NovelToon NovelToon

HEI JUN

01

Juna mendapati ibunya sedang melamun di depan kalender yang terpajang rapi di dinding rumahnya. Entah sejak kapan Bu Tias, ibunda Juna berdiri di situ, menghela nafas berkali-kali tanpa berkedip sedikitpun.

Juna menggaruk-garuk kepalanya yang masih basah. Seingatnya tidak ada yang aneh dengan kalender di rumahnya. Dominasi warna hitam pada tanggal efektif bekerja dan warna merah pada tanggal libur bekerja.

Juna semakin penasaran dengan apa yang ibunya lakukan. Pasalnya Bu Tias hanya diam mematung manatap kalender itu. Tidak mungkin kan ibunya menghitung hari detik demi detik seperti judul lagu mimi KD? atau jangan-jangan ibunya sedang melihat daftar hutang yang jumlahnya sudah tak terhitung lagi? Kalau benar begitu, sepertinya Juna harus siap-siap menjual motornya untuk membayar hutang.

Rupanya rasa penasaran Juna semakin menjadi. Memang benar kata pepatah. Malu bertanya, sesat di jalan. Malu bersuara, sesat di pikiran.

Juna yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan kaos olahraga memilih segera berjalan mendekati ibunya. Juna tidak ingin Bu Tias kesambet sesuatu jika terlalu lama melamun.

"Emak.... selamat pagi. Apakah menu sarapan hari ini?" tanya Juna, seperti biasa ia akan membuat huru-hara di pagi hari dengan alasan agar rumahnya yang sepi ini menjadi ramai.

Bu Tias tak menjawab, ia masih setia memandang kalender di hadapannya.

"Emak.... anakmu lapar. Apa menu sarapan hari ini? Juna ada jam mengajar pagi nih" kata Juna lagi.

"Hari ini kamu ulang tahun, Jun" kata Bu Tias berbicara tanpa menoleh ke arah Juna.

Juna menelan ludah. Perasaan hatinya yang semula cerah berubah menjadi suram. Juna meyakini pasti Emaknya akan memulai drama di pagi hari yang akan membuat mereka berdebat.

Juna memang tidak ingat hari ulang tahunnya. Biasanya Diandra, gadis yang menjadi kekasihnya sejak lima tahun yang lalu, akan menelponnya tepat jam 00.00 di hari jadinya. Gadis itu selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Juna.

Namun, tidak untuk tahun ini. Kisah cinta Juna dan Diandra harus kandas dua bulan yang lalu. Tepatnya sehari setelah Juna melamar Diandra pada Pak Narto, ayahnya.

Pak Narto menolak lamaran Juna dengan alasan finansial yang minim. Beliau tahu jika Juna hanya dibayar seratus lima puluh ribu rupiah perbulan dari SMA tempat ia mengajar. Pak Narto berfikir jika Juna tidak akan bisa menafkahi anaknya dengan layak. Bagaimanapun Pak Narto sangat menyayangi Diandra sehingga beliau tidak mau melihat Diandra hidup menderita jika menikah dengan Juna.

"Jun...." panggilan Bu Tias menyadarkan lamunan Juna.

"Umurmu sekarang genap tiga puluh tahun" lanjut Bu Tias, terdengar nada sedih saat beliau mengucapkan hal itu.

"Oh, iya, Mak. Hari ini Juna ulang tahun, ya? Ya ampun!!! Bagaimana bisa Juna lupa kalau hari ini ulang tahun?" seru Juna dan ia langsung bangkit memeluk Bu Tias dari belakang.

"Emak masak apa? Juna dapat kado nggak?" tanya Juna.

Bu Tias kembali bungkam.

"Mak... Emak... Juna dari tadi bertanya lho. Mengapa Emak diam saja?" tanya Juna lagi.

"Kapan kau bawa calon menantu buat Emak, Jun?" tanya Bu Tias.

Glek...

Juna menggigit bibir bawahnya. Tepat sesuai dengan dugaannya. Emaknya pasti akan meminta hal ini. Juna melonggarkan pelukannya sembari berfikir jawaban apa yang akan diberikan Juna pada Emaknya. Juna tidak ingin melihat ibunya sedih karena alasannya yang tak kunjung menikah sampai saat ini.

Juna bukannya tidak ingin menikah. Ia sangat ingin menikah. Namun, Juna juga sadar diri. Siapakah dirinya? dari golongan manakah keluarganya? Juna yang hanya anak seorang petani miskin, bekerja sebagai guru honorer dengan gaji pas-pasan tentu saja tidak memiliki nilai plus di mata calon mertua.

Orang tua mana yang mau anaknya hidup melarat? Apalagi sekelas Pak Narto yang nota bene adalah jurangan minyak di desa B. Pastilah beliau akan memilah-milah calon suami untuk anaknya.

Juna sadar ia memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Arya, lelaki yang dipilih Pak Narto untuk menjadi calon menantunya. Secara fisik, Juna jauh kalah tampan. Secara dompet, Juna jauh kalah tebal.

Pekerjaan Juna yang hanya sebagai guru honor di sekolah pelosok desa tentu kalah jauh dengan pekerjaan Arya yang nota bene anak juragan tembakau di desanya. Diandra akan jauh lebih serasi jika bersanding dengan Arya daripada dengan dirinya.

"Emak dengar Dian akan segera menikah. Kapan kau akan menyusulnya, Jun?" tanya Bu Tias lagi dan kini bulir-bulir bening sudah turun membasahi pipinya.

"Doakan saja, Mak" jawab Juna pendek.

"Emak selalu mendoakanmu. Pagi, siang, sore, malam tak lupa Emak panjatkan doa untukmu. Tanggung jawab Emak tinggal kamu, Jun. Kedua kakakmu, Haris dan Ines, sudah menikah. Tinggal kamu, Jun! Kamu!"

"Mak... sabar ya. Mungkin jodoh Juna masih sekolah atau jodoh Juna masih dijaga orang lain. Emak tidak usah bersedih. Jika sudah waktunya, Juna pasti akan menikah" jawab Juna mantap padahal dalam hatinya ia pun meragukan ucapannya.

"Emak tidak mau tahu, Jun. Emak mau kamu segera menikah. Emak beri kamu waktu tiga bulan dari sekarang. Bawakan Emak calon mantu! Tidak perlu cantik atau kaya. Yang penting dia perempuan, baik dan sayang sama kamu" kata Bu Tias sembari menghitung tanggal untuk memberi tanda batas waktu Juna mencari jodoh.

"A.. a... apa, Mak? Tiga bulan? Emak pikir Juna ini siapa?" protes Juna.

"Kamu anak Emak"

"Lalu?"

"Emak hanya memberi jawaban atas pertanyaanmu" jawab Bu Tias enteng.

Juna menepuk wajahnya. Ia tidak habis pikir dengan ucapan Emaknya. Tidakkah Bu Tias mencerna pertanyaan Juna?

Juna melangkah dengan gontai. Ia mengambil segelas air dan meneguknya perlahan.

"Mak... Juna ini bukan sultan"

"Yang bilang kamu sultan siapa?" sambar Bu Tias cepat.

"Emak sudah tahu Juna bukan sultan. Lalu mengapa meminta hal yang aneh-aneh?"

"Emak hanya minta dibawakan mantu bukan hal yang aneh"

"Tapi dalam waktu tiga bulan itu sangat mustahil, Mak! Mana ada perempuan yang mau kalau Juna masih kere begini?"

"Makanya cari kerja sambilan lah. Kamu kalau tidak ada jam mengajar pasti hanya tidur" omel Bu Tias.

"Juna kan capek, Mak"

"Capek apa? memangnya Emak tidak tahu bagaimana kalau kamu mengajar? Kamu itu hanya duduk-duduk membiarkan muridmu berkeliaran di lapangan"

Juna diam membisu karena apa yang diucapkan Bu Tias memang benar adanya.

"Emak tidak mau tahu. Tiga bulan dari sekarang, bawakan calon mantu untuk Emak. Jika tidak...." kata Bu Tias menggantung.

"Jika tidak, kenapa Mak?"

"Emak nikahkan kamu dengan Buizah"

"Apa??? Jangan bercanda, Mak!" pekik Juna. Wajahnya langsung pucat mendengar nama yang disebutkan Bu Tias.

"Emak tidak bercanda, Jun. Pokoknya keputusan Emak sudah bulat. Bawakan emak calon menantu atau kamu nikah sama Buizah" kata Emak mengultimatum Juna.

"Emak... Juna juga nggak becanda. Nyari dari mana calon istri dalam waktu tiga bulan? Juna bukan sultan, Mak. Dompet Juna tipis kayak irisan bawang goreng. Cewek-cewek pasti mikir buat jadi istri Juna" kata Juna memelas.

"Emak tidak menerima alasan. Emak tidak mau kamu menjadi perjaka tua, Jun" kata Emak membuat Juna semakin frustasi.

"Juna masih tiga puluh tahun, Mak. Tak perlu risau...."

"Apa katamu??? Emak bahkan sudah risau sejak kau berumur dua puluh tujuh tahun tapi tak kunjung menikah. Pacaran lama-lama tapi gagal nikah juga" cibir Emak layaknya tusukan jarum yang menancap di jantung milik Juna

Juna menarik nafas dalam-dalam. Ia segera bangkit mengambil tas nya dan pamit kepada Bu Tias. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Juna memilih mengakhiri sesi debatnya dengan Bu Tias dan memilih segera berangkat ke SMA Cendekia, tempatnya mengajar.

02

"Hei, Jun, rapi begini pasti mau kondangan ya?” tanya Bu Devi yang kebetulan berpapasan dengan Juna. Bu Devi adalah tetangga Bu Tias, rumahnya hanya berjarak empat rumah dari rumah Bu Tias.

Juna tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Bu Devi. Hari ini Juna memang menggunakan kemeja batik bukan kaos olahraga seperti biasanya karena di sekolah sedang memperingati hari batik. Mungkin karena Juna berpakaian seperti itu sehingga Bu Devi berfikir jika Juna akan pergi ke kondangan.

“Memangnya kamu diundang, Jun?” tanya Bu Sari, tetangga Bu Tias juga yang entah sejak kapan berdiri di belakang Bu Devi dan bergabung dengan mereka.

Juna kembali memilih tersenyum karena sebenarnya ia juga tidak tahu kondangan siapa yang mereka maksud.

“Duh... pasti diundanglah. Namanya mantan, meski sudah putus tapi tetap harus menjalin komunikasi yang baik. Benar kan, Jun?” tanya Bu Devi.

Mendengar ucapan Bu Devi membuat senyum Juna berubah menjadi kecut. Mantannya menikah? Itu artinya Diandra, cinta pertama Juna akan menikah hari ini.

Juna menelan ludah. Seketika lidahnya kelu untuk berucap. Juna hanya bisa berdiri mematung tanpa menanggapi pertanyaan- pertanyaan ibu-ibu itu.

“Ngomong-ngomong kapan nyusul Mbak Dian, Jun? Jangan sampai gagal move on dong! Ingat umur juga. Kamu sudah pantas lho buat momong anak dua” kata Bu Sari.

“Bener tuh, Jun! Harus move on! Kalau perlu cari istri yang lebih cantik dari Mbak Diandra. Tapi kamu harus nebelin dompet dulu baru bisa gaet cewek cantik” kata Bu Devi yang langsung disambut gelak tawa Bu Sari.

Juna langsung angkat kaki meninggalkan mereka yang masih tertawa. Kesal? Tentu saja. Ibu-ibu itu sungguh tidak berprasaan dengan menyinggung isi dompet Juna.

Juna memang sadar jika isi dompetnya tipis, tapi tak perlu juga mereka menyinggung hal itu. Apalagi dibuat bahan tertawaan. Juna bertanya- tanya apakah di zaman sekarang tidak ada wanita yang bisa menerima laki-laki dengan apa adanya? Bukan karena ada apanya?

Juna masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Nampak BunTias sedang bercermin, memoleskan bedak dan sedikit lipstik di bibirnya.

Juna memperhatikan penampilan Emaknya yang memakai gamis dan berkerudung syar’i. Tidak berdaster rumahan seperti biasanya. Ia yakin jika Emaknya akan datang ke kondangan juga.

“Kenapa baru sampai? Emak sudah menunggu dari tadi” ucap Bu Tias seraya membenahi kerudungnya.

“Juna ada acara di sekolah, Mak. Jadi baru pulang” ucapnya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas dan langsung meneguknya.

“Emak rasa kau tak perlu ganti baju lagi. Kita langsung berangkat saja” perintah Bu Tias.

“Memangnya kita mau kemana, Mak?” tanya Juna. Ia ingin memastikan jika dugaannya tidak salah.

“Kondanganlah. Mantanmu yang cantik itu menikah hari ini” jawab Bu Tias ketus.

“Memangnya kita diundang, Mak?” tanya Juna lagi. Pasalnya hubungan keluarga Juna dan  keluarga Diandra memburuk pasca putusnya mereka.

“Ngimpi aja Pak Narto ngundang kita!”

“Lalu kalau kita tidak diundang, kenapa Emak mau datang?” tanya Juna heran.

“Emak mau membuktikan kalau kamu bisa move on. Emak mau membuktikan jika kamu tidak sehina apa yang diucapkan Pak Narto. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari pada anaknya yang sok cantik itu. Kamu bisa....”

“Mak....”

Juna memotong ucapan Bu Tias yang penuh dengan emosi. Ia berjalan menghampiri Emaknya, segera memeluk Bu Tias dari belakang. Juna bisa merasakan seperti apa rasa sedih di hati Bu Tias. Juna juga bisa merasakan amarah di hati Bu Tias.

“Emak tidak terima!!! Emak tidak terima!!!” teriaknya dan kini Bu Tias mulai terisak.

“Mereka menolak lamaran kita, Jun. Mereka menolakmu!!! Kau ditolak hanya karena kita orang miskin. Emak tidak terima!!! Emak tidak terima!!!” teriak Bu Tias histeris.

Juna tetap memeluk Bu Tias dengan erat, membiarkan sang ibu menumpahkan segala isi hatinya kepadanya. Tak dapat dipungkiri jika Juna merasakan sakit saat mendengar semua keluh kesah Bu Tias. Juna memilih diam lebih tepatnya menangis dalam hati daripada menanggapi ucapan Bu Tias. Ia pun merasa gagal membahagiakan orang tua satu-satunya yang ia miliki sekarang.

Puas menangis dalam pelukan Juna, Bu Tias mengusap air matanya dan segera merapikan dandanannya. Bu Tias menghempaskan tangan Juna sehingga Juna mau tidak mau melepas pelukannya.

“Ayo kita berangkat! Kita sudah terlambat” ucap Bu Tias, langsung berlalu keluar rumah.

Juna menghela nafas panjang. Mau tidak mau ia harus mengikuti kemauan ibunya. Juna tahu sifat Bu Tias. Keras kepalanya tidak bisa dibantah. Pasti akan terjadi perang badar jika tidak ada yang mengalah.

Juna berjalan dengan gontai, mengekori Bu Tias yang melangkah dengan tegap seakan-akan beliau sudah sangat siap untuk berperang.

Selama di perjalanan Juna tak henti-hentinya memanjatkan doa, berharap tidak terjadi keributan antara Bu Tias dan Pak Narto.

Perlahan tapi pasti, Juna dapat melihat janur kuning melengkung di depannya. Kedua telinganya bisa mendengar sayup-sayup musik dangdut yang semakin lama semakin jelas. Juna semakin menguatkan hati, mempercepat bacaan doanya seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak karuan.

Juna menarik tangan Bu Tias, menghentikan langkahnya yang sudah siap masuk ke halaman rumah Pak Narto. Pak Narto memang mengadakan acara pernikahan di rumahnya. Tak perlu menyewa gedung karena halaman rumahnya sendiri sudah luas sehingga bisa dijadikan tempat hajatan apapun.

“Ada apa?” tanya Bu Tias sinis.

“Kita pulang saja, Mak” ajak Juna yang langsung dibalas pelototan tajam oleh Bu Tias.

“Kamu ini lelaki apa bukan sih, Jun? Emak saja semangat 45 untuk datang ke acara ini. Masak kamu loyo seperti ini? Kenapa? Kau belum bisa move on? Kau takut sakit hati melihat Diandra duduk di pelaminan bersama laki-laki lain?” cerocos Emak cuek.

“Bukan begitu, Mak” ucap Juna pelan.

Juna melirik ke kanan dan ke kiri sembari tersenyum kecut. Pasalnya saat ini mereka menjadi pusat perhatian tamu-tamu yang baru saja datang.

Bukan rahasia umum lagi jika Pak Narto menolak lamaran Juna sehingga ia tidak aneh dengan tatapan orang-orang yang sinis melihat kehadiran mereka di depan rumah Pak Narto sekarang.

“Juna tidak mau ada keributan di sini, Mak”

“Emak mau datang kondangan, bukan mau buat keributan. Tak tau lagi kalau Pak Narto yang mau ngajak perang sama Emak” ucapnya keukeh.

“Sudahlah, Mak! Lebih baik kita pulang saja” bujuk Juna.

Bu Tias mengacuhkan Juna. Ia tetap melanjutkan langkahnya hingga tiba di pintu depan halaman rumah Diandra. Lagi-lagi Juna tidak punya pilihan selain mengejar Bu Tias.

Mereka masuk dan langsung disambut oleh dua orang gadis yang bertugas mencatat nama tamu yang datang dan memberikan souvenir pernikahan. Bu Tias dengan santainya menuliskan nama, memasukkan amplop ke dalam kotak yang memang disiapkan untuk tempat buwuhan. Tak lupa Bu Tias menerima souvenir pernikahan Diandra yaitu sebuah botol minuman.

Bu Tias melanjutkan melangkah, bergabung dengan barisan tamu undangan lainnya yang mengantre untuk bersalaman dengan kedua mempelai dan keluarga. Saat ini pikiran Juna semakin kacau. Ia berdoa semoga saja Pak Narto tidak sadar dengan keberadaan mereka.

Junapun tak fokus pada Diandra dan Arya. Dipikirannya saat ini adalah bagaimana caranya bisa segera bersalaman dengan deretan keluarga tuan rumah dan langsung pulang.

Juna mengekori Bu Tias yang mulai bersalaman dengan keluarga Arya. Ia berharap semoga segera ini selesai tanpa drama lagi. Namun, harapan Juna tidak terjadi melainkan sebaliknya. Pak Narto menyadari kehadiran mereka saat Juna sedang bersalaman dengan ibunda Arya.

“Heiii.... kau? Bu Tias?” suara tinggi Pak Narto mengangetkan tamu undangan yang masih antre di depan dan di belakang Juna.

Juna memberanikan diri mengangkat wajahnya. Nampak wajah garang Pak Narto menatap tajam ke arah Bu Tias. Bu Tias yang ditatap seperti itu sepertinya tak gentar. Beliau malah menatap balik Pak Narto dengan tatapan yang tak kalah tajam.

“Iya, aku. Kenapa?”

“Kenapa kau ada di sini? Aku tidak mengundangmu dan anak bujangmu ini” teriak Pak Narto yang sukses membuat banyak orang melihat ke arah kami.

Seketika alunan musik dangdut dimatikan. Suasana yang semula ramai berubah menjadi sunyi. Juna langsung berkeringat dingin membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka.

Juna melirik sekilas ke arah Diandra yang ternyata ia dan suaminya sedang menatap Juna dengan kesal.

“Aku hanya ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru untuk anakmu. Ingin memberikan doa juga untuknya. Apa itu salah?” ucap Bu Tias masih dalam mode angkuhnya.

“Tak perlu!!! Anakku tidak butuh doa dari kalian. Tanpa doa kalianpun, dia sudah bahagia dengan suaminya”

“Sombong sekali kau, Pak Narto!!!”

“Aku orang kaya, patutlah sombong. Kau orang miskin tak pantas untuk sombong sepertiku. Lihatlah bahkan untuk datang ke acara mewahku saja kau hanya memakai gamis murah yang warnanya sudah pudar. Sungguh kau benar-benar janda miskin yang tak tahu malu. Tidak diundang tapi malah datang. Bilang saja kalau hanya ingin numpang makan gratis” cibir Pak Narto.

Plaakk

Juna terbelalak melihat Bu Tias menampar Pak Narto. Semua orang berteriak kaget melihat apa yang beliau lakukan. Hening beberapa saat dan...

Buuggg

Pak Narto mendorong Bu Tias hingga jatuh dari panggung. Juna berteriak dan segera turun menghampiri Bu Tias. Dari bawah Juna menatap Pak Narto yang tersenyum puas karena berhasil membalas perlakuan Bu Tias.

Juna membantu Bu Tias untuk bangkit. Ia dapat melihat kedua netra emaknya basah. Juna berdiri menatap deretan keluarga Diandra dan Arya dengan tajam. Bagaimanapun Juna tidak terima perlakuan Pak Narto pada ibunya. Apalagi di tempat umum seperti ini. Pastilah Bu Tias merasa malu.

“Kau!!!” ucapku sembari menunjuk wajah Pak Narto.

“Kau memang orang kaya dan kami memang orang miskin. Tapi kau tidak pantas memperlakukan kami sehina ini apalagi sampai mendorong Emak hingga jatuh”

“Emakmu yang mulai terlebih dahulu” sahutnya santai.

“Tapi Anda tidak pantas membalasnya!!! Anda ini laki-laki, Pak” Juna mulai tersulut emosi.

Plakkkk

Pak Narto melempar tongkatnya ke arah Juna. Untunglah Juna secara reflek menarik tubuh Bu Tias sehingga tongkat itu gagal mengenai mereka. Juna benar-benar geram. Ia bangkit, mengambil tongkat milik Pak Narto dan melangkah balik ke arah Pak Narto.

Plakkk

Juna melempar tongkat itu ke arah Pak Narto dengan gusar. Tentu saja lemparan Juna sukses mengenai bahu Pak Narto. Juna bisa memastikan seperti apa rasa nyeri di bahu Pak Narto akibat lemparannya. Juna yang sudah terbiasa melempar bola volli ketika mengajar, sudah terjamin kemampuannya dalam lempar - melempar.

Melihat Ayahnya terkena lemparan Juna, Diandra berteriak dan memaki Juna dengan spontan. Juna tak mau kalah. Ia langsung menatap Diandra dengan tajam sehingga membuatnya diam.

"Aku memang miskin, tapi tidak untuk kalian hina seperti ini!" teriak Juna lantang. Ia sudah tidak peduli jika saat ini menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.

“Lebih baik kita pulang, Mak! Kita tidak diundang dan memang tidak pantas berada di sini” ucap Juna sembari menuntun Bu Tias meninggalkan rumah Pak Narto.

03.

Brak... brak... brak...

Juna mengerjapkan kedua matanya berkali-kali ketika mendengar suara pintu rumahnya digedor dengan kasar. Juna yang saat itu masih dalam keadaan setengah sadar dari tidur tentu saja perlu memastikan apakah yang ia dengar adalah nyata atau hanya halusinasi.

Lima menit Juna berusaha mengumpulkan rohnya dan suara gedoran pintu bukannya hilang malah semakin keras. Juna bangkit dari fase rebahan, melangkah malas menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan berkaca sebentar. Setidaknya Juna harus memastikan penampilannya sudah oke atau belum.

Ceklek...

Juna membuka pintu rumahnya.

Bugg...

Sebuah bogem mentah langsung melayang di pipi Juna saat ia membuka pintu. Juna yang saat itu dalam keadaan tidak siap, tentu saja langsung terpental ke belakang.

"Hmm... baru bangun tidur sudah mendapat serangan mendadak seperti ini" gerutu Juna dalam hati.

Juna memengang pipinya yang perih. Kedua netranya menatap dua sosok manusia yang berdiri pongah, dengan tangan berkacak pinggang sembari menatap jijik kepadanya.

“Diandra....”

“Jangan sebut namaku karena aku jijik mendengarnya!” kata Diandra memotong sapaan Juna.

“Dasar manusia tidak tahu malu!” maki Arya.

Bugggg

Lagi, Arya melayangkan bogem mentah pada Juna. Juna yang lagi-lagi mendapat serangan mendadak, tentu saja tidak bisa menghindar. Pria itu semakin gencar menambah bonyok di pipi Juna yang tadi sudah dibogemnya.

“Heiii, kalian ini kenapa? Datang ke rumahku main pukul saja?” teriak Juna.

Juna kali ini berusaha bangkit. Setidaknya dua kali mendapat bogem mentah membuatnya harus lebih siaga agar tidak mendapat bogem untuk ketiga kalinya.

“Kenapa? Kau tanya kenapa? Dasar manusia sok lugu!” maki Diandra.

“Apa salahku, Di?” tanya Juna tak mengerti. Bagaimana bisa ia mengerti jika mereka datang langsung main bogem seperti itu? pikir Juna.

Buggg

“Ini karena kau sudah memukul ayah mertuaku”

Buggg

“Ini karena kau merusak acara pernikahanku”

Buggg

“Ini karena kau masih berani menyebut nama istriku”

Buggg

“Hentikan!!!!”

Teriakan Bu Tias berhasil menghentikan aksi Arya yang terus menghujaniku dengan bogem mentahnya.

Bu Tias langsung berlari menghampiri Juna. Tangannya menyentuh wajah Juna yang sudah babak belur tak beraturan, penuh dengan warna. Untung saja Bu Tias belum berangkat ke rumah Bu Hindun untuk bekerja sehingga ia mengetahui jika anak bungsunya itu sedang diserang menantu Pak Narto.

Bu Tias menatap tajam ke arah Diandra dan Arya. Beliau berdiri dan Juna langsung memejamkan mata karena tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Juna sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Plakkk

Bu Tias menampar Arya. Melihat hal itu tentu saja Diandra berteriak kaget.

Plakkk

Kembali Bu Tias menampar Arya. Kali ini Juna yang hampir berteriak karena mendengar tamparan Bu Tias yang semakin keras. Untunglah Juna bisa menahan diri untuk tidak berteriak dan memilih memejamkan kedua matanya semakin rapat.

“Berani sekali kau memukuli anakku? Kau pikir kau ini siapa hah?” tantang Bu Tias tanpa rasa takut sedikitpun.

Plakkk

"Sialan...!!!" maki Arya.

Arya balik menampar Bu Tias. Bunyi tamparan yang keras membuat Juna membuka matanya dan langsung bangkit. Kaget. Juna tidak menyangka jika Arya malah menampar balik ibunya.

Juna langsung mendorong Arya dengan keras sehingga Arya jatuh ke lantai. Juna jelas tidak terima jika Arya menampar Bu Tias seperti itu. Arya boleh menamparnya tapi tidak dengan Emaknya.

Bu Tias adalah orang tua yang seharusnya dihormati bukan diberi perlakuan kasar seperti itu meskipun Juna paham jika Bu Tias salah. Namun, sebagai yang lebih muda Arya tidak pantas membalas dengan kasar juga.

Juna yang tidak terima dengan perlakuan Arya, seketika langsung membogem pipi Arya berkali-kali.

Buggg...buggg...buggg...

Kalap, Juna sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Sekarang baik Juna maupun Arya sama-sama dalam keadaan emosi. Mereka saling adu otot, bergelut dengan Bu Tias dan Diandra sebagai penonton.

Entah sudah berapa kali Juna melayangkan bogem mentahnya pada Arya. Wajahnya yang semula kinclong berubah warna-warni, tak jauh beda dengan wajah Juna yang penuh dengan memar.

Dorrr...

Dorrr....

"Berani kau sentuh menantuku, jangan menyesal jika peluru panas ini akan menembus kepala ibumu" teriak Pak Narto.

Juna langsung menegang. Tangannya yang hendak memukul Arya lagi seketika langsung berhenti, melayang di udara. Juna menoleh ke belakang. Kedua netranya membola melihat kedatangan Pak Narto bersama dua orang polisi. Salah satu dari polisi itu mengacungkan sebuah pistol ke udara. Keren sekali gayanya. Namun, tidak membuat Juna terkesima sama sekali.

“Bawa pemuda miskin itu! Tangkap dia karena telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada keluargaku!” perintah Pak Narto.

"Baik, Pak!" sahut polisi itu.

Kedua polisi itu bergegas berjalan menghampiri Juna. Salah satu dari mereka mengambil borgol di saku celananya dan memasangkan pada kedua tangan Juna.

“Kau tidak bisa menangkap anakku!!!” teriak Bu Tias histeris. Beliau langsung berlari memeluk Juna dari belakang.

“Diam kau janda tua! Seharusnya kau juga ditangkap karena ikut andil saat merusak acara pernikahan anakku bahkan kau adalah biang onarnya!” hardik Pak Narto.

“Jangan, Pak!!!” Juna berteriak spontan.

“Bawa aku saja! Jangan bawa Emak juga!” kata Juna memohon kepada Pak Narto.

Pak Narto tertawa mendengar ucapan Juna. Ia terkesan sangat bahagia mendengar Juna memohon seperti itu. Tampak perutnya yang tambun bergetar naik turun mengikuti gelak tawanya yang tak kunjung reda.

“Ayah, apa ada yang lucu?” tanya Diandra membuat Pak Narto segera menghentikan tawanya.

“Mereka!!! Mereka lucu sekali” ucap Pak Narto dengan telunjuk yang mengarah kepada Juna dan Bu Tias.

Diandra memicingkan kedua matanya. Ia masih tidak dapat mencerna ucapan ayahnya yang sebenarnya memang tidak dapat dicerna.

“Mereka lucu?” tanya Diandra lagi.

“Ya, mereka lucu sekali. Memohon agar tidak dibawa ke kantor polisi. Mereka pikir Ayah akan mengabulkan permintaan mereka? Jangankan mengabulkan, mendengarkan saja Ayah tak sudi” kata Pak Narto yang langsung disambut gelak tawa Diandra dan Arya.

“Pak, saya mohon jangan bawa Emak!” Juna memohon sekali lagi. Kali ini Juna menjatuhkan tubuhnya di hadapan Pak Narto, bersimpuh di kedua kakinya.

Juna pikir Pak Narto akan sedikit luluh dengan tindakannya. Namun, ternyata salah. Pak Narto malah menendang wajah Juna hingga ia terjungkal ke belakang.

“Seret mereka berdua! Aku akan pastikan mereka tidak akan bisa hidup nyaman di penjara nanti. Hahaha...” kata Pak Narto dengan tawa yang menggelegar.

Ucapan Pak Narto membuat Juna ketar-ketir. Jika hanya Juna yang diseret, ia tidak masalah. Tapi ini juga menyeret Bu Tias, ibunya. Juna tidak bisa membayangkan bagaimana nasib ibunya di sana.

Pak Narto langsung pergi dengan langkah pongahnya disusul anak dan menantunya. Mereka berjalan mengekori Pak Narto dari belakang.

Puas? Tentu saja Pak Narto puas. Juna bisa melihat bagaimana wajah Pak Narto saat meninggalkan rumahnya. Berbinar seperti baru mendapatkan undian senilai satu milyar. Berbeda dengan Juna. Wajahnya lesu, bingung memikirkan nasib mereka ke depannya.

Juna menoleh ke belakang. Ia melihat Bu Tias masih menangis. Salah satu polisi yang tadi memegangi Juna berjalan menghampiri Bu Tias.

“Maaf, Mak. Saya hanya menjalankan tugas. Sebaiknya kalian ikut dulu ke kantor polisi. Tenang saja! Kami tidak akan bertindak kasar. Emak jangan takut. Saya pastikan kenyamanan Emak di sana” ucap polisi itu.

Polisi itu sedikit membungkuk. Wajah yang semula garang berubah melunak. Polisi itu sebenarnya tidak tega membawa Bu Tias sesuai perintah Pak Narto. Namun, ia tidak bisa apa-apa karena polisi itu hanya menjalankan tugas.

Emak mengangguk. Ia kemudian berjalan sambil berdampingan dengan polisi itu. Junapun bangkit dan mulai melangkah mengikuti langkah Bu Tias.

Juna keluar dari rumahnya dengan tangan diborgol dan wajah babak belur seperti seorang penjahat yang baru saja tertangkap.

Malu? Tentu saja Juna merasa malu. Apalagi ketika melihat banyak tetangga berkerumun di depan rumahnya. Beberapa dari mereka sengaja merekam dan memotret mereka seolah-olah Juna dan Bu Tias adalah kriminal yang baru saja tertangkap.

“Maafkan, Emak” ucap Bu Tias ketika mereka berada di dalam mobil polisi.

Juna yang sedari tadi melamun tentu saja menoleh ke arah Bu Tias. Bu Tias kembali meneteskan air mata. Tangannya tak henti meremas ujung bajunya. menumpahkan kekesalannya pada benda mati itu.

“Maaf untuk apa, Mak?” tanya Juna karena ia rasa jika Bu Tias memang tidak bersalah.

“Gara-gara Emak! Ini semua gara-gara Emak! Andai Emak tidak memaksamu untuk datang ke acara pernikahan Diandra pasti ini semua tidak terjadi” kata Bu Tias menyesal.

Juna menarik nafas panjang. Ia mengusap punggung ibunya perlahan, menenangkan dan menguatkannya.

“Emak tidak salah. Sudah jangan menangis” bisik Juna.

“Bagaimana kalau kita benar-benar dipenjara? Emak tidak mau masa depanmu hancur, Jun" kata Bu Tias dengan air mata yang terus mengalir deras.

“Sudahlah, Mak. Tidak ada yang perlu disesali. Emak tidak perlu merasa bersalah. Kita jalani saja prosesnya sembari berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Semoga ada jalan agar kita bebas” bujuk Juna yang dibalas anggukan kepala Bu Tias.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!