Pagi itu, dengan senyum lebar dan secangkir kopi hitam ditangan, Tutik berjalan menemui suaminya yang sedang duduk santai di kursi teras.
“Ini Mas kopinya. tunggu dulu jangan langsung diminum, masih panas.”
“Hemm..”
Setelah meletakkan cangkir kopi di meja, tutik tidak langsung kembali ke dalam rumah, melainkan tetap berdiri mesam-mesem sambil memilin ujung dasternya.
“Mesam-mesem nyapo Kowe Dek? Setres opo kesambet?” (senyam-senyum kenapa kamu Dek? Setres apa kesambet?) Ujar Sutrisno, suami Tutik.
“Biasa lah Mas.. wes wayahe iki.” (Biasa lah Mas, sudah saat nya ini.) Tutik masih saja cengengesan dan menyodorkan telapak tangan di depan suaminya yang terlihat tidak peka.
“Jatah mingguan.” Ucapnya dengan senyum lebar dan menjulurkan tangan meminta uang.
“Nek perkoro duit ae eleng.” (kalau masalah uang aja, inget.) Sutris mengambil dompet dari saku bagian belakang celananya, saat Tutik berusaha mengintip isinya, sontak Sutris menjauh.
“Ora ilok, ndelok dompet e wong lanang.” (Gak baik liat isi dompet suami) Sutris mengambil dua lembar uang pecahan seratus ribu dan menyerahkanya ke Tutik. “Dihemat, ojo boros ben cepet sugih.” (Dihemat, jangan boros biar cepet kaya.)
“Iya-iya.. perasaan dari dulu uda dihemat tapi tetep aja gak kaya-kaya.” Tutik merengut dan kembali ke dalam rumah setelah menerima uang pemberian suaminya.
Tidak lama kemudian Tutik kembali lagi ke teras dengan membawa sebuah undangan, dan menyodorkanya ke Sutris.
Sutris mendongak, “Apa lagi?”
“Undangan.”
“Iya.. Aku juga tau kalau itu undangan, tidak buta mataku. Maksudku itu undangan dari siapa?”
“Undangan dari Pak RT, lusa anak nya menikah sama anak Pak Lurah.”
“Ooo” Sutris menjawab dengan acuh lalu menyeruput kopi nya.
“Kok Cuma Ooo saja.” Tutik kembali merengut.
“Terus Aku harus apa? Teriak Auwooo! auwooooo wuoooo! sambil gelantungan dipohon gitu, seperti tarzan?” Sutris mulai emosi.
“Ya gak gitu juga, maksud Aku ya tambahin uang jatah mingguannya, kan lusa harus kondangan, masa iya gak ngasih amplop. Kan malu lah Mas.”
“Halah, ada-ada saja. Lagian di undangan kan hanya tertulis mohon kehadiran dan doa restunya saja, nggak ada tuh disitu tulisan, mohon kehadiran dan amplopnya. Iya kan? Yasudah tinggal datang aja terus kasih Doa restu. Beres kan?”
Tutik menghela nafas berat. “Ya gak gitu juga... masa iya gak malu, datang ke kondangan Cuma ngasih Doa restu, nggak ngasih amplop, ya malu lah. Kan suamiku ini seorang mandor perkebunan, apa kata orang-orang nanti?”
“Haishh.. iya-iya! Kamu kasih lah itu amplop, jangan lupa ditulis nama nya yang besar, biar tau Dia kalau Aku juga nyumbang. Nih!” Sutris menyerahkan selembar uang pecahan 50 ribu kepada Tutik.
“Nahh.. gitu dong. Itu baru cocok.” Tutik tersenyum lebar sambil mengangkat dua jempol nya tinggi-tinggi.
“Bau apa ini” Sutris mengendus-endus aroma yang menurutnya sangat aneh, seperti bau got.
Sutris terus mengendus hingga berhenti didepan ketiak istrinya, seketika pria berusia 32 tahun itu muntah-muntah. “HUEK! Bau sekali ketiakmu itu Dek! Apa tidak mandi kamu, baunya sudah macam comberan saja.” Sutris menjauh dan menutup hidungnya rapat-rapat.
“Heheheh.. belum sempat mandi Aku Mas, belum selesai pekerjaanku. Cucian masih banyak, ditambah lagi baju-baju mamak ada dua karung yang belum sempat Aku cuci.” Tutik meringis, menurunkan tangan dan menutup ketiak nya rapat-rapat.
“Sudah-sudah, pergi sana! Pagi-pagi bikin moodku hancur saja kau!”
“Iyalah..” Meskipun ada sedikit rasa sedih di dasar hatinya atas perlakuan Sutris, namun Tutik tetap menghiraukanya. Pasalnya Ia sudah kebal dengan ucapan-ucapan kasar yang keluar dari mulut suaminya.
Sutrisna, atau yang kirap disapa Sutris, adalah pria berusia 32 tahun yang bekerja sebagai mandor perkebunan karet terbesar di Desa Rukun Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Sebuah Desa yang sebagian besar warganya bekerja di perkebunan karet, atau ada juga yang bekerja di pabrik pengolahan karet hasil dari perkebunan itu. Selain karet, Desa itu juga penghasil tebu serta singkong, terbesar di kabupaten Jepara.
Watak yang disiplin dan tegas, membuat Sutris dipercaya menjadi mandor perkebunan sejak 10 tahun yang lalu, membawai lebih dari 700 orang yang bekerja di pabrik serta perkebunan.
Meski memiliki gaji yang cukup besar, namun Sutris bukanlah Orang yang royal terhadap Istri, Tutik bahkan tidak pernah tau, berapa jumlah gajibyang diterima oleh suaminya setiap bulan. Sutris selalu mengatakan jika gajinya kecil meskipun Ia sebagai mandor, demi untuk mencukupi kebutuhan, Sutris meminta Tutik untuk selalu berhemat.
Pria itu memberi jatah uang 200 ribu untuk keperluan belanja selama satu minggu, dan akan ditambah jika ada keperluan lain yang harus disertai dengan bukti, seperti halnya yang dilakukan oleh Tutik pagi tadi.
Pukul setengah delapan pagi, Sutris berangkat ke Pabrik dengan mengendarai motor besarnya. Tidak ada acara cium tangan atau cipika-cipiki, Setelah menghabiskan sarapanya, Sutris berangkat tanpa berpamitan kepada Tutik.
Hanya suara motor yang menjadi penanda buat Tutik bahwa suaminya telah berangkat ke kebun.
Baru saja tangannya mengambil piring dan ingin menyendokkan nasi, terdengar gedoran cukup keras dan berulang-ulang dari pintu depan.
Tentu Tutik sudah hafal betul siapa tamu yang mengunjungi rumahnya sepagi ini.
Baru saja membuka pintu, Mamak Sri, Ibu mertua Tutik sudah melotot dengan tangan berkacak pinggang. Mulutnya siap menyemburkan api seperti naga. "Lama sekali Kamu buka pintu! apa tidak dengar kupingmu dari tadi Aku panggil-panggil."
"Dengar lah Mak.. tapi Aku kan jalan dulu kesini, baru lah buka pintu buat Mamak."
"Alasan saja! minggir! mau masuk Aku, Badanmu itu nutupin pintu, apa tidak suka Kamu kalau Aku datang kesini?"
"Tidak lah Mak.. Aku senang sekali kalau Mamak berkunjung kesini, apalagi Aku perhatikan semakin hari, Mamak ini bertambah cantik saja. Apa mamak pakai produk yang ada di TV itu? yang katanya bisa bikin 10 tahun lebih muda? Aku perhatikan, Mamak ini tampak 10 tahun lebih muda."
"Ah bisa saja Kau ini memujiku. Tapi sepertinya memang iya, Tambah cantik saja Aku sekarang ini, semakin muda juga. Nanti Aku kasih tau sama Kamu rahasianya ya, biar awet muda juga Kamu. Tapi sekarang minggir dulu lah Kamu, mau lewat Aku. Badanmu itu makin hari sudah seperti truk tronton saja, menutup jalan dan bikin macet."
Mamak Sri melenggang masuk dan duduk di sofa empuk yang berada di ruang tamu. "Tik! nyalakan kipas anginmu! gerah sekali Aku, bisa luntur nanti kecantikanku kalau berkeringat. Peka sedikit lah jadi menantu."
"Iya lah Mak." Tutik bergegas mengambil Kipas angin berdiri, menyalakanya dan meletakkan disamping sang Mamak.
"Hei! mau bikin Aku mati masuk angin Kamu? kalau tidak suka sama Aku bilang saja, tidak perlu membunuhku seperti ini." Teriak Mamak Sri.
"Jauhkan kipasnya! jangan terlalu dekat, bisa masuk angin Aku." Teriaknya lagi.
"Iya lah Mak, maaf.. tidak tau Aku. Yasudah, Mamak tunggu disini ya, Tutik buatkan minum dulu buat Mamak."
"Suka-suka Aku lah mau nunggu dimana, ini kan rumah Anakku. Berani nya Kamu ngatur-ngatur Aku."
'Ah terserah Mamak saja lah, pusing Aku sama mahluk tuhan yang satu ini' batin Tutik.
Tutik sedang sibuk mengaduk teh dicangkir, tiba-tima Mamak muncul di ambang pintu dapur.
"Tik, bagi duit 100 ribu ya, Mamak lupa, hari ini ada arisan. Mamak tidak bawa uang." Mamak Sri menyodorkan tangan di depan Tutik.
Dengan sangat terpaksa Tutik merogoh saku dasternya, memberikan satu lembar uang merah pemberian suaminya tadi pagi kepada Mamak. Tutik hanya mampu menatap nanar uang yang sudah berpindah tangan.
Setelah mendapat apa yang diinginkan, Mamak oun berpamitan untuk pulang.
"Mau pulang dulu lah Aku Tik. Mau pergi arisan."
"Loh, kok pulang Mak? tidak diminum dulu ini teh nya?"
"Tidak, Kau minum saja sendiri."
Keesokan harinya, jam masih menunjukkan pukul 06 pagi, namun Sutris sudah terlihat mematut dirinya di depan cermin. Serong kanan, serong kiri seperti pemuda yang mau pergi kencan.
Melihat suami nya sibuk berdandan, Tutik bergegas menghampiri.
"Mau kemana Mas, kok sudah rapi sekali."
"Mas mau pergi ke kota Dek. Ada urusan."
Tutik menatap penampilan suaminya dari ujung kaki sampai ujung kepala, semua pakaian yang melekat di tubuhnya serba baru. Tutik mengibas-ngibaskan tangannya didepan hidung saking tidak kuat dengan aroma parfum yang menyengat.
Menyadari sedang diperhatikan sedemikan rupa, Sutris pun menoleh ke istrinya yang semakin hari semakin terlihat kucel seperti kain pel.
"Kenapa bibirmu merengut terus, sudah seperti bibir kudanil saja."
"Hem.. minta uang lah Mas.. sudah waktunya bayar sekolah Bima ini." Tutik menunduk, takut suaminya akan marah.
"Bilang lah dari tadi, tidak perlu monyong-monyong bibirmu sepagi ini. nih!" Sutris menyerahkan satu lembar uang merah kepada Tutik.
"Tambahin lah Mas.." rengek Tutik.
"Lah! biasanya kan juga segitu, apa sudah naik sekarang uang spp nya?"
" Bukan uang SPP nya yang naik, tapi Aku mau beli gincu baru, sudah habis gincu sama bedakku Mas."
"Opo mbo pangan gincu iku Dek, bendino kok tuku gincu." (Apa Kamu makan gincu itu Dek, setiap hari kok beli gincu.)
"Mana ada Aku setiap hari beli gincu Mas? sudah setahun Aku tidak membelinya, sekarang sudah habislah gincu merahku itu, sudah Aku kerok-kerok sampai kedalam-dalam nya juga, tidak ada lagi yang tersisa."
"Halah, begaya sekali Kamu ini, pakai beli bedak sama gincu segala. Yasudah!" Lagi Sutris merogoh sakunya dan memberikan selembar uang 20 ribu.
Tutik hanya menatap nanar, mana cukup uang dua puluh ribu untuk beli bedak sama lipstik di jaman sekarang ini? tapi Tutik tetap menerimanya dan pura-pura tersenyum.
"Ingat! kalau beli gincu yang warna merah saja, biar awet, sedikit-sedikit saja pakainya."
"Iya.."
"Yasudah Aku mau berangkat dulu, lusa Aku baru pulang, jaga rumah baik-baik. Masak yang enak buat anakku, jangan Kamu kasih makan telur ceplok terus si Bima itu, bisa bisulan dia nanti."
"Iya.. Mas."
"Hari ini akau bawa mobil, kalau Kamu mau pakai motorku pergi kondangan besok, pakai saja. Tapi ingat! jangan sampai lecet, mahal itu harganya. Jangan lupa juga, antar jemput anakku pakai motor itu. Oh ya, satu lagi! kalau malam jangan kelayapan apalagi lewat perkebunan yang di ujung Desa sana, bahaya. Banyak begal, sayang motorku kalau dibegal Orang. Aki beli pakai uang itu, tidak pakai daun."
"Iya...."
"Jangan cuma iya-iya saja kalau suami lagi ngomong. Dengerin! catet kalau perlu."
"Siap.. Pak Mandorrr...!"
Selesai memberi wejangan, Sutris melangkah meninggalkan kamar dengan menyeret koper berukuran sedang, entah kapan pria itu menyiapkan pakaiannya. Mungkin subuh tadi, sejak Tutik mulai sibuk di dapur.
Keesokan harinya, Tutik berdiri termenung didepan lemari pakaiannya, membolak balik beberapa baju, menempelkanya ke badan namun semua baju-baju itu sudah tidak muat lagi di tubuhnya, kebanyakan baju-baju itu memang koleksi lama, saat Ia masih gadis dulu. Tidak banyak pakaian yang Ia miliki setelah menikah, hanya daster saja yang sesekali Ia beli.
"Pakai baju apa ya aku untuk pergi ke pesta Pak RT. Kebanyakan baju-bajuku sudah tidak muat, sebagian lagi warnanya sudah pudar."
Hingga pilihan Tutik jatuh pada sebuah Dress berwarna hitam dengan panjang semata kaki, lumayan meskipun warnanya sedikit pudar namun masih nyaman digunakan.
Setelah memoles wajahnya dengan bedak dan sedikit lipstik, Tutik bergegas menuju rumah Pak RT dengan berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh. Terlalu ribet kalau harus naik motor besar dengan menggunakan Dress panjang yang Ia gunakan.
Di tengah perjalanan, Tutik bertemu dengan Sugeng, Duda kaya raya si juragan tanah. Pemilik seluruh perkebunan karet beserta pabriknya, sekaligus Bos dari Sutris, suami Tutik.
"Mau kemana Kamu Tik?" Sugeng menyapa Tutik.
"Eh, Juragan. Saya mau ke rumah Pak RT, Juragan sendiri mau kemana?" Tutik kembali bertanya, pasal nya yang Ia lihat Sugeng juga berpenampilan rapi, seperti hendak bepergian.
"Sama, Aku juga mau ke rumah Pak RT. Kalau begitu bareng saja. Kok sendirian saja Kamu, Sutris apa tidak ikut?"
"Tudak juragan, Mas Sutris kan sedang tidak di rumah."
Tutik dan Sugeng akhir nya berjalan beriringan menuju rumah Pak RT, tempat diadakan nya pesta.
"Pergi kondangan kok pakai baju hitam, Mau ke pesta atau kerumah duka?"
Tutik menoleh dan tersenyum sinis, heran dengan satu orang ini, masih saja menyimpan dendam kepadanya.
Namanya Marni, Istri dari mantan kekasih Tutik yang masih gagal move on. Dulunya suami Marni dan Tutik adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan berencana akan menikah, namun cinta mereka justru terhalang oleh perhitungan weton yang tidak cocok. Terpaksa mereka harus berpisah dan menurut apa kata Orang Tua.
Herman akhir nya dijodohkan dengan Marni, namun setelah mereka menikah, Herman justru tetap tidak bisa melupakan Tutik, sering kali Herman salah menyebutkan nama, Marni menjai Tutik. Hal itu membuat Marni membeci Tutik hingga puluhan tahun lamanya.
"Istri mandor kok bajunya buluk! uda gak jaman lagi, untung aja Mas Herman nikahnya sama Aku yang jauh lebih cantik dan pintar menjaga penampilan." Sindir Marni dengan suara cukup nyaring.
Meskipun tau sedang dihina dan disindir secara terang-terangan, namun Tutik tetap diam tidak berminat untuk menanggapi barang sedikitpun. Sedangkan Sugeng sang Juragan justru menatap iba kepada perempuan yang duduk disampingnya itu.
"Jangan didengerin Pak, biasa lah itu mulut orang yang suaminya gagal move on sama Saya, jadi cemburu buta Dia."
Sugeng tersenyum mendengar ucapan Tutik, "Ya pantes sih kalau suaminya gagal move on, orang jelas-jelas Kamu aja lebih cantik dari istrinya."
Tutik hanya tersenyum menanggapi ucapan Sugeng.
"Tapi Tik, saranku, jangan Kamu biarkan orang-orang itu menghina dan merendahkanmu. Sekali-kali nggak papa Kamu lawan. Biar jera." Sugeng memberi saran.
"Tidak perlu lah Pak, biarkan saja. Suka-suka mereka lah mau apa."
Baru saja sampai di halaman rumah setelah menghadiri pesta, Tutik sudah disambut Mamak mertuanya dengan membawa dua kantong besar berisi pakaian kotor.
"Darimana saja Kamu Tik? lama sekali Aku tunggu."
"Maaf Mak.. habis dari rumah Pak RT Aku, ada pesta disana."
"Ooo.. yasudah. Ini baju-baju kotorku, tolong Kamu cuci ya! Nanti suruh Sutris antar kerumahku kalau sudah selesai."
"Iya Mak "
"Oh iya Tik, satu lagi. Besok sawahku sudah mau panen, Tolong bantu Aku masak ya, untuk makan orang-orang yang bekerja disana. Ini uang nya, Kamu belanjakan besok."
Tutik menerima tiga lembar uang berwarna merah dari tangan Mamak mertanya.
"Untuk berapa orang Mak, masaknya?"
"Untuk 10 orang, Kamu bikin 2 kali ya, untuk pagi sama siang. Kamu masak saja, biar Parlin yang mengambilnya kesini."
"Baiklah Mak."
"Ya sudah, mau balik dulu Aku, sudah sore."
"Loh, kok buru-buru sekali Mak? tidak masuk dulu kah Mamak? biar Aku siapkan minum." tanya Tutik yang jelas hanya basa-basi.
"Tidak perlu, kasihan itu Ojekku sudah nunggu lama. Pulang dulu Aku."
"Iya Mak, hati-hati dijalan."
Sejak pagi buta Tutik sudah berkutat di dapur, demi menjalankan titah sang kanjeng ratu yang tidak bisa dibantah barang sedikitpun.
Tutik sedang memasak menu sarapan untuk para buruh yang bekerja di sawah Mamak mertuanya, pagi ini rencananya Ia akan membuat menu Ayam ingkung, urap sayur dan telur rebus.
Menu wajib yang harus ada sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen.
Setelah lebih dari tiga jam waktu yang Ia habiskan untuk memasak, akhirnya pekerjaan itu selesai juga, Tutik bernafas lega, tampak puas dengan hasil kerjanya. Sesekali Tutik mengelap kening nya yang berkeringat menggunakan lengan daster.
"Alkhamdulillah.. selesai juga masaknya, tingal beres-beres perabotan sebentar sebelum lanjut masak untuk tahap kedua nanti siang. Mau nyeruput kopi dulu lah Aku, biar tambah semangat."
Setelah menyeruput secangkir kopi susu, Tutik bergegas menaiki tangga ke lantai dua untuk membangunkan Bimasena, Putra semata wayang Tutik dan Sutris.
"Bima..! bangun dulu Sayang, sudah siang ini. Apa tidak pergi sekolah Kamu?"
Mendengar teriakan Mamak nya, Bima terlonjak kaget dan langsung terbangun dari tidurnya.
"Mamak ini, bisa tidak kalau bangunkan Aku itu yang lembut sedikit suaranya, kaget lah Aku Mak. Bisa jantungan Aku."
"Halah.. tidak mungkin lah Kamu sampai jantungan, Mamak kan cuma kerasin sedikit suaranya, tidak sampai berteriak. Kalau dibanguninnya pelan, yang ada Kamu nggak bangun-bangun. Malah tambah pules Kamu tidur nya, Kan merdu sekali suara Mamak ini."
"Terserah Mamak saja lah, Bima mau mandi dulu. Trimakasih sudah bangunkan Bima." Baru saja Bima berniat mendekat untuk memeluk Mamaknya, niat itu buru-buru Ia urungkan setelah membaui aroma tubuh Mamaknya yang membuat Bima ingin muntah.
"Haishh.. asem sekali bau Mamak ini." Bima merengut seraya menjauhkan tubuhnya.
"Hehehehe.. Iya, Mamak belum sempat mandi, baru selesai masak pesanan Mbahmu tadi, sebentar lagi mau diambil. Yasudah cepat Kamu mandi sana, Mamak siapkan dulu baju seragam Kamu, Habis itu langsung sarapan di dapur ya, Mamak mau beres-beres dapur dulu."
"Iya Mak."
*******
Di salah satu kamar hotel yang berada di pinggiran kota Semarang, Seorang Wanita dengan rambut pirang, wajah putih, leher hitam serta bibir berwarna merah menyala layaknya Orang yang habis makan ayam hidup-hidup. Sedang bergoyang ngebor di depan laki-laki yang tak lain adalah Sutris.
Selain goyang ngebor, goyang gergaji dan goyang patah-patah. Wanita itu juga tidak lupa bergoyang dombret dan goyang ngecor.
"Wuihhh.. tambah mantap saja goyanganmu Dek. Makin tergila-gila Aku sama Kamu." puji Sutris kepada seorang Wanita berprofesi biduan dangdut yang diketahui bernama Mayang itu.
"Iya lah Mas.. Cuma Aku saja yang bisa goyang begini, istrimu si Tutik itu mana bisa." ucap Mayang membanggakan diri.
"Iya lah, mana bisa Tutik bergoyang seperti Kau itu Dek. Bisa ambruk rumahku kalau Dia goyang."
"Huhahahaha.. bisa saja lah Ayang ini. Jadi tambah cinta Aku." suara Mayang terdengar mendesah manja.
"Jangan begitu lah Dek, tidak kuat lagi Aku. Sudah mau patah rasanya pinggangku ini."
"Iya lah Mas. Kalau begitu mari kita pergi jalan-jalan ke Mall saja, belikan adek ini Lipstik baru, belikan juga kalung emas ya, biar tambah cantik Adek ini, kalau Adek tambah cantik kan Ayang juga yang suka."
"Hemm.. iya lah. Apapun untuk Adek Sayang, Mas belikan. jangankan lisptik, toko nya pun bisa Mas belikan untuk Adek yang cantik ini." Sutris menoel dagu Mayang dengan manja.
Setelah berjam-jam keliling mall dan berbelanja berbagai macam barang mulai dari peralatan make up, skincare bermerkuri, CD renda-renda, BH sebesar batok kelapa, baju-baju bermotif macan loreng serta berkerlap-kerlip layaknya lampu Agustusan. Mayang tersenyum puas sambil mengandeng erat lengan Sutris.
Sedangkan Sutris justru bertampang lesu akibat isi dompet nya yang sudah terkuras habis demi membelanjakan si Mayang.
Kurang lebih satu tahun yang lalu, Sutris datang ke sebuah acara hajatan milik salah satu rekannya di kampung sebelah, di sana lah awal mula Ia bertemu dengan Mayang yang saat itu diundang sebagai biduan dangdut untuk memeriahkan acara pesta. Sutris terposona pada pandangan pertama dengan goyangan Mayang.
Entah sejak kapan hubungan saling menguntungkan itu mulai terjalin, Sutris kerap kali membawa Mayang pergi ke Kota dan menginap di hotel untuk satu sampai dengan dua malam, sedangkan untuk imbalannya, Sutris akan menuruti apapun permintaan Mayang.
Meski begitu, jujur didalam hati kecil Sutris sering kali terlintas perasaan bersalah kepada Tutik. Meskipun sekarang sudah tidak jelas bagaimana bentuk wajahnya, namun dulunya Tutik adalah satu-satu Gadis yang pernah digilai oleh Sutris, hingga Sutris menghalalkan berbagai macam cara demi bisa merebut hati Tutik.
Suara dering ponsel di saku celananya berhasil membuyarkan lamunan Sutris, Pria itu merogoh saku nya. Dan ternyata Sugeng yang menghubunginya.
"Wah Juragan menelpon, ada apa ini? tumben-tumbenan juragan menghubungiku."
Sutris : 'Hallo.. Assalamualaikum Juragan.'
Sugeng : Waalaikumsalam
Sugeng : Nyang Ndi ae Kowe Tres? 2 dino gak kerjo, opo wes bosen kerjo melu Aku, kowe?
(Kemana saja Kamu Tris? dua hari gak kerja, apa Kamu sudah bosen kerja ikut Aku?"
Sutris : Ngapunten Juragan, Kulo tasik wonten keperluan ten Kota.
(Maaf Juragan, Saya masih ada keperluan di Kota."
Sugeng : Keperluan karo biduan dangdutmu iku a? tak enteni nganti jam 4, yen Awakmu gak teko Omah. Tak pecat Kowe!
(Keperluan sama biduan dangdutmu itu? Aku tunggu sampai jam 4, kalau Kamu tidak sampai rumah, Aku pecat Kamu!"
Tut. Sambungan telepon terputus.
Mendengar ancaman dari juraganya membuat Sutris panik bukan main, pasalnya Bosnya itu tidak pernah main-main dengan ucapannya.
"Dek, cepat berkemas! Kita harus segera pulang. Ada yang gawat."
"Gawat opo toh Mas? kan eman, jatah nginep iseh sewengi engkas, eman wes kadung dibayar larang."
(Gawat apa sih Mas? kan sayang, jatah nginepnya masih satu malam lagi, sayang sudah terlanjur dibayar mahal.)
"Wes gak masalah, iki antara hidup dan mati. Ayo cepat berkemas!"
"Apa! antara hidup dan mati? apa hotel ini mau di Bom? wah bahaya ini, kita harus segera pergi dari sini Mas!" Mayang ikut panik dengan pemikiranya sendiri, sedangkan Sutris tidak peduli dengan apapun yang ada dipikiran mayang, yang penting mereka cepat sampai di rumah.
Karena terburu-buru berkemas, Mayang dan Sutris tanpa sadar telah salah memasukkan barang-barang mereka kedalam koper. Mayang tidak peduli, yang penting mereka selamat dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!