Sebelumnya salam kenal untuk para reader pecinta novel, saya merupakan penulis baru disini. Semoga tulisan saya bisa memberikan inspirasi bagi semua orang dan menjadi daya tarik tersendiri untuk para reader. Selamat membaca ☺️
_____________________________________________
Pernah tidak sih di antara kamu dan kalian semua mendapat pertanyaan semacam 'Kapan akan menikah?' atau 'Kapan kenalin calonnya?' dari anggota keluarga, teman-teman, orang-orang sekitar mungkin tetangga?
Di usiaku yang menginjak dua puluh sembilan tahun, tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi momok tersendiri bagiku. Sampai saat ini aku masih saja menjadi wanita yang melajang. Bukan karena aku tipe pemilih calon pendamping hidup, melainkan aku yang tidak dipilih para pria pencari istri.
Orang tuaku memberikanku nama yang sangat indah dan panjang 'Fannisa Oktaviani Geraldine'. Panggil saja aku Fanni, aku adalah anak blasteran Indonesia dan Belanda. Meskipun begitu nama yang indah dan embel-embel darah campuran tidak mencerminkan keindahan fisikku. Berbeda dengan kakak lelakiku yang berparas tampan dan dominan ke arah fisik kebule-bulean, aku jauh jika disandingkan dengannya.
Aku memiliki berat badan di atas ideal yaitu delapan puluh empat kilogram dengan tinggi badan hanya seratus lima puluh tujuh centimeter. Bisa dibayangkan betapa buruknya kondisi fisikku? Aku hanya mempunyai kelebihan hidung mancung dan kulit putih khas orang Belanda. Bukan tidak mau berusaha berdiet, untuk badan yang telah aku dapatkan karena mendapat keturunan dari nenekku di ayahku memang sulit untuk melakukannya.
Pernah suatu ketika aku sangat berambisi ingin berdiet, selama dua tahun lamanya. Namun bukannya kurus aku malah terserang penyakit dehidrasi akut dan asam lambung yang parah. Lebih parahnya lagi aku juga mengalami gangguan 'Bulimia' yang merupakan suatu gangguan dengan kondisi makan yang tidak terkendali dan para penderitanya mengambil langkah-langkah untuk menurunkan berat badan dengan cara memuntahkan isi perut atau berolahraga dan berpuasa secara berlebihan. Bahkan gangguan bulimia bisa menyebabkan kematian. Semua terjadi karena aku mengalami kasus pembullyan dari mahasiswi nakal, di masa perkuliahan.
Saat itu, aku benar-benar pasrah. Tubuhku hanya mampu terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, bak kerbau yang sedang sekarat dengan tusukan tajam suntik dan jarum infuse. Yang kuingat adalah ibuku yang setia menemaniku tanpa hentinya menangis serta berdo'a untuk kesembuhanku. Itulah yang menjadi semangat paling ampuh agar aku sembuh.
Sebenarnya, dimasa sekolah menengah aku adalah anak yang periang dan tidak pernah menganggap penting tampilan fisik. Aku sangat supel dan ramah, terlebih mempunyai daya humor yang tinggi. Banyak yang mendekatiku saat itu karena tertarik celotehan-celotehanku yang terlihat bak seorang komica.
Namun, beranjak aku dewasa tepatnya setelah memasuki dunia kerja, aku mulai menarik diri dari lingkungan. Bahkan dari keluargaku, ternyata dunia orang dewasa sangat menyakitkan. Fisik menjadi salah satu faktor utama nilai kecantikan seseorang apalagi seorang wanita. Ada perasaan iri yang tumbuh dari hatiku, ketika aku melihat teman-temanku menggandeng pasangannya. Aku ingin seperti mereka. Namun sampai saat ini tak ada seorang pria pun yang tertarik padaku.
Aku merasa malu pada diriku sendiri, orang tuaku dan orang sekitarku. Seandainya saja aku memiliki bentuk tubuh langsing--aku pikir aku akan terlihat cantik. Setelah aku mengalami gangguan dan sakit, aku sangat takut untuk berdiet. Aku hanya tidak ingin mengulanginya lagi apa lagi sampai membuat orang tuaku menangis. Meskipun di sisi lain, aku juga menderita karena belum pernah mempunyai pengalaman cinta.
Kini, aku telah tinggal di sebuah apartemen yang aku beli dari tabungan lima tahun bekerja serta uang tambahan dari ayahku. Aku telah berpisah rumah selama tiga tahun dengan orang tuaku. Alih-alih ingin mandiri sebenarnya aku sudah muak jika muncul pertanyaan 'Kapan akan menikah'. Terlebih lagi, kakakku malah sering bergonta-ganti kekasih yang ia bawa untuk dikenalkan dengan orang tuaku. Aku benci ini, sangat benci!
Aku sendiri telah bekerja di suatu perusahaan properti. Dengan kemampuan yang cukup baik dan nilai ipk yang bagus. Aku mampu menembus segala macam tes kerja dari perusahaan tempatku bekerja, yang memang sangat elit. Di situ pula, awal dari semua kegelisahan yang menerpaku, mulai dari perkataan rekanku yang mengharuskan aku untuk lebih kurus dan merawat diri lebih rajin. Aku merasa sangat minder sebenarnya, tapi aku merasa sayang untuk membuang pekerjaan.
Bahkan, seperti hari ini tatapan mengejek Mita arahkan padaku. Ia adalah salah satu rekannya dengan paras yang menawan dan badan ideal bisa dikatakan, ia berpotensi menjadi seorang model. Namun fisiknya tidak mencerminkan sifatnya yang tengil.
"Hei sayangku, Fanni. Hari ini makan berapa baskom nasi? Hahaha," ledeknya kepadaku seraya memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sengaja.
"Bukan urusan loe, najis!" jawabku bengis, namun tetap menunduk.
"Hah?! Si sapi ngatain gue najis lagi. Eh, ngaca dong badan loe udah kayak sapi guling, tinggal bakar doang beda ama gue banyak laki yang ngantri," balas Mita, tangannya diusapkan perlahan di wajahku dengan tatapan matanya yang tajam mengancam.
Mita kemudian berlalu dari hadapanku dengan langkah yang menggeol-geolkan bokong indahnya. Selang beberapa menit kemudian datang Nike yang merupakan teman baikku, dengan balutan baju formal yang sedikit longgar dan kerudung warna hijau menambah keanggunan wajah manisnya.
"Sabar ya, Fann. Jangan diambil hati," ujarnya menenangkanku.
Aku mengangguk pelan. "Enggak kok, Ke. Gue kesel aja ama dia tadi lagi jenuh-jenuhnya malah ngeledek. Kenapa sih dia nggak mau berhenti kayak gitu?" jawabku.
"Yah, mungkin hatinya belum terbuka. Matanya lagi ditutup kabut kesombongan. Semoga cepet dapet hidayah biar nggak ganggu orang dibawah dia lagi, Fan."
"Iya, Ke. Semoga aja ya."
Aku kagum dengan kedewasaan yang dimiliki Nike. Tak hanya berparas manis, sikapnya pun juga manis. Mungkin banyak pria akan luluh padanya. Aku juga sangat beruntung bisa akrab dengannya banyak hal yang bisa aku pelajari. Bukan hanya dalam segi pekerjaan saja, begitu juga dengan ilmu agama. Meskipun aku blasteran, aku dan keluargaku adalah penganut agama islam.
Aku memfokuskan diriku di depan komputerku dan mulai mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Bukan hanya tugas biasa, aku juga mendapat tanggung jawab untuk mengurus bentuk slogan dan kata-kata penarik minat para konsumen. Aku mendapat kepercayaan ini karena kemampuan menggambar dan merangkai kalimat indah sehingga menarik hati direktur. Itulah yang menjadi salah satu nilai posutif diriku.
Klung! klung! Terdengar nada dering dari ponselku yang merupakan peringatan bahwa ada pesan masuk.
Kumainkan jariku di atas layar ponselku. Dan membuka pesan yang masuk di salah satu aplikasi chatting yang sedang ngetrend saat ini. Tampak kontak yang kunamai 'My mom' sang pengirim pesan, tak lain dan tak bukan adalah dari ibuku tercinta. Kutekankan ibu jariku pada pesan tersebut.
My Mom : Sayang, pulang kerja Mama ke apartemen kamu ya?
Itulah bunyi kalimat yang tertera pada pesan ibuku. Hal tersebut nyatanya tidak membuatku senan, karena jika ibuku berada di apartemenku tidak lain dan tidak bukan beliau akan bertanya tentang pernikahan kembali.
"Oh Tuhan! Selamatkan aku dari kalimat neraka itu ...," gumamku pelan.
****
Selang beberapa waktu berlalu, jam menunjukkan waktu pulang. Dan aku bergegas meninggalkan meja kerjaku, setelah selesai kurapikan. Tanganku mengenggam beberapa berkas yang nantinya aku kuselesaikan di apartemen. Aku berjalan ke arah mobilku berada. Mobil merah pemberian dari ayahku sebagai hadiah ulang tahunku, tepat setelah aku sembuh dari sakit. Mungkin ayah berharap aku bisa lebih bersemangat lagi setelah penderitaan yang aku alami.
Aku kemudikan mobilku perlahan menyusuri jalan-jalan perkotaan. Banyak yang kutemui kemacetan di beberapa titik jalan. Hal itu yang menghambat keinginanku untuk cepat sampai ke istana bonekaku. Sampai akhirnya kutemui jalan yang lumayan lenggang. Aku langsung memacu mobil dengan lebih cepat. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan kedatangan ibuku hari ini.
Setelah sampai di kediamanku, aku beranjak naik melalui lift dan menekan tombol untuk lantai sepuluh dimana apartemenku berada. Aku melangkah sedikit tergesa-gesa. Kubuka pintunya perlahan. Tampak ibuku sedang sibuk memasak di dapur. Ibuku memang tahu tentang password kunci apartemenku. Lalu aku menghampiri beliau.
"Hai, Mama," sapaku kepada beliau sembari mendudukkan bokong besarku pada kursi yang berada di dapur.
"Hai juga, Sayang. Capek ya?" tanya beliau kembali.
"Yah lumayan, Mama kenapa ke sini? Masak juga lagi?" Aku memberikan pertanyaan balasan mengenai maksud ibuku datang ke apartemen ini.
"Emang nggak boleh kalau Mama maen?"
"Ya nggak gitu, pasti ada sesuatu kan? Biasanya juga Mama nyuruh aku yang dateng ke rumah kok."
"Em, ... Mama entar malem pengen kamu ketemu kenalan Mama, ya?"
"Haaah?! Nggak mau!"
Bersambung...
Mau tidak mau, akhirnya aku menyetujui permintaan ibuku. Tepat pukul tujuh lebih tiga puluh aku bersiap diri. Tubuh besarku terbalut kaos oblong dan blazer berukuran jumbo. Dan alas kaki yang berjenis flat shoes menghiasi kaki gajahku. Aku poles wajahku dengan make up tipis saja. Begini lebih baik daripada memakai gaun yang malah akan menampakkan lipatan-lipatan lemakku.
Sejujurnya aku tidak terlalu berharap dengan kencan buta yang direncanakan oleh ibuku. Aku hanya takut kecewa, maksudku pria itu yang kecewa mendapati wanita yang dikencaninya sebesar gajah bengkak. Kupikir hanya ada peluang lima persen saja seseorang bisa menerimaku dengan kondisi seperti ini. Yah, sudahlah tak perlu kupikirkan lagi. Toh, kata kebanyakan orang--jodoh tidak akan kemana. Karena tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, bukan?
Aku menuju mobil merah kesayanganku yang berada di lokasi bawah. Kulangkahkan kakiku perlahan-lahan. Mataku menatap keramik-keramik mengkilat yang tertata rapi. Sambil berandai-andai jika satu langkah kaki berjalan bisa mengurangi lemak sedikit saja. Mungkin aku akan menjadi lebih kurus. Namun itu tidak mungkin, kan?
Sesampainya di tempat mobilku berada, aku bercelingak-celinguk menatap keadaan sekitar. Yang terlihat cukup sepi. Mungkin semua penghuni sedang beristirahat saat ini. Berbeda denganku yang harus mendatangi acara pencarian jodoh dari ibuku.
Aku segera masuk ke dalam mobilku dan mulai mengemudikannya dengan perlahan dan kemudian lebih cepat. Aku akan merasa tidak enak hati jika sampai tujuan dengan tergesa-gesa karena terlambat. Aku harus sadar diri, badanku saja sudah tidak sempurna jika ditambah sifatku. Akan bagaimana penilaian orang nanti. Mungkin akan menjadi lebih buruk.
Setelah kuarungi hamparan aspal-aspal yang panjang bagaikan selendang bumi.
****
Akhirnya aku telah sampai di tempat tujuan. Sebuah bangunan indah yang berhias kalimat bergaya mural untuk menarik minat pengunjung. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah restoran mewah milik seorang pengusaha kaya.
"Oh ... pantaskah aku berkencan dengan dia di tempat semewah ini?" tanyaku pada diriku sendiri.
Diantara keraguan yang menerpaku kini, aku memberanikan diri untuk memasuki pintu restoran. Bola mataku berputar-putar menyapu seluruh ruangan. Tampak beberapa orang yang berpasangan sedang menyantap hidangan bersama. Aku merasa bingung mencari keberadaan pria kenalan ibuku yang sudah dijanjikan malam ini untuk berkencan buta denganku.
Sampai akhirnya datang seorang pelayan wanita menghampiriku, mungkin ia menangkap raut wajahku yang kebingungan.
"Selamat malam, Kakak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan tersebut dengan penuh keramahan.
Aku mengangguk pelan. "Saya sedang mencari seorang pria bernama Anton," jawabku.
"Oh ... Dengan kakak Fannisa ya?"
"Emm ...."
"Mari saya antar."
Aku berjalan mengikuti arahan dari pelayan wanita tersebut. Jantungku mendadak berdegup begitu kencang begitupun tangan yang ikut gemetar. Aku takut sangat takut.
Aduh ... gimana ini?
Aku melihat seorang pria bertubuh atletis, wajahnya tidak terlalu tampan malah dihiasi bopeng-bopeng yang mungkin bekas jerawat dan berkulit sawo matang. Ia duduk dihadapanku sekarang. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Anton. Sang pelayan pun berlalu setelah ku ucapkan terima kasih.
Salah tingkah semakin menerpaku apalagi tatapan pria itu begitu nanar. Aku memilih diam saat ini. Aku takut jika melakukan kesalahan. Raut wajah Anton begitu masam saat menatap diriku. Matanya naik turun menjelajahi setiap inchi bentuk tubuhku. Lalu, ia melengos sinis kearah samping.
"Duduklah." Ia mempersilahkanku untuk bergegas duduk di sebuah kursi yang kosong.
"Terima kasih," jawabku kikuk.
"Loe Fannisa?"
"I-iya."
"Hmm ...."
Kami terdiam begitu lama, ada kecanggungan yang sedang menyusup di pertemuan kami. Mata Anton malah menyusuri wanita-wanita lain yang bertubuh indah. Dan tentunya sangat jauh di bandingkan denganku. Hatiku menciut seketika.
"Pesan aja yang loe mau ntar gue bayar," celetuk Anton. Ia bahkan tidak memandang sama sekali pada saat bicara.
"Ya," jawabku singkat.
Aku hanya memesan makanan ringan dan segelas jus strawberry.
"Nggak kurang tuh?" tanya Anton dengan nada menyindir.
Aku menatapnya sekilas. "Nggak," jawabku dengan hati yang menciut.
Pelayan membawa tulisan pesanan yang kami inginkan.
Kemudian, ia datang kembali dengan nampan yang sudah berisi. Aku berusaha setenang mungkin saat ini. Dan sesopan mungkin ku santap hidangan yang disajikan. Aku tidak ingin bertambah malu saja.
"Loe udah punya pacar?" tanyaku memberanikan diri membuka perbincangan.
"Lagi nyari," jawab Anton.
"Oh ...."
"Loe sendiri belom punya suami?"
"Bisa dinilai sendiri."
"Oh ... haha. Santai aja, Sis."
"Banyak hal didunia ini yang terkadang tidak sesuai rencana, Ton."
"That's right, bahkan apa yang kita pikirkan bisa saja berbeda."
"By the way, kenapa loe belom menikah Ton?"
"Sudah, tapi nggak jadi."
"Oh ...."
Setelah semua kecanggungan sempat menerpa, kami cukup banyak berbincang di pertemuan ini. Terkadang Anton menanyakan apa saja yang jadi kegemaranku dan yang kukerjakan saat ini. Meski matanya tidak bisa luput dari tubuh-tubuh indah milik wanita lain yang sedang lewat. Aku tidak merasa heran, aku tahu betul respon kecewa dari Anton. Bahkan aku berterima kasih karena tidak menghinaku secara terang-terangan.
Selang beberapa waktu kemudian akhirnya kami menutup acara kencan buta ini.
"Tenang, gue aja yang bayar," ujarnya dengan nada meremehkan.
"Thanks," jawabku.
"Kalau loe mau balik duluan silahkan."
"Oke."
Saat aku hendak beranjak dari kursiku. Tiba-tiba Anton menghentikanku. Wajahnya di dekatkan ke daun telingaku. Dan berhasil membuatku tersentak.
"Loe cantik, tapi lebih baik diet extra Fann. Saat itu gue bakal tertarik sama loe sekarang belum soalnya masih kayak gajah haha," ujarnya dengan nada sindiran yang terasa menusuk ulu hatiku.
"Bahkan yang segede gue aja sama sekali gak minat sama muka jelek loe, Ton. Gimana yang cantik? Loe udah kayak sisa-sisa sampah bekas popok kotoran bayi!"
Tanpa mau mendengar perkataan Anton, aku memilih segera melangkah keluar restoran. Hatiku sesak dan ubun-ubunku terasa ingin meledak. Ingin kuluapkan segala amarah saat ini. Sampai akhirnya air mataku sudah tidak terbendung lagi. Meski ini bukan pertama kali aku mendapat penghinaan. Entah mengapa segala perasaan yang aku tahan sejak tadi rasanya mencair menyisakan kepedihan yang begitu memilukan.
Aku mengemudikan mobilku secara perlahan untuk kembali ke apartemenku. Aku tidak akan mau lagi menghadiri kencan buta semacam ini. Pria buruk rupa pun akan memilih wanita yang cantik. Lalu bagaimana dengan seorang wanita sepertiku? orang seperti apa yang akan menerimaku?
****
Setelah sampai di apartemenku. Aku segera bergegas naik ke kamarku. Dengan langkah gontai yang terkesan sedang putus asa dan wajah yang kutundukkan karena malu. Masih tersisa bekas air mata. Aku tak ingin menyalahkan ibuku. Walau bagaimanapun ibuku pasti menginginkan aku segera menikah. Ibuku sedang berusaha membantuku. Aku hanya malu ketika semua usaha beliau selalu aku gagalkan.
Ku rebahkan tubuh besarku di ranjang kesayanganku. Anganku melayang-layang. Aku ingin kurus, aku ingin cantik. Namun aku takut didera penyakit lagi. Seandainya bunuh diri tidak sakit dan tidak berdosa. Ingin sekali aku mengakhiri hidupku yang menyedihkan ini.
Bersambung...
Keesokkan harinya, aku sudah berangkat lebih awal ke kantor. Rasanya malas sekali memang. Namun, lebih malas ketika teringat dengan sikap Anton kemarin malam. Oleh karena itu, aku memilih untuk lebih cepat sampai ke kantor agar ingatan itu hilang perlahan.
"Hai, Fanni endut? Selamat pagi," sapa salah seorang rekanku bernama Tomi, ia terbilang feminim untuk ukuran seorang pria.
"Oh hai, and pagi juga cess," balasku dengan panggilan unik milik Tomi.
"Cantiknyaaa wangi kali loe ini."
"Loe ngeledek, Cess?"
"No... no... no... orang paling jujur di muka bumi ini adalah eyke. Nggak ada kata meledek."
Ah sudahlah. Aku memilih untuk menghiraukan Tomi. Tidak akan ada ujungnya bergosip dengan pria centil tersebut. Bibirnya ibarat mesin yang tidak ada lelahnya berbicara.
Aku duduk manis di tempat kerjaku yang berada di sebuah ruangan kantor dengan bilik-bilik kecil milik masing-masing karyawan. Suasana memang masih cukup sepi. Mengingat jam kerja dimulai dari pukul delapan pagi dan sekarang jarum jam masih berada di angka tujuh.
"Yah, benerin slogan dululah," gumamku.
Kubuka beberapa file yang tersimpan di folder penyimpanan komputerku. Jariku menggerakkan mouse ke arah file yang aku cari. Dan aku mulai fokus meneliti dan memperbaiki beberapa teks atau gambar yang aku rasa kurang tepat.
"Pagi Fanni," sapa Nike yang kini telah berada di bilik kerja tepat disampingku.
"Ohh pagi juga Nike," jawabku dengan sopan.
"Udah sarapankah? Tumben jam segini udah dateng?"
Aku tersenyum."Lagi bangun pagi aja sih hehe."
"Kamu udah denger belum Fann?" Nike duduk di kursinya dan menariknya mendekatiku.
"Soal?"
"Si Mita bakal naik jabatan hari ini loh."
"Haaah?!"
Aku cukup terperanjat dengan berita yang disampaikan Nike padaku. Mengingat Mita bukan orang yang kompeten, maksudku ia tidak berkontribusi dengan baik untuk perusahaan ini. Dan tentunya selalu mengalihkan tugasnya pada karyawan lain yang ia rasa lebih lemah. Salah satunya aku.
"Kok bisa?" lanjutku dengan pertanyaan yang masih tak percaya.
"Nggak tau juga, Fann. Yah, kita jangan mikir yang enggak-enggaklah mungkin dia punya kemampuan yang gak kita tau," jelas Nike seakan memberiku peringatan agar tidak timbul fitnah di dalam hatiku.
Aku kembali memfokuskan diri dengan pekerjaanku. Sedangkan Nike kembali menyantap sarapan yang ia bawa sejak tadi. Aku bahkan tidak mau menambah pikiran dengan hal yang tidak penting. Apalagi yang berkaitan dengan Mita.
Tak lama kemudian, ruangan mulai gaduh dipenuhi oleh rekan-rekan satu timku yang mulai berdatangan. Karena jarum jam juga sudah beberapa menit lagi melangkah kearah angka delapan.
Diantara banyak orang yang sedang berjalan kearah bilik kerjanya masing-masing. Mataku menangkap keberadaan Mita. Ia tampak berjalan dengan angkuhnya. Kuakui ia memang sangat cantik dengan badan langsing dan indah serta tinggi semampai. Mungkin akan membuatku minder ketika disandingkan dengannya.
"Hai, Sayangku si **** imut. Masih pagi kok udah lesu. Ah iya, mungkin keberatan badan yah? Mau senyum aja susah," celetuk Mita dengan ledekan yang sangat menusuk hati.
Aku menatapnya sekilas. "Oh pagi, Ibu penjilat. Semoga harimu baik," jawabku cuek.
"Hahaha, pujian yang bagus sayang. Karna hari ini gue lagi seneng, jadi bibir cantik gue gak boleh marah-marah kali ya. Dan loe juga harus sedikit hormat ama gue karena mulai hari ini gue atasan loe!"
Mita melangkah meninggalkanku setelah memberi beberapa kalimat peringatan dan muka jijiknya yang ia tujukan padaku. Aku hanya mampu menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan. Aku menatap Nike yang memberiku isyarat untuk tetap bersabar.
Yah, aku memang sabar bahkan aku adalah ratunya sabar. Bagaimana tidak? Aku saja mampu menjalani hari sebagai manusia bertubuh besar, masih melajang diusia yang hampir mencapai tiga puluh tahun. Apalagi hanya menghadapi manusia penjilat seperti Mita bagiku perkara mudah untuk saat ini. Namun aku juga tidak menjamin nantinya.
Seseorang yang sangat berwibawa melenggang masuk kedalam ruangan tempatku bekerja. Meskipun usianya sudah tak lagi muda lebih tepatnya sudah mencapai lima atau bahkan enam puluh tahun lebih, tidak menghilangkan aura kharismatiknya. Beliau adalah CEO perusahaan ini yang bernama bapak Ruddy Hariawan Sanjaya.
Dengan langkah tegas Pak Ruddy mengawasi setiap bilik kerja masing-masing karyawan. Dan yang aku lihat, lagi-lagi Mita mengeluarkan jurus andalannya dengan cara mencari muka. Memuakkan!
"Pagi, Fannisa," sapa Pak Ruddy ketika sampai di tempat aku berada. Diiringi langkah Mita yang saat ini berada tepat di belakang beliau.
"Selamat pagi, Bapak," jawabku dengan sesopan mungkin.
"Terima kasih ya atas kontribusi kamu. Dengan kalimat iklan dari kamu yang sangat menarik, beberapa hari yang lalu telah banyak unit yang terjual," katanya memujiku.
"Oh ... itu saya yang mengarahkan Pak," potong Mita tiba-tiba.
Pak Ruddy hanya tersenyum tipis menatap Mita. Dengan jari telunjuk yang beliau tempelkan pada hidung. Mengisyaratkan Mita agar berdiam diri lebih dahulu. Mita memanyunkan bibir sensualnya seraya memberiku tatapan tajam dan sinis.
"Saya akan lebih sering meminta kamu untuk membuat beberapa kalimat iklan lagi, Fanni. Karena proyek apartemen akan kembali dibangun," lanjut Pak Ruddy diiringi senyuman ramah.
"Dengan senang hati saya menerimanya, Pak," jawabku.
"Baiklah, silahkan melanjutkan pekerjaan dengan semangat ya."
"Baik, Pak. Selamat bekerja."
Pujian yang aku dapat langsung dari Pak Ruddy seolah-olah memberikan energi semangat yang luar biasa. Meski aku tidak punya nilai indah pada fisikku. Kemampuanku terbilang cukup handal. Aku beruntung masih ada sisi yang bisa dibanggakan.
"Cie dapet nilai plus nih," ujar Nike, ia melongokkan kepalanya disisi pembatas bilik kerja kami.
"Hehe ... besok naik jabatan," jawabku melucu.
"Amiiin. Yang penting traktiran enggak lupa ya hehe."
"Gampang, Say."
Kami kembali mengerjakan tugas dengan serius. Suasana kembali kondusif tidak ada satu pun karyawan yang berisik. Tampaknya semua sangat fokus. Terlebih ada proyek baru yang akan dilaksanakan.
"Hai Fann. Boleh eyke pinjam berkas yang kemarin?" pinta Tomi yang sudah berdiri di belakang tempat dudukku.
"Boleh saja," jawabku. Kemudian, tanganku mencari-cari berkas yang Tomi inginkan. Setelahnya aku berikan kepadanya.
"Thanks yaaa fanni gemes deh emm ... emm ..." ucap Tomi seraya mencubit gemas pipi gembulku.
"Rese'!" bentakku kepadanya agar ia berhenti melakukan hal yang kekanakan tersebut.
Tomi berlalu dengan cekikian genitnya. Tingkah kemayunya memang sangat membuatku risih.
Jarum jam terasa berjalan begitu cepat dan saat ini telah memberi peringatan kepada semua karyawan untuk memhentikan aktivitasnya. Mereka semua berhamburan keluar untuk makan siang. Ketika aku ingin mengikuti mereka. Ada seseorang yang menghentikan langkahku. Tak lain dan tak bukan adalah Mita yang sekarang telah menjadi atasanku.
"Eh, Sapi imut. Bisa 'kan loe ngerjain ini," perintahnya tegas sembari memberiku sebuah proposal.
Oh Tuhan! Setelah aku membukanya. Ternyata memang pekerjaan yang seharusnya Mita kerjakan. Dan lagi-lagi ia berikan kepada orang lain.
"Pokoknya beresin, gue nggak mau tau harus kelar sekarang. Jangan mentang-mentang dipuji Pak Ruddy dikit langsung males-malesan," lanjutnya.
Aku memilih diam, dan mengambil proposalnya. Meski sekarang ada amarah yang ingin sekali aku keluarkan dengan cara menghantam wajah cantik Mita dengan tangan besarku agar menjadi sama buruknya denganku.
Beruntung ada Nike disebelahku yang terus memperingatiku untuk tidak membuat masalah. Ia memintaku menerimanya dan berjanji akan ia bantu nantinya.
"Ya udah aku pasrah lagi."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!