diriku meski aku sudah tahu kalau harga diriku sudah jatuh sampai dibawah nol dan Sarah tidak akan berhenti begitu saja.
“Normal katamu?” Sarah terkekeh. Entah kenapa perasaanku semakin tidak enak. “Kau itu kelihatan seperti orang mesum, tahu!”
Aku tersentak dan terdiam, lagi, kala hatiku tertusuk sesuatu yang tidak terlihat hingga tembus ke punggung. Aku sudah mati sekarang, serius. Dibunuh oleh ucapan temanku sendiri. Mesum ... tidak pernah kusangka aku akan disebut begitu.
Semua sudah berakhir. Harga diriku, benar-benar musnah tidak bersisa. Bahkan jiwaku pun pergi meninggalkanku.
“Amanda! Halo! Kau baik-baik saja, kan?” Sarah melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tidak melihatnya sebab dalam pandangan mataku sekarang, hanya terlihat arwahku yang terbang menjauh sambil menangis tersedu-sedu.
Dengan segenap harapan hidup yang tersisa, aku mengangguk. Kemudian aku berdiri, mengenakan ranselku yang aku sandarkan di kaki bangku lalu berjalan lunglai meninggalkan Sarah sembari menatap kosong lintasan semen yang kupijak.
“Hei, Amanda! Apa yang kau lakukan?! Kau mau ke mana?!” Serunya dari belakang.
Aku berhenti dan menoleh lemas padanya. “Tidak ada. Aku cuma mau mati.”
***
Tidak seperti biasanya, malam ini aku lebih memilih berbaring di kasur setelah menyelesaikan semua tugas-tugas sekolah. Biasanya sih, aku akan bergabung bersama ibu dan kakakku menonton televisi sambil makan kuaci, tapi entah kenapa aku merasa lelah, jadi kuurungkan niatku.
Bahkan aku sudah siap dengan seragam alam mimpiku—piyama merah muda dengan totol-totol telapak kaki kucing. Ditemani guling kesayangan yang kini ada dalam pelukanku, kubiarkan letihku menghilang, dilarutkan oleh kelembutan seprei yang membalut pulau empuk ini. Hembusan angin sejuk yang berasal dari kipas angin ikut membantu diriku untuk segera menutup mata.
Mataku mulai berat dan ingin segera kupejam. Tapi sesuatu menghalangiku. Bayangan masa lalu tentang orang itu sekelebat muncul begitu saja, mengusir kantuk yang sudah bergelayutan di kelopak mataku dan membangkitkan lagi rasa yang sudah nyaris tidak bisa kutahan lagi.
Ah, andai saja aku bisa menemukan benda ajaib yang bisa mengabulkan keinginan, aku akan meminta untuk segera bertemu dengannya lagi. Melihat lagi rupa dan senyumnya yang manis, lalu kucurahkan semua perasaanku padanya.
Lagi-lagi aku tersenyum sendiri ketika tiduran. Kurasa aku memang mesum seperti yang Sarah bilang. Tapi aku tidak perlu khawatir dicap begitu karena orang-orang disekitarku mengenal diriku dengan baik , meski ya ... itu juga membuatku malu bukan main sebenarnya.
Omong-omong, kisah bagaimana aku bisa sampai jatuh cinta pada orang itu klise sebetulnya. Waktu itu aku masih seorang siswi SMP tahun ketiga. Sama halnya seperti remaja tanggung lainnya, aku terjebak dalam yang namanya cinta monyet dengan teman sekelasku.
Suatu hari, dia menyatakan cintanya padaku. Jelas, aku senang bukan kepalang, malah aku sampai dikira gila karena senyum-senyum dan tertawa-tawa kecil sepanjang perjalananku pulang ke rumah. Lagian, gadis mana yang akan tetap waras kalau ada laki-laki ganteng bak pangeran berkuda putih dari negeri dongeng yang mengungkapkan cinta pada perempuan jelata sepertiku? Untuk ukuran mimpi saja sudah kejauhan.
Sayang, semuanya tidak berlangsung lama. Meski bertampang pangeran, rupanya dia memiliki hati yang tidak lebih baik dari bangkai. Saat itu adalah hari ulang tahunnya dan aku berinisiatif untuk memberikan hadiah. Namun apa yang kudapat? Rupanya dia tengah bermesraan dengan gadis lain dan malah menyatakan perasaannya pada gadis itu!
Itu adalah saat pertama aku merasakan patah kaki, eh, maksudku hati. Rasanya sakit sekali, tidak bisa dijabarkan hanya dengan kata. Padahal cintaku tulus padanya, tapi dia malah mengkhianatinya. Seperti pepatah, air susu dibalas oli bekas.
Aku merasa gila sekali waktu itu, serius. Aku berlari menjauh dari tempat mereka berada sambil menangis seperti anak hilang malah tanpa segan aku membuang hadiah berupa coklat berbentuk hati yang harganya bisa dibilang cukup tidak masuk akal untuk anak seumuranku saat itu. Tidak ada yang bisa kupikirkan ketika itu karena akal sehatku sudah tertutup oleh emosi yang sudah diluar kendali.
Di momen inilah aku bertemu dengan orang itu.
Karena kegilaanku, aku nyaris mati ditabrak pemotor karena berlari menyebrang jalan tanpa lihat-lihat. Aku selamat karena dia menarikku sehingga kami jadi bertukar posisi dan akhirnya bisa ditebak, dia terserempet sampai kakinya terluka.
Dari sinilah, awal perasaanku mulai tumbuh.
Ketika kutanyai keadaannya dan meminta maaf, dia tersenyum dan tertawa pendek padahal saat itu dia tengah berada dalam rasa sakit yang teramat sangat. 'Tidak apa-apa, yang penting kau selamat', begitu ucapnya. Senyumannya sungguh manis, malah dengan melihatnya saja langsung membuatku merasa lebih baik.
Namun aku tidak pernah sempat mengenalnya lebih jauh, karena warga sekitar yang berkerumun untuk melihat apa gerangan yang terjadi, segera membawanya pergi untuk diobati. Ingin kususul dia, tapi sayangnya aku terjebak oleh sebagian dari orang-orang tersebut yang meminta penjelasanku soal peristiwa yang hampir membunuhku itu.
Sejak kejadian itu, aku merasakan perasaan aneh bergetar dalam hatiku. Setiap aku mengingatnya, wajah dan hati terasa hangat. Bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku sampai aku akhirnya menyadarinya.
Aku mencintainya.
Kuselipkan tangan kananku di bawah guling, lebih tepatnya kuletakkan di tempat hatiku berada. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan rasaku ini. Aku ingin meledak.
“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?”
Aku berjanji, ketika saat itu tiba, akan kukatakan semua padanya. Aku tidak akan bilang ‘aku menyukaimu' atau ‘aku mencintaimu'. Tapi, aku akan berkata ‘aku sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat mencintaimu’.
Di hadapan cermin lemari, aku menyisiri rambut. Memastikan bahwa penampilanku pagi ini berada di taraf yang terbaik.
Kalau sedang berkaca seperti sekarang, aku selalu ingin tertawa. Orang-orang sering bilang kalau aku mirip dengan artis Jessica Anastasya. Tentu saja, fitnah mereka itu keterlaluan. Aku pun yakin kalau kalian bisa melihat rupaku yang sesungguhnya, kalian semua pasti akan langsung dehidrasi berat akibat muntah terlalu banyak.
Maaf, Kak Jess. Gara-gara saya, kakak jadi dibanding-bandingkan dengan makhluk astral seperti saya ini. Hehe ....
Kutaruh sisirku di atas lemari dan kualihkan perhatianku ke seragam sekolah yang telah menempel di tubuhku yang terdiri dari kemeja putih lengan pendek dengan saku bergambar simbol sekolah, dasi biru langit polos, dan rok panjang berwarna senada dengan dasiku. Aku sendiri sebenarnya sudah yakin penampilanku oke, tapi tetap saja, sebagai manusia, aku merasa selalu saja ada yang kurang. Meski sebetulnya, ada alasan lain juga mengapa aku cukup ketat dengan citraku.
Aku ingin dia melihatku.
Lantas aku pun tersenyum sambil geleng-geleng. Harapan yang aneh, kan? Bagaimana bisa aku berpikir bahwa dia yang bahkan keberadaannya saja aku tidak tahu, dapat melihatku? Bahkan jika pun dia bertemu denganku tanpa sengaja, belum tentu juga dia ingat padaku.
Jujur saja, aku bukanlah termasuk gadis yang senang berlama-lama hanya untuk berdandan. Asalkan aku terlihat wajar, setidaknya menurut standarku yang bisa dibilang rendah, ya sudah, cuek saja. Tidak peduli apa kata orang, yang penting aku senang.
Namun, semua itu berubah sejak pertemuanku dengannya. Aku selalu ingin tampil lebih dan lebih baik lagi, walau kutahu dia mungkin tidak akan pernah melihatku. Aku ingin membuatnya terkesan.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti, aku pasti akan dapat bertemu lagi dengannya. Untuk itulah, aku hingga sekarang selalu memastikan bahwa diriku senantiasa berada dalam penampilan yang terbaik.
Setelah kurasa cukup, aku meraih ranselku di ranjang dan menuju lantai bawah karena sedari tadi ibuku sudah berteriak-teriak menyuruhku sarapan.
Menuruni tangga, aku tiba di ruang tengah, tempat seluruh anggota keluargaku berkumpul kalau sedang santai. Di sini ada dua sofa panjang warna hitam dan aku menaruh ranselku di sofa sebelah kiri meja kaca oval yang ada di tengah-tengahnya, dan sebuah bufet jati minimalis dengan televisi layar gepeng ukuran sedang di atasnya.
Rumahku tidak besar. Yah, wajar, aku tinggal di pulau terpadat di muka bumi dan kota yang juga sudah overpopulasi. Lahan terbatas dan harganya diluar nalar.
Ketika aku tiba di dapur untuk menyiapkan makanan, rupanya ibuku yang sekarang sedang sibuk mengepel telah lebih dulu melakukannya. Sepiring nasi hangat berlauk tumis buncis dan tahu goreng sudah siap di atas kulkas yang ada di sebelah mesin cuci di sudut kiri dapur.
“Cepat makan, nanti kesiangan,” kata wanita bertunik hijau itu sambil memamerkan senyum yang membangunkan kerut di kulit tuanya padaku saat dia berhenti dari kegiatannya kala aku mengambil makananku. Meski aku bilang tua, bukan berarti ibuku sudah nenek-nenek, loh.
Aku hanya mengangguk, dan kembali ke ruang tengah untuk menikmati sarapan karena rumahku tidak punya meja makan. Duduk di sofa tempatku tadi menaruh ransel lalu menghidupkan televisi.
Selain aku dan ibuku, ada kakak perempuanku dan ayahku. Tapi aku tidak mendapati kakakku sejak tadi. Pasti dia sudah berangkat ke kampusnya atau entahlah, aku tidak pernah mengerti kegiatan hari-harinya. Ayahku? Maaf, aku tidak bisa memperkenalkannya karena dia bekerja di luar kota jadinya jarang pulang. Mirip Bang Toyib, ya? Hehe ....
Sambil menonton acara pagi yang membosankan, kunikmati sarapanku.
***
Kelasku mendadak jadi heboh pagi ini setelah Sarah menyampaikan rumor soal kedatangan murid baru yang akan menghuni kelas kami. Teman-temanku, terutama para lelaki yang isi otaknya hanya berisi hal-hal nista, tidak henti-hentinya berharap bahwa yang menjadi murid baru itu seorang gadis cantik, semok, dan bahenol.
Padahal mereka cuma modal dengkul dan muka pas-pasan saja tapi maunya yang elit-elit. Dasar tidak tahu malu!
Aku sih masa bodoh dengan siapapun yang akan menjadi anggota baru di kelas kami. Mau dia laki-laki, perempuan, atau bahkan ladyboy Thailand dan sebangsanya, aku tidak mau tahu. Namun patut untuk diketahui, info dari Sarah, apapun itu, biasanya selalu tepat.
Bagaimanapun juga, ada sebagian dari temanku yang bilang kalau itu cuma hoaks belaka, alias usaha Sarah untuk menjahili kami semua. Kalau aku sih, percaya saja pada Sarah karena selain dia memang teman terdekatku, dia adalah ketua OSIS, sehingga telinganya bisa mendapatkan akses lebih awal terhadap informasi yang ada di lingkaran guru-guru dan staf-staf yang menjabat di sekolah.
“Aduh. Kok, aku mengantuk, ya?” Gumamku setelah menguap dan membaringkan kepala di meja seraya memejamkan mata.
Padahal aku yakin sudah tidur cukup semalam, tapi rasanya seolah aku begadang tanpa tidur sama sekali. Entahlah, mungkin aku mengantuk karena lelah mendengarkan omong kosong dari para badut mesum yang tanpa henti berkhayal yang tidak-tidak tentang si murid baru itu. Atau, aku yang capek karena energiku habis untuk membayangkan orang itu semalaman.
Yah, aku jadi kepikiran lagi, deh.
Gara-gara ini, timbul harapan dalam hati kecilku kalau murid baru itu adalah dia. Terlepas dari apa yang telah kukatakan di awal.
Satu hal yang aku sukai ketika mengingatnya adalah hatiku yang terasa hangat. Seolah perasaanku padanya adalah sebuah perapian di tengah musim dingin, meski aku tahu kalau negara ini hanya punya dua musim. Hehe .... Sok cute banget aku, ya?
Tapi, aku juga cemas.
Seandainya memang nanti aku bertemu dengannya lagi, apakah dia masih mengingatku? Terus, apakah ada jaminan bahwa tidak ada gadis lain yang dekat dengannya? Aku takut.
Kalau dia cuma lupa saja, masih ada kemungkinan bagiku untuk mengingatkannya tentang diriku lagi. Tapi untuk kecemasanku yang kedua ... oh, astaga.
Aku ... tidak bisa kubayangkan jika diriku harus berkubang dalam drama cinta segitiga ala anak SMA bau kencur. Pasti, hidupku akan penuh dengan momen-momen alay khas remaja tanggung yang bisa dibuat jadi novel berseri atau sinetron absurd dengan ribuan episode.
Kuharap tidak begitu. Semoga saja.
“Hei, Nda,” Sarah memanggil dari balik punggungku. Ah, padahal aku sedang enak-enaknya berkhayal, malah diganggu. Dasar!
Aku menegakkan tubuh dan menolehnya sambil berdecak. “Apa?”
“Kenapa, sih? Pagi-pagi sudah merengut?” Tanya Sarah berbarengan dengan tangan kanannya yang naik ke pinggang. Seperti biasa, dia selalu tersenyum kalau menyapaku.
Ih, kukira ada apa. Rupanya cuma mau basa-basi saja. Mengganggu, tahu!
“Mau tahu saja, sih,” sahutku ketus seraya menidurkan lagi kepalaku di meja.
“Hmm ... pantas kau susah dapat pacar, Nda. Kelakuanmu menyebalkan, sih,” ejeknya sambil tertawa. Sebenarnya apa yang dia bilang itu tidak berdasar. Tampaknya dia lupa dengan fakta kalau sudah tidak terhitung ungkapan cinta yang kuterima dari para siswa di sini.
“Ya, deh. Yang punya pacar mah beda,” balasku malas. Aku mengantuk, dan tidak mau tambah capek dengan mendebatkan hal tidak berfaedah. “Sudah, ah. Aku mengantuk.”
“Dasar tukang tidur. Huuuu!” Ejeknya lagi. Biarkan saja, deh. Lagian, aku memang doyan tidur.
***
Apa-apaan sih dia ini?
Aku sampai detik ini, tidak pernah bisa berhenti antara kagum, bingung, dan ngeri melihat porsi makan Sarah yang astaga, bukan main banyaknya!
Di jam makan siang ini, di salah satu meja makan di kantin, aku mah makan bakso semangkuk saja belum habis-habis, lah dia, beuh. Bakso, siomay, gorengan, es teh dua gelas, dan sekarang dia lagi makan sosis goreng. Malah, sosisnya belum habis pun, dia sudah mengajakku untuk menjajal cilok yang baru dijual oleh salah satu penjual di kantin. Gila, kan?
Entah kenapa, aku jadi berbelasungkawa untuk pacarnya kalau sedang mengajak Sarah kencan.
Tapi yang bikin aneh, biarpun porsi makannya setara Hercules, badannya tetap bagus. Apakah ini yang membuat orang sering mengeluh kalau dunia itu tidak adil, ya?
“Sarah, kau ini, karung atau apa, sih?” Bahkan aku harus sampai mengerutkan alis karena saking terperanjatnya.
Balasannya, dia cuma tertawa! Tertawa! Kurang sableng apa lagi ini orang?
“Habisnya mau bagaimana, jajanannya enak-enak, sih!” Katanya kemudian sembari menyeka saus yang sedikit belepotan di mulutnya.
Sudah, deh. Aku menyerah saja.
Kemudian tidak ada kata lagi di antara kami berdua. Digantikan oleh basa-basi murid-murid lain dan aroma berbagai makanan yang di dominasi oleh gorengan yang mondar-mandir di telinga dan hilir-mudik di lubang hidung.
Aku sendiri cuma fokus untuk menghabiskan makan siangku yang rasanya tidak ada ‘wah’ sama sekali, mungkin karena sudah terlalu sering aku memakan bakso ini. Tidak lama kemudian, aku sudah selesai dan mengakhirinya dengan segelas air putih. Waktu kulihat Sarah, dia pun juga sudah kelar dari kegiatan ‘makan gila-nya', meski aku masih melihat dari sorot matanya yang masih ingin mencicipi sekitar empat atau enam makanan lagi.
“Hei, Nda,” Sarah akhirnya membuka obrolan lagi. “Murid baru yang aku bilang tadi pagi, dia laki-laki. Barangkali dia kecantol denganmu.”
Dia pun terkekeh. Aku cuma memutar bola mata saja. Sumpah, aku sudah bosan digoda begitu. Lagian, kalaupun murid baru itu suka padaku, aku akan menolaknya, sama seperti yang lain.
Cintaku hanya untuk seseorang, dan tidak akan pernah berubah.
“Sudah, deh. Basi tahu omonganmu itu,” keluhku. Kupangku sebelah pipiku dengan tangan. Isyarat kalau aku akan pergi jika dia mengulang sesuatu yang seperti tadi lagi.
Sarah tersenyum kecil, yang kuanggap sebagai tanda kalau dia mengerti.
“Lagian, memangnya kenapa sih, kau itu selalu menolak setiap orang yang suka padamu?” Dia bertanya kemudian. “Asal kau tahu, Nda. Kau itu sudah dianggap sombong oleh banyak orang di sekolah ini.”
“Benarkah? Terima kasih atas peringatannya,” balasku malas sembari mengaduk-aduk tidak jelas makan siangku yang tinggal tersisa kuahnya saja.
“Memangnya kau tidak terganggu dengan itu, Nda?”
“Biar saja. Itu hak mereka. Seperti kata orang Betawi, ‘lu, lu—gua, gua’. Buat apa aku peduli dengan mereka? Tidak dibayar juga.”
Sarah lantas menghela napas. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya dia pikirkan, tapi rasa-rasanya sih, dia mulai gerah dengan tingkahku.
“Kau ini susah banget kalau diberitahu, Nda.” Dia geleng-geleng.
“Sudahlah, Sar.” Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Lagian, aku juga untung, kok. Kalau yang membicarakanku sebegitu banyaknya, berarti pahala yang mengalir kepadaku juga banyak. Kau kan tahu, membicarakan orang berarti memindahkan amal baik kita kepada orang yang kita bicarakan itu.”
“Ya, deh. Saya paham kok, Ustazah Amanda ...,” padahal aku sungguh-sungguh, tapi dia malah menanggapinya dengan meledek, sambil cengengesan pula. “Oh, ya,” imbuhnya kemudian. “Aku masih belum tahu alasan kau selalu menolak perasaan setiap laki-laki yang suka padamu. Kenapa sih, Nda?”
Dari cara bicaranya yang agak membujuk, tampaknya dia sudah tidak tahan lagi dengan rasa keingintahuannya soal alasanku itu. Tapi walaupun dia sahabatku, aku tidak akan memberitahunya. Tidak untuk sekarang.
Aku mendekatkan wajahku kepadanya, lalu berbisik, “Wani piro?”
Seraya menyandarkan bahu kanannya di dinding kamarku dengan tangan terlipat di dada, ibuku terus memandangiku dengan senyum simpul di bibirnya ketika aku sedang mencoba mencocokkan diri dengan seragam sekolah baruku. Bahkan sesekali dia terkekeh melihatku. Aku tidak tahu apa yang lucu dariku, tapi itu agak membuatku risih.
“Kenapa sih, Bu? Tertawa terus?” Tanyaku heran.
“Habisnya, anak ibu ganteng banget, sih!” Lagi, pujian itu keluar dari mulutnya.
Kemudian dia mendekatiku seraya menaikkan kedua lengan kardigan yang dia kenakan, menarik kepalaku, dan mengecup keningku. Lalu dia memelukku disusul dengan belaian tangannya di belakang kepalaku. Dalam jarak sedekat ini, aroma sampo dari rambut panjangnya begitu semerbak di hidung.
“Ibu senang banget anak ibu tumbuh jadi anak yang baik dan ganteng!” Katanya sambil tertawa-tawa pelan.
Aku sempat ingin melepaskan diri, tapi dia menahanku. Aku malu, sudah besar begini tapi selalu diperlakukan seperti anak kecil, meski kutahu sebenarnya itu adalah cara ibu menunjukkan kasih sayangnya padaku.
Akhirnya dia melepaskan pelukannya, meski kedua tangannya tetap berada di bahuku.
“Lihat, sekarang kamu lebih tinggi dari ibu.” Mata teduhnya memperhatikanku dari bawah ke atas. Tatapannya berhenti di mataku, lalu dia mencoba membenarkan kacamata yang kupakai dan menyisiri rambutku dengan jemari lentiknya walau kuyakin sudah mengenakan dan menatanya dengan baik. “Padahal waktu itu kamu kecil banget, sampai kalau gendong kamu rasanya seperti gendong kucing.”
Dia tertawa lagi dan melepaskanku seluruhnya kemudian duduk di tepian ranjangku sambil memamerkan senyum kecil yang manis. Dari caranya menatap, tergambar jelas bahwa dia mengharapkan sesuatu terucap dariku.
Tapi aku hanya bisa tersenyum saja, dan sepertinya dia cukup puas. Aku pun berbalik dan menghampiri cermin di pintu lemari. Berpura-pura seolah aku sibuk dengan penampilanku walau kuyakin semuanya sudah rapi.
Setelan berupa kemeja putih lengan pendek dengan saku bergambar lambang sekolah, dasi biru langit dan celana panjang berwarna sama. Semuanya sudah menempel di tubuhku dengan baik.
Aku tidak mahir berkata-kata. Pun bagiku, tindakan kecil kadang lebih bermakna dibandingkan ucapan, seperti yang kulakukan barusan pada ibuku.
Dari pantulan cermin, aku melihat ibu yang masih tersenyum, berdiri, berdiam untuk menatapku sebentar lalu pergi keluar.
Kemudian aku duduk menggantikannya di ranjang. Menghela napas panjang. Pagi ini adalah hari pertamaku di sekolah baru. Membayangkan diriku memasuki lingkungan asing tanpa mengenal siapapun membuat jantungku berdebar-debar. Kuharap aku bisa menunda barang sehari atau dua hari.
Namun, semua perlakuan penuh kasih sayang dari ibuku barusan membuatku merasa nyaman. Meski ragu tetap ada, setidaknya semua itu menjadi sumber semangat buatku.
“Aldi! Sarapan dulu sini!” Ibu menyeru dari arah dapur dengan semangat. Tidak biasanya dia begitu.
“Ya, Bu! Sebentar!” Balasku dan kemudian menjemput panggilannya.
***
Sekarang aku telah sampai di halaman depan SMA Madya, sekolah baruku. Aku tidak langsung masuk, tapi terlebih dulu berhenti di tengah arus murid-murid yang hendak menuju ke dalam. Memperhatikan sesaat gedung yang nantinya akan menjadi tempat belajarku.
Gedungnya memiliki tiga tingkat dan di cat dengan warna biru muda secara keseluruhan bahkan hingga atapnya. Sepertinya pendiri tempat ini amat menyukai warna itu.
Aku juga yakin, pasti ada gedung kecil lain yang terpisah dari yang utama. Tidak sebesar sekolah lamaku, tapi menurutku di sini lebih nyaman karena letaknya yang berada di tengah pemukiman, tidak di pinggiran jalan besar.
Lalu aku beranjak masuk ke dalam gedung. Melewati sepasang pintu kaca, aku berjumpa dengan dua orang guru perempuan yang tampaknya sedang bertugas piket tengah duduk dibalik meja resepsionis yang ada di sisi kanan.
Terdapat dua jalan, dan aku memilih ke arah kiri. Menaiki tangga menuju lantai dua dan ambil posisi di depan sebuah kelas yang ramai dengan wajah-wajah yang benar-benar asing. Aku ikut bergabung saja, daripada aku terlihat seperti orang bingung. Mereka pun tampaknya tidak terganggu dengan kehadiranku.
Dari posisiku sekarang, aku dapat melihat hampir keseluruhan tempat ini. Di bawah sana, di lapangan, aku mendapati sekelompok murid yang tengah praktik mengibarkan bendera. Satu dari mereka yang menggunakan kerudung putih, tampak kaku sekali. Dari tampangnya yang terlihat kikuk, kurasa dia adalah murid tahun pertama.
Kukeluarkan sedikit ponselku dari saku celana untuk melihat jam, dan ternyata baru pukul tujuh seperempat. Harusnya aku diagendakan bertemu wali kelasku di ruang kesiswaan. Tapi kurasa aku masih ada cukup waktu untuk melihat-lihat sesaat.
“Lebih nyaman di sini. Tidak berisik,” gumamku saat teringat dengan suasana sekolahku yang sebelumnya.
Setelah kurasa cukup, aku turun lagi ke lantai dasar menuju ruang kesiswaan. Aku punya firasat kalau wali kelasku sudah menungguku di sana.
Kupercepat langkahku setelah aku melewati tangga, hingga beberapa kali aku hampir bersenggolan dengan murid lain. Sampai akhirnya aku pun menabrak seorang siswi yang tiba-tiba keluar dari ruang tata usaha dan membuatnya nyaris jatuh.
Segera aku meminta maaf padanya. “A-Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja.”
Untuk sesaat, dia tampak berang sebelum mengernyitkan alis seolah dia mengenaliku tapi lupa.
“Sekali lagi aku minta maaf, ya?” mohonku lagi. Kupasang senyum kecil dengan maksud agar nuansa tegang di antara kami mencair.
Namun, tiba-tiba dia tersentak. Matanya melebar. Mukanya memerah, dan cara dia memandangku, seakan tidak percaya dengan apa yang dia saksikan. Tingkahnya juga jadi aneh.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya, tapi itu membuatku bingung.
“Ada apa?” tanyaku memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Apakah dia sakit? Tapi rasanya tidak. Dia ... terlalu bersemangat untuk seseorang yang sedang kurang sehat.
Atau mungkin, wajahnya merah karena malu pada seseorang?
Aku menoleh ke belakang dan ke sekitarku, tapi tidak ada siapapun yang kutemukan, kecuali sepasang guru piket tadi dan murid-murid yang baru datang.
Matanya memang melihat ke arahku dan aku yakin dengan itu. Namun rasanya tidak mungkin dia malu bertemu denganku karena aku sendiri tidak ingat pernah berpapasan dengannya.
Dia sendiri seperti berusaha mengatakan sesuatu, tapi berat. Yang dia lakukan hanya mengap-mengap selayaknya ikan sekarat, dan matanya pun mulai berkaca-kaca. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?
Kemudian, tiba-tiba dia berlari cepat sekali ke arah aku datang tadi. “Hei!” Kupanggil dia, tapi tidak diindahkan.
“Dia kenapa?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!