Veeronica Setiawan, gadis SMU yang sudah kelas dua belas. Usinya sudah hampir delapan belas tahun.
Anak pasangan Jovan dan Vani itu sudah beranjak dewasa sekarang (Bisa dibaca kisah Vani dan Jovan di novel : Aku setia, sumpah!, masih karya bund FF)
Dia sedang menikmati liburan semester ganjil kali ini. Gadis itu sangat sulit diatur, tapi diusianya yang baru tujuh belas tahun itu dia sudah berhasil membeli sebuah rumah minimalis yang cukup mewah di sebuah bukit yang masih berada di kawasan Kota Malang.
"Stop, stop pak Dhe" teriak Vee bahagia di pinggir jalan saat mencegat truk raksasa milik Andik.
Hari ini dia berencana ikut Andik, seorang pemilik truk kontainer yang biasanya memuat dan mengirim pupuk ke beberapa kota besar di Pulau Jawa.
Andik adalah teman bundanya semasa lajang dulu. Tapi kini malah terlihat akrab dengan Vee, karena mereka rajin berkomunikasi setiap ada kesempatan setelah diperkenalkan oleh bundanya dulu.
"Naik nduk, tujuan kita dekat saja kali ini, Banyuwangi" kata Andik menginfokan tujuannya.
"Siap pak dhe" Vee sudah duduk manis di kursi penumpang.
Mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dengan celana jeans selutut, tak lupa kamera nikon mahal yang selalu ditentengnya kemanapun pergi. Rambut panjang yang bergelombang itu dibiarkannya terurai kali ini.
Sebuah tas ransel diletakkan diantara Andik dan Vee yang sibuk membidik apapun yang dirasanya menarik. Tak lupa sebuah tas slempang kecil untuk menaruh dompet dan ponselnya.
"Baru tuh kameranya, yang lama kemana?" tanya Andik, jeli sekali mata orang tua ini.
"Biasa, hadiah dari Papa Yudha. Kemarin waktu Vee ulang tahun ke tujuh belas, Papa Yudha ngirim hadiah ini lewat om Akbar waktu ada kerjaan di sini, pak dhe" jawab Vee yang masih mengamati hasil bidikan kameranya.
"Terus yang lama dijual? Kan masih bagus, Vee" tanya Andik.
"Ada dirumah, pak Dhe. Ehm, nanti deh kalau kita ketemu lagi aku titipin ke pak dhe buat dikasih ke mbak Siska, ya" kata Vee dengan lancarnya, dia memang sangat loyal dan tidak pernah perhitungan.
Siska adalah anak pertama dari Andik, dia sendiri punya dua anak gadis yang bungsunya seusia Vee.
"Boleh tuh, pasti Siska senang. Kamu juga dapat salam dari Bu dhe, kapan main ke Kediri katanya" kata Andik yang mengemudikan truknya dengan santai.
"Kapan-kapan deh, pak Dhe. Bentar lagi Vee sibuk belajar, mau ujian nasional pak dhe" kata Vee.
"Kamu nanti kalau nungguin pak dhe bongkar muatan, jangan main jauh-jauh ya. Bisa diomelin bundamu sampai congek an kalau kamu kesasar kayak waktu itu" omel Andik.
Karena pernah Vee ikut Andik mengirim pupuk ke daerah Bogor, dan Vee kesasar hingga Andik harus mencarinya dengan bantuan polisi setempat.
"Hahahaha, iya. Vee jadi malu kalau ingat kejadian itu, pak dhe. Untung saja Vee langsung ke pos polisi. Tapi untungnya, dari kejadian itu Vee punya teman polisi dan beberapa orang preman jalanan di daerah itu pak dhe" kata Vee membanggakan dirinya.
Vee memang sangat supel, siapapun bisa dijadikan teman olehnya. Dari anak kecil sampai orang lanjut usia banyak yang mengenalnya.
"Kamu tuh, kesasar malah bangga. Tapi Bundamu ngijinin kan kali ini kamu ikut pak dhe?" tanya Andik yang sangsi saat Vee bilang bahwa Vani telah mengizinkannya pergi.
"Sudah ijin sama ayah, dan ayah nggak marah kok pak dhe" kata Vee santai.
"Tuh kan, bundamu sudah telpon pak dhe" kata Andik yang melihat layar ponselnya di dashboard menampilkan nama Vani saat berkedip-kedip, ada panggilan masuk.
Vee hanya tertawa menanggapinya.
"Halo, Van. Iya, waalaikumsalam" kata Andik saat menerima telepon dari Vani.
(...)
"Iyo, anakmu iki ngeyel njaluk melok. Lah tadi malah wis ketemu neng dalan, sakno tah lek ndak diajak sisan" kata Andik yang berlogat Jawa saat berbicara dengan bundanya Vee.
(Iya, anakmu ngotot minta ikut. Tadi bertemu dijalan, kasihan kalau tidak diajak)
(...)
"Iyo, wis kamu tenang saja. Tujuanku dekat kok, cuma ke Banyuwangi. Sudah ya, bahaya nyetir sambil telponan. Yawis, Assalamualaikum" Andik memutus secara sepihak sambungan teleponnya.
Bahkan belum sempat dia mendengar Vani menjawab salamnya.
"Males pak dhe ini dengerin bundamu ngomel. Bisa sampai Banyuwangi nggak kelar-kelar kalau dibiarkan" kata Andik sambil meletakkan lagi ponselnya ke dashboard.
"Bunda memang gitu pak dhe, tapi dia baik sebenarnya" kata Vee membela bundanya.
"Iya, dia lemah lembut. Nggak kayak kamu, begidakan (slengek an)" kata Andik yang membuat Vee tergelak mendengarnya.
"Bagaimana hubungan bundamu sama Yudha? Masih sering ketemu?" tanya Andik yang sedikit banyak tahu kisah cinta mereka sebelum Vani memutuskan untuk menikah dengan Jovan.
"Nggak pernah ketemu kok pak dhe, seingatku terakhir kali ketemu papa Yudha ya pas bunda lahiran adik kembarku itu, yang dibawa sama papa Yudha yang satunya" Vee bercerita dengan gamblang, dia sudah menganggap Andik keluarganya sendiri.
"Terus, kamu sama dia masih sering komunikasi?" tanya Andik lagi.
Pembicaraan mereka mulai serius kali ini.
"Masih pak dhe, tapi papa Yudha bilang nggak boleh kasih tahu bunda kalau kami sering telponan" kata Vee.
"Kenapa memangnya?" tanya Andik.
"Vee juga nggak paham pak dhe. Urusan orang dewasa, Vee nggak mau ikut campur" kata Vee menunduk.
Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh para orang tuanya, tapi dia tidak pernah berusaha mencari tahu daripada akan menimbulkan rasa penyesalan untuknya.
"Masih jauh perjalanannya, kamu tidur saja kalau capek. Nanti pak dhe bangunin kalau kita sampai di rest area" kata Andik.
"Nggak deh pak dhe, niatnya kan Vee ikut itu supaya pak Dhe ada temannya, nggak sendirian, masak ditinggal tidur" Vee menolak saran dari pak dhenya.
"Tapi Vee mau ngerjain tugas sebentar ya pak dhe, nggak tahu nih gurunya Vee kenapa ngasih tugas di waktu liburan kayak gini" keluh Vee yang tak suka dengan banyaknya tugas di musim liburan.
"Tugas ya dikerjain toh Vee" kata Andik yang terus fokus dengan jalanan di depannya.
Vee adalah siswi dari SMAN di dekat rumahnya, dia sengaja mengambil jurusan Bahasa karena memang Vee suka sekali mencari pengalaman baru.
Dan menurutnya, untuk bisa menikmati waktu liburan adalah dengan mengerti bahasa di setiap daerah. Oleh karena itu, dia ingin belajar banyak bahasa asing.
Dia percaya, di setiap daerah punya keunikan masing-masing. Dan bahasa adalah kuncinya.
Sejauh ini, dia sedang belajar Bahasa Indonesia sebagai bahasa utamanya. Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Belanda, Bahasa Jerman, dan Bahasa Mandarin yang memang sudah difasilitasi oleh sekolahnya.
Agak memusingkan memang, tapi Vee sangat menikmati proses belajarnya.
Vee terlihat serius saat mengerjakan soal di ponselnya, kadang dia juga harus menjawab dengan suaranya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Andik.
Hampir satu jam telinga Andik mendengar Vee menjawab soal dalam bahasa Asing. Andik sampai pusing mendengarnya.
"Huft, akhirnya selesai pak dhe" kata Vee menghela napas lega.
"Tugas bahasa apa sih? Lidah pak dhe rasanya keseleo dengerin kamu ngomong" kata Andik.
"Bahasa Jerman, pak dhe" kata Vee yang kembali sibuk dengan kameranya.
"Senyum dong pak dhe" kata Vee yang sedang membidikkan kameranya pada Andik.
Andik hanya menoleh singkat dan tersenyum, menuruti permintaan Vee yang sudah dianggapnya anak sendiri.
"Gantengnya, pak dheku" gumam Vee.
"Basi, pak dhemu iki sudah tua. Wis nggak ada ganteng-gantengnya lagi" kata Andik yang tak mampan oleh rayuan Vee.
"Lagian, kamu tuh ngejek opo piye. Wong ireng peteng gini kok katanya ganteng" kata Andik.
"Laki yo ngganteng toh pak dhe, wadon baru cantik" kata Vee yang senyum-senyum sendiri saat melihat kameranya.
Tiga jam berkendara, Andik membelokkan truknya di sebuah pom bensin agar bisa sejenak beristirahat.
"Solarnya habis pak dhe?" tanya Vee.
"Nggak juga sih, tapi nggak ada salahnya diisi dulu. Perutnya juga sudah keroncongan ini" kata Andik yang menyiapkan sejumlah uang untuk membayar solar yang akan dibelinya.
Vee menunggu di dalam truk dengan sabar. Sambil mengamati hasil bidikannya.
Tak lama, Andik menepikan kendaraannya. Mencari tempat aman untuk meninggalkan Kitty kesayangannya di pom ini.
Kitty adalah nama truk yang biasa Andik gunakan, karena kaca bagian depannya sedikit retak dan dikuatkan menggunakan stiker Hello Kitty oleh Andik agar tak bertambah retak dan pecah.
"Ayo turun, cari makan dulu terus ke masjid. Sudah mau Maghrib ini" ajak Andik.
"Siap, pak dhe" Vee bergegas turun dan menenteng tas kecilnya saja.
Sebenarnya Vani tak pernah khawatir saat melepas Vee pergi dengan Andik, sahabatnya.
Karena Andik yang dikenalnya adalah orang yang baik dan soleh. Tak pernah melupakan kewajiban lima waktunya meski selalu bepergian jauh.
"Makan yang banyak, Vee. Biar kamu nggak kurus gitu" ejek Andik.
"Vee itu nggak kurus, tapi seksi pak dhe" Vee tidak terima saat Andik mengejeknya.
Sebenarnya Vee mempunyai bentuk tubuh yang sangat ideal. Pinggangnya ramping, buah dadanya cukup besar dan kencang. Hanya saja dia selalu menutupnya menggunakan pakaian yang selalu oversize.
Tak mau menonjolkan kemolekan tubuhnya agar tak dijadikan bahan untuk para lelaki menggodanya.
Apalagi Vee sangat suka berpetualang, dia tidak mau mencari masalah dengan pamer tubuh.
"Kamu mau minum apa, Vee?" tanya Andik setelah mendapat dua porsi soto Madura full daging kesukaan Vee.
"Teh hangat pak dhe" jawab Vee sambil menyeruput kuah panas dari mangkuk sotonya.
"Teh hangatnya dua nggeh mbak" Andik memesan untuk dirinya juga.
"Nggeh pak" jawab penjual di warung itu.
"Sudah doa opo piye? Nanti makanan sudah habis malah lupa nggak baca doa" kata Andik mengingatkan.
"Sampun dong pak dheku yang paling gagah kayak Bima" balas Vee ikut mengejek.
"Lah ancen ngganteng dong..." mulai deh Pak Dhe Andik bercerita tentang kehidupannya.
Dan dari sinilah Vee selalu menemukan hal baru. Melalui cerita dari para orang tua, akan menambah wawasannya dalam kehidupan.
Dan saat berteman dengan anak kecil, Vee bisa melatih kesabaran.
.
.
.
.
.
Semoga suka dengan introduction nya ya, readers.
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, vote dan kasih gift nya.
Komen yang mendukung boleh, kritik yang membangun juga tidak apa-apa.
Terimakasih yang sudah mau mampir dan meninggalkan jejaknya.
❤️❤️❤️❤️❤️
Banyak cinta untuk semua.
"Akhirnya sampai juga di gudang ya, Pak Dhe" daritadi Vee sudah mengeluhkan kalau pantatnya panas dan pinggangnya mulai capek.
"Iya, pokoknya kamu jangan kemana-mana selama pak dhe menurunkan muatan" Andik sudah mewanti-wanti agar Vee tidak berkeliaran kemanapun.
"Enggeh pak dhe. Vee ngobrol sama teman-temannya pak dhe saja ya" kata Vee berpamitan.
Turun dari truk kontainer, Vee hanya membawa tas kecil dan kameranya saja. Dan membiarkan tas ranselnya berada di dalam truk.
Terlihat ada beberapa orang sedang mengobrol di warung dekat gudang utama. Sesama sopir truk dari berbagai daerah, sama seperti Andik yang sedang menurunkan muatannya di dalam.
"Assalamualaikum, bapak-bapak" sapa Vee sebelum memperkenalkan diri.
"Waalaikumsalam, sendirian nduk? Mana pak dhe mu?" tanya Supri, teman seperjuangan Andik yang mengenal Vee.
"Nggeh pak, sendirian. Pak dhe sedang antri menurunkan muatan. Boleh Vee ikut gabung disini pak?" tanya Vee meminta izin dengan sopan.
"Oh, tentu. Ayo duduk. Ben sedep pemandangane, ora mung nyawang rupane Parno sing mengkerut wae mergo ora dijatah bojone, hahahaha" perkataan Supri diikuti gelak tawa dari teman-temannya.
(Tentu boleh, biar pemandangannya sedap. Nggak cuma lihat mukanya Parno yang mengkerut karena nggak dapat jatah dari istrinya)
Vee duduk setelah memesan segelas kopi susu pada mbak pemilik warung.
"Tadi lagi bahas apa sih, kok sepertinya seru banget pak?" tanya Vee sambil sesekali menjepret keadaan sekitarnya.
"Bahas posisi gudang ini waktu dulu, nduk. Ternyata dulu disini pernah ada pembantaian rupanya" kata Supri.
"Oh ya? Pembantaian apa pak dhe? Seru nih ceritanya" tanya Vee mulai tertarik dengan pembahasan semacam hantu. Horornya terasa mengena kalau yang bercerita orang-orang seperti mereka ini.
"Jadi dulu, semasa penjajahan Jepang baru masuk ke Banyuwangi. Tepatnya di daerah sini, ada satu keluarga Jepang yang bernasib sial disini" Pak Tomas, warga asli Banyuwangi ini memulai ceritanya.
Suasananya juga sangat mendukung, sore-sore menjelang Maghrib yang konon diyakini waktu keluarnya para makhluk halus.
"Gudang ini sudah ada sejak jaman dulu, dibangun waktu penjajahan Belanda" kata Thomas.
"Awalnya, gudang ini sebagai lumbung padi yang digunakan untuk mensuplai kebutuhan beras di seluruh wilayah kecamatan disini. Semuanya berjalan lancar sampai Belanda dikalahkan dan berganti para penjajah Jepang yang memasuki wilayah kita" masih Thomas yang bercerita.
"Lalu ada satu keluarga pedagang dari Jepang yang memasuki wilayah ini, mereka mempunyai seorang anak lelaki tampan yang digilai oleh banyak gadis. Baik pribumi maupun gadis Belanda yang masih bertahan, tak jarang gadis Jepang sendiri yang suka padanya" kata Thomas.
Semua tampak antusias saat memperhatikan cerita Thomas, bahkan Vee sudah merekam pembicaraan Thomas menggunakan kamera canggih miliknya.
"Terus pak?" tanya Vee sudah tidak sabar mendengar kelanjutan ceritanya.
"Terus ada sebuah keluarga asli pulau garam yang juga mempunyai anak gadis, dan keluarga itu dipercaya sebagai keluarga tukang teluh, tukang santet, keluarga yang mempunyai ilmu hitam tinggi" semua orang memperhatikan cerita Thomas dengan seksama.
"Sebentar pak Thomas, hubungannya apa sama gudang ini?" tanya Vee yang sudah tidak sabar mendengar inti ceritanya.
"Sabar dong Vee, dengerin dulu yang sabar" celetuk yang lain.
"Eh, iya. Maaf pak, silahkan dilanjut. Saya mau mendengarkan dengan sabar" kata Vee kembali fokus setelah memamerkan cengir kudanya.
"Jadi, begini. Orang-orang disini percaya kalau anak lelaki Jepang yang tampan ini di santet ilmu pengasih tingkat tinggi oleh keluarga dari pulau garam ini. Dan membuat lelaki ini jatuh cinta sedalam-dalamnya pada anak gadisnya yang hanya orang biasa" kata Thomas.
"Entah siapa pencetusnya, tapi malam itu. Semua warga sekitar gudang ini berbondong-bondong mendatangi rumah gadis itu dan membantai seluruh keluarganya. Membunuh dengan ganas dan membakar rumah beserta isinya, dan juga mayat dari keluarga itu" Thomas menampilkan mimik wajah yang seolah mengerikan saat bercerita.
"Gadis itu tak ditemukan di rumahnya, semua warga sudah mencari kemanapun, tapi nihil. Dan salah satu orang memberi kabar jika gadis itu dan lelaki Jepang yang menjadi rebutan para gadis itu sedang berada di hutan di belakang gudang ini" kata Thomas.
"Warga bertambah marah, apalagi saat mereka bersama ke hutan di belakang gudang ini, malah ditemukan bahwa lelaki itu sudah terbujur kaku di pangkuan sang gadis" cerita Thomas bertambah ngeri.
"Dan kalian tahu apa yang warga lakukan pada gadis malang itu?" tanya Thomas.
Semua hanya menggeleng tanpa suara, bersiap mendengar lanjutan cerita Thomas yang seolah menghipnotis mereka semua.
"Gadis itu disembelih beramai-ramai, lalu jasadnya dibuang begitu saja di dalam hutan di belakang gudang ini. Bersama dengan seluruh keluarganya, tanpa sisa. Dan rumah mereka dibakar hingga rata dengan tanah" kata Thomas.
"Itulah kenapa, hutan kecil di belakang gudang ini sangat menyeramkan, nggak ada orang yang berani memasukinya. Karena setelah kejadian itu, tak seorangpun berani memasuki hutan ini meski beramai-ramai" Thomas menutup ceritanya dengan apik.
"Secara pribadi, Vee agak tidak percaya sih sama yang namanya hantu, pak Thomas. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Para hantu sudah melipir, takut ditangkap sama manusia dan dijadikan konten, hehehe" Vee berpendapat setelah dari tadi diam mendengarkan.
"Memang banyak yang tidak percaya, Vee. Tapi banyak juga yang sudah melihat penampakan gadis tanpa kepala yang sedang mencari kepalanya berkeliaran di sekitar gudang ini, dan menghilang setelah berlari ke arah hutan di belakang gudang ini" kata Thomas.
"Hengmg, menarik juga ya ceritanya pak. Seandainya Vee yang melihat penampakan seperti itu, pasti Vee ikutin sampai dia menemukan kepalanya, pak. Biar Vee tahu apa tujuan dari gadis itu menakut-nakuti warga disini" kata Vee yang mendapatkan tatapan aneh dari bapak-bapak yang mengobrol dengannya daritadi.
"Omongmu Vee, kalau ketemu pasti lari terbirit-birit sampai kencing di celana" ejek bapak berambut keriting, Vee tak mengenali namanya.
Semua orang ikut tertawa mendengar ejekan darinya, sementara Vee malah mencebikkan bibirnya. Tak suka dengan orang yang mengejeknya barusan.
"Terserah bapak sih, awas saja kalau sampai bapak sendiri yang ketemu. Kalau sampai kencing di celana, saya yang pertama akan menertawakan bapak" Vee tak mau kalah dalam hal ejek-mengejek.
"Uwah, rame banget. Ono opo toh?" tanya Andik yang baru bisa ikut bergabung.
"Ponakanmu, Ndik. Nggak takut sama dedemit katanya" rupanya bapak berambut keriting mengadu pada Andik.
"Memang, dia itu sering kok ketemu demit. Bahkan ada yang rupanya mirip kamu katanya" Andik merasa tak terima karena ternyata Vee yang dijadikan bahan ledekan.
Sontak semuanya jadi tertawa mendengar penuturan Andik. Tak terkecuali Vee, dia merasa senang karena ada yang membelanya.
"Masak sih, Ndik? Ada demit yang mirip sama aku?" napak berambut keriting malah mempercayai ucapan Andik.
"Iya, bedanya demitnya gundul. Kalau kamu kan keriting" kata Andik yang lagi-lagi membuat semuanya kembali tertawa.
"Tuyul dong" celetuk Vee yang dari tadi tertawa hingga perutnya terasa agak kram.
"Sialan kamu, Ndik" kata Bapak berambut keriting.
"Sudah, ayo sama-sama ke masjid. Sudah mau masuk waktu Maghrib ini" Andik mengajak semuanya ke masjid.
Meski ada juga yang tetap bertahan tak mengindahkan ajakan Andik.
Tapi tentu Vee mengikuti langkah pak dhenya menuju masjid terdekat. Mereka sudah hafal jalan di sekitar gudang itu karena memang sering kirim pupuk kesana.
★★★★★
Malam hari, kondisi fisik Andik sudah lelah setelah mengendarai truknya dari Malang menuju Banyuwangi.
Hampir dua belas jam di jalanan, membuatnya tentu merasa sangat capek.
Dan seperti biasanya, malam harinya pasti dia akan menginap di gudang tempat biasanya dia membongkar muatannya. Meski harus tidur di dalam truknya.
"Vee, kita tidur di atas bak belakang ya? Pak dhe sengaja bawa kasur lipat biar kamu bisa tidur dengan nyaman" kata Andik.
"Tumben pak dhe mau repot segala? Biasanya tidur di kursi dalam sini" kata Vee.
"Mumpung cuacanya lagi cerah, Vee. Nggak ada salahnya sesekali tidur beratapkan langit bertabur bintang" kata Andik sok puitis.
"Cie, pasti gombalan receh kayak gini yang bikin budhe klepek-klepek sama pak dhe ya, hehehe" Vee menertawakan tingkah pak dhe nya.
Andik sudah mendahului Vee keluar dari dalam truk, menuju ke bak belakang yang terbuka karena kontainer raksasanya sedang diambil isinya. Masih ada di dalam gudang besar itu.
Pria paruh baya itu menggelar kasur lipat untuk Vee. Sedangkan untuk dirinya sendiri hanya beberapa lembar kardus kosong berukuran besar yang didapatkan dari dalam gudang.
"Jangan lupa bawa selimut, Vee" perintah Andik.
"Siap pak dhe" Vee telah membawa selimut tipis yang selalu dibawanya setiap ikut Andik.
Berbantalkan tas ranselnya, Vee memposisikan dirinya dengan nyaman diatas kasur tipis milik Andik. Bersiap tidur malam dibawah terangnya sinar rembulan.
"Pak dhe" Vee memanggil Andik yang batrainya sudah tinggal lima watt saja.
"Hem" jawab Andik menggumam tak jelas.
"Bulan purnama, ya" kata Vee yang masih memandangi langit.
"Katanya ada manusia serigala lho kalau bulannya sedang purnama" kata Vee tanpa menengok pada Andik.
"Biar kamu digigit kalau nggak buruan tidur" kata Andik yang sudah tidak kuat melek.
"Tapi pak dhe..." belum juga Vee menyelesaikan ucapannya, sudah terdengar suara dengkuran dari arah Andik.
"Yah, malah ditinggal tidur" gumam Vee yang masih betah menatap langit yang ditaburi bintang, dengan bulan yang terpajang sedang purnama.
"Indah banget" gumam Vee sambil mengangkat tangannya seolah sedang menggabungkan bintang-bintang dilangit.
Sedang asyik menatap langit, telinga Vee seperti menangkap derap langkah yang tak beraturan.
Entah darimana asal datangnya suara langkah kaki itu. Vee tak bisa menangkap dengan jelas sumber arahnya.
"Kayak ada orang. Mungkin nggak sih masih ada yang belum tidur?" Vee sudah dalam posisi duduk, mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah jam setengah dua belas, masak sih masih ada yang belum tidur?" Vee yang jiwa penasarannya sangat tinggi sudah merasa terpanggil oleh suara langkah kaki yang tak beraturan itu.
Menyibak selimut tipisnya, Vee segera memakai sepatunya lagi. Setelah siap, dia melangkah dengan mengendap-endap agar tak terdengar oleh Andik.
"Oh, kamera" gumam Vee yang tak bisa ketinggalan dengan kameranya.
Diapun segera beranjak setelah mengalungkan kamera mahalnya dengan hati-hati.
"Dari mana sih suaranya?" Vee belum bisa memastikan arah langkah itu berasal.
Srek... Srek ... Srek...
plak... plak... plak...
Seperti suara saat kamu melangkah dengan menggunakan kain yang dililitkan seperti rok saat wisuda.
Masih celingukan, Vee menajamkan pendengarannya untuk mencari sumber suara.
Tak ada yang masih terjaga, beberapa truk yang sedang antri sudah tampak menutup pintu mobilnya masing-masing dan beristirahat di dalamnya.
Terlihat dari adanya kaki yang diselonjorkan ke jendela. Para supir sudah tidur.
Vee segera menoleh saat suara langkah kaki itu terdengar dekat dengannya.
"Astaghfirullah" sedikit Vee merasa lemas saat melihat sesosok makhluk yang sepertinya adalah seorang wanita. Dan benar saja jika wanita itu tak berkepala.
Seketika semua bulu dan pori-pori diseluruh tubuhnya terasa meremang. Hampir menonjol karena rasa takut yang tak terkira.
"Sial! Pasti dia keluar karena di ghibahin sama para sopir tadi sore" gumam Vee yang terlupa dengan semua bacaan doa yang pernah dihafalnya.
Wanita itu mengenakan kebaya jaman dulu dengan kain jarit yang melilit dari pinggang hingga mata kaki. Dia mengenakan sandal yang entah terbuat dari bahan apa.
Suaranya menimbulkan gesekan yang terasa menimbulkan rasa ngilu hingga masuk ke relung hati.
Vee meringis tiap mendengar derit langkah kaki dari wanita tak berkepala ini.
Mungkin karena tak bisa melihat, sosok itu jadinya berjalan tak beraturan. Meraba-raba seperti tuna netra tanpa tongkat. Mencari jalan yang bisa dilewati.
Vee sejenak tertegun melihatnya, kini dia tahu arti rasa takut yang sebenarnya.
Lututnya terasa lemas, sebisa mungkin dia menahan nafasnya karena dalam pikirannya, sosok itu semacam vampir Cina yang bisa mengendus makhluk hidup dari deru nafas yang ada.
Sosok itu masih berjalan tak beraturan, saat Vee menatapnya lekat. Terlihat wanita itu seperti bisa merasakan kehadiran Vee di dekatnya.
Entah benar atau tidak, tangan dari wanita itu melambai padanya. Mengajaknya untuk ikut dan menemaninya menuju ke suatu tempat.
Seolah terhipnotis, Vee tak bisa mengontrol kakinya dan benar-benar mengikuti langkah terseok-seok dari wanita berkebaya yang tak berkepala itu.
Kamera yang Vee pegang masih dalam posisi on dan merekam apa yang ada di depannya.
Tak fokus memang, karena Vee tak memegangnya dengan baik.
Tapi masih bisa dilihat kalau Vee berjalan menuju hutan kecil di belakang gudang.
Hutan yang dipercaya masyarakat sekitar adalah tempat angker yang sebisa mungkin jangan pernah bermimpi untuk masuk ke dalamnya.
Tapi Vee melakukan itu, dia berjalan mengikuti wanita berkebaya batik dan kusam itu lebih ke dalam hutan.
Meninggalkan Andik dan semua orang yang tertidur seperti orang yang kena sirep. Mereka sama sekali tak terganggu dengan suara derap langkah dari wanita berkebaya batik yang terdengar nyaring di sunyinya malam ini.
Dan benar saja, tanpa adanya kontrol dari otaknya. Vee berjalan perlahan semakin memasuki hutan lebih dalam.
Sama sekali dia tidak tersandung oleh apapun. Mungkin karena adanya cahaya dari bulan yang terlihat penuh malam ini.
Cahayanya bahkan bisa menjadi penerang bagi sosok tanpa kepala yang sedang menuntun langkah Veeronica.
.
.
.
.
Sebuah daun terjatuh mengenai wajahnya. Vee terkesiap kaget, dan kebingungan melihat sekelilingnya.
Gelap dan sunyi.
Pandangannya terbatas karena hanya mengandalkan sinar rembulan yang tertutupi dedaunan lebat.
Hampir tak ada sinar, gelap sekali.
"Ya Allah, dimana aku? Aku tersesat tuhan" gumam Vee yang masih berusaha melucu untuk menyemangati dirinya yang entah sedang berada dimana.
"Gelap Ya Allah, Tolong bantu Vee Ya Allah" Vee meraba-raba sekitarnya.
Dia jadi teringat tentang sosok wanita yang tadi dilihatnya. Dan sekarang sudah tak nampak lagi.
Apa mungkin dia sedang sembunyi?
"Ya Allah, kenapa jadi lupa semua ayat-ayat yang dulu pernah hafal sih?" Vee merutuki kebodohannya di saat genting begini.
"Gini nih, kalau suka bolos waktu disuruh ngaji sama bunda" masih meraba-raba, Vee malah teringat bundanya.
"Bundaaa, tolongin Vee" rengeknya.
"Apaan nih?" Vee terkejut saat telapak tangannya meraba sesuatu.
"Bulat tapi bukan bola" gumamnya.
"Berambut tapi nggak halus, jadi bukan rambut" masih saja Vee bermonolog.
"Batok kelapa bukan sih?" Vee bertanya pada dirinya sendiri.
"Tapi kayak nggak ada pohon kelapa?" tanya Vee lirih.
Vee sampai mendongak untuk mencari siapa tahu ada pohon kelapa di dekatnya. Tapi memang tak terlihat.
Hanya pohon tinggi menjulang semacam jati yang menutupi hampir sebagian besar kawasan ini.
"Kira-kira ini apa ya?" Vee memberanikan diri untuk mengangkat semacam bola yang terasa geli saat diraba, memegang semacam tali berserabut dalam genggamannya.
Saat Vee sedang asyik menatap bola itu. Dan perlahan karena hembusan angin, bola ditangannya berputar dan menampilkan sisi lain yang tadi ada dibaliknya.
"Aaaaaaaaaa"
Seketika Vee berteriak kencang saat mendapati sepasang mata yang tengah menatapnya.
Ternyata yang dipegangnya adalah sebuah kepala dengan rambut yang Vee kira adalah sebuah tali panjang.
Segera Vee melempar kepala itu sekuat tenaga. Berusaha membuangnya sejauh mungkin.
Sementara mulutnya masih berteriak dengan kerasnya.
Sesosok tubuh wanita yang memakai kebaya bermotif batik jadul yang tadi menuntunnya ke hutan ini, tiba-tiba ikut memunculkan diri saat Vee melemparkan kepala ditangannya tadi.
Dengan cekatan, sosok itu menangkap kepala berambut panjang itu dengan kedua tangannya.
Tanpa Vee kira sebelumnya, sosok itu menancapkan kepala itu tepat di bagian lehernya yang nampak berlumuran darah yang mengering.
Vee menutup mulutnya, berusaha menelan suara yang sungguh ingin keluar tanpa perintah.
Setelah kepala itu menancap sempurna.
Terasa atmosfer udara di sekitar Vee berubah dengan cepatnya, hanya butuh sepersekian detik untuk menjadikan sunyinya malam yang masih memperdengarkan nyanyian binatang malam, berubah menjadi sangat sunyi, hening dan pandangan mata Vee berubah seperti saat kau melihat film empat dimensi menggunakan kaca mata khusus.
Vee telah berpindah tempat. Dalam satu kali kedipan mata, dia telah berada di halaman depan gudang padi. Bersama teriakan dari para warga yang bergerumbul mendatangi halaman gudang ini.
"Iku wonge, ketemu. Tukang santet e ketemu, ayo ndang dicekel. Ojo sampek mlayu maneh"
(Itu orangnya, ketemu. Tukang teluhnya ketemu, ayo cepat ditangkap. Jangan sampai lari lagi)"
Terdengar seorang lelaki mengomandoi beberapa warga yang datang beramai-ramai dengannya.
Kebanyakan dari mereka adalah warga pribumi. Mereka memakai baju adat jawa jaman kolonial.
Bau debu yang terbawa angin saat mereka berlari tercium di hidung Vee. Membuatnya seketika memejamkan mata dan menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.
"Kenapa tiba-tiba banyak orang?" tanya Vee yang masih membatu di tempatnya.
Mengamati kejadian yang sedang berlangsung dihadapannya.
Tapi anehnya, tak ada satupun dari mereka yang menyadari keberadaan Vee.
Gadis itu seolah hanyalah angin lalu, tak kasat mata.
"Sek.. Sek... Mandek!!" teriak pria itu lagi.
(Sebentar, berhenti)
"Cah gendeng iki mari mateni Hideo rupane" kata pria itu tak berani melangkah lebih jauh.
(Anak gila ini telah membunuh Hideo rupanya)
"Delok en talah, mayit e sik dipangku. Jianc**k. Wis matek" umpatnya.
(Lihatlah, mayatnya masih ada di pangkuannya. Sialan, sudah mati).
Wanita itu terlihat pasrah, tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya bisa menangis karena sudah dikerumuni warga yang marah dan sedang mengincar nyawanya.
"Serbuuu" teriak pria yang tadi.
Menyulut emosi warga yang dibawanya untuk beramai-ramai menghukum wanita itu tanpa ampun.
Bahkan mereka tak mau sama sekali untuk mendengar pembelaan dari wanita itu.
Mereka beramai-ramai menarik si wanita. Dua orang memegangi tangan kanan dan kirinya. Wanita itu ditarik paksa oleh para warga.
Tak ada penolakan darinya, dia hanya pasrah mengikuti alur yang warga inginkan. Hanya air matanya yang terus menerus jatuh di pipinya yang sedikit chubby.
"Turokno! Turokno!"
(Tidurkan! Tidurkan!)
Teriak mereka.
Tanpa banyak kata, seseorang dari mereka telah mengeluarkan parang dan menyembelih wanita itu tanpa ampun.
Seketika wanita itu meregang nyawa.
Darah dari lehernya keluar dengan derasnya. Sementara warga terlihat tertawa penuh kemenangan.
Sejenak tubuhnya menggelepar tak karuan, sementara matanya melotot menatap satu per satu warga yang mengeroyoknya tanpa ampun.
Mata itu kini menatap sedih pada Vee yang tak terlihat oleh warga yang lain.
Apalagi saat warga memutuskan untuk membawa kepala dan tubuh yang telah terpisah itu ke belakang gudang.
Melemparkan begitu saja saat sudah cukup jauh memasuki hutan.
Mereka membiarkan jasad yang tak utuh itu menjadi makanan binatang buas. Entah itu ular berbisa ataupun hewan melata lainnya.
Lambat laun, pemandangan itu mengabur. Semakin lama, warnanya memudar. Makin lama makin menghilang, seperti saat kau melihat TV zaman dahulu yang hanya menampilkan warna hitam dan putih.
Daritadi Vee sudah menangis, dari saat ada orang yang menyembelih wanita itu tanpa ampun.
Sampai kini, Vee nasih sesenggukan. Tak tega melihat pemandangan menyedihkan yang tak bisa dicegahnya dengan cara apapun.
Setelah menyeka air matanya, ternyata Vee sudah kembali ke tempatnya semula.
Di dalam hutan terlarang, di belakang gudang tempat Andik membongkar muatan pupuknya.
Wanita itu berada di hadapan Vee, hanya berjarak sekitar dua langkah darinya. Wajahnya tersenyum, seperti merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Siro wis kepilih, guduk isun jodoh e" meski suaranya terdengar lirih, tapi Vee bisa mendengarnya dengan jelas.
(Kamu sudah terpilih, bukan aku jodohnya)
"Terimoen takdir siro, isun wis kesel sing arepe njogo" kata wanita itu lagi.
(Terimalah takdirmu, aku sudah lelah untuk menjaganya)
"Ojo siro sio-sio, mengko isun sing nggak terimo bakalan nekani siro" tambahnya.
(Jangan kau sia-siakan, nanti aku yang akan mendatangimu)
"Maksud e nopo toh yu? Ojo meden-medeni aku. Aku iki sik cilik, mbok ojok di dawuhi sing enggak-enggak, yuu" keluh Vee dalam bahasa Jawa yang dia mengerti.
(Maksudnya apa sih mbak? Jangan nakut-nakutin aku. Aku ini masih kecil, janganlah di beritahu yang tidak-tidak)
Wanita itu tak memperdulikan rasa takut yang menjalar di setiap sendi dalam tulang belulang Vee. Gemetaran Vee dibuatnya, hanya saja dia terlalu malu untuk ambruk sekarang.
Mengangkat dengan lambat salah satu tangannya, wanita itu sedang berusaha mengambil telapak tangan Vee.
Dapat, tapi tentu dengan segera Vee menarik tangannya kembali. Takut lah dipegang sama hantu, kalau yang memegang tangannya Chanyeol mungkin Vee akan membiarkannya.
Wanita itu mendelik ngeri, kembali berusaha memegang tangan Vee dan menggenggamnya erat setelah mendapatkannya.
"Ya Allah, bundaa... Vee takut" keluh Vee yang merasakan telapak tangannya sangat dingin saat wanita itu memegangnya.
Tiba-tiba saja dari tangannya yang lain, wanita itu dengan ajaibnya bisa mengeluarkan sebuah kotak kayu yang tak begitu besar. Dan memberikan pada Vee.
"Jogoen, rumaten, golekne wujud. Ojo nganti patang purnomo" kata wanita itu yang entah sangat menancap di otak Vee yang pas-pasan.
(Jagalah, rawatlah, carikan tempat. Jangan melebihi empat purnama)
Lambat laun, keberadaan wanita itu semakin pudar. Masih dengan memandang penuh pada Vee saat tubuhnya perlahan menggabur dan hilang terkena terpaan angin malam.
Dan akhirnya, Vee ambruk.
Lututnya sudah tak kuat menahan bobot tubuhnya setelah berjuang selama yang dia bisa.
"Bundaaa... Hiks .. Hiks .." Vee mulai menangis.
Baru tahu rasanya kena tulah dari sang bunda. Kemarin dia tidak berpamitan pada bundanya saat keluar dengan pak dhenya.
"Bunda, Vee mau pulang. Kemana jalannya? Vee takut, Bun" masih merengek.
Vee menendang-nendang udara, persis seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.
Kalau saja Varo, kakaknya, tahu dengan tingkah Vee yang seperti ini, pasti Vee sudah ditertawakan sampai pergantian tahun.
Meski sangat pendiam, Varo itu suka mengungkit hal yang tidak penting.
Atau jika Alina, adik cantiknya yang berhijab itu juga tahu. Pasti hilang sudah rasa kagumnya yang selalu menjunjung tinggi nama kakak perempuannya ini.
Tak sengaja kakinya menendang kotak kayu yang rupanya memang sengaja ditinggalkan oleh wanita berkebaya untuknya.
Tangisan Vee mereda, mengintip dari celah jarinya pada kotak kayu yang kini telah terbuka.
Ada sebuah botol kecil menyerupai botol minyak wangi, tapi kecil sekali. Hanya seukuran jari telunjuknya.
Ada juga sebuah buku kuno yang ukurannya juga kecil. Hanya sebesar buku saku pramuka.
"Apa ini?" gumam Vee mengamati kedua benda dihadapannya.
Dia lebih tertarik untuk membuka bukunya terlebih dahulu.
Dihalaman pertama, ada tulisan singkat yang menggunakan aksara Jawa yang sepertinya adalah sebuah nama.
"Sri Prameswari?" gumam Vee.
"Benar kan ini bacanya Sri Prameswari? Ada untungnya kan aku belajar bahasa Jawa dengan tekun. Rupanya sekarang ada gunanya" kata Vee.
Halaman kedua.
"Hideo Akihiro?"
"Siapa itu Hideo Akihiro?" Vee masih bergumam dengan dirinya sendiri.
Halaman ketiga.
"Saged dibuka tutup e, ojo ditinggal isine. Tanggung jawab e Siro wis dimulai" Vee membaca dengan baik meski terbata-bata.
"Bisa dibuka tutupnya, jangan ditinggal isinya. Tanggung jawabmu sudah dimulai?".
Penasaran dong, Vee langsung mengamati botol kecil yang berada di tangannya yang lain.
Memang ada tutupnya sih di mulut botol sekecil itu.
"Duh, gemes banget. Jadi pengen kumakan aja" gumam Vee yang melihat botol lucu dihadapannya.
"Eh, ada tulisannya juga" Vee masih mengamati botol mini itu.
"Hideo Akihiro" kata Vee yang berhasil mengeja dengan baik.
"Buka deh, nggak apa-apa. Nggak akan terjadi apa-apa" kata Vee meyakinkan dirinya.
Bahkan dia sudah lupa sedang dimana dia berada, karena terlalu asyik dengan kegiatannya.
Posisinyapun masih sama, duduk diatas tanah dengan kedua kakinya yang diselonjorkan.
"Bismillah, 1, 2, 3, buka!" kata Vee menyemangati dirinya, dan menutup kedua matanya setelah tutup itu terbuka.
Tutup kecil di mulut botol itu telah terangkat, ukurannya sangat kecil. Untungnya ada tali pengikat agar tutup itu tidak sampai hilang saat terlepas.
"Tuh kan, nggak terjadi apa-apa" kata Vee senang, karena suasana masih hening.
"Huft, aman" Vee mengelus dadanya karena merasa lega tiada tara.
Diapun memasukkan kembali buku kecil dan botol mini itu kedalam kotak kayunya. Setelahnya, dia berdiri dan ingin beranjak dari tempat itu.
Dalam posisi berdiri, Vee masih sempat menepuk-nepuk pantatnya yang kotor karena tertempel tanah dan daun kering.
"Sudah, bersih. Waktunya nyamperin pak dhe Andik daripada kena omel lagi" kata Vee setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Aaaaaaaahhhhh" kembali Vee berteriak saat melihat sesuatu sedang melayang-layang di udara.
.
.
.
.
.
Kira-kira apa ya yang Vee lihat sampai dia berteriak histeris?
Awas suaramu habis ya Vee, daritadi teriak-teriak terus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!