NovelToon NovelToon

Nothing Is Perfect

P R O L O G

"Sayang, aku beli ini yah?"

Guntur meraih sekotak daging cincang, lalu dia tunjukkan kepada Laras, istrinya, yang berjarak cukup jauh darinya.

Sementara di sisi Laras. Wanita itu tersentak kaget dan langsung menoleh kebelakang. kedua obsidiannya tentu mendapati sosok Guntur, suaminya yang saat ini sedang menunjukkan sekotak daging cincang kepadanya.

Laras yang melihat gelagat sang suami, lantas menoleh ke kanan dan kiri untuk memindai suasana super market yang ternyata masih tenang dan tidak ada seorang pun yang memperhatikan mereka.

Mendapati suasana seperti itu, Laras mulai mengayunkan langkah kakinya yang pincang untuk mendekati sang suami. Dia terus saja melihat ke kanan dan kiri, untuk memastikan suasana tetap aman.

"Ambil aja, Mas. Ngapain coba harus teriak-teriak begitu?" Laras berucap dengan sewot, membuat Guntur melebarkan senyum, lalu laki-laki itu bergerak merangkul sang istri.

"Sengaja biar kamu ngedeket, Sayang. Habisnya kita ini suami istri, tapi aku di sini kamu di sana. Biar apa coba?'

biar aku enggak malu-maluin kamu, Mas, jawabnya, tapi Laras mengeluarkan kata-kata itu di dalam hati saja. Dia tidak mau melontarkan kata-kata seperti itu, karena pasti Guntur akan mengamuk.

Lagian bayangkan saja yah. Seorang Satria Guntur Prasetyo, si model sekaligus bintang film ternama se-Indonesia, terlihat berjalan dengan seorang wanita pincang dan juga berwajah jelek seperti, Laras. Sudah pasti itu akan menjadi gosip yang akan menjadi tranding dan ujung-ujungnya hanya Laras yang akan mendapatkan komentar negatif.

"Aku enggak bermaksud. Tadi di sana aku lagi lihat-lihat krem-krem untuk muka gitu," ujar Laras berdalih, membuat Guntur berdengus dan lantas semakin mendekatkan tubuh sang istrinya.

Sekarang dua pasangan suami istri itu, sudah menjadi sangat dekat. Saking dekatnya, di antara mereka tidak ada sedikit pun celah, "Begini baru bisa dikatakan kita itu pergi bersama."

Laras tersenyum kikuk. Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat keadaan super market bagian rak daging-dagingan itu dengan sedikit takut-takut, tapi Laras bisa mengembuskan napas lega karena tempat itu masih sepi.

"Lagian, kalau mau mulai pakai krem-krem seperti itu, jangan beli yang ada di sini." Guntur meletakkan tiga kotak daging cincang ke dalam troli belanjaannya, lalu laki-laki itu berjalan dengan satu tangan mendorong troli dan satunya lagi, melingkari pinggang sang istri.

"Memangnya kenapa? Apa aku enggak pantas perawatan? Apa aku han-"

"Enggak gitu sayang, perawatan boleh saja. Malahan, Mas itu senang loh, kamu udah mau mulai mencoba merawat diri," jelas Guntur dengan nada bicara yang sangat santai, walau saat ini dia tahu kalau sang istri mulai berpikiran negatif.

"Kalau begitu ayok kita ke rak kosmetik, Mas!"ajak Laras menampilkan ekspresi girang.

Guntur yang mendapati reaksi seperti itu tersenyum, dia senang, tapi dia juga menggelengkan kepalanya, "Tidak, untuk perawatan wajah , kamu jangan pakai hal-hal yang aneh. Lebih baik, Mas belikan nanti dan sekarang, kita lebih baik ke perlengkapan dapur."

Guntur menggeret sang istri dengan perlahan, untuk beralih ke rak bahan-bahan dapur. Laras yang melihat tingkah suaminya seperti itu, hanya bisa tersenyum bahagia. dia tahu kalau Guntur sangat mencintai dirinya, tapi entah kenapa dia begitu merasa takut saat sang suami menunjukkan hal itu. Entah karena apa, tapi satu hal yang selalu Laras bayangkan dan tidak ingin hal itu terjadi.

Satu hal itu adalah, dia tidak mau Guntur berpaling dari dirinya. Laras sangat mencintai Guntur, tapi karena rasa khawatirnya yang timbul dari ketidakpercayaan diri itu, membuat Laras selalu berpikir berlebihan mengenai, Guntur.

"Apa Guntur memiliki wanita lain yang lebih cantik di luar sana?"

Itulah pikiran negatif yang lebih sering mendominasi Laras, saat dia melihat foto suaminya yang begitu mesra dan nampak serasa dengan seorang wanita di majalah model.

#Bersambung

Tidak ada teka-teki, tidak ada misteri, atau pun tidak ada hal yang akan membuat kalian merasa curiga di sini.

Dalam cerita ini, kalian hanya akan diperlihatkan dengan sosok Laras yang selalu berpikir berlebihan, berpikiran negatif, merasa takut dengan segala hal, dan masalah utamanya iyalah, kalian akan mendapati sosok Laras yang selalu insecure dengan dirinya dan selalu membandingkan diri dengan orang lain.

Ini adalah kisah Laras dengan segala rasa kekhwatiran yang menganggu kehidupannya.

..."Berhenti membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain, karena mau bagaimana pun juga, kalian itu pasti sudah jelas berbeda. Entah mau kalian bandingkan seratus kali pun, kalian tidak akan mempunyai kesamaan dan satu hal yang perlu kalian tahu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Jadi, bahagialah dengan apa yang kalian punya saat ini."...

...***...

..."Nothing Is Perfect"...

...See you all...

NIF 01

..."Dengarkan aku! Sebanyak apa pun kau membandingkan dirimu dengan orang lain, itu tidak akan ada gunanya sama sekali. Sebab, kamu dengan orang itu sudah jelas berbeda. Mereka memang punya kelebihan yang tidak kamu miliki dan kamu pun begitu. Kamu juga pasti punya kelebihan yang mereka tidak miliki, seperti membuatku jatuh cinta begini. Kamu tahu 'kan kalau tidak ada seorang pun yang bisa membuatku jatuh cinta selain kamu."...

...****************...

..."Satria Guntur Prasetyo"...

"Sayang?"

Laras yang sedang menata meja makan langsung menoleh, "Mas ...." Wanita itu tersenyum, lalu bergerak untuk menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk.

Guntur yang mendengar sapaan itu, ikut tersenyum. Dia mengayunkan langkah untuk mendekati istrinya, "Buat sarapan apa?" Laki-laki itu bergerak melingkar tangan kanannya di pinggang ramping, Laras.

Laras yang mendapati perkalian seperti itu, langsung bergerak tak karuan. Jujur, dua tahun menjadi istri seorang Satria Guntur Prasetyo, tidak pernah bisa membuat dia terbiasa dengan perlakuan manis dari sang aktor itu.

Bagi Laras, menjadi istri seorang Guntur bisa disebut sebagai sebuah keajaiban. Bayangkan saja, seorang Laras yang tidak sempurna, bisa memikat laki-laki tampan seperti Guntur. Sungguh, itu memang benar-benar suatu keberuntungan.

"Duduk dulu, Mas!"

Laras yang salah tingkah memerintahkan Guntur untuk cepat-cepat duduk di kursinya. Sementara di sisi, Guntur sendiri. Dia malah diam seolah enggan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh istrinya tadi.

"Ihh, Mas ...." Laras mengeluarkan sebuah rengekan manja, saat dia mendapati sang suami mulai bergerak mengulurkan tangan untuk memindahkan beberapa helai rambut hitam miliknya yang menutupi mata bagian kiri.

"Kenapa sih kamu itu suka banget jatuhin rambut ke kiri? Kamu begitu biar apa coba? Padahal kalau ini diselipkan seperti ini ...." Guntur menjeda ucapannya untuk kembali melanjutkan aksinya menyelipkan helaian rambut hitam, Laras yang terjuntai menutupi mata kirinya, "tuh 'kan beneran cantik. Istri Satria Guntur Prasetyo gitu loh."

Laras menundukkan kepala dalam. Saat ini wanita itu tengah menahan diri untuk tidak mengekspresikan kebahagiaannya. Sementara di sisi Guntur. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan dia bergerak mengecup ujung mata kiri, sang istri.

"Menggemaskan sekali istriku yang cantik ini."

Setelah mengatakan itu, Guntur lalu beranjak untuk duduk di kursinya. Laki-laki itu bergerak menggosok-gosokkan telapak tangannya, sembari hidungnya menghirup oksigen dengan cepat, "Dari wanginya sudah bisa ditebak, makanan ini pasti enak banget."

Pada akhirnya pertahanan Laras pun roboh. dia yang tadinya bersusah payah untuk tidak termakan rayuan buaya sang suami, malah dibuat senyum-senyum. Bahkan tanpa sadar dia juga bergerak memukul lengan otot laki-laki itu, hingga membuat Guntur pura-pura berteriak kesakitan.

"Sakit, Sayang," adu Guntur dengan manja sembari memperlihatkan mimik wajah yang memelas.

Laras yang melihat itu menoyor pelan pipi kiri sang suami, "Dasar aktor penuh drama."

Selalu saja. Setiap Guntur merayunya atau bersikap romantis kepadanya, Laras akan mengatakan kalau laki-laki itu sedang akting. Sementara, Guntur yang dikatai seperti itu, akan langsung cemberut, membuat tawa sang istri pecah.

Contohnya seperti saat ini. Ruang makan yang tadinya sepi sudah dipenuhi oleh tawa Laras. Guntur yang melihat itu, hanya bisa tersenyum sekaligus merasa senang. Baginya, bahagia Laras adalah bahagianya juga.

Hal itu sudah tertanam saat dia bertemu dengan Laras untuk pertama kalinya. Biar pun waktu berlalu, Guntur tidak akan pernah melupakan pertemuannya itu dengan sang istri.

"Mas, udah ih. Mas pagi juga." Laras menyudahi tawanya. Wanita itu menarik napas untuk menenangkan diri dan setelah dirasa cukup tenang. Dia membuang napasnya, lalu bergerak mengumpulkan rambutnya untuk diikat cepol.

Guntur yang melihat tingkah istrinya seperti itu, tetiba menarik kedua sudut bibirnya, "Begitu dong. 'Kan cantik kalau digituin," puji laki-laki itu, membuat Laras tersenyum.

"Makasih," ujar Laras dengan cengiran bahagia.

Jujur, Laras begitu sangat-sangat bahagia dengan pujian itu. Dia bukannya lebay atau gimana, tapi bayangkan saja. Siapa coba wanita yang tidak akan merasa bahagia di puji seperti itu disaat semua orang menghinanya dengan sebutan si buruk rupa, karena sebuah bekas luka bakar di sisi kiri matanya dan si cacat, karena dia berjalan pincang. Pasti tidak ada, 'kan?

Akan tetapi, Guntur. Dia adalah laki-laki pertama yang mengatakan Laras memiliki paras yang teramat cantik. Tidak ada laki-laki lain, selain Guntur.

"Cukup, udah segitu aja."

Laras meletakkan kembali centong yang tadi dia gunakan untuk menyendok nasi. Saat ini wanita itu sedang berdiri dengan sedikit membungkuk di sebelah kiri suaminya.

"Lauknya aku pakai tempe sama ikan aja, Bi," pinta Guntur sembari menunjuk ke arah tempe manis, lalu ke ayam goreng.

Laras langsung mengambil lauk yang suaminya inginkan. Dia melakukan hal itu, tanpa bicara sedikit pun dan Guntur juga begitu. Laki-laki itu hanya diam sembari memperhatikan wajah istrinya.

Laras menggerakkan bola matanya ke kanan. Wanita itu menaikkan satu alisnya saat dia mendapati Guntur sedang menatap ke arahnya, "Ada apa, Mas?" tanya wanita itu sembari bergerak menegakkan tubuhnya.

Guntur gelagapan. Dia sedikit mendongak, lalu melirik ke sisi kanan, "Tidak ada apa-apa. Tapi, kamu udah siapin keperluan aku, 'kan?"

"Semalam kita siapin bareng-bareng loh," jawab Laras sembari terus menyendok nasi, lalu meletakkannya di atas permukaan piring.

"Beneran? Kok aku bisa lupa yah, Bi?" tanya Guntur dengan menunjukkan ekspresi seolah dia kelihatan kaget. Padahal saat ini laki-laki itu hanya akting, tapi anehnya terkesan natural banget. Laras yang melihat saja, langsung dibuat percaya.

"Kemaren malam loh, Mas."

"Iya, udah inget. Tapi, bekal makan siangku sudah kamu buat, 'kan?"

"Udah, itu di dapur. nanti aku masukin pas, Mas berangkat," jawab Laras dan Guntur yang mendengar itu tersenyum.

Laki-laki itu bergerak memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, lalu dia melirik kembali ke sang istri. Guntur lagi-lagi diam memperhatikan Laras yang mulai menikmati sarapannya.

Laras yang kembali merasa dilihatin, menoleh ke arah suaminya, "Ada apa sih, Mas? kalau mau bicara, bicara aja."

Guntur masih diam, karena saat ini dia sedang mengunyah nasi yang ada di dalam mulutnya. Pertama-tama laki-laki itu meraih segelas air, untuk melancarkan tenggorokannya yang tersendat.

"Begini, Bi. Gimana kalau kamu ikut aku ke puncak?" Laras langsung dibuat batuk oleh perkataan suaminya.

"Ikut kamu ke Puncak?" tanya Laras dan Guntur yang mendengarnya menganggukkan kepala.

***

Menteng, Jakarta Pusat.

"Apa alasanmu enggak mau ikut?" tanya Guntur saat setelah dia menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah tingkat dua yang ada di perumahan Menteng.

Nada bicara laki-laki itu terdengar sangat tegas, membuat Laras menundukkan kepalanya, "Malu, Mas. Aku takutnya nanti kamu enggak nyaman di sana."

Guntur menoleh ke sebelah kiri, melihat sang istri dengan tatapan tidak percaya, "Enggak nyaman gimana, Bi? Malahan-"

"Aku udah bilang mau tinggal sama mamah aja di sini. Jagain, Mamah. Di sana, Mas juga pasti bakalan sibuk syuting." Laras mulai menolak dengan tegas, membuat Guntur mau tidak mau mengalah.

"Baiklah kalau itu yang kamu mau. Tapi, jangan salahkan kalau aku spam telepon nanti yah."

Laras tersenyum. Wanita itu menganggukkan kepalanya. Guntur yang melihat itu ikut tersenyum dan setelah itu, dia bergerak untuk memeluk tubuh istrinya.

"Kamu baik-baik di sini. jangan pergi ke mana-mana, tanpa teman. Terus, jangan berpikiran negatif atau hal lainnya." Guntur memberikan wejangan untuk istrinya.

Laras yang mendengar itu menganggukkan kepalanya, "Iya. Mas juga di sana jaga kesehatan. bekalnya nanti jangan lupa di makan dan jangan lupakan krem wajahku lagi. Ini udah dua bulan loh setelah, Mas janji."

Guntur terkekeh. Laki-laki itu bergerak memberikan kecupan singkat di puncak kepala, Laras, "Aku enggak bakalan lupa lagi."

Laras mengurai pelukannya, "Awas aja kalau, Mas lupa!" peringat wanita itu sembari bergerak untuk keluar dari mobil.

"Dasar." Guntur bergerak meraih sesuatu yang ada di pintu mobil yang tadi ditutup oleh istrinya. Laki-laki itu kelihatan memainkan benda itu, membuat kaca yang ada di pintu mobil, bergerak turun.

Sementara di luar. Laras sedikit membungkuk, agar kepalanya sejajar dengan jendela pintu mobil yang tadi dia tutup, "Mas hati-hati. Sampai jumpa tiga hari lagi."

Laras melambaikan tangan dengan seutas senyum yang sangat lebar. Sementara di dalam mobil. Guntur ikut tersenyum dengan satu tangan terangkat, "Dah, Aku berangkat dulu. Baik-baik di sini dan aku mencintaimu."

Setelah mengatakan itu, Guntur kembali melajukan mobilnya meninggalkan sang istri di rumah orang tuanya selama tiga hari, lantaran dia akan syuting di puncak.

***

"Baru jam tujuh, mungkin masih sempat." Setelah menimang cukup lama, Guntur pada akhirnya bergerak keluar dari mobil.

Saat ini laki-laki itu sudah memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah rumah mewah. Guntur melirik ke kanan dan kiri. Saat dia mendapati situasi yang aman dan tidak ada yang mencurigakan, barulah dia mengayunkan langkah untuk menaiki anak tangga menuju pintu masuk utama bangunan itu.

Tidak perlu waktu yang lama, Guntur sudah menghentikan langkah. Laki-laki itu kembali menoleh ke kanan dan kiri. Dirasa masih aman, dia menggerakkan tangannya untuk memencet bel.

Cukup lama laki-laki itu melakukannya, hingga sebuah suara khas seperti pintu yang dibuka menyapa gendang telinga Guntur, membuat pria itu berhenti melakukan aktivitas memencet-mencet bel.

"Honey?" Seorang wanita tiba-tiba keluar dari dalam rumah besar itu. Parahnya lagi, wanita itu juga langsung berhamburan memeluk Guntur, yang sialnya malah laki-laki itu balas.

#Bersambung

NIF 02

..."Dosakah aku karena tidak sempurna?"...

...****************...

..."Laras Ayudia"...

"Laras? Kapan tibanya, nak?" Oma Hani berseru dari ruang keluarga yang memang berada tak jauh dari pintu masuk.

Oma Hani, wanita tertua yang ada di keluarga besar Prasetyo. Dia adalah nenek kesayangan semua cucu-cucunya, termasuk Guntur. Laki-laki itu sangat sayang kepada Omanya.

Oma Hani pun begitu. Dari ketiga cucunya, hanya Guntur yang diberikan cap spesial. Dia begitu bukan berarti tidak sayang dua cucunya yah, tapi hanya saja kadar kesayangannya tidak lebih dari Guntur.

Saking sayangnya Oma Hani ke Guntur. Dia bahkan dulu langsung menerima sosok Laras, tanpa embel-embel lihat kekurangan wanita itu. Bagi Oma Hani, mendapati Guntur tak lajang lagi sudah jauh lebih cukup.

Masalahnya, dulu sebelum Guntur menikah dengan Laras. Oma Heni sudah mewanti-wanti tuh pemuda jika tidak mengenalkan seorang wanita, dia akan dijodohkan sama anak pemerintah.

Guntur yang mendengar itu tentu saja kaget. Namun, tanpa diduga, seminggu setelah ancaman itu, Guntur datang bersama dengan sosok Laras.

"Assalamualaikum, Oma." Laras meraih tangan keriput, Oma Hani, lalu menyalaminya. Tidak lupa, Laras juga tadi menciumi punggung tangan orang tertua di keluarga Prasetyo itu.

"Waalaikumsalam, Nak. Kamu sendiri? Guntur mana? Apa masih parkir mobil?" Oma Hani memiringkan kepalanya untuk melihat pintu masuk, tapi dua obsidiannya tidak mendapati sosok dari cucu kesayangannya.

"Anu, Oma." Laras menunduk, membuat rambut hitamnya yang ada di kiri dan kanan, terjatuh menutupi sisi wajahnya.

Oma Hani yang melihat menantunya itu ragu-ragu, menaikkan kedua alisnya. Dia saat ini sedang menelisik dan mencari tahu tentang apa yang menggangu menantunya ini.

"Jangan bilang dia meninggalkanmu lagi?" tebak Oma Heni dengan kedua mata memicing dan jari telunjuk yang mengacung, menunjuk ke arah Laras.

Laras menegakkan kepalanya dan wanita itu langsung menggeleng, membuat surai-surai hitamnya berayun, "Enggak, Oma. Sebenarnya aku yang minta tinggal di si-"

"Enggak-enggak, kamu enggak boleh bela-bela dia lagi. Pokoknya hari ini, Oma harus kasih tahu tuh anak." Oma Heni bergerak memutar tubuhnya untuk mencari, di mana kiranya tadi dia melepas ponsel, "enak saja dia pergi liburan, tapi enggak ajak istri. Pokoknya hari ini, Oma harus kasih tuh anak perhitungan," imbuhnya, sembari bergerak meraih ponsel yang ternyata dia letakkan di meja, yang ada di tengah-tengah sofa. Maklum udah tua, jadi Oma Heni itu sering lupa.

"Oma, sebenarnya tadi Mas Guntur ngajakin."

Baru saja Oma Heni mau menekan icon telepon, wanita tua itu langsung menghentikan gerakan tangannya di udara. mataya yang tadi menyipit ke layar, langsung mendongak melihat menantunya yang masih berdiri.

"Maksudnya?" tanya Oma Heni dengan terus mendongak melihat wajah menantunya yang di mana, di sisi ekor mata kiri wanita itu terdapat luka. Bahkan ada beberapa bekas jerawat juga di pipi kiri dan kanan wanita itu. Maklum tidak pernah perawatan. Jadi, gitulah.

Laras dari sebelum dia menikah dengan Guntur, sudah punya cap sebagai wanita yang tidak pernah menyentuh skincare. Jangankan itu, bedak saja dia belum pernah pakai kecuali saat menikah dulu.

Bisa dibilang, Laras itu tidak bisa merawat diri. Sebenarnya, wanita itu dulu ingin sekali melakukan perawatan. Akan tetapi, dia tidak bisa memulainya karena orang-orang jauh lebih dulu mengolok-olok perempuan itu.

"Orang buruk rupa seperti lu itu, percuma banget pakai skincare. Abis-abisin duit doang."

Itu adalah satu gunjingan yang selalu Laras dengar saat ada beberapa wanita, memergoki dirinya membawa beberapa prodak skincare. Gunjingan seperti itu kalau tidak salah ingat terjadi dan sering di dengar oleh Laras, saat dia masih kuliah.

"Nah kok kamu bisa enggak mau?" Oma Heni bertanya dengan sedikit terkejut.

Laras yang mendengar itu menyengir kikuk, kemudian bergerak untuk duduk di sebelah, Oma Heni, "Malu, Oma. Di sana pasti aku bakalan buat Mas Guntur enggak nyaman. Apa lagi, pernikahan kami berdua kan ada sedikit orang yang tahu."

"Loh, kamu malu kenapa? Cucu Oma kan ganteng, tinggi, keker. Dia emang sering bertingkah konyol, tapi Guntur tahu situasi kok. Tuh anak tahu kapan gilanya." Bukan Guntur yang dapat omelan, tapi malah Laras yang disembur oleh kata-kata nenek.

Padahal ini masih pagi banget, tapi rumah keluarga Prasetyo malah dipenuhi kebisingan dan itu semua karena, Oma Heni.

"Bukan itu, Oma. Tapi, sebaliknya." Laras berucap dengan nada kikuk, tapi kedua tangannya saat ini sudah berhasil memeluk, Oma Hani.

"Hah, maksudnya?" tanya Oma Hani yang sepertinya belum paham.

Laras kembali tersenyum kikuk. Wanita itu bergerak menidurkan sisi kanan kepalanya di lengan otot, Oma Heni, "Aku takut di sana, Mas Guntur malu karena ngajakin orang jelek in-"

"Mulutmu!" Oma Hani menepuk pelan pipi kiri Laras, membuat menantunya itu mengeluarkan cengiran.

"Emang bener kan aku itu selalu malu-maluin, Oma. Lihat, apa yang bisa Mas Guntur banggain dari aku? Enggak ada. Makanya, aku lebih baik diam di rumah aja, jaga image suami itu juga harus dilakukan istri." Lagi-lagi Laras mulai meresahkan diri.

Dia memang seperti itu. Dari dulu, sebelum menikah dengan Guntur. Laras pun sering merendahkan diri sendiri. Dia bilang dirinya ginilah, gitulah, intinya hal-hal yang jelek, selalu saja dia sisipkan di dirinya.

Terlepas dari itu semua, Laras pun sering insecure jika melihat orang lain yang dalam tanda petik "Lebih wah dari dirinya".

"Laras, dengerin Oma. Bukankah Oma udah sering bilang ke kamu untuk jangan pernah berpikir begitu? Emang kita itu harus cantik biar bisa dibanggain sama suami?"

Laras diam, tapi saat ini posisinya masih tidak berubah. Dia masih memeluk Oma Hani dan menidurkan sisi kepalanya di lengan otot wanita tua itu, "Tidak semua wanita itu dilihat dari parasnya, Sayang."

"Tapi tetap aja orang-orang pasti bakalan liat itu, Oma. Tidak semua orang di dunia ini itu sama kayak Mas Guntur, Oma. Bayangkan, dari berjuta-juta penduduk Indonesia, hanya dia yang bilang aku si buruk rupa ini Cantik. Apa dia enggak sakit ma-"

"Kak, stop!" Seorang wanita muda tiba-tiba menyela, membuat Laras dan Oma menoleh ke arah kanan.

"Gini, aku tanya. Emang salah yah jika Bang Guntur itu bilang kalau, Kak Laras cantik?" tanya dia, Lidia Natalia, anak bontot di keluarga Prasetyo.

Setelah menanyakan itu, Lidia mengayunkan langkah mendekati sofa, dengan tangan yang tidak berhenti menyendok sereal, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Laras yang mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu, langsung dibuat tertegun, "Sebenarnya enggak salah sih, Dek. Tapi, entah kenapa saat Abangmu itu bilang gitu. Kakak merasa kalau dia sedang melakukan pembohongan publik."

Lidia membulatkan mata dengan mulut yang masih mengunyah sereal, "Pembohongan publik di mananya? Gini yah, Kak Laras-ku. Menurut Kakak wanita cantik itu kayak gimana sih?"

"Yang good looking lah. Wajahnya putih, tinggi, dan enggak ada bekas luka atau pun jerawat kayak aku gini." Jawab Laras dengan santainya.

Oma Hani dan Lidia langsung menghela napas, membuat Laras menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat wajah dua orang itu.

"Aku beritahu. Sebenarnya ini aku denger dari Bang Guntur dulu sih. Kak Ras, perihal kecantikan itu bukan cuma modal wajah yang good looking doang. Tapi, hati juga. Percuma cantik kalau kelakuannya buruk." Lidia berhasil membungkam mulut kakak iparnya.

"Dan satu lagi. Kamu jangan berharap bisa cantik atau glow up deh, kalau masih jelekin diri sendiri." Laras kembali diam. Selalu begini. Jika sudah berhadapan dengan dua wanita ini, Laras akan selalu dibuat tidak bisa bicara. Apa lagi saat dia sudah mendengar kata-kata mutiara dari Oma yang nusuk banget.

"Aku izin ke kamar, Mamah yah." Laras bangkit dari duduknya dan dia langsung beranjak pergi

"Nak, tunggu!" Baru saja Laras akan masuk, langkahnya terhenti saat Oma Hani menginterupsi dirinya.

"Apa Oma mau sesuatu?" tanya Laras dan itu ternyata bersamaan dengan bunyi nada pesan masuk yang mengalun dari ponselnya.

"Kamu di sini berapa hari?" tanya Oma Hani.

"Tiga hari, Oma." Laras menjawab setelah dia berhasil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana jeans wanita, yang pagi ini dia kenakan.

Laras membuka lock screen ponselnya, kemudian diam masuk ke aplikasi chat, "nomer asing?" gumam Laras dalam hat dan tanpa menunggu lagi, dia langsung masuk ke room chat tersebut dan matanya membulat terkejut saat mendapati beberapa foto seorang laki-laki yang tengah berpelukan.

"Kak Laras!" Laras tersentak kaget dan dengan wajah yang bingung, dia melihat ke arah Oma Hani dan Lidia.

"I ... iya?"

"Kak Laras kenapa? Oma nanyain, Abang Guntur sekarang syuting di mana?" tanya Lidia yang masih sjaa memakan serealnya.

Laras bingung ingin menjawab apa. Padahal itu pertanyaan yang mudah. Dia tinggal bilang pergi ke Puncak, tapi anehnya, dia justru ragu untuk menjawab seperti itu karena setelah dia menelisik foto dua orang yang berpelukan ini. Laras mendapati kebenaran, kalau laki-laki yang ada di foto itu adalah suaminya.

#Bersambung

...Jangan lupa kasih like, masukin rak, dan gift hadiah jika berkenan....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!