NovelToon NovelToon

Autobiografi SMA (Hero Generation)

PROLOG.

⚠PERHATIAN!⚠

BILA ADA KESAMAAN NAMA, KARAKTER, TEMPAT, DAN CERITA, ITU HANYA KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN. TIDAK PLAGIAT DAN TIDAK UNTUK DIPLAGIAT.

SELAMAT MEMBACA ...

Laisa sendirian dalam hidupnya

Bahkan saat kuberikan segelas air dia merasa selalu sendiri

Aku ingin mengajak Laisa hanya untuk berbincang

Tentang sanjungan atau hinaan ...

     Meski kuburuk rupa, aku masih hafal mana gadis cantik

     Atau menerka langit bahwa Laisa sendirian

     Biar ku tangkap butiran hujan atau duduk memegang batu

     Asal kau mau tetap bersamaku

     Hidup dalam komitmen sampai mati itu kita rasa ...

         Di kota Artana yang terselimuti langit biru karena terik menyengat, hingga awan-awan terasa memudar terbakar cerahnya siang ini, meski anehnya, udara membelai begitu sejuk, ada pria muda, yang terbilang sangat muda, terpaku sendirian di atas jembatan kayu merah, tetapi rintihan pola pikirnya mengalun dalam otak dinginnya, bagaimana caranya mengurangi obsesi bunuh diri anak muda? Ya, itulah topik dalam alunan pikirannya, atau bahkan, untuk sekepal perasaan bimbangnya yang kini mendekap dadanya, apakah bisa dia terus bertahan demi membentuk harapan cerah generasi selanjutnya? Ya, itulah citra dari hatinya yang bimbang.

Kehormatan! Dia pernah menikmatinya, semasa SMA dulu adalah puncak kehormatannya, tapi tunggu, waktu demi waktu yang kini terenggut, tak menghilangkan esensi kehormatan itu, gelar dan fiil, itu yang menjadi alasan dia dihormati, ketua kelas itulah gelarnya, untuk hari ini, esensi kehormatan itu belum luntur, bahkan, tak rela untuk dipudarkan.

Bukan itu saja, wajah karismatiknya semakin hari semakin cemerlang, hanya saja, saat ini, ada alasan kuat mengapa tubuh tegapnya, rela memakukan diri sendirian, di sini, tepatnya di jembatan penyeberangan antara desa Entesa, dengan kompleks Hanataba, berdiri di depan langkan jembatan, matanya yang hitam legam tak jenuhnya memandangi anak-anak muda yang tengah asyik berenang-renang di sungai, itu berada di bawah jembatan.

Atas alasan itulah, kepalanya yang dingin, kini justru teringat pada teman-teman SMA-nya, tetapi bukan itu bagian yang terpenting, justru, sepenggal kalimat yang dulu temannya katakan, adalah topik utama yang masih terpatri jelas dalam pikirannya, menelusuk kenangannya, seakan ingin diperhatikan.

“Kalian ... hanyalah teman sepintas, jika nanti kita lulus, semuanya sibuk dengan kehidupan masing-masing, tak peduli lagi pada teman sekelasnya, saat kita berkumpul dalam acara yang disebut reuni, kalian akan menertawakan teman kalian yang tengah terpuruk tanpa mementingkan perasaannya.”

Demikian kalimat yang terlontar dari mendiang seorang teman yang bernama Fihan, dan kini, kalimat itu menjadi cambukan jiwanya untuk dapat terus peduli pada keadaan kawan-kawannya, jauh memang mereka hidup, hanya saja, hal itu tak menghalangi kepeduliannya.

Seminggu sekali, atau bahkan sebulan sekali, dia akan menelusuk kontak ponselnya demi mendapat sekilas info, tentang kondisi kawan-kawannya, hal itu wajib diketahuinya, atau bahkan bila tidak, dia memaksakan tubuh tegapnya untuk bersua pada kawan-kawannya, dan itu, hanya sekadar mengetahui kondisi teman-temannya, jadi, tak ada kata nanti untuk mengetahuinya. 

Lima anak muda yang berenang penuh ceria, terus menjadi objek santapan netra hitam Farka, menyenangkan! Itu yang pastinya anak-anak muda itu rasakan, dan untuk perasaan Farka, sekali lagi, bimbang adalah perasaannya!

Tentunya, bimbang itulah yang membawanya kemari, menunggu seorang ayah, demi melaksanakan proyek besar, sejarah, memang itu topik yang akan dibuatnya, tetapi, melihat anak-anak muda itu berenang hingga tertawa lepas, seakan putaran dunia hanyalah lelucon belaka, membuatnya berkontemplasi, apakah masih ada anak muda yang bisa menikmati mudanya? Atau kehidupan telah menyaput masa mudanya.

Penting atau tidak, tentu sangat penting, kota Artana ini, memiliki kasus bunuh diri yang layak disebut banyak, terbilang dalam setiap bulannya selalu saja ada satu atau dua manusia yang membunuh dirinya sendiri, alasannya simple namun taksa, yaitu karena beban hidup.

Manusia yang bunuh diri notabene dari kalangan pelajar, pastinya, tekanan hidup, adalah dorongan kuat, agar kematian menjadi jalan terakhir untuk diambil, masyarakat tidak bodoh, tapi siapa yang tahu, bahwa mental manusia lebih lembut ketimbang belayan sang ibu. Farka hadir di jembatan ini, demi mengawali pelajaran apa saja yang dimiliki para pelaku bunuh diri, tepatnya pengalaman apa dan perasaan apa yang mereka punya, hingga rela menghabisi nyawa mereka sendiri.

Dan SMA Lily Kasih, menjadi langkah awal, demi menunjukkan pengalaman-pengalaman murid-muridnya yang unik, dia alumni SMA Lily Kasih, lebih dari itu, Farka serta kawan-kawannya telah mencatatkan sejarahnya, dalam bentuk buku yang disebut autobiografi, kendati begitu, masih belum cukup untuk catatan sejarah terbaik, memang telah banyak buku yang dibuat, bahkan seluruhnya memiliki kisah yang penting untuk diambil tamsil bagi kehidupan ini, hanya saja, kesempurnaan itu yang dicita-cita.

Berbarengan dengan kebimbangannya, udara membelai kulit putih bersihnya, terasa sejuk, bahkan terik tak begitu menyengat kulit, segar itulah yang menyeruak di jembatan merah ini, perbatasan kota dan desa, pemandangan lumayan bagus, meski tak sebagus lukisan alam persawahan, itu pikirnya.

Maka akan jadi apa, kalau-kalau kota Artana ini memiliki generasi muda yang mentalnya terasa rapuh, pentingnya adalah membuat solusi agar tak menjadi kematian sia-sia.

Di depan langkan jembatan, pria muda berjas itu masih menikmati kesendiriannya, sejarah, itulah yang kemudian berkelumit dalam otaknya, sembilan belas tahun adalah waktu hidupnya yang kini telah dilalui.

Bersamaan dengan itu, sang ayah tiri, pada waktu pecahnya lamunan Farka, datang menghampirinya, pria dewasa, hanya saja penampakkannya memang terbilang culun, kacamata serta rambut klimis yang tersisir rapi ke kanan, dua faktor itu yang menegaskan, betapa culunnya dia, atau mungkin auranya yang memang memancarkan kesan culun, kendati begitu, dia seorang guru, Sukada, adalah namanya sejak dulu hingga kini.

Buku tulis yang dibawanya, adalah objek yang akan dipaparkannya.

“Farka, murid baru itu seorang gadis, dan kehidupannya sangat unik, bahkan ayah yakin, dialah orang yang tepat.” Tutur Sukada membeberkan informasi penting dan ini harus ditanggapi serius.

Bukan hanya info yang dipaparkannya, potret sang gadis yang terpampang di ponsel pintarnya pun memperkuat kebenaran kalimat sang ayah, jelas, netra hitam Farka, langsung terfokus pada potret itu, kulit senantan, wajah manis berkarismatik, rambut krem agak keriting, tiga ciri rupa sang gadis, itulah yang paling melekat pada ingatan Farka.

Ada satu lagi yang menambah fakta dari ciri atau karakter sang gadis, tepat di buku tulis yang dibawa Sukada, sebuah karangan cerita telah termaktub di bukunya, buku tulis bersampul merah.

Aku Laisa, dia membawaku, berlari ceria meski malam ini dingin menyengat, aku tertawa mencengkram jemari tangannya erat, dia terus membawaku, bahkan dia tertawa bersamaku.

“Senyur, siapakah yang bersama Anda?”

Pria tua, ya, langit tak setua dia, hanya saja keadaan rambut ubannya dan keriput pengalaman hidupnya mencerminkan hidup yang panjang telah dilaluinya, asisten sang senyur. 

“Laisa! Laisa! Dia gadisku!”

Ya senyur muda ini menjawabnya dengan bangga, apakah aku tetap bisa berlari hingga terbit mentari? Berlari berdua bersama laki-laki ini, dunia ini memang bukan milik kami, kami bahkan baru menyadari fakta itu saat kami berlari di sini, di atas rerumputan merah.

“Aku tak mau mati, tak mau jika janji manis hanyalah demi menyenangkan aku sejenak.“

Itu aku yang bicara, gadis yang dibawa lari oleh senyur muda, mengelilingi rumah megah yang nyaris bagaikan istana, oh, bukan, ini nyaris bagaikan mengelilingi dunia.

”Tapi, jika kita hidup abadi, ku rasa kau akan jenuh padaku.“

Senyur muda meragukan perasaanku, namun dia masih membawaku berlari.

”Tidak! Tidak, kita sudah kelilingi dunia, itu menunjukkan aku ingin bersamamu meski dunia yang kita kelilingi hanyalah rumahmu, bahkan, jika aku bosan, aku tahu caranya jatuh cinta kembali.“ 

Segenap perasaanku adalah untuknya, terlalu rela membiarkan hidupku bersamanya, namun memang aku ingin bersamanya bahkan untuk selamanya, berlebihan, memang, tetapi, kadang kenyataan memang berlebih-lebihan. 

Janji itu terikrar sudah kala pernikahan menjadi simbol komitmen, simbol keabadian dan untuk itu, aku syukuri.

Hidup itu bersamanya, membentuk relasi antara pentingnya menjalani komitmen, aku dan suamiku saling percaya, hanya percikan keegoisan yang memicu amarah, tapi jatuh cinta lagi, pasti kami lakukan, itu hal yang mudah, cukup memaafkan seluruh keegoisan, atau senyuman menjadi jalan untuk jatuh cinta kembali.

Kami menjalani rumah tangga bagaikan pertemanan, keluarga, pastinya sepasang pasutri, kadang tertawa saat saling berguyon, bahkan marah saat guyonan itu tak dapat diterima, sekali lagi aku tegaskan, kami bisa jatuh cinta lagi, lelah atau pun tidak, bukan menjadi halangan untuk menikmati perasaan unik itu.

Aku dimanja suamiku, konyolnya, dia pun senang memanjakanku, apakah salah menjadi istimewa demi kebahagiaan? Aku bahkan bertanya pada diriku sendiri. Atau ingin dicintai oleh manusia sempurna? Aku bahkan selalu berharap untuk itu.

Tapi kadang juga marah, saat laki-lakiku jalan bersama wanita lain, atau bahkan cemburu, dengan alasan janggal, dia punya nomor kontak wanita lain, itu tanpa sepengetahuanku, aku marah, dan cemburu, logisnya aku bodoh, hanya saja, kadang cinta membuatku jauh lebih bodoh.

Untuk kecemburuan suamiku, dia akan bertanya, sampai mata biruku, tak mampu mengelak dari tatapan mata hitamnya, akan hal itu, aku selalu jujur, bahwa, aku punya teman laki-laki, bahkan temanku itu tampan, bukan itu saja, ada sahabat laki-laki yang aku sayangi, sekiranya perlu agar aku mencintai sahabatku, maka aku akan mencintainya, hanya saja, cinta pada sahabat priaku, atau menyayangi teman-temanku tidak seidentik seperti mencintai dan menyayangi suamiku, syukur dan wajib aku syukuri, suamiku bijak dalam menyikapinya, dia menerima segala bagian hidupku, seluruhnya, tanpa terkecuali, tanpa intervensi dari siapapun. 

Sekali lagi aku tegaskan! Kami bisa jatuh cinta berkali-kali, sekiranya perlu untuk membenci, maka kami hanya membenci setiap perilaku buruk dan kotor, dengan begitu, komitmen sepasang suami istri tetap utuh.

Ya! Aku membuat wanita lain cemburu! Bahkan bila perlu, aku buat dunia cemburu! Bahwa kenyataannya, aku punya laki-laki sempurna yang hidup demi diriku! Suami bijaksana yang didambakan oleh setiap gadis di muka bumi ini, cukup bagiku melihat gadis-gadis itu berharap memiliki suami sepertiku, aku sudah senang.

Teman-temanku sudah menyadari kehidupanku, apa yang mereka katakan, meski perasangka yang mereka lakukan, pada dasarnya, mereka tak peduli, sebatas kosa kata yang tak perlu aku ambil hati, sebab begitulah anak muda jiwanya.

Guru-guru di sekolah tak melarang muridnya untuk menikah, poin penting, itulah yang dilihat, bahwa, aku tak boleh punya anak, dan sekolah tetap menjadi fokus utama sebagai anak muda yang beranjak dewasa.

Puisi, sahabatku membenci puisi, hingga terbilang amat membencinya, akan hal demikian, kami tetaplah sahabat, tak ada yang lain, selain saling percaya sebagai sahabat adalah jalan terbaik agar dapat menerima segala bentuk kesempurnaan kami.

Anka, ya, itulah nama sang sahabatku, dia bagaikan madu dalam sarang lebah, atau awan dalam hujan deras, tanpanya, aku hanyalah simbol dusta, tak berarti apapun, kecuali untuk kesenangan semata.

Di bawah atap sekolah, kami tertawa, akan hal menggelikan, tentang kehidupan yang kadang lucu jika tak dianggap serius.

Lalu suamiku, aku percaya padanya yang juga dia percaya padaku, keharmonisan pun terbentuk dalam ruang tanpa batas, maka jarak, tak memudarkan kepercayaan kami.

Ya, dia memang bukan bagian dari jiwaku, meski demikian, dia bagaikan nyawa keduaku, tak perlu anak, kami masih cinta untuk berdua.

”Karangan cerita itu sebagian besar adalah kehidupan pribadinya, sisanya hanyalah imajiner.“ Ungkap Sukada layaknya membeberkan rahasia penting negara.

”Nilainya sepuluh ya?“ Heran Farka dengan nada menyindir.

”Ya ... Guru Ganza yang memberinya nilai, bahkan, nol adalah nilai yang tadinya ingin Guru Ganza tulis, karena perintah awalnya membuat cerpen, bukan malah buat karangan bebas.“ Bela Sukada, kembali membeberkan info penting, dan itu wajib dianggap fakta!

”Hem ... setidaknya, dia lebih baik daripada aku.“ Farka merendah diri, bertujuan memperkuat harapan cerah yang dimiliki sang gadis.

”Temuilah nanti, Laisa namanya, dia gadis yang bangga karena dijodohkan, sering mabal, dan merasa hidupnya sempurna, bahkan untuk itu, kamu harus bersabar bila dia menolaknya, berikan waktu, bila itu perlu.“ Saran Sukada dengan serius dan cukup membuat Farka mengangguk-angguk menerima dengan baik saran sang ayah tiri.

“Dan ingat ini! Tidak ada keberpihakan pada siapapun, tidak pada agama, tidak pada budaya, tidak pada kebebasan, tidak pada suatu ras, tidak pada individu, kita netral, dan seluruh yang tadi ayah sebutkan, adalah hak masing-masing individu, jika ada yang marah pada kita, maka, tanggung jawab kita hanya memberi peringatan.” Imbuh Sukada bersungguh-sungguh.

Maka, Laisa akhirnya menjadi objek proyek sekolah selanjutnya, membentuk sejarah sesempurna mungkin, sejarah bagaimana anak-anak muda memiliki sejarah, pengalaman atau pun harapan, itu pula adalah sejarah, tujuan akan hal itu hanya satu, menyajikan sejarah terbaik pada rakyat kota Artana, lalu membiarkan waktu bekerja, membentuk masyarakat yang berjiwa patriotik, atau mungkin malah melahirkan para penjahat yang cerdik, tetapi, kembali lagi pada cita-cita, bahwa pada hakikatnya, semuanya adalah sejarah.

Aku senang karena aku seburuk rupa dugaanmu 

Aku bangga karena aku semalas dirimu 

Aku sendirian meski kau di depanku

Aku sedih melihatmu berpaling dari mala petaka kita 

Segila itulah aku menggilaimu ...

       Ahk bodohnya aku bahwa kau masih bodoh untuk mengenalku

       Ahk lemahnya aku bahwa kesenanganmu menjauh dariku

       Bahkan sinar mentari memperlihatkan kekuranganmu 

       Aku bahkan ingin menjilat tulangmu

       Segila itulah aku menggilaimu ...

BAB 1: INILAH AKU ....

         Ini ruang makan, aku beserta suamiku telah menelan habis sarapan pagi yang kubuat. Bahkan selepas itu, kami melakukan sebuah kebiasaan, dan itu hampir menjadi budaya, menyentuh lesung pipiku dengan kedua jari kelingkingnya, itu yang dilakukannya.

“Aku suka caramu saat menyentuh lesung pipiku dengan jari kelingkingmu.” Aku membeberkan perasaanku saat ini.

“Dan, kita sudah membahas itu ....“ Suamiku bersikap santai dan sikap santainya selalu membuatku terkagum-kagum.

Ya! Aku menikah muda, dan nyatanya, masa mudaku berjalan baik-baik saja, aku bebas berekspresi, bebas berteman dengan siapapun, bahkan, apapun yang aku mau suamiku akan mengabulkannya, sekolahku pun lancar, selagi gadis manis tetap menjadi identitasku, maka dunia pun harus mengakui kemerdekaanku!

Romantis, itu suamiku, dan ambisius itu aku, hanya saja, kemalasan adalah sikap kami menghadapi kehidupan, dia pemalas dan terlalu malas untuk merapikan barang-barang rumah, termasuk pakaiannya sendiri! Aku juga begitu sih.

Dan harmonis, itu kata yang sempurna untuk menggambarkan kedekatan kami, setiap dia pulang kerja dan aku pulang sekolah, kami akan menghabiskan waktu untuk berkaraoke, lalu mengaji bersama, dan beres-beres rumah sendiri-sendiri.

Suamiku memiliki badan bedegap seperti seorang kopassus, kulitnya yang kuning langsat terlihat seksi kala sinar mentari pagi menyorot kulitnya, matanya yang hitam legam nampak segelap kayu arang, rambut pendeknya yang klimis nampak serasi dengan bentuk wajah perseginya, ketampanannya seperti bintang film Hollywood, Tom Cruise, dia pria santai, bukan cuek! Yang bisanya senyum-senyum sendiri kayak kurang gizi, bukan juga dingin! Yang kalau dipanggil cuman bisanya diam dan diam seolah lupa kalau memang punya telinga, dan bukan pula pemarah! Yang kalau dikasih sebiji permen tiba-tiba langsung ngamuk malah minta pabrik permennya, suamiku tidak seperti itu! Dia itu pria beralah, tak banyak tingkah, sangat pengertian, kebapakan dan tentunya keren!

Selain itu, aroma tubuh suamiku juga semerbak bunga mawar merah, dia suka bunga mawar, dan aku menyukainya karena dia menyukainya.

Jika aku sedang galau, suamiku akan mendeklamasikan puisi, atau bermain gitar, meski ujung dramanya kami pasti akan berleha-leha, dan memang nyatanya kegalauanku akan hilang jika ada hal yang bisa aku tertawakan, lebih dari itu adalah tidur, sebetulnya, kegalauanku hanyalah sebatas hal-hal remeh, seperti tidak dapat uang jajan, dimarahi guru, atau teman sekolah yang nyebelin, tapi, suamiku yang bijak selalu paham tentang sisi kejiwaanku, tepatnya perasaanku.

Nah, uniknya, suamiku jarang terlihat sedih, tak ada yang tahu mengapa dia jarang terlihat sedih, bila pun ada masalah hidup, dia pasti selalu merundingkannya denganku, yang konyolnya ujung tanggapanku selalu nyeleneh dan absurd, sehingga selalu saja bantuanku terkesan menambah rumit masalah, atau setidaknya, menambah beban pikiran suamiku. Meski pun aku masih kekanakan, tapi suamiku selalu menerima saranku dengan respons yang baik, tanpa ada kritikan maupun celaan, suamiku sebenarnya bijak, malah seharusnya dia tak perlu pendapatku, tapi entah mengapa tetap saja dia meminta pendapatku.

Satu hal penting! Sebenarnya aku tidak begitu menyukai puisi, namun dari puluhan puisi yang pernah suamiku buat hanya sebait yang aku ingat.

Laisa, aku benci puisiku karena tak seanggun kukumu

Biar saja menikah muda kita menjadi aib

Karena cinta bukanlah kriminal dan menikah bukanlah dosa

Maka maaf bila aku selalu di sampingmu

Tapi tenang Laisa, kematian itulah yang nanti akan kita nikmati.

Hal yang paling menyenangkannya adalah aku dijodohkan oleh mendiang orang tuaku dengan laki-laki tampan dan bertanggung jawab! Tujuh tahun adalah jarak usia kami dan satu tahun adalah usia pernikahan kami.

Sebenarnya sih pekerjaan suamiku hanya sebatas kerani di perpustakaan kota Artana, gajinya pun tak seberapa, malah, rumah mewah yang kami miliki hanyalah sebatas peninggalan mendiang orang tuaku, mungkin bagi gadis-gadis di luar sana, pria mapan sebagai pasangan hidup sudah menjadi budaya pola pikir mereka, kendati begitu, suamiku Harfa, telah memiliki karakteristik kejiwaan yang dicari wanita di luar sana, tentunya laki-laki sempurna.

Ada satu hal yang selalu membuatku terharu, dia rela tak makan dua hari hanya agar aku mau memaafkan kesalahannya, bahkan, suamiku itu orang yang religius.

Alasanku dijodohkan karena orang tuaku sama-sama punya penyakit langka, ketakutan terhadap masa depanku yang tak menentu itulah penyebabnya, mereka juga anak yatim piatu, sehingga mereka tidak punya keluarga, mereka pun memiliki hobi yang sama, cara makan yang sama, warna kulit yang sama, dan sama-sama suka mendengkur, aneh memang mereka punya hidup yang sama, kadang aku menertawakan kehidupan mereka yang identik, tapi menangisi kepergian mereka untuk selamanya, lalu tersenyum senang saat mereka menjodohkan aku dengan pria tampan dan cukup gagah, aku jatuh cinta pada pandangan pertama, anehnya pria itu juga jatuh cinta pada pandangan pertama, aku kembali menertawakan sebuah kehidupan, yang seolah aku melanjutkan kisah cinta orang tuaku, dan tertawa kembali karena ini memang aneh.

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Dan suatu hari, tepatnya tujuh bulan yang lalu, aku bertemu dengan Kak Farka, alumni SMA Lily Kasih, kami bertemu di sebuah kafe dekat jalan raya.

Laki-laki berkarismatik itu menemuiku dan duduk di meja yang sama, harum parfum khasnya begitu semerbak di hidungku, penampilan formalnya terkesan bahwa dia orang kaya, uniknya aku berpikir bahwa dia orang terhormat, dia memperkenalkan dirinya, padahal aku tak tertarik juga.

”Murid baru ya di Lily Kasih?“ Kak Farka menyelidik namun lebih menjurus untuk memastikan.

”Iya Kak!“ Dengan lantang aku menjawab penuh bangga. Aku memang murid kelas 11 yang baru bergabung, tapi kok dia tahu kalau aku murid baru, ketemu saja baru kali ini.

”Keluarga, cinta, teman, sahabat, harta, kebahagiaan sudah kamu raih, untuk apa kamu bersekolah?“ Kak Farka menanyakan hal aneh yang membuat keningku mengernyit berpikir kuat-kuat demi mengetahui berazamnya.

”Ha?“ Akhirnya aku menyerah untuk berpikir.

”Maksud kakak, apa tujuanmu sekolah? Apa mimpimu? Kakak ingin bicara serius.“ Ungkapannya sangat tak masuk akal, cukup tak masuk akal bagi orang yang baru pertama kali ditemui.

”Tentu biar pintar.“ Aku menjawab seadanya.

”Ya sudah. Tapi hidupmu belum sempurna.“ Kak Farka tersenyum tenang dengan kalimat yang membuatku langsung gelisah.

Aku mengidap atelofobia, bahwa segala sesuatunya harus sempurna, aku mulai cemas dan ketakutan, hingga tubuhku mulai berkeringat dingin.

”Aku sudah hidup sempurna! Iya aku hidup sempurna!“ Balasanku yang panik dan kalut diketahui oleh Kak Farka.

”Tenang, tenang, kakak hanya bercanda.“ Kak Farka berusaha agar aku tetap santai yang nyatanya aku tetap panik.

Agak aneh juga sih, mengetahui Kak Farka, seolah mengetahui fobiaku, entah hanya kebetulan, atau memang dia mengetahuinya.

”Teman-teman kakak sudah menulis buku mereka, apa kamu mau ikut proyek perpisahan sekolah?“ lanjutnya menjelaskan azamnya.

”Proyek?“ jelas aku heran karena ajakan Kak Farka sangat taksa.

”Membuat sejarah terbaik, demi adik kelas, agar mereka selamat.“ Kak Farka menjelaskan dengan kesan mengerikan.

”Eh? Selamat? Adik kelas kita memang kenapa?“ Aku menyelidik dengan serius, dan kepanikan atelofobiaku mulai berkurang, namun kebingungan melanda benakku.

”Begini saja, kamu mau tidak menulis sejarah kehidupanmu? Menulis autobiografi?“ tanya Kak Farka menawarkan seolah tawarannya adalah harga termurah sebuah hunian mewah.

”Eh? Untuk apa? Orang kehidupanku sempurna, untuk apa juga orang membaca buku yang segalanya sudah bahagia, bahkan sebuah novel pun harus ada intrik di dalamnya?“ Aku keheranan setengah mati.

Dengan mengurai senyuman miring penuh rahasia dan tubuh yang agak didekatkan padaku, hingga aku berpikir dia ingin mengecupku.

”Nah, kalau begitu, bantu temanmu agar mampu sepertimu.“ Ucapannya meyakinkan dan terkesan kewajiban.

Satu penggal kalimat sungguh-sungguh itu, seperti perintah dari seorang presiden kepada seorang intelijen negara dan aku menelan liurku, mengangkat daguku, memancarkan sorot mata keseriusan, maka secara mendadak, aku tertawa.

”Hehehehehehe, manusia macam apa yang rela membaca kisah hidup nggak penting sepertiku? Lebih baik mereka nonton film drama cinta-cintaan yang penuh derai air mata.“ Aku berguyon.

Kak Farka kembali duduk normal bersama senyuman penuh maknanya, yang menyiratkan bahwa dia memiliki harta karun yang hanya dia sendiri yang memilikinya.

”Kamu bisa tersenyum bangga saat senang, tapi, bisakah kamu tersenyum senang saat susah?“ Pertanyaan Farka kembali misterius, dia seakan ingin melahapku buru-buru, tepatnya, ingin aku mengikutinya.

”Untuk apa aku bersusah-susah kalau nyatanya aku sudah bersenang-senang, toh ujungnya pasti bersenang-senang.“ Aku menyindir.

”Tapi terkadang, kita harus turun ke bawah untuk melihat setingga apa saat kita di atas.“ Kak Farka membalas tetap kukuh untuk membuatku interesan.

”Ahk, ujungnya melelahkan dan nggak berarti juga.“ Aku menjawab dengan ketus, karena memang enggak penting juga menulis buku, apa lagi aku pemalas.

”Bahkan seorang raja harus masuk ke dalam tanah hanya untuk mengetahui, sejauh mana rakyatnya bisa menyelami bumi.“ Lagi dan lagi Kak Farka mendesak dengan kalimat kiasannya itu, berharap agar aku tertarik, padahal tidak.

”Maaf Kak, proyek perpisahan itu kayaknya nggak deh.“ Aku menolak mentah-mentah tanpa perundingan lebih dulu.

Kak Farka mengangguk pelan, wajah berkarismatiknya nampak datar, namun kontemplasi terpancar dari kedua sorot netranya, ia memikirkan sesuatu, entah itu tagihan listrik, atau mungkin pajak tanah yang belum dibayarnya.

”Kalau begitu ... sampai ketemu tujuh bulan lagi,“ ungkap Kak Farka dengan bangkit dari kursi.

“Kenapa harus tujuh bulan? Kakak belum mandi ya.” Aku bergurau.

“Enggak ... biar nanti kamu paham, kalau setiap insan, punya cerita menarik yang bisa menjadi pelajaran hidup tetangganya.” Ujaran serius yang agak berkelakar itu disudahi dengan senyuman menyiratkan rahasia.

Aku cuman manggut-manggut tanpa tanggapan berarti.

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Kehidupanku selalu berjalan begitu indah, sampai kadang, aku tak peduli pada lingkungan sekitarku, aku gadis yang ambisius, tapi, dibalik itu, aku pun pemalas, dan sering mabal, aku bukan tipe manusia yang beralah dan diam saat diintimidasi, aku selalu melawan manusia-manusia yang berusaha menjajahku! Cita-citaku sangat aneh, bahkan terbilang ganjil, menjadi seorang wasit sepak bola, tak peduli teman-temanku mengejek, tak peduli juga kalau dunia menertawakan, itu mimpiku, maka percaya diri adalah yang selalu aku lakukan.

Tapi sejak aku merenungi kehidupanku, aku mulai berpikir, bahwa autobiografi adalah hal yang tepat untuk memulai awal pengalaman yang baru, meski kisah cinta yang aku miliki agak absurd, hidupku pun agak aneh, nyeleneh dan cacat logika, tapi, tersenyum dengan bangga adalah ekspresi yang aku perbuat untuk menerima segala takdir!

Ini kisah kami, mencatat sejarah demi mengenalkan mental dan perkembangan intuisi dari setiap generasi ke generasi, tepatnya, membuat sejarah berkualitas demi menunjukkan sebuah kemajuan setiap jiwa insan yang berkembang, kakak Farka, alumni angkatan dua tahun lalu, sudah mencatatkan sejarahnya, tapi, mereka gagal, tidak gagal juga sih, lebih menjurus kepada belum sanggupnya mencapai target, karena memang tidak ada sejarah yang gagal, justru kegagalan itulah bagian penting sejarah, maka aku sebagai sang ketua kelas dari kelas 12 SMA Lily Kasih, akan melanjutkan perjuangan mereka!

Cerah, itu kabar baik hari ini, bahkan, malam ini aku akan makan berdua dengan Harfa suamiku tercinta, memang sudah biasa kami makan berdua, hanya saja, aku anggap hari ini sepesial, betapa tidak, setelah sebulan lamanya aku tak memasak hidangan makan malam, maka hari ini, aku akan masak!

“Ingat, jangan mabal, kalau memang nggak mau sekolah, ngomong.” Suamiku menyarankan dengan sikap bijaknya.

Aku mengangguk mantap dengan tersenyum bergigit, pria itu benar-benar membuatku selalu betah di sampingnya, matanya dan bibir tipis kecokelatannya selalu membuatku merindukan rumah.

Dan di sana, pada wajah perseginya, ada senyuman tipis penuh kedamaian tersimpul untukku.

“Sudah, jangan memandangku seolah aku pencuri sandal, sekolah yang benar, biar bisa lebih sukses dari suamimu ini.” Suamiku kembali bicara dengan berkelakar dan tetap mendukung kehidupanku.

Sekali lagi aku ulangi! Sebelum berangkat sekolah, aku akan tersenyum pada suamiku hingga lesung pipiku melekuk, maka suamiku akan menyentuh lesung pipitku dengan jari kelingking kedua tangannya, ralat! Bukan dengan kakinya!

Bagiku itu adalah kecupannya, sesuatu yang unik memang, malah terbilang aneh, tetapi, itu bagiku nampak sempurna, aku merasa diistimewakan, lalu aku berangkat sekolah dengan semangat berkantaran.

Dan nyatanya, aku kurang suka dengan hal mesra, atau keromantisan, hanya saja, aku tak akan menolak kalau itu suamiku, dalam hal ini, aku selalu memilih, lebih baik aku tertawa dengan hal bodoh ketimbang tersenyum jengah dengan hal rumit.

'KRING KRING KRING'.

Bel sepeda akan aku bunyikan sesampainya di dalam sekolahku, SMA Lily Kasih, sekolah paling nyeleneh, unik, dan menyegarkan?

Teman-temanku akan menyapaku saat netra mereka tak sengaja melihatku.

Aku satu-satunya anak yang pakai sepeda!

Suamiku pernah menawarkanku untuk diantar menggunakan mobil atau sepeda motor, malah lengkap dengan supir pribadi tapi, aku berapologi.

”Aku lebih suka membuat kakiku bekerja dengan giat, ketimbang mengistirahatkannya demi sebuah tujuan.“

Maka, dia akan mengacak-acak rambutku dan sepeda pun menjadi kado pemberiannya, tepatnya, bentuk kasih sayangnya.

Gadis pemilik karismatik secemerlang langit senja

Dia lupa sudah mengembuskan napas tujuh kali di sampingku

Laisa, satu kata yang jadi tujuanku bernapas

Ini gila tapi aku senang

Menikmati betapa jeleknya aku di sampingnya

     Ini gila tapi aku bangga

     Ini nafsu dan aku bahagia

     Kubisikkan namaku di telinganya dan ia tersenyum

     Kita temukan Tuhan dalam ranjang yang sama

     Dan setiap petaka itu kita nikmati

BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....

       Hari Rabu, di kelas 12 pukul 08:09 kini pelajaran Sosiologi akan dimulai.

Guru Sukada sudah duduk di bangku kehormatannya, pria berkacamata dengan kulit kecokelatan, dari tampilannya terkesan seperti anak kutu buku, padahal dia guru yang tegas dan pengertian.

”Oke anak-anak! Tulislah jawaban kalian, apa yang akan kalian lakukan jika pacarmu hendak bunuh diri hanya karena dia melihatmu selingkuh?“

Maka semua manusia di kelas ini mulai menuliskan jawaban mereka, sepertinya sih mereka serius, tapi aku ragu tentang itu.

Aku juga menuliskan jawabanku, tentunya aku serius.

Dan tepat, tiga puluh menit berlalu, sebetulnya aneh, mereka butuh waktu cukup lama hanya demi menjawab pertanyaan mudah?

Maka setelah aku mengambil buku-buku teman-temanku, yang tentunya untuk dikumpulkan di meja guru.

Guru Sukada berdiri tegap, sekaligus mulai membacakan jawaban kami.

”Bagi Anterta, aku akan ... oke guru akan melewatnya karena itu tidak bagus.“

Anterta, si laki-laki berambut hitam gimbal yang membingkai di wajah ovalnya, dagunya yang lentik terkesan dia seorang mantan model, serta tubuhnya yang kurus terasa seperti kurang gizi, dia laki-laki sadis, mata kantuknya melambangkan hati beku, dia selalu melamun selama berjam-jam, maka jelas, setiap teman-temannya bertanya padanya, jawabannya selalu bersengkarut, dia seperti orang mabuk tapi tanpa alkohol.

”Bagi Stovi, aku akan putuskan pacarku, lalu pergi dengan selingkuhanku.“

Stovi itu gadis egois, nakal, babil dan dia tak suka padaku, aku pun tak menyukainya, dia memang gadis paling cantik di sekolah, punya rambut pirang dengan wajah mulus layaknya orang Eropa, tubuhnya langsing lengkap dengan kulit putih nan bersih, matanya pun biru bulat, tapi aku pun memiliki mata biru nan bulat, jadi masalah kecantikkan itu tak masalah buatku.

”Bagi Elpan, aku akan menikahi kedua-duanya, kalau pun mereka tidak mau, apapun yang terjadi aku akan menikahi mereka!“

Elpan pria absurd dan agak mesum, tapi, dia pria paling tampan di sekolah ini, badannya pun tegap berisi, kulitnya kecokelatan tapi sangat eksotis, dia punya rambut hitam model belah tengah, matanya hitam tegas dan hidung nan mancung.

“Bagi Oteda, aku tidak peduli juga, jadi, terserahlah. Orang yang dosa mereka-mereka juga.”

Pria gemuk berbadi seekor siput, jadi dia pemalas, lamban dan memusingkan.

”Bagi Sentia, aku lebih baik nggak punya pacar kalau gitu caranya.“

“Bagi Kily, aku akan biarkan pacarku bunuh diri, dan pergi dengan selingkuhanku.”

”Bagi Oqde, aku, akan bicara dulu pada mama, kalau mamaku bilang pergi, maka aku pergi.“

“Bagi Nuita, aku akan putus dengan pacarku dan meninggalkan selingkuhanku, aku tidak mau ada yang terluka.”

Nuita, si gadis berkulit kuning langsat, berambut krem panjang dengan poni yang berjurai rata di dahinya, pemilik mata cokelat sayu, gadis yang selalu terlihat murung, filofobia adalah penyakit kejiawaan yang kini ia tanggung, jika dia jatuh cinta atau dicintai dia bisa menangis tersengut-sengut, bahkan menjerit demi rasa cinta itu lenyap dari batinnya.

”Bagi Tozka, aku minta maaf pada pacarku, lalu meninggalkan selingkuhanku.“

Tozka laki-laki pendek dengan wajah penuh jerawat hingga rambut hitamnya terkesan seperti bulu landak, dia mengidap teofobia, jadi, siapapun yang menyebut tentang Tuhan ataupun Dewa Dewi dia akan ketakutan hingga marah-marah menjadi puncak ketakutannya.

“Bagi Ovy, aku minta maaf pada keduanya, lalu kembali pada pacarku.”

Ovy si gadis keibuan, gadis bertubuh sintal berambut panjang kecokelatan dan ia pengidap noverkafobia, jika ia bertemu ibu tirinya atau mendengar sebutan ibu tiri, ia pasti akan pusing, melamun kemudian pingsan, padahal, ibu tirinya sangat baik.

”Bagi Loze, aku akan meminta maaf pada keduanya, lalu pergi dengan pacarku.“

Loze, pria berkulit secokelat buah sawo dengan wajah oval yang tirus, satu-satunya manusia berkepala botak di sekolah ini sang pengidap atazagorafobia, akan selalu mengingatkan bahwa dia tak mau dilupakan, jika ada yang lupa atau melupakan, maka kepanikannya menjadi musibah bagi kami.

”Bagi Cludy, aku minta maaf pada pacarku, kembali pada pacarku dan pergi dari selingkuhanku.“

Gadis dengan rambut panjang seputih awan di langit yang membingkai wajah berbentuk hatinya, pengidap nefofobia, jika dia melihat awan, dia bisa menjambak rambutnya karena ketakutan, bahkan hingga jatuh pingsan.

“Bagi Azopa, aku akan merundingkan masalah ini, mencari jalan terbaik, lalu membuat keputusan yang tidak merugikan kedua belah pihak, tapi, bila harus ada yang dirugikan maka cukup aku saja.”

Azopa anak paling bijak dan seorang juara kelas selama tiga tahun berturut-turut, berperawakan setinggi Guru Sukada, mata hitam bulat seperti gerhana bulan, rambut hitam pendek sekelam mimpi kegelapan.

”Bagi Vume, akan memberikan satu juta Dollar agar tak ada yang dirugikan.“

“Bagi Anka, akan kembali pada kekasihku.”

Anka, anak tengil nan jail, sahabat kecilku, pengidap metrofobia, jadi siapa pun yang membaca puisi, bersiaplah menghadapi amukan dari Anka, bahkan suamiku pernah kena pukul karena ketakutan terhadap puisi yang dibacakan untukku.

”Bagi Wisty, aku nggak tahu harus berbuat apa, jadi ... aku minta maaf, agar guru tidak memberiku nilai rendah.“

”Loh Wisty, jawab asal juga nggak apa-apa,“ Guru Sukada menyarankan dan memaklumi.

Wisty, si gadis berambut hitam sebahu yang membingkai dengan manis di wajah bulatnya, apapun yang akan dilakukan, kalimat pertamanya adalah 'aku nggak tahu harus berbuat apa' dan kalau dia kikuk, menggaruk bahunya menjadi tambahan keunikannya, pengidap antrofobia ini, akan bertindak brutal kalau diperlihatkan bunga-bunga berwarna-warni seperti mawar atau lily, kecuali bunga bank.

“Bagi Perto, aku minta maaf pada kekasihku, dan akanku tinggalkan selingkuhanku, aku berjanji untuk berubah, agar dia menghentikan perbuatannya.”

”Bagi Laisa, aku tinggalkan selingkuhanku dan tinggalkan pacarku, aku cari yang lebih baik dari mereka.“

Aku punya rambut krem panjang agak keriting seperti mie instan, dengan bibir tipis merah jambu, yang tentunya wajah ovalku secantik senja di pantai, hidungku agak lancip, kening lebar dan semua itu selaras dengan tubuh langsingku yang memancarkan aura gembira, ditambah cemerlangnya karismatikku yang tak dimiliki wanita di sekolah mana pun.

'DING-DONG-DING-DONG-DING-DONG'

Pada akhirnya, dari jam ke jam terlewati, aku telah melewati semua pelajaran hari ini tanpa ada kendala sedikit pun.

Pulang sekolah ini, aku diperintah Guru Sukada untuk menunggu di kelas, kabarnya ada seseorang yang hendak menemuiku, padahal, rasanya ingin pulang dan terlalu jenuh di sekolah.

Aku duduk di bangku paling depan, yang memang ini bangkuku, sempurna! Itu kata yang tepat menggambarkan perasaanku saat duduk di barisan paling depan, berhadapan langsung dengan papan tulis, tentunya aku membanggakan hal itu.

Anka sedari tadi menggambar hal-hal aneh di papan tulis putih, meme lucu yang ia lukis di papan tulis cukup membuat bibirku mengembangkan senyuman, malah aku hampir tertawa karenanya.

”Maaf-maaf, aku terlambat.“ Suara yang pernah kudengar, dan memang laki-laki berkarismatik itulah orangnya.

Kak Farka masuk ke dalam kelas, penampilan formalnya masih ia pampang, jas hitam yang membungkus kemeja birunya nampak menambah sisi ketampanan Kak Farka, tapi masih lebih tampan suamiku sih, harum parfumnya pun terasa semerbak menelusuk hidungku.

Sampai-sampai Anka langsung berhenti dari aktifitasnya dan cukup panik melihat kedatangan Farka, raut wajahnya menjadi kecut.

”Nah ... kita langsung saja ketopik.“ Kak Farka bicara tanpa basa-basi, dia seperti tak mau kehilangan setiap detiknya hanya untuk sebuah sapaan.

Anka berjalan ke arahku, berdiri tegap di samping kiriku, kepanikannya mulai mereda tapi agak kikuk, karena Kak Farka baru pertama kali ditemuinya.

Dan Kak Farka, berdiri dengan menyelipkan kedua tangan ke saku celana panjang formal hitamnya, tepat sekali berada di depan papan tulis yang masih dipenuhi gambaran iseng seorang Anka, meski begitu, Kak Farka tak sudi membuang waktu demi mengomentari gambaran nyeleneh Anka yang memang tak berguna juga, dia tak peduli.

”Jadi Laisa, apa kamu sudah berminat?“ Kak Farka menanyakan sejauh mana kesiapanku.

”Iya, aku berminat.“ Aku menjawab tanpa ragu, lagi pula tak ada ruginya menulis buku sebagai kenangan sekolah.

Kak Farka mengembangkan senyuman penuh makna, disertai beberapa anggukkan setuju.

Sedangkan Anka masih berdiri kebingungan tanpa tahu harus berbuat apa, aku memang belum memberi tahu siapapun kalau aku sudah bertemu dengan Farka alumni SMA Lily Kasih, karena memang tak penting juga.

”Ayo, ikut saya ke perpustakaan.“ Kak Farka melangkah keluar kelas dan mengajakku untuk mengikutinya.

Aku dan Anka langsung meraih tas gendong masing-masing, mengenakannya, kami mengikuti Farka dari belakang.

”Eh, dia itu siapa?“ Akhirnya jiwa penasaran Anka berhasil mendorongnya untuk melontarkan pertanyaan padaku, dan suaranya agak berbisik.

”Dia, alumni sekolah ini, kakak kelas kita dulu.“ Aku menjawab selancar mungkin tanpa intervensi dari siapapun.

”Ooooh ....“ Anka mengangguk paham tapi merenungi keanehan hari ini.

Kami berjalan di koridor sekolah, melangkah santai menuju perpustakaan, sekarang pukul 14:20 siang hari menuju sore, cuaca cukup cerah, awan bergerombol layaknya biri-biri yang digiring untuk jadi sembelihan.

”Sebenarnya, tadi kalian membicarakan apa?“ Anka kembali menanyakan hal yang masih mengganggu pikirannya.

”Nanti aku jelaskan.“ Jawabanku singkat membuat Anka harus menanggung rasa penasarannya lebih lama lagi.

Anka mengangguk, menerima pernyataanku, mau bagaimana pun, kami hampir sampai di tempat tujuan, jadi tak ada waktu jika aku menjelaskannya sekarang.

Maka, setelah melangkah dengan pasti, kami sampai di dalam perpustakaan sekolah, sebuah tempat yang terpisah dari kelas, namun perpustakaan ini dua kali lebih besar dari kelas kami, tunggu! Kami masih melangkah menuju sudut ruangan, Kak Farka menggiring kami ke suatu tempat yang seolah dia hendak menunjukkan rahasia berharga.

Dan benar saja! Saat kami berdiri di antara lemari buku, mataku serta mata Anka hingga terbeliak.

Kak Farka menarik sebuah buku, maka lantai keramik di depannya bergeser, membentuk sebuah pintu bawah tanah.

Ternyata ada pintu rahasia! Aku bahkan baru tahu tentang pintu ini, dan itu keren! Seperti film-film fantasi!

”Ya Tuhan! Ini luar biasa!“ Anka langsung buru-buru berdiri sedekat mungkin pada buku penyebab pintu rahasia itu tersingkap, Anka begitu terkesima seperti bocah yang baru pertama kali dibelikan ponsel oleh mamanya.

”Gila! Ternyata sekolah kita keren!“ Aku menyanjung pada keunikan perpustakaan ini, bukan pada bukunya, melainkan pada ruangan rahasia yang kini membuatku terpaku terkagum-kagum.

Tentunya aku pun langsung berdiri di samping kiri Kak Farka, memandang penuh ketakjuban pada pintu bawah tanah.

”Ya Tuhan ... kenapa sesuatu yang keren selalu tersembunyi ...?“ Anka tampak masih terkesima dengan ruangan rahasia perpustakaan, ia seperti melihat sebuah keajaiban sihir, padahal sih biasa saja, mungkin yang membuat ini luar biasa adalah, rahasianya.

”Ya, karena sesuatu yang berharga harus dijauhi dari tangan-tangan jail.“ Kak Farka menanggapi luapan kekaguman Anka.

”Ayo.“ Kak Farka kembali mengajak kami untuk mengikutinya.

Kali ini kami masuk ke bawah tanah, ruangan rahasia sekolah, atau mungkin masih ada lagi ruangan yang tersembunyi, tapi yang jelas, kami mulai menuruni anak tangga, lalu menapaki di dalam lorong dengan lampu gantung kekuningan yang berpendar sebagai penerang di lorong ini, kami menuju sebuah ruangan.

”Waaaaaahhh, buku-buku lagi.“ Anka menyorot seluruh isi di ruangan ini yang nyatanya hanya ada lemari buku, pandangannya terkesima, tapi ada sedikit kekecewaan, kala dirinya paham, bahwa ia tak suka membaca.

Ruangan yang seluas kamar Anka, terdapat dua lemari buku, lengkap dengan sebuah meja kayu Ulin, ditambah kursi goyang yang memberi kesan elegan, ruangan ini bersih serta wangi bunga melati.

Tapi tunggu! Salah satu lemari bergeser!

Tak ayal, ternyata masih ada lagi ruangan rahasia!

”Waduh.“ Anka tercengang.

Kak Farka menarik buku dan kembali menampakkan ruangan rahasia.

”Ayo ...,“ kata Kak Farka kembali menuruni anak tangga.

Kami pun tanpa bosan terus mengikuti Kak Farka dari belakang. Menuruni tangga lalu, menapaki lorong menuju sebuah ruangan, kemudian, berhenti dengan keheranan, sebab apa yang kini kami lihat adalah ruangan seluas ruang kelas kami.

Tujuh lemari buku, beberapa diantara lemari buku itu telah diisi oleh buku, sedangkan dua lemari buku lagi masih kosong, lantainya dari ubin kekuningan nan bersih, penerangan di sini telah menggunakan tiga lampu Neon Kompak yang melekat di langit-langit perpustakaan ini, sedangkan dindingnya terlapisi pula oleh batu bata merah, kesannya sih seperti ruangan belum jadi, namun sepertinya memang dibuat begitu, mungkin inilah yang disebut 'karya seni gagal'.

Sebentar! Ternyata Guru Sukada telah berdiri di samping lemari buku, memandang kami dengan tersenyum penuh makna, dan Kak Farka pun langsung berdiri di sampingnya.

Dan kudapati, Kak Farka lebih tinggi ketimbang Guru Sukada.

Kini kami telah berhadapan satu sama lain, berharap semuanya baik-baik saja, dan tentunya semoga cepat diperbolehkan pulang.

”Wah guru kenapa ada di sini?“ Aku bertanya untuk memastikan, takut-takut kalau Guru Sukada malah ternyata terjebak di ruangan ini.

”Jadi kamu mau menulis autobiografimu?“ Konyolnya Guru Sukada malah balik bertanya, seakan-akan pertanyaanku hanyalah angin lalu belaka.

”Ya'elah guru, bukannya dijawab malah balik nanya.“ Aku mengeluh tanpa menjawab pertanyaan Guru Sukada.

”Hehehehe.“

Eh? Konyolnya Guru Sukada malah tertawa tanpa beban.

”Guru menunggu murid selanjutnya, untuk merampungkan proyek sekolah, nah, katanya kamu mau gabung dalam proyek?“ papar Guru Sukada berusaha memastikan kebenarannya.

”Iya guru.“ Tanpa ragu aku menjawab dengan pasti, tapi memang tanpa alasan yang jelas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!