Rizky mengendarai mobilnya dengan tenang. Ia baru saja mengantarkan kedua orang tuanya pulang ke rumah mereka. Sekarang ia dalam perjalanan menuju ke Kebayoran Baru ke tempat tinggal orang tua angkat Maira. Maira adalah anak kandung Ricky diluar pernikahan. Anak itu lahir karena kesalahan Ricky di masa lalu. Sekarang Maira tinggal bersama ibu angkatnya bernama Aida yang mengurusnya sejak bayi. (Untuk lebih jelasnya lagi silahkan baca novel Deche yang berjudul Terjebak Pesona Mamah Muda. Karena Pengasuh Anakku adalah kelanjutan dari novel Terjebak Pesona Mamah Muda).
Ricky melirik ke rear-vision mirror, ia melihat Maira sedang tidur di pangkuan Hanifa pengasuh anaknya. Anak itu tertidur karena kecapean setelah bermain gelembung di kebun binatang Ragunan. Hanifa memandang keluar jendela, namun tangannya mengusap-usap kepala Maira atau menepuk-nepuk badan bagian belakang tubuh Maira. Ricky tersenyum melihat Hanifa memperlakukan Maira dengan baik.
Tak terasa sampailah mereka di rumah Ibu Poppy mertua Aida. Ricky memarkirkan mobilnya di depan rumah Ibu Poppy.
“Kamu tunggu dulu. Biar saya yang membuka pintu,” kata Ricky kepada Hanifa yang sudah bersiap-siap membuka pintu. Hanifa tidak jadi membuka pintu.
Ricky keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Hanifa. Hanifa keluar dari mobil sambil menggendong Maira. Ricky membawa tas Maira. Mereka menghampiri rumah Ibu Poppy. Penjaga rumah membukakan pintu pagar.
“Assalamualaikum,” ucap Hanifa.
“Waalaikumsalam,” jawab Pak Eko penjaga rumah Ibu Poppy.
“Waduh, Non Maira bobo. Masuk lewat garasi aja, Mbak,” kata Pak Eko.
Ricky dan Hanifa masuk ke dalam rumah melalui garasi.
“Assalamualaikum,” ucap Hanifa ketika masuk ke dalam rumah Ibu Poppy.
Bi Ijah yang sedang berada di dapur langsung keluar dari dapur menuju ke ruang tengah.
“Waalaikumsalam,” jawab Bi Ijah.
“Oh, Non Maira sudah pulang. Bawa ke atas aja ke kamarnya Non Maira,” kata Bi Ijah.
Ricky memberikan tas Maira kepada Bi Ijah.
“Ayo, Non. Saya antar ke kamar Non Maira,” kata Bi Ijah.
Bi ijah dan Hanifa menaiki tangga menuju lantai atas, sedangkan Ricky menunggu di bawah.
“Ibu Aida kemana, Bi?” tanya Hanifa. Karena rumah Ibu Poppy nampak sepi, tidak satupun pemilik rumah terlihat.
“Non Aida dan Den Firas sedang tidur,” jawab Bi Ijah.
Lalu Bi Ijah mengajak Hanifa ke sebuah kamar. Bi Ijah membuka pintu kamar itu. Kamar itu nampak seperti bukan kamar anak, kamar itu lebih mirip dengan kamar seorang gadis. Di dinding kamar itu menempel foto perempuan cantik yang menggunakan kerudung. Sepertinya perempuan itu adalah tantenya Maira. Hanifa menidurkan Maira di atas tempat tidur yang menggunakan sprei berwarna hijau tosca. Hanifa menyelimuti Maira dengan selimut, lalu menaruh bantal dan guling di pinggir kanan dan kiri Maira. Agar Maira tidak terjatuh. Bi Ija menyalakan walkie talkie lalu diletakkan di dekat Maira, walkie talkie satu lagi dibawa Bi Ijah. Lalu mereka keluar dari kamar itu.
Bi Ijah dan Hanifa turun dari lantai atas lalu menghampiri Ricky yang berdiri di depan pintu menuju garasi.
“Bi, kami pamit pulang. Sampaikan salam saya kepada Mbak Aida dan Pak Firas,” kata Ricky.
“Baik akan Bibi sampaikan,” jawab Bi Ijah.
“Asaalamualaikum,” ucap Ricky.
“Waalaikumsalam,” jawab Bi Ijah.
Ricky dan Hanifa keluar dari rumah Ibu Poopy. “Pak, kami pamit dulu. Assalamualaikum,” pamit Ricky kepada Pak Eko.
“Ya, Den. Waalalikiumsalam,” jawab Pak Eko. Ricky dan Hanifa keluar dari halaman rumah Ibu Poppy menuju ke mobil Ricky.
“Kamu duduk di depan,” kata Ricky sambil membuka kunci pintu mobil dengan remote. Hanifapun duduk di sebelah Ricky. Kemudian Ricky melajukan mobilnya. Ricky mengendarai mobilnya menuju ke jl Jendral Sudirman.
“Kamu jangan pulang dulu, ya. Temani saya jalan-jalan,” kata Ricky.
Haifa mengerutkan keningnya mendengar perkataan Ricky. “Bukankah tadi kita sudah jalan-jalan?” tanya Hanifa.
“Tadikan Maira yang jalan-jalan. Ayahnya belum jalan-jalan,” jawab Ricky dengan tenang sambil menyetir mobilnya.
“Bapak mau jalan-jalan kemana?” tanya Hanifa.
“Ke Mall Pasific Place. Kita nonton film,” jawab Ricky. Hanifa hanya diam saja mendengar jawaban Ricky.
“Kamu suka nonton film, kan?” tanya Ricky sambil menoleh ke arah Hanifa.
“Suka. Tapi saya jarang menonton di bioskop,” jawab Hanifa.
“Sekarang kita menonton ke bioskop. Kamu boleh pilih menonton film yang kamu suka,” kata Ricky.
Ricky membelokkan mobil ke mall Pasific Palace. Ia langsung mengarahkan mobilnya menuju ke basement. Ricky memarkirkan mobilnya di basement.
“Turun, yuk,” ajak Ricky. Hanifa keluar dari mobil dan menunggu Ricky keluar dari mobil. Setelah Ricky keluar dari mobil merekapun berjalan menuju ke liff. Ketika mereka berjalan menuju liff Ricky menoleh ke sampingnya, namun ia tidak melihat Hanifa. Lalu ia menoleh ke belakang, tenyata Hanifa berjalan di belakangnya. Ricky berhenti berjalan.
“Ngapain kamu berjalan di belakang saya? Jalannya di sebelah saya. Kamukan bukan bodyguard,” kata Ricky. Akhirnya Hanifa berjalan di samping Ricky.
Mereka masuk ke dalam liff. Di dalam liff Hanifa berdiri di belakang Ricky. Ricky menoleh ke belakang Hanifa berdiri di belakang Ricky. Kebetulan liff itu penuh dengan pengunjung yang hendak masuk ke Pacific Place, jadi Ricky membiarkan Hanifa berdiri di belakangnya. Liffpun berhenti di lantai dua. Ricky dan Hanifa keluar dari liff, Ricky mengajak Hanifa menuju ke mushola. Ketika mereka sampai di mushola sudah waktunya untuk sholat ashar.
“Kita sholat dulu, biar santai nontonnya,” kata Ricky ketika sampai di depan mushola.
Merekapun terpisah, mereka menuju ke tempat wudhu masing-masing. Selesai sholat Ricky menunggu Hanifa di depan mushola, karena ia lebih dulu keluar dari mushola. Tak lama kemudian. Hanifa keluar dari mushola, Hanifa duduk di depan pintu mushola untuk memasang kaos kaki dan sepatu. Ricky dengan sabar menunggu Hanifa. Melihat Ricky sudah menunggunya, Hanifa cepat-cepat menggunakan kaos kaki dan sepatu. Setelah selesai memakai sepatu Hanifa menghampiri Ricky.
“Sekarang kita ke bioskop,” kata Ricky Mereka naik ke lantai enam dengan menggunakan ekalator. Sesampai di lantai enam mereka langsung masuk ke dalam bioskop. Di dalam bioskop penuh dengan pengunjung karena sekarang weekend.
“Kamu mau nonton apa?” tanya Ricky kepada Hanifa.
“Terserah Bapak aja,” jawab Hanifa.
“Kok terserah saya? Nanti kamu tidak suka filmnya,” kata Ricky.
“Saya suka menonton apa saja,” jawab Hanifa.
Akhirnya Ricky memilih menonton film action. Kebetulan film itu main di theater gold class, jadi Ricky membeli ticket lebih mahal dari theater regular. Hanifa kaget mendengar total yang harus dibayar oleh Ricky.
Mahal sekali, bisik Hanifa di dalam hati.
“Kamu mau popcorn?” tanya Ricky.
“Tidak, Pak. Terima kasih,” jawab Hanifa.
“Saya belikan, ya. Nonton di bioskop tanpa popcorn dan soft drink tidak seru,” kata Ricky.
“Untuk bapak saja, saya tidak usah dibelikan,” ujar Hanifa.
“Loh, kenapa? Masa saya makan sendirian,” protes Ricky. Akhirnya Ricky membelikan dua popcorn dan dua sofdrink. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Hanifa. Setelah selesai membeli camilan mereka langsung masuk ke theater, karena pintu theater telah dibuka.
Hanifa tertegun melihat bangkunya. Bangkunya tidak seperti bangku biasa, Bangkunya lebih luas, lebih nyaman dan yang lebih Hanifa sukai adalah lebih jauh jarak dari bangku yang satu dengan bangku yang lain. Sehingga Hanifa tidak akan merasa risi duduk di ruangan gelap berdekatan dengan Ricky.
.
.
Sorrry, kemarin Deche ketiduran sehingga baru bisa up sekarang.
Selama film dimulai Hanifa fokus kepada jalan cerita. Popcorn dan soft drink menjadi temannya selama menonton film. Hingga tak terasa filmpun selesai dan lampu theater pun menyala. Hanifa dan Ricky keluar dari theater.
“Kita sholat magrib dulu,” kata Ricky ketika keluar dari bioskop.
Merekapun turun ke lantai dua menuju ke mushola untuk sholat magrib. Sesampai di musholah mereka berpisah menuju ke tempat wudhu. Ricky lebih dulu selesai sholatnya. Ia menunggu Hanifa di depan mushola. Selama ia menunggu Hanfa, Ricky menjadi perhatian para gadis-gadis. Wajahnya yang tampat dan postur tubuh yang tinggi menarik perhatian para wanita, terutama gadis-gadis remaja. Usianya tiga puluh tahun membuat Ricky terlihat dewasa dan berkarisma. Dan kemapanan ekonominya menunjang penampilan Ricky.
Tak lama kemudian Hanifa keluar dari mushola. Seperti biasa Hanifa duduk di depan mushola untuk menggunakan kaos kaki dan sepatu. Ricky menghampiri Hanifa. Seolah menunjukkan kepada semua wanita kalau ia sedang menunggu seorang. Semua mata para wanita dan gadis-gadis tertuju pada Hanifa. Mereka ingin tau seperti apa wanita yang sedang ditunggu oleh Ricky. Setelah Hanifa selesai menggunakan sepatu dan berdiri, semua kaget melihat Hanifa. Penampilan Hanifa yang biasa dan sederhana sangat jauh berbeda dengan penampilan Ricky. Namun Ricky acuh dan tidak peduli dengan penilaian orang. Dengan santai Ricky berjalan di samping Hanifa.
Mereka turun menggunakan liff menuju ke basement tempat Ricky memarkirkan mobilnya. “Kita makan dulu. Kamu mau makan apa?” tanya Ricky sambil menghidupkan mobilnya.
“Tidak usah, Pak. Saya sudah kenyang makan popcorn dan minum soft drink, ” jawab Hanifa.
“Kalau begitu kamu temani saya makan,” kata Ricky.
Sebenarnya Hanifa takut ibunya mencemaskannya. Tadi pagi ia pamit untuk mengantar Maira piknik ke kebun binatang Ragunan. Namun sampai malam ia belum juga pulang. Memangnya seberapa jauh kebun binatang, hingga pulangnya malam?
Ricky menoleh ke Hanifa. “Kamu tidak usah cemas, biar saya yang menjelaskan kepada ibumu,” kata Ricky seolah olah mengtahui isi hati Hanifa.
Hanifa menghela nafas. Susah sekali ia menolak permintaan bosnya. Karena Hanifa tidak punya alasan untuk menolak permitaan bosnya. Ricky hanya minta ditemani nonton dan makan malam. Tidak lebih dari itu. “Baiklah, Pak,” kata Hanifa. Ricky tersenyum mendengar perkataan Hanifa. Ia pun mengendarai mobilnya.
Ricky mengendari mobilnya dengan tenang. Ia mengendarai mobilnya sambil menikmati suasana kota Jakarta di malam hari. Bukannya Ricky tidak pernah keluar malam hari, namun malami ni suasananya sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sebagai seorang general manager, Ricky sering pulang malam. Entah pekerjaannya sedang menumpuk, rapat dengan direksi, rapat dengan klien, atau karena ia harus menjamu tamu-tamu perusahaan tempat ia bekerja. Namun malam ini ia bukan baru pulang bekerja, tapi ia baru pulang jalan-jalan. Perempuan yang menemaninya juga berbeda, bukan teman dekat, bukan kekasih dan bukan pula sekertarisnya. Namun malam ini yang menemaninya adalah pengasuh anaknya. Entah apa kata teman-temannya dan bawahannya jika melihat ia jalan dengan pengasuh anaknya. Ricky tersenyum sendiri memikirkan hal itu.
“Menurut kamu lebih enakan makan apa? Seafood atau nasi goreng kambing atau nasi uduk pakai ayam goreng?” tanya Ricky sambil fokus menyetir.
“Terserah Bapak. Bapak mau makan apa?” jawab Hanifa.
“Saya bingung mau makan apa,” jawab Ricky.
“Coba deh, kamu pilihkan makanan yang enak,” kata Ricky.
“Bapak mau makan dimana?” tanya Hanifa.
“Dimana saja. Di pinggir jalan, boleh. Di café, boleh. Di warteg, boleh. Di rumah makan, boleh. Di hotel, boleh. Di rumah kamu, juga boleh,” jawab Ricky.
Mendengar jawaban Ricky yang terakhir, Hanifa langsung menoleh ke Ricky. Ia mengerutkan dahinya. Ricky menoleh ke Hanifa. “Saya cuma bercanda,” kata Ricky.
Hanifa berpikir sejenak. “Kalau kaki lima di pinggir jalan, Bapak mau?” tanya Hanifa.
“Mau,” jawab Ricky dengan tenang.
“Bapak suka seafood?” tanya Hanifa.
“Suka,” jawab Ricky sambil fokus menyetir.
“Ya sudah, Bapak makan seafood saja,” kata Hanifa.
“Ide kamu boleh juga. Saya sudah lama tidak makan seafood. Kalau makan ikan sering. Tapi kalau udang, cumi, kerang dan kepiting, saya jarang makan. Mamah jarang masak makanan seperti itu. Mamah lebih mengutamakan masak ikan. Maklumlah kalau sudah tua tidak boleh terlalu banyak makanan yang tinggi kolesterol,” ujar Ricky.
“Tapi dimana cari makanan seafood kaki lima?” tanya Ricky.
“Di Ciputat banyak makanan seafood kaki lima,” jawab Hanifa.
“Enak, tidak?” tanya Ricky.
“Saya tidak tau, Pak. Saya jarang beli makanan di luar,” jawab Hanifa.
“Ibu kamu pintar masak, pasti sering memasak,” kata Ricky.
“Ekonomi keluarga kami pas-pasan, Pak. Jadi kami hanya makan makanan yang ada di rumah. Kami jarang membeli makanan di luar,” kata Hanifa.
Almarhum Ayah Hanifa hanya seorang ASN golongan dua, sehingga gaji dan tunjangannya tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk keperlian sehari-hari. Sedangkan untuk membiayai kuliah dan sekolah, ibunya berjualan kue yang dititipkan di warung-warung. terkadang Ibunya juga menerima pesanan makanan.
“Berarti kalau saya nanti makan, kamu juga harus makan! Kan kamu jarang makan beli makanan di luar,” kata Ricky.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih. Saya makan di rumah saja,” ucap Hanifa.
Ricky menoleh ke Hanifa. “Loh kenapa?” tanya Ricky.
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Hanifa.
Ricky menghela nafas. “Ya sudah, kalau kamu maunya begitu. Tapi kamu tetap harus menemani saya makan!” kata Ricky.
“Baik, Pak,” jawab Hanifa.
Ketika memasuki daerah Ciputat, Ricky mengurangi laju kendaraannya. Di menyetir sambil memperhatikan tenda tenda kaki lima di pinggir jalan.
“Itu ada penjual seafood,” kata Hanifa sambil menunjuk ke sebelah kiri jalan.
“Mana?” tanya Ricky.
“Itu tenda di depan,” Hanifa menunjukkan tenda kaki lima yang berspanduk gambar binatang laut.
Ricky meminggirkan mobilnya dan memarkirkan mobil di pinggir jalan.
“Pak, apa nanti mobil Bapak tidak akan diserempet kendaraan lain jika di parkir di pinggir jalan?” tanya Hanifa dengan cemas. Mengingat mobil Ricky bukanlah mobil sejuta umat. Namun lebih termasuk ke mobil mewah.
“Tidak akan. Saya sudah biasa parkir di pinggir jalan,” jawab Ricky.
“Ayo, turun,” ajak Ricky.
Hanifa dan Ricky keluar dari mobil. Mereka berjalan menuju ke tenda penjual seafood. Di dalam tenda tidak banyak pengunjung yang datang, hanya ada beberapa orang saja. Ricky mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Salah seorang karyawan tenda itu menghampiri Ricky dan memberikan daftar menu. Ricky memberikan daftar menu kepada Hanifa.
“Tolong pilihkan makanan yang menurut kamu enak,” kata Ricky.
“Loh, bukankah Bapak yang akan makan? Kenapa saya yang harus memilihkan menunya?” tanya Hanifa.
“Kamu kan perempuan, tau bumbu dan cara masak. Jadi kamu pasti tau mana makanan yang enak dan mana yang tidak enak,” kata Ricky.
Akhirnya Hanifa mengalah, ia yang memilihkan menu untuk Ricky. “Pesan menunya yang banyak. Saya sedang lapar sekali. Sekalian nasinya juga pesan dua porsi!” kata Ricky.
“Baik, Pak,” jawab Hanifa.
Ricky tersenyum melihat Hanifa membaca daftar menu dan mencatat pesanan. Tanpa Hanifa sadari, secara sengaja Ricky menyuruh Hanifa memesankan makanan yang disukai Hanifa.
Gampang sekali mengakali perempuan, kata Ricky di dalam hati.
Akhirnya selesai sudah Hanifa mencatat menu yang akan dipesan. “Ini cukup tidak, Pak?’ tanya Hanifa sambil memperlihatkan daftar makanan yang ia tulis.
“Minumannya belum,” kata Ricky.
“Bapak mau minum apa?” tanya Hanifa.
“Menurut kamu minum apa yang enak untuk teman makan seafood?” tanya Ricky.
“Menurut saya teh panas tawar. Apalagi tadi Pak Ricky sudah minum soft drink, jadi sudah terlalu banyak minum minuman manis,” jawab Hanifa.
“Ya sudah, pesankan teh tawar dua,” kata Ricky.
“Dua, Pak? Apa tidak terlalu kembung kebanyakan minum?” tanya Hanifa dengan tidak yakin.
“Kalau kepedesan tidak perlu repot-repot pesan minum lagi,” jawab Ricky. Akhirnya Hanifa mencatat minuman yang dipesan Ricky. Lalu Hanifa memberikan daftar makanan yang dipesan kepada karyawan tenda.
“Mas, jangan pakai lama! Saya sudah lapar,” kata Ricky.
“Baik, Pak,” jawab karyawan itu.
Ricky dan Hanifa menunggu lama pesanan mereka. Maklum Ricky memesan makanan yang cukup banyak sehingga proses memasaknya membutuhkan waktu yang lama. Namun akhirnya pesanan mereka selesai satu persatu. Pertama pesanan nasi yang datang. Ricky menaruh satu porsi nasi di depan Hanifa.
“Pak, saya tidak makan,” protes Hanifa.
“Kamu harus makan. Rejeki tidak boleh ditolak!” kata Ricky.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang satu persatu. “Kita makan dulu. Saya tidak mau menjadi bos yang zolim. Makan sendirian saja dan membiarkan karyawannya hanya melihat bosnya makan. Tanpa menawari makan sama sekali,” kata Ricky.
Hanifa menghela nafas. Mau tidak mau akhirnya ia makan bersama Ricky. Ricky tersenyum melihat Hanifa makan. Akhirnya semua pesanan mereka datang dan mereka menghabiskan semua pesanannya. Setelah mereka selesai makan, Ricky mengantarkan Hanifa pulang.
Ricky memarkirkan mobilnya di depan rumah Hanifa. “Ini honor kamu minggu ini,” kata Ricky sambil memberikan amplop putih kepada Hanifa.
Hanifa menerima amplop pemberian Ricky. “Terima kasih, Pak,” ucap Hanifa.
“Saya mau pamit pada Ibumu,” kata Ricky sambil membuka seatbeltnya. Ricky keluar dari mobilnya menuju ke rumah Hanifa.
Hanifa membuka pintu pagar rumahnya. “Assalamualaikum,” ucap Hanifa ketika masuk ke halaman rumahnya. Ricky mengikuti Hanifa dari belakang.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Rosma dari dalam rumah lalu membukakan pintu. Ia memandangi Hanifa dan Ricky.
“Bu,saya minta maaf Hanifa pulang telat. Tadi setelah mengantarkan Maira pulang, saya mengajak Hanifa nonton film dan makan,” kata Ricky kepada Ibu Rosma.
“Tidak apa-apa. Tapi lain kali telepon dulu kalau mau kemana-mana,” ucap Ibu Rosma.
“Baik, Bu. Nanti saya akan menelepon Ibu dulu kalau mau mengajak Hanifa kemana-mana,” jawab Ricky.
“Saya pamit pulang. Assalamualikum,” ucap Ricky.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Rosma.
Hanifa mengantar Ricky sampai pintu pagar. Ricky masuk ke dalam mobil lalu menjalankan mobilnya. Ketika melewati pintu pagar rumah Hanifa, Ricky melambaikan tangannya kepada Hanifa. Setelah mobil Ricky menjauh Hanifa menutup pintu pagar, kemudian ia masuk ke dalam rumah.
“Kalian nonton dimana?” tanya Ibu Rosma ketika Hanifa sedang mengunci pintu rumahnya.
“Di Mall Pasific Place,” jawab Hanifa.
“Iihh kakak asyik nonton di Pasific Place. Ninda juga mau ke Pasific Place,” kata Ninda adik bungsu Hanifa.
“Kakak diajak Pak Ricky,” jawab Hanifa.
“Kebetulan rumah Enin dan Akinya Maira di Kebayoran Baru. Jadi dekat ke Mall Pasific Place,” kata Hanifa.
“Kapan-kapan kita main ke Mall Pasific Place, Kak,” kata Ninda.
“Ninda mau apa ke Pasific Place?” tanya Hanifa.
“Ninda mau nonton di sana. Kata teman-teman Ninda, tempat duduk teaternya beda-beda. Beda teater beda juga tempat duduknya,” jawab Ninda.
“Harga ticket di sana mahal. Kita harus punya uang banyak kalau mau nonton di sana,” kata Hanifa.
“Nanti kalau Kakak punya uang. Kita pergi ke sana,” lanjut Hanifa.
“Asyiiikkk. Benar ya, Kak?” seru Ninda dengan girang.
“Doakan Kakak ada rejekinya,” kata Hanifa.
“Aamiin,” ucap Ninda.
Hanifa memberikan amplop pemberian Ricky kepada Ibu Rosma. “Bu, ini honor Hanifa minggu ini,” kata Hanifa.
“Kamu simpan saja untuk bayar kuliahmu, Ibu masih ada uang,” kata Ibu Rosma.
“Baik, Bu,” jawab Hanifa.
“Umar kemana, Bu?” tanya Hanifa karena ia tidak melihat adik laki-lakinya.
“Belum pulang dari masjid. Tadi pamit mau mendengarkan ceramah Ustad kondang di masjid,” jawab Ibu Rosma.
Hanifa lupa kalau hari ini masjid di dekat rumah Hanifa mengundang penceramah Ustad kondang. Padahal jauh jauh hari Hanifa sudah mengingatkan pada dirinya sendiri untuk mendengarkan ceramah di masjid. Namun Hanifa jadi tidak bisa mendengarkan ceramah di masjid karena lupa dan pulang telat. Terpaksa ia harus menunggu bulan depan. Karena setiap sebulan sekali masjid di dekat rumah Hanifa mengundang Ustad kondang untuk ceramah di sana.
“Hanifa mandi dulu, Bu,” kata Hanifa.
“Sekalian wudhu terus sholat isya!” kata Ibu Rosma.
“Iya, Bu,” jawab Hanifa. Hanifa mengambil handuknya dan langsung ke kamar mandi.
***
Ricky memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Setelah menutup kembali pintu pagar, Ricky masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi.
“Pulangnya malam sekali, Ric. Kamu darimana?” tanya Ibu Juwita ketika melihat Ricky masuk melalui garasi.
“Dari Mall Pasific Place nonton film,” jawab Ricky.
“Kamu ngajak Maira ke sana?” tanya Ibu Juwita.
“Tidak. Tadi siang Maira sudah Ricky antar pulang ke rumah Eninnya,” jawab Ricky.
“Kamu ke sana dengan siapa?” tanya Ibu Juwita.
“Dengan Hanifa,” jawab Ricky.
“Hanifa mau kamu ajak nonton?” tanya Ibu Juwita dengan tidak percaya.
“Tentu saja mau. Kan Ricky bilang minta ditemani jalan-jalan,” jawab Ricky dengan tenang.
“Syukurlah, kalau dia mau menemanimu,” kata Ibu Juwita.
“Ricky ke kamar dulu, mau mandi,” kata Ricky.
“Jangan lupa sholat isya!” kata Ibu Juwita,
“Iya, Mah,” jawab Ricky. Rickypun naik ke kamarnya.
Namun baru saja setengah jalan Ibu Juwita kembali memanggil Ricky. “Ricky.”
“Iya, Mah,” jawab Ricky. Ricky berhenti di tengah-tengah tangga.
“Mamah lupa kasih tau kamu, kalau minggu depan kita diundang saudara Mamah ke pernikahan anaknya di Kuningan. Anaknya menikah dengan orang Kuningan,” kata Ibu Juwita.
“Kalau bisa kita sekeluarga pergi ke sana. Jangan lupa ajak Maira sama Hanifa juga,” kata Ibu Juwita.
“Ricky lihat jadwal Ricky dulu. Mudah-mudahan Ricky tidak sedang sibuk atau harus keluar kota,” jawab Ricky.
“Tapi Maira dan Hanifa diajak juga, ya!” kata Ibu Juwita.
“Iya, nanti Ricky minta ijin ke Mbak Aida. Kalau Hanifa sudah pasti harus ikut, kan dia sepaket dengan Maira,” jawab Ricky.
“Ya sudah, Mamah cuma mau bilang itu saja. Sana kamu mandi dulu!!” kata Ibu Juwita.
Rickypun kembali naik ke lantai atas menuju ke kamarnya.
***
Ricky berjalan memasuki kantornya. “Selamat pagi, Pak Ricky,” sapa Erin resepsionis di kantornya.
“Pagi, Erin,” jawab Ricky.
“Pak Ricky, kemarin Bapak ke kebun binatang Ragunan, ya?” tanya Tasya yang kebetulan sedang di meja resepsionis.
“Kok kamu tau?” tanya Ricky.
“Kemarin saya ke sana juga dengan keluarga saya,” jawab Tasya.
“Saya lihat Bapak lagi gendong keponakan Bapak. Keponakan Bapak lucu, deh,” kata Tasya.
“Oh, itu Maira anak saya. Bukan keponakan saya,” kata Ricky.
Tasya dan Erin kaget mendengar jawaban Ricky. Mereka tidak menyangka Ricky Pak GM yang masih bujangan ternyata sudah punya anak.
“Memang Bapak sudah punya anak? Bukankah Bapak belum menikah?” tanya Tasya.
“Memang hanya orang yang sudah menikah saja yang punya anak,” jawab Ricky.
“Sudah ya, saya harus ke ruangan saya. Tasya kamu kembali ke tempat kamu, jangan ngobrol di sini!” kata Ricky. Ricky pergi meninggalkan meja resepsionis.
Tasya bengong mendengar jawaban Ricky. “Bagaimana caranya orang yang belum menikah bisa punya anak?” tanya Tasya pada Erin.
“Bisa aja, Mbak. Namanya juga laki-laki,” jawab Zuldin office boy yang tiba-tiba sedang mengepel di dekat Tasya.
“Maksud kamu Pak Ricky punya anak di luar nikah?’ tanya Tasya.
“Bukan begitu maksud saya. Bisa saja anak itu anak angkat Pak Ricky,” jawab Zuldin sambil terus mengepel lantai. Tiba-tiba kain pel mengenai sepatu Tasya.
“Iiihhh Zuldin, ngapai sih kamu mengepel di sini terus? Tuh kain pelnya kena sepatu saya,” Tasya protes.
“Mbak Tasya yang ngapain di sini? Tadikan Pak Ricky sudah menyuruh Mbak Tasya kembali ke tempat Mbak,” jawab Zuldin.
“Iiihh kamu mengganggu kesenangan orang saja,” kata Tasya.
“Rin, gue balik ke meja gue. Kita ngegosip di grup aja,” kata Tasya lalu kembali ke ruangannya.
Zuldin menggeleng-geleng kepala melihat Tasya. “Ngegosip terus, itu namanya makan gaji buta,” gumam Zuldin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!