Anita Retnowati adalah perempuan yang menyukai tantangan dalam hidupnya. Ia menjadi perempuan terakhir yang terlahir dari keluarga Susanto dan Suci Retnowati. Dua saudara yang lain yaitu Astuti Retnowati dan Dwi Susanto adalah anak-anak yang sangat penurut pada orang tua mereka.
Ibu Suci adalah ibu yang sangat disiplin, tegas dan keras. Tidak boleh aturan yang dibuatnya dilanggar oleh anak-anaknya. Astuti telah menyelesaikan sekolah kejuruan di bidang fashion yang di arahkan ibunya dan setelah tamat ia memilih merantau dan bekerja di pabrik garmen, sedang Dwi telah menyelesaikan sekolah kejuruan di jurusan teknik yang sesuai dengan minatnya. Beruntung mereka berdua diberi kebebasan untuk merantau di ibukota dan mendapatkan kebebasan setelah masa kanak-kanaknya.
Pak Susanto adalah keluarga dari orang terpandang di Desanya. Orang tuanya merupakan tuan tanah di Desa tersebut dan memiliki aset tanah kurang lebih 20% dari luas tanah yang ada di Desa tersebut. Setelah menikah saudara dari Pak Susanto mereka akan diberi tanah untuk mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Saudara dari Pak Susanto berjumlah 10 orang. Menurut hukum adat yang nenek moyang mereka turunkan pembagian kekayaan itu di bagi rata baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan. Orang tua hanya akan menyisakan sedikit dari harta mereka untuk biaya hidup mereka di masa tua dan sebagai jaga-jaga untuk pengurusan jenazah jika mereka meninggal dunia.
Pak Susanto di samping memilki orang tua yang kaya raya beliau juga memilki pendidikan yang baik pada jamannya. Bahkan beliau sempat di daulat menjadi staf pengajar di sebuah SMP di kota. Namun karena ibu Suci yang tak mau pindah ke kota akhirnya Pak Susanto memutuskan untuk menolak tawaran tersebut dan memilih berkumpul bersama keluarganya.
Karena. memiliki harta yang terbilang banyak dan sang istri memilki keterampilan menjahit yang jarang dimiliki warga sekitar akhirnya hidup Pak Susanto dan Ibu Suci berkecukupan bahkan bisa dikatakan kaya raya. Semua yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan dengan mudah.
Dalam agama Islam harta merupakan satu ujian yang akan menguji manusia tentang seberapa syukur mereka setelah diberi harta yang melimpah.
Dari seorang petani Pak Susanto bertransformasi menjadi seorang pengusaha penggergajian kayu. Aset tanah yang telah dimilikinya sedikit demi sedikit beliau jual untuk modal pembangunan pabrik kayu.
Awalnya usaha yang dirintisnya maju pesat sesuai harapannya bahkan truk tronton pengangkut kayu hasil olahannya berhasil beliau miliki. Usahanya bukan hanya memasok kayu pada toko-toko bangunan dan pengrajin kayu di dalam Kabupaten di daerahnya saja, namun sampai merambah luar Kabupaten yang ada di sekitarnya.
Usahanya yang besar membutuhkan modal yang besar pula. Bu Suci yang selalu menjadi penasehat suaminya tidak pernah mengijinkan suaminya berhutang pada bank, akhirnya penambahan modal selalu Pak Susanto dapatkan dari hasil penjualan tanah yang diberikan oleh orang tuanya dengan seijin yang memberi tentunya.
Meskipun suaminya seorang pengusaha besar namun Bu Suci tetap melakukan kesenangannya yang telah menjadi pekerjaan ya sebagai penjahit dan mengurus rumah tangga dan mendidik ketiga anaknya di rumah.
Menurut cerita Bu Suci adalah kembang desa di Desa tersebut, hingga Pak Susanto bersusah payah mendapatkannya karena harus bersaing dengan banyak lelaki yang menginginkan Bu Suci menjadi pendampingnya. Hingga saat Pak Susanto berhasil mendapatkan Bu Suci beliau tak mengijinkan istrinya tersebut keluar rumah.
Pak Susanto rela membayar tetangga depan rumahnya untuk membantu pekerjaan istrinya yang pada saat itu tidak lazim di Desa tersebut memilki pembantu seperti keluarga mereka.
Pak Susanto rela menjadi bahan cemoohan keluarga dan saudara-saudaranya karena memilki membantu. Bagi mereka pekerjaan rumah adalah pekerjaan istri dan sudah menjadi kewajiban istri untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa harus memilki pembantu yang akan menghabiskan uang suaminya untuk menggaji pembantu.
"Kamu ya Susanto kenapa dulu memilih perempuan yang cantik segala. Kamu lihat kan sekarang perempuan cantik itu tak pandai mengurus rumahnya sendiri. Apa-apa harus dikerjakan pembantu. Kerjaannya cuma berhias setiap hari" ucap kakak perempuan Pak Susanto yang tinggalnya di belakang rumah Pak Susanto saling membelakangi.
Pak Susanto hanya diam tak berani membantah apalagi berdebat, karena ajaran sopan santun yang diberikan orang tuanya tak mengijinkan membantah pada orang yang lebih tua.
Tak jarang Bu Suci menjadi sasaran omelan mereka pula karena hal tersebut. Namun Bu Suci tak pernah menanggapinya.
Sampai suatu ketika pabrik pengolahan kayu mereka bangkrut karena modal mereka mandeg di tangan konsumen. Para konsumen mengambil kayu dari Pak Susanto dengan cara berhutang, hingga hutang itu menumpuk dan bercecer. dimana-mana dan mereka tak sanggup untuk membayar karena sepinya konsumen di tingkat pengecer.
Beruntung kedua anaknya Astuti dan Dwi telah selesai menamatkan sekolah kejuruan mereka dan mereka rela tak melanjutkan ke perguruan tinggi bahkan mereka rela merantau untuk bekerja agar kelak mereka tak membebani orang tua mereka.
Di situasi seperti itu Bu Suci yang mau tidak mau menjadi tulang punggung keluarga karena pabrik ditutup karena uang habis untuk membayar utang di bank berikut armada truk tronton yang menjadi kebanggaan mereka. Situasi tersebutlah yang menjadikan Bu Suci sangat emosional dan temperamental karena suaminya tak mengindahkan pesannya untu mengambil utang di bank.
Dalam situasi perang dingin di dalam rumahnya menjadikan Anita tumbuh menjadi anak yang pemberontak, dimana saat itu ia baru menginjak sekolah di SMP. Hidup yang sebelumnya selalu dilayani sekarang menjadi mandiri bahkan ia jarang mendapatkan uang saku. Bila ia meminta uang saku Ibunya maka ia akan mendapatkan ceramah terus menerus yang membuat kuping nya panas.
"Bu nanti ada ekstrakulikuler, aku minta uang dong buat jajan nanti pada saat makan siang, kan nggak keburu kalau pulang dulu. Capek harus bersepeda pulang" rengek Anita pada pagi itu sebelum ia berangkat sekolah.
"Kamu itu ya nggak ada prihatinnya sama sekali melihat orang tua kesusahan seperti ini. Sana bawa nasi aja dari rumah biar nggak jajan-jajan terus. Lihat itu kakak-kakakmu tak pernah mau merepotkan orang tuanya sama sekali. Mereka mandiri bahkan Mbak Astuti sudah bisa nyicil beli rumah. Kamu contoh dong mereka yang di sekolah tak pernah jajan. Nggak kaya kamu jajan jajan terus kerjaannya. Belajar juga nggak pernah" ceramah Bu Suci di pagi hari yang berhasil membuat Anita lari terbirit-birit menghindari ceramah ibunya.
"Anak nggak punya adab, ada orang tua ngomong malah ditinggal, nggak mau pamit apalagi cium tangan" lanjut Bu Suci yang pasti tak di dengar oleh Anita lagi.
"Sudah ya Bu, nggak enak di dengar tetangga" ucap Pak Susanto sambil menyapu lantai rumahnya.
"Sudah ya Bu, nggak enak di dengar tetangga" ucap Pak Susanto sambil menyapu lantai rumahnya.
"Bapak itu yang selalu memanjakan Anita ya jadinya begitu itu, susah diatur anaknya" ucap Bu Suci sambil meninggalkan suaminya.
Pak Susanto hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya yang berubah drastis sejak ia menjadi pengangguran. Pak Susanto rela melakukan pekerjaan rumah menggantikan pembantu yang telah ia berhentikan karena ia tak sanggup membayar gajinya.
Sehari-hari Bu Suci hanya menjahit dan menjahit. Ia lakukan menjahit siang malam dan hanya beberapa jam saja ia beristirahat.
Semua Bu Suci lakukan karena Bu Suci tak mau menurunkan kualitas makanan sehari-harinya dengan makanan yang biasa. Beliau terbiasa makan makanan yang enak sehingga lidahnya tak mau menerima bila menunya diganti menu biasa.
Pak Susanto tak pernah melarang itu. Ia rela melakukan semua pekerjaan rumah sebagai konsekuensi karena ia tak mendengarkan pesan istrinya.
"Bapak gimana kabarnya?" suara Astuti di ujung telephon saat menghubungi orang tuanya.
"Baik As. Kamu sendiri sehat?" jawab Pak Susanto
"Alhamdulillah sehat Pak. Ibu ada?" tanya Astuti lajut.
"Ada" jawab Pak Susanto. Tak lama kemudian Pak Susanto mendekati istrinya dan memberikan telepon genggam pada istrinya tersebut.
"Astuti mau ngomong sama Ibu katanya" ucap Pak Susanto.
Bu Suci menerimanya.
"Halo, Assalamualaikum" ucap Bu Suci.
"Wa'alaikumsalam Bu, Ibu apa kabar?" tanya Astuti lanjut.
"Baik nak, kamu sendiri apa kabarnya?" tanya Bu Suci balik pada Astuti.
"Baik Bu. Cuma mau mengabarkan minggu depan Mas Komar dan keluarga mau datang ke rumah kita rencana mau melamar Astuti Bu" ucap Astuti langsung ke intinya.
"Memangnya kamu sudah mantap dengan pilihanmu itu?. Kamu kan baru kenal Komar belum kenal keluarganya" ucap Bu Suci pada anak sulungnya.
"Astuti sudah mantap memilih Mas Komar Bu, Astuti juga sudah di kenalkan Irang tuanya pada saat kemarin mereka ke Ibukota. Ibu tak usah khawatir, Mas Komar yang akan menanggung biaya acara lamaran besok dan acara pernikahan kita nantinya" terang Astuti.
"Ibu nggak mempermasalahkan masalah biaya nak, walau sedikit Ibu juga memilki tabungan. Yang jadi masalah apa harus secepat itu?" tegas Bu Suci.
"Iya Bu, bukannya kebaikan harus disegerakan ya Bu. Mau nunggu apalagi. Oya besok hari jumat rencana Astuti sama Dwi mau pulang bareng. Bapak dan Ibu mau pesan dibawakan oleh-oleh apa?" tanya Astuti selanjutnya.
"Nggak usah repot bawa-bawa nak, kamu sudah pulang saja Bapak dan Ibu sudah senang" jawab Bu Suci yang di disambut anggukan kepala Pak Susanto sebagai tanda setuju atas jawaban istrinya.
Pak Susanto turut mendengarkan percakapan istri dan anaknya tersebut, dalam hatinya ia terharu mendengar anaknya yang telah merencanakan pernikahannya, sementara ia tak berdaya dengan keadaannya. Para konsumennya sebagian ada yang sudah membayar hutang padanya dan jadi dari pembayaran hutang konsumennya ia gunakan untuk biaya pengobatannya yang sempat kolaps karena faktor pikirannya karena kebangkrutan usahanya.
"Anita dimana Bu?. Dia butuh apa ya?" tanya Astuti melanjutkan pembicaraan dengan Ibunya.
"Anita masih sekolah nak, katanya tadi ada jam tambahan. Nanti kamu tanya sendiri sama dia kalau sudah pulang ya. Jangan buang-buang uang buat kebutuhan Anita yang nggak mendesak nak. Kamu sendiri masih banyak kebutuhan" ucap Bu Suci menasehati Astuti.
"Nggak apa-apa Bu, sesekali menyenangkan adik sendiri" jawab Astuti.
"Terserah kamu saja lah, asal jangan terus-terusan kau manjakan adikmu itu, nanti ia nggak bisa mandiri" lanjut Bu Suci.
"Iya Bu, sudah dulu ya Bu, salam buat Bapak. Assalamualaikum" ucap Astuti.
"Iya nak, Wa'alaikumsalam" jawab Bu Suci sambil menyeka matanya yang berembun sejak tadi namun ia tahan.
Dalam hatinya berkata, 'tak seharusnya anak-anaknya menanggung semua beban yang seharusnya masih menjadi tanggung jawab orang tuanya. Semoga kau bahagia bersama laki-laki pilihanmu sendiri nak'.
Dalam hatinya berkata, 'tak seharusnya anak-anaknya menanggung semua beban yang seharusnya masih menjadi tanggung jawab orang tuanya. Semoga kau bahagia bersama laki-laki pilihanmu sendiri nak.
Astuti pulang ke rumah bersama sang adik dua hari sebelum keluarga dari calon suaminya datang melamar. Kedua orang tuanya menyambut dengan gembira begitupun sang adik.
"Mbak, nanti kalau aku dah lulus SMP aku mau ikut mbak aja kerja di Ibukota mbak" ucap Anita saat menyambut kakaknya.
"Kamu harus sekolah yang tinggi dik, jangan kaya mbak yang sekolah hanya sampai lanjutan atas, kadi mbak hanya bisa bekerja sebagai buruh aja. Teman-teman mbak yang sekolah tinggi bisa langsung bekerja di kantor bagian administrasi, nggak harus capek-capek ngejar target dan lembur" jawab Astuti pada Anita.
"Tapi aku nggak tahan mbak sama omelan ibu setiap hari padaku. Aku selalu salah, melakukan apapun nggak ada yang benar" bela Anita
"Kamu harus sabar dik, kita harus taat sama orang tua kita, bagaimanapun mereka menginginkan yang terbaik untuk kita, walau kadang caranya harus seperti yang ibu lakukan padamu. Nanti kalau kamu sudah dewasa pasti tau apa maksud ibu melakukan itu padamu. Jadi yang sabar ya, aku yakin kamu bisa. Aku akan bantu memberikan kebutuhanmu, walau tak bisa semuanya, tapi setidaknya bisa membantu ibu dan kamu" ucap Astuti.
"Aku mau ikut mbak aja mbak, aku bisa kerja apa aja di sana mbak" desak Anita.
Astuti mendesah dan mengambil nafas panjang. Ternyata sifat adiknya tak bisa berubah, masih saja keras kepala dan begitu pun ibunya yang tak pernah bertoleransi pada masalah adiknya tersebut.
Pada saat Astuti seusia Anita, Astuti memilih taat dan patuh pada orang tuanya terutama ibunya agar hidupnya tenang walau kadang tak sejalan dengan hati dan pikirannya. Dan masa-masa itu berakhir ketika ia memutuskan untuk mengikuti bursa tenaga kerja yang ada di sekolahnya dan ia bisa kepilih untuk bekerja di luar kota dan belajar mandiri jauh dari orang tuanya.
Saat jauh dari orang tuanya tersebutlah Astuti belajar memahami dan memaknai arti dari disiplin yang ibunya selalu lakukan kepadanya dan adik-adiknya.
Memang diakuinya bahwa ibunya lebih keras dalam mendidik adiknya, tapi memang ia sadari adiknya orang yang berbeda dengannya. Adiknya lebih suka melawan daripada taat pada orang tuanya.
"Kita lihat nanti aja ya dik" ucap Astuti pada akhirnya.
"Iya mbak" Akhirnya Anita pun melunak.
"Ayo mbak kita ke kamarku, mbak nanti tidur sama aku aja ya!" Ajak Anita pada kakaknya.
"Iya dik" jawab Astuti dengan tersenyum.
Hari ini yang masih pagi Astuti membaringkan badannya di tempat tidur adiknya yang berantakan untuk ukuran kamar perempuan, tapi Astuti tak memperdulikannya , yang ia butuhkan sekarang adalah tempat tidur untuk merebahkan tubuhnya yang lelah setelah semalaman ia duduk di kursi bus yang membawanya pulang ke rumah masa kecilnya ini.
Tak seberapa lama Astuti terlelap dalam dengkuran pelannya yang membuat Anita sedikit kecewa, karena Astuti ternyata tak mendengarkan ceritanya, padahal ia sangat bersemangat ketika menceritakan teman-teman sekolahnya dan kisahnya di sekolah.
"Ih...mbak ini, lagi di ajak bicara malah molor" ucap Anita ketus.
Dengan langkah yang Ratna hentakkan ke lantai ia keluar dari kamar dengan bibir yang manyun.
"Kenapa bibirnya di manyunin?" tanya Pak Susanto
"Mbak Astuti, aku lagi ajak bicara malah molor" jawab Ratna.
Hahaha..., suara tawa Bapaknya yang disambung pula tawa dari kakak laki-lakinya yang membuat Ratna tambah jengkel.
"Sudah tau kakakmu capek masih aja kamu ajak bicara" ucap Pak Susanto yang terlihat begitu bahagia dan nampak lebih sehat dari biasanya saat kedatangan kedua anaknya pulang ke rumah.
"Tau tuh.." saut Dwi.
"Mas, anterin aku ke sekolah ya...!!" pinta Anita dengan manjanya pada kakak laki-lakinya tersebut.
"Ogah, capek. Lagian masih jam segini, masih keburu naik angkot" jawab Dwi.
"Mas, aku males naik angkot kudu jalan jauh, belum lagi desak-desakan belum lagi berebut sama yang lain" bela Anita.
"Ya Alloh, gitu aja ngeluh. Aku dulu juga kudu berdiri tiap hari malah dari pangkalan sampai terminal, biasa aja" ucap Dwi.
"Ih...itukan Mas Dwi bukan aku" omel Anita tak mau kalah.
"Sudah..., sudah..., ayo Bapak aja yang anter. Mas Dwi biar istirahat" ucap Pak Susanto.
"Jangan..." Dwi dan Anita serentak menjawab kompak.
"Nggak usah ya pak, biar Anita berangkat naik angkot aja, Bapak kan masih kangen sama Mas Dwi, jadi Bapak di rumah aja ya..." ucap Anita dengan halus dan sopan pada Bapaknya.
"Tumben pengertian" jawab Dwi.
Anita menjulurkan lidah pada kakaknya yang terus-terusan menggodanya.
Pak Susanto tertawa lepas melihat kelakuan kedua anaknya yang tak pernah berubah dari dulu sampai sekarang.
Anita akhirnya keluar rumah dengan bersalaman dan mencium tangan semua yang ada di rumah tersebut, kecuali Astuti yang telah pergi ke alam mimpinya.
Ibu Suci tengah sibuk memasak hidangan untuk anak-anaknya yang sekian lama ia rindukan. Ia menghabiskan uang belanja hari ini yang biasa ia gunakan beberapa hari saat hari-hari biasa.
Ia memasakkan hidangan kesukaan kedua anaknya, yang sebelumnya biasa di masak pembantunya.
Ada rasa bahagia yang tidak bisa ia gambarkan di hatinya ketika kedua anaknya pulang. Sampai-sampai Bu Suci memberikan uang saku lebih pada Anita yang sebelumnya meminta uang saku lebih tapi ia marah-marahin.
Bu Suci mengerjakan pekerjaannya dengan bersenandung ria, seperti yang selalu ia lakukan saat menjahit baju-baju para pelanggan.
'Mimpi apa aku semalam, Ibu kok baik banget . Uang jajanku dikasih lebih. Coba tiap hari begini, pasti aku nggak akan males-malesan berangkat sekolah' gumam Anita dalam hati kala menghitung uang yang diberi Ibunya.
"Hai Anita manis, berangkat bareng aku yuk" suara laki-laki dan motor yang tiba-tiba berhenti di hadapan Anita.
"Hmmmmm...." Anita bergumam sambil berfikir.
"Ayolah..." desak laki-laki tersebut.
Anita berfikir sambil bergumam dalam hati 'lumayan juga numpang bonceng motor dia, walau anaknya nggak cakep-cakep amat, lumayan ngirit ongkos angkot, bisa buat beli bakso nanti siang'
"Ayo deh, tapi anterin sampai jalan depan sekolah aja ya, nggak usah masuk ke dalam halaman sekolah" ucap Anita memberi syarat pada laki-laki di hadapannya.
"Iya deh" jawab laki-laki tersebut singkat.
Setelah motor yang membawa Anita dan laki-laki yang di boncenginya berjalan beberapa saat, akhirnya mereka terlibat obrolan.
"Kenapa si aku nggak boleh anter kamu sampai halaman sekolah nit?" tanya laki-laki tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!