Suatu malam, sepasang ibu dan anak sedang duduk bersantai di depan rumah sambil memandang langit berbintang.
“Luan, apakah kamu percaya adanya dunia lain di luar sana?”
“Dunia lain?”
“Ya, dunia dimana manusia tidak lagi sendirian dan banyak sekali keajaiban yang terjadi di sana. Bahkan sihir juga ada di sana.”
“Tapi, bukankah itu hanya ada di dalam dongeng, ibu?”
“Yah, kau mungkin memang benar, dunia seperti itu hanyalah fiksi dan tidak nyata.”
“Kalau ibu, apakah ibu percaya?”
Ibu Luan tersenyum memandang wajah anaknya, “Tentu saja” ucapnya kemudian beralih menatap langit malam. “Ada sebuah dunia lain yang jauh di sana, namun tanpa kita sadari sangat dekat dengan kita.”
...***...
“Hah..!” Seorang remaja laki-laki di dalam bis terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Ternyata hanya mimpi... batinnya mengingat mimpi yang ia alami barusan.
Ia meraih Liontin yang ada di lehernya. Liontin tersebut merupakan peninggalan milik Ibunya. Ia mengingat kembali masa-masa yang dulu pernah ia habiskan bersama ibunya tersebut.
Nama remaja itu adalah Luan Nychta, usia 15 tahun dan masih sendirian hingga saat ini. Maksudnya ia benar-benar sendirian saat ini. Ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Dan ibunya menyusul kepergian ayahnya saat Luan berusia 12 tahun karena penyakit.
Sejak saat itu, Luan hidup sendirian di rumah orang tuanya karena setahunya ia tidak memiliki kerabat lain. Sahabat dari ibunya berbaik hati mau menjadi walinya. Setiap bulan Luan dikirimi uang untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Namun dikarenakan urusan pekerjaan, mereka tidak bisa tinggal bersama. Oleh karena itu ia tinggal sendirian di rumahnya. Tapi Luan adalah anak yang mandiri. Sebisa mungkin ia tidak terlalu bergantung pada uang kiriman sahabat ibunya tersebut.
Karena itulah ia mencoba bekerja paruh waktu. Ia belajar memasak sejak dini, dan menjualnya ke kantin sekolah. Dan saat ini ia berhasil diterima bekerja paruh waktu di restoran sebagai koki pembantu. Bisa dibilang ia hidup berkecukupan saat ini.
Sekarang ia tengah mengikuti acara berkemah di sekolahnya. Awalnya ia tidak mau namun dipaksa oleh gurunya sehingga ia tidak bisa menolak. Gurunya berkata bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk menikmati masa muda.
Atau seperti itu seharusnya...
Selama perjalanan, banyak perasaan tidak enak yang mengarah padanya. Kebanyakan adalah rasa ketakutan, tidak suka, hingga benci. Ia tidak mempedulikan hal tersebut karena bisa dibilang ia sudah terbiasa.
Luan memiliki semacam kekuatan supranatural sejak kecil. Ia mampu mengetahui emosi dan perasaan orang – orang di sekelilingnya. Namun hal itu membuatnya jadi dibenci. Ia dianggap aneh dan dijauhi semua orang. Serta sebuah insiden di masa lalu memperburuk semua itu.
Kalau saja dunia lain memang ada. Batinnya yang mengingat cerita dari ibunya dulu.
...***...
Setelah menempuh perjalanan yang cukup membosankan, Luan dan teman sekelasnya telah tiba di tempat pemberhentian. Kemudian mereka dikumpulkan oleh guru wali mereka masing-masing.
“Dari sini, kalian akan berjalan kaki secara berkelompok ke lokasi perkemahan.”
“Eeehhh....”
Hampir seluruh siswa tersebut mengeluh saat mengetahui mereka akan berjalan kaki. “Berhati-hatilah karena jalan yang akan kalian lalui nanti berada di pinggir tebing.”
Lokasi perkemahan mereka berada di sebuah bukit dengan hutan yang bisa dibilang cukup lebat. Terdapat jalur bagi pejalan kaki sehingga memudahkan mereka untuk menaikinya. Hanya saja terdapat beberapa persimpangan yang bisa membuat orang-orang bingung kalau belum terbiasa.
Mereka berjalan secara berbanjar, agar tidak menghalangi pengguna jalan yang lain. Dan seperti yang dikatakan guru mereka, bahwa jalan yang mereka lewati berada di pinggir tebing. Yang artinya di samping mereka merupakan jurang. Sehingga harus berhati-hati agar tidak terjatuh.
Kelompok Luan berada di urutan terakhir sehingga mereka harus berjalan di barisan paling belakang. Anggota kelompok Luan yang lain berjalan berdekatan dan saling bercanda satu sama lain. Sedangkan Luan sendiri menjaga jarak dengan mereka di jalan.
“Hei, coba lihat cuacanya... sepertinya sebentar lagi akan hujan.”
“Kau benar, kita harus segera pergi atau kita akan kehujanan.”
Mereka kemudian berjalan lebih cepat tanpa memperhatikan bahwa masih ada satu anggota mereka yang tertinggal. Luan yang masih asik memotret seekor kupu-kupu tak mengetahui kalau ia sudah ditinggal oleh kelompoknya.
Ketika ia sedang mengusahakan posisi yang paling sempurna untuk memotret, kupu-kupu tersebut malah terbang menjauh. Luan mengikuti kemana kupu-kupu tersebut terbang karena ia sangat tertarik dengan corak sayapnya yang indah.
Luan terus berjalan mengikuti kupu-kupu tersebut hingga keluar dari jalur yang sudah ditentukan. Kupu-kupu yang sedang dikejar Luan semakin terbang menjauh dan juga semakin tinggi hingga sulit untuk digapai Luan.
Luan merasa kecewa, namun ia menyadari sesuatu ketika melihat kupu-kupu tersebut. “Langitnya mendung sekali.” Kemudian ia menoleh ke depan untuk mencari keberadaan anggota kelompoknya yang lain. Namun ia tidak bisa menemukan mereka.
“Sepertinya mereka sudah pergi duluan, aku juga harus segera pergi.” Ia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam ransel dan mulai berlari.
...***...
Hujan turun begitu derasnya tak lama kemudian setelah Luan mulai berlari mengejar kelompoknya. Luan tetap berjalan cepat menelusuri bukit tanpa mempedulikan serbuan air yang menerjang tubuhnya.
Ia harus bergegas, karena jika ia berdiam diri terlalu lama akan membuatnya terkena hipotermia. Terlebih tanah di sekelilingnya bisa saja mengalami longsor.
Beruntung jaket yang dikenakan oleh Luan bisa dijadikan sebagai jas hujan karena tahan terhadap air. Karena berhenti ditengah-tengah hujan deras dan mengacak-acak isi tas hanya untuk mencari jas hujan cukup merepotkan.
“Kenapa lokasi perkemahannya jauh sekali?” Luan mulai mengeluh karena ia sudah berjalan selama kurang lebih satu jam namun ia tak kunjung menemukan tempat yang menjadi lokasi dari perkemahan sekolahnya. Terlebih hujannya tidak ada tanda-tanda reda sejak tadi. Ia harus bergegas atau ia bisa pingsan karena kehabisan tenaga.
Dikarenakan air hujan yang turun sangat deras, Luan tidak bisa melihat jalan dengan baik. Terlebih staminanya sudah menurun akibat menerjang air hujan ini dalam waktu yang lama. Hal itu menyebabkan ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya terpelest jatuh dari atas tebing.
Srakk...
“(Gawat!!) Waaaa...!!!!”
Untung saja tebing itu tidaklah curam sehingga Luan tidak terjatuh ke bawah secara langsung. Meski begitu, ia harus rela terperosok dan berguling beberapa kali hingga akhirnya ia berhasil mendarat dengan aman meski dengan tubuh yang dipenuhi luka.
Brakk...
“Aduh...duh...duh, sakit sekali.” Luan mencoba berdiri dengan berpegangan pada dinding yang ada di sampingnya.
“Woa!...” ketika tangannya mencoba meraba dinding di dekatnya, ia tidak menyentuh apapun dan membuatnya kembali terjatuh untuk kedua kalinya.
“Jatuh dua kali secara berturut-turut, semoga tidak ada yang ketiga.” Luan mencoba bangun sekali lagi, kemudian memeriksa lingkungan di sekitarnya.
“Tapi aku tidak menyangka ada sebuah gua yang tersembunyi di sini.” Ia tidak menyadari ada gua didekatnya karena gua tersebut tertutupi oleh tanaman rambat yang sangat lebat.
Yah, setidaknya ia bisa menemukan sebuah tempat untuk menghangatkan diri dan memulihkan stamina. Sehingga Luan memutuskan untuk beristirahat sebentar di dalam gua tersebut hingga hujan reda.
Gua yang Luan temukan sangat kecil, namun terlalu besar jika disebut sebagai lubang. Tanpa berpikir panjang, Luan berjalan masuk ke dalam gua tersebut dan berencana menyalakan api unggun. Ia sudah tidak tahan dengan hawa dingin yang ia rasakan, terlebih ia harus merawat luka yang ia terima ketika jatuh.
Luan terus berjalan sambil menyoroti gua tersebut dengan senter yang ia bawa. Ia kesulitan untuk melihat dan berjalan karena keadaannya yang sangat gelap. Ia berjalan sambil mencari tempat yang menurutnya cukup nyaman untuk beristirahat dan menyalakan api unggun.
Tak disangka ternyata gua ini tidak terlalu dalam. Ketika Luan sampai di ujung gua tersebut, ia merasakan sesuatu yang aneh pada pijakannya. Keras, tidak seperti tanah yang becek karena air hujan.
Anehnya, ia juga tidak merasakan sesuatu yang mengganjal seperti bebatuan atau semacamnya. Permukaannya sangat rata, bahkan lebih rata dari jalan pegunungan yang dilalui oleh Luan tadi. Karena penasaran, Luan kemudian mengarahkan senternya ke bawah untuk memastikan.
“Eh, apa ini?” Ia terkejut karena menemukan sesuatu yang menurutnya luar biasa. Sebuah lantai batu dengan ukiran yang membentuk sebuah pola melingkar. Terlebih lagi ia kini berada di tengah-tengah ukiran tersebut.
“Luar biasa, apakah ini semacam peninggalan bersejarah?” Luan merasa sangat takjub atas apa yang ia temukan ini, bahkan rasa takjubnya mengalahkan rasa dingin dan sakit yang ada di tubuhnya.
Saking takjubnya, ia tidak menyadari ada darah yang mengalir di tangannya. Darah tersebut berasal dari lukanya. Itu terus mengalir hingga menetes jatuh ke lantai gua. Namun itu tak sampai disitu saja. Darah yang menetes itu terserap kedalam lantai tersebut tanpa ada bekasnya.
Kemudian secara tiba-tiba lantai tersebut mengeluarkan cahaya yang membuat Luan terkejut. “Eh… ada apa ini?” Belum selesai dengan keterkejutannya, gua tempat Luan berada tiba-tiba bergetar.
“Gempa?!! Gawat, aku harus segera keluaaAAAAA.... YANG BENAR SAJAAA....!!!” Tanpa diberi waktu untuk bereaksi, lantai di bawah Luan tiba-tiba runtuh dan membuatnya ikut terjatuh untuk yang ketiga kalinya.
Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ada yang tahu apa yang terjadi atau bagaimana hal itu bisa terjadi. Lantai yang tadinya runtuh, kini kembali ke utuh namun tidak terdapat pola ukiran seperti tadi. Bahkan bentuknya sudah tidak rata lagi, seperti halnya lantai gua pada umumnya.
...***...
Sementara itu di suatu tempat yang sangat jauh dari bumi, ada sebuah cahaya terang yang bersinar di hutan pada malam hari. Semua orang yang melihatnya tercengang dengan hal itu. Namun seolah hal tersebut sudah biasa, mereka kembali beraktivitas dan mengabaikan hal tersebut.
Namun, cahaya tersebut bukanlah cahaya biasa. Hanya orang dengan kemampuan khusus yang menyadari ada gejolak pada ruang di sekitar cahaya tersebut. Salah satunya adalah seorang pria dewasa yang berada di sebuah di dekat dengan tempat kejadian.
“Apa yang terjadi di sana?” Ucapnya yang sedang berdiri di tengah jalan sambil mengunyah makanan.
Saat sebuah cahaya bagaikan pilar muncul di suatu tempat yang sangat jauh dari bumi. Beberapa orang menyadari kalau itu bukanlah cahaya biasa. Dalam cahaya tersebut, terdapat sebuah gejolak ruang yang sangat jarang terjadi. Dan hal itu tidak hanya berdampak pada daerah di sekitarnya. Namun juga pada tempat lain di seluruh dunia.
Langit tiba - tiba menjadi mendung disertai guntur. Bahkan beberapa tempat ada yang mengalami badai. Di suatu kerajaan terdekat...
"Lapor komandan! sepertinya badai di tempat ini bukan hal yang wajar." Lapor seorang prajurit kepada atasannya.
"Sudah kuduga, apakah ini merupakan suatu pertanda buruk." Gumam komandan tersebut.
Di sebuah tempat ibadah, salah seorang pemimpin agama sedang memandang langit disertai beberapa pengikutnya.
"Wahai dewa... tolong berikan berkahmu..." Ucap pemimpin agama tersebut.
"Tuan Odigos, apa yang sebenarnya sedang terjadi?" Tanya salah seorang pengikutnya.
"Sepertinya, dunia akan mengalami gejolak besar yang akan menjadi bencana besar. Yang bisa kita lakukan, hanyalah berdoa. Maukah kalian melakukannya bersamaku?" Ajak Odigos tersebut.
""Baik"" Jawab semua pengikutnya.
"Oh, wahai dewa... berikanlah berkahmu demi keselamatan dunia ini."
Seorang ratu yang sedang berdiri di beranda istana, mengamati anomali cuaca di depannya. Ia memandang jauh sambil mengingat kenangan buruk yang sudah lama terjadi.
"Sudah waktunya, ya?"
Tanpa orang - orang sadari, pilar cahaya yang bersinar tinggi, serta anomali cuaca yang tak biasa tersebut merupakan sebuah pertanda yang akan menjadi takdir bagi dunia ini. Semua keanehan tersebut hanya terjadi dalam semalam. Dan di tengah kekacauan itu, seorang laki - laki berambut hitam muncul bersamaan dengan hilangnya cahaya tersebut.
...***...
Di kedalaman hutan yang cukup lebat, ada seorang pemuda yang tergeletak ta sadarkan diri di dekat kaki bukit. Sinar matahari yang menyusup melalui dedaunan serta bunyi kicauan burung berhasil mengusik kedamaian pemuda tersebut. Ia membuka matanya perlahan sembari mengumpulkan kesadarannya kembali.
Pemuda tersebut ialah Luan, seorang siswa sekolah tingkat atas tahun kedua yang dengan sialnya tersesat saat berkemah dan terjatuh dari atas tebing. Ia mengambil posisi duduk kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Dimana aku...??” Ucapnya yang merasa asing dengan tempat ia berada sekarang.
Kalau tidak salah, aku sedang dalam perjalanan berkemah... kemudian terjatuh... lalu ada gua.... Ia mengingat kembali kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. Ketika ia menemukan sebuah ukiran di dalam gua kemudian terjatuh ke dalam sebuah cahaya yang berasal dari ukiran tersebut.
*Tapi kenapa aku ada di tengah hutan? Apa mungkin itu semua hanyalah mimpi*? Mengingat kejadian yang sangat tidak masuk akal tersebut, tidak heran Luan mengira hal itu adalah mimpi. Terlebih ia kini berada di sebuah kaki bukit, sehingga ia berspekulasi bahwa setelah jatuh dari tebing tersebut ia pingsan tak sadarkan diri.
Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan pagi. “Gawat!!! Aku sudah pingsan selama satu hari, aku harus segera kembali atau aku akan menyusahkan semua orang.” Luan segera berdiri dan langsung bergegas menuju lokasi perkemahannya. Namun, ia merasakan ada yang aneh pada tubuhnya ketika ia bangun.
“Tunggu dulu....” Luan mencoba menggerakkan tangan dan kakinya serta beberapa gerakan lainnya untuk memastikan sesuatu. “Kenapa tubuhku terasa sehat? Sangat sehat malah... bukannya waktu itu aku terluka cukup banyak? Bahkan jaketku saja sobek.”
Luan merasa aneh dengan hal itu semua. Tapi hal itu biar ia urus nanti, sekarang yang penting adalah mencapai lokasi perkemahan dengan cepat dan selamat. Ia dengan cepat mengambil sebuah baju dari ranselnya dan memakainya. Kemudian berlari dengan kekuatan penuh.
Ia terus berlari menaiki lereng bukit yang bisa terbilang cukup landai. Wajahnya menjadi cerah ketika melihat sebuah tempat yang mirip seperti jalan setapak. Ia dengan semangat menuju tempat tersebut.
“Akhirnya sampai... hah... hah... sekarang tinggal jalan lurus kemudian aku bisa sampai ke lokasi dengan aman.” Napasnya terengah-engah ketika mencapai tempat tersebut. Namun raut wajah senangnya memburuk ketika melihat sebuah pemandangan yang ada di depannya.
“Ini... bohong, kan?” Yang ada di depannya bukanlah daerah perkotaan yang seharusnya terlihat dari bukit ini. Melainkan sebuah hamparan hutan yang sangat luas. Bukan hanya itu, hal janggal lain yang ia lihat ialah adanya beberapa tanah yang mirip sebuah pulau melayang di udara.
“Dimana sebenarnya aku...?!!” Ucapnya yang merasa panik setelah melihat hal yang sangat tak masuk akal di depannya.
“Tidak... tenanglah dulu diriku, mari kita berpikir sejenak.”
Awalnya aku terjatuh dari tebing, seingatku aku terjatuh lagi dan menemukan gua, kemudian terjatuh lagi ke dalam sebuah ukiran lantai yang aneh. Tapi aku terbangun di tengah hutan, awalnya aku berpikir bahwa kejadian ketika aku memasuki gua adalah mimpi. Itu berarti ada dua kemungkinan, yang pertama adalah...
“Aku masih tertidur dan belum sadar, sehingga semua yang kulihat mulai dari aku memasuki gua hingga sekarang adalah mimpi. Tidak salah lagi, lagipula saat itu aku masih terluka dan tidak mungkin bisa sembuh secepat ini tanpa bekas.”
Tapi dalam hati Luan masih terdapat keraguan. Untuk membuktikan dugaannya, ia berpindah ke tempat lain. “Banyak orang yang sering bangun setelah mereka jatuh dalam mimpinya, aku juga pernah mengalaminya.”
Ia berjalan ke pinggiran tebing untuk mencoba teori tersebut. Untuk berjaga-jaga, ia memilih tempat agar bisa terjatuh dengan aman. “Baiklah, ini dia saatnya dirimu bangun Luan.” Setelah batinnya siap, ia langsung menjatuhkan diri tanpa ragu sedikit pun.
Ia terjatuh dengan posisi yang sama ketika ia jatuh dari bukit perkemahan dulu. Tubuhnya terus terjatuh berguling - guling dan terperosok hingga tiba di kaki bukit. Setelah berhenti dengan selamat, Luan membuka matanya berharap ia berada di tempat yang berbeda.
Tapi...
“Aku belum bangun? Apa mungkin kepalaku terbentur sesuatu yang cukup keras sehingga butuh waktu untuk sadar?” Luan menghela napas karena masih belum bisa memahami situasi yang kini ia alami. Padahal dari lubuk hatinya yang terdalam ia sudah tahu tentang kenyataan yang dialaminya.
“Sebaiknya aku menunggu saja sampai aku benar-benar bangun. Mau pergi juga aku kurang tahu tempat apa yang kuimpikan sekarang.”
Seraya menunggu ia duduk bersila sambil mengobati luka-lukanya dan memakan camilan yang ia bawa. Kalau bisa aku tidak ingin mempercayai kemungkinan kedua. Batinnya sambil memakan keripik kentang di tengah hutan.
Beberapa saat kemudian....
Luan masih diam di sana sambil mengisi buku teka-teki silang yang ia bawa. “Salah satu hewan langka sembilan kotak diawali huruf E....”
Beberapa saat lagi setelahnya....
“Hmm... bagus!! Akhirnya selesai, kau hari ini juga cantik sekali Rem-chan.” Ucapnya memuji hasil sketsa dari salah satu karakter animasi favoritnya yang ia lukis.
Dan setelah beberapa lama lagi kemudian....
Luan kini duduk bersila dengan muka yang tertekuk. Ia menyilangkan tangannya di dada dan menghela napas. “Huhh... bosan juga menunggu mimpi ini berakhir.” Setelah beberapa hal yang ia lakukan tadi, Luan mulai merasa bosan. “Memang terkadang mimpi itu bisa sangat lama dan sangat sebentar, jadi aku harus sabar menunggu.”
Srekk... srekk...
“?!!”
Sebuah bunyi semak-semak yang ia dengar membuatnya terjaga. Ia menoleh ke arah bunyi itu berasal. Sebisa mungkin ia tetap tenang dan fokus, karena ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di tengah hutan belantara ini.
Ia mendekat secara perlahan untuk memastikan suara apa yang ia dengar tadi. ‘
Semoga saja bukan beruang. Kalaupun ini memang benar-benar dunia mimpi, Luan tetap tidak mau mengambil resiko.
Syuu... sleb!
“Aaarrggghh!!!”
Sebuah anak panah melesat dan menancap di lengan kiri Luan. Ia benar-benar merasa kesakitan, hal itu itu nyata dan bukanlah ilusi atau semacamnya. Sial, ini sakit sekali... Di dunia mimpi... rasa sakit seperti ini... tidak mungkin ada.
Ia melihat ke sekelilingnya, ada banyak sekali makhluk kerdil buruk rupa menjijikkan yang bentuknya mirip manusia. Yang ia herankan adalah kenyataan bahwa mereka membawa berbagai senjata tajam dan bisa menggunakannya.
“Makhluk apa-apaan mereka?!” Tubuh Luan gemetar ketakutan melihat makhluk itu. Terlebih setelah merasakan sakit yang luar biasa. Jika ini bukan mimpi, ia pasti akan mati sungguhan. Mereka tersenyum dengan menjijikkan seolah menertawakan Luan yang tak berdaya melawan mereka.
“!!!”
Tubuh Luan mendadak lemas dan kesakitan. Ia melirik bahunya yang masih tertancap anak panah. Disana mengalir sebuah cairan berwarna hijau pucat. Apa ini?? Racun?! Tubuhnya kehilangan keseimbangan untuk terus berdiri sehingga ia jatuh tersungkur. Rasa sakit semakin terasa di tubuhnya, matanya semakin sulit untuk mempertahankan kesadaran.
Salah satu dari mereka melompat hendak menebasnya, namun Luan hanya bisa pasrah membiarkannya. Perlahan ia menutup matanya, hingga sebuah teriakan terdengar.
“41r bl4d3....!!”
Secara megejutkan makhluk kerdil yang hendak menyerangnya tiba-tiba terpotong menjadi beberapa bagian. Seseorang muncul dan menolongnya dari makhluk itu. “Sia...pa?” tak kuasa menahan kesadarannya lebih lama, Luan pun akhirnya pingsan di tempat.
“Mmhh...” Kesadaran Luan sudah mulai kembali, ia perlahan membuka matanya dan mendapati dirinya masih berada di tengah hutan. Oh iya, aku saat itu pingsan, Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati ia bersama orang tak dikenal. Seorang pria dan wanita duduk tak jauh darinya.
“0h k4u 5ud4h b4n9un, 4p4 k4U b41k-b41k s4j4?” Wanita tersebut langsung menghampiri Luan saat melihatnya membuka mata. Ia terlihat seperti mengatakan sesuatu, namun Luan tak paham apa yang ia katakan.
“m4k4nl4h, 1ni 4k4n m3mbU4tMu l3b1h b41k.” Pria tadi memberikan sebuah sup hangat kepada Luan. Ia paham dari gestur tubuhnya, tapi tetap saja ia tak mengerti apa yang mereka katakan.
Bahasa asing? Aku sama sekali tidak bisa memahaminya. “Arrgghhh...!!” Secara tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalanya. Rasanya seperti ada sesuatu yang masuk dalam jumlah besar. Dua orang yang ada di tempat itu tentu saja panik dengan apa yang terjadi.
“H31 h31, 4da apa?” Tanya si pria
“Kau baik-baik saja?” Tanya si wanita
Mereka bertiga bertanya kepada Luan yang tampak sangat kesakitan saat ia sudah agak tenang. “I-iya, aku baik-baik saja?” Eh, aku paham bahasa mereka? Kagetnya yang tanpa sadar bisa mengartikan serta mengucapkan bahasa mereka.
“Oh syukurlah, kukira masih ada racun yang tersisa di tubuhmu.” Ujar si perempuan.
Kejadian beberapa saat lalu kembali terlintas dalam benak Luan. Teknik itu.... monster itu.... pemandangan yang kulihat dari atas bukit.... dan rasa sakit yang sangat nyata, tidak salah lagi sekarang aku berada di dunia lain. Raut wajah Luan memburuk karena dengan berat hati ia harus menerima kenyataan bahwa kini ia sudah tidak lagi ada di dunianya.
“Makanlah dulu sup ini agar kau tenang.” Si pria menawarkan supnya lagi untuk menenangkan Luan dan diterima dengan senang hati.
Luan menyendokkan sup tersebut ke dalam mulutnya dan merasakan tubuhnya sudah lebih baik. “Sudah lebih tenang?” Tanya si perempuan.
“Iya, terimakasih banyak... maaf sebelumnya, tapi siapa kalian?”
“Oh iya, perkenalkan namaku Vina dan dia adalah Ben. Kami melihatmu diserang para goblin, jadi kami datang untuk menyelamatkanmu. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” Agar suasananya lebih santai, Vina memperkenalkan dirinya dan Ben kepada Luan.
Mereka terlihat dewasa, Luan memperkirakan umur mereka hampir 40 tahun. Pria bernama Ben itu mengenakan sebilah pedang yang cukup besar di punggung, Sementara Vina sendiri membawa sebuah buku dan tongkat kecil di pinggangnya.
“Namaku... Luan” Ucap Luan yang berusaha membiasakan diri dengan bahasa mereka.
“Luan ya, aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Dimana asalmu?” Tanya Ben.
“Aku... tidak tahu...” Jawab Luan seakan mencoba mengingat sesuatu.
“Apa maksudmu?” Terlihat Ben maupun Vina kebingungan dengan jawaban Luan. “Kalau kau tidak tahu darimana asalmu, kenapa kau bisa di hutan ini?” Ben bertanya kembali.
“Aku tidak tahu.” Jawab Luan lagi.
Ben semakin bingung dengan apa yang dikatakan Luan. Kenapa anak ini bisa tidak mengetahui apapun? Begitulah pikirnya. Kemudian Vina mengambil alih perbincangan agar bisa lebih memahami situasi. “Emm Luan, bisa kau ceritakan kepada kami apa yang terjadi padamu sebelum bertemu dengan kami?”
“Seingatku, aku tiba-tiba terbangun di hutan ini. Aku tidak bisa mengingat apapun selain namaku sendiri. Kemudian segerombolan monster itu menyerangku dan kalian datang menolongku.” Jelas Luan.
“Sebenarnya sebelum aku bertemu kalian, aku jatuh dari bukit itu.”–Luan menunjuk bukit di belakangnya–“Setelah itu aku bangun dan tidak mengetahui apapun selain namaku.”
Ben dan Vina saling berpandangan sebentar sebelum kembali menatap Luan. “Apa itu artinya kau hilang ingatan?” Tanya Vina memastikan kondisinya.
“Entahlah, mungkin memang seperti itu.” Jawabnya menundukkan kepala seakan sedih dan kebingungan. Mendengar perkataan dari Luan, membuat Vina dan Ben saling berpandangan sebentar. Mereka merasa kasihan terhadap nasib yang dialami oleh Luan.
Luan sebenarnya berbohong, ia tidak bisa mengatakan keadaannya yang sebenarnya begitu saja kepada mereka. Meskipun mereka telah menolongnya, bukan berarti mereka bisa dipercaya sepenuhnya. Ia bisa merasakan emosi mereka, saat ini ia tengah dicurigai. Karena itulah ia harus waspada.
Mereka juga mungkin tidak akan mempercayai jika Luan bukan berasal dari dunia ini. Karena itulah, ia menutupi kebenarannya dengan membuat mereka berpikir kalau dirinya hilang ingatan. Dengan begitu, ia bisa mengumpulkan informasi terkait dunia ini.
“Untuk sekarang, bagaimana kalau kita kembali ke desa dulu. Mampirlah ke rumah kami, nanti kita bicarakan di sana.” Ajak Ben ke rumah mereka.
“Eh, apa boleh?” Luan merasa tidak enak apabila merepotkan orang yang telah menolongnya lebih dari ini.
“Tentu saja, lagipula sebentar lagi akan malam, apa badanmu bisa digerakkan?” Ben mengulurkan tangannya berniat membantu Luan berdiri.
“Iya, terimakasih banyak.” Meskipun merasa tidak enak, ia harus mendapatkan informasi agar bisa bertahan hidu di dunia ini. Jadi pilihan terbaik saat ini adalah mengikuti mereka. Kini mereka bertiga dalam berjalan menuju rumah Vina dan Ben yang berada di sebuah desa.
...***...
Selama perjalanan, Luan sedikit bertanya-tanya kepada mereka berdua. Desa yang akan mereka tuju bernama Desa Prista. Letaknya berada di bagian barat Kerajaan Westhornia. Dari sini Luan paham kalau negeri ini menggunakan sistem monarki sebagai sistem pemerintahannya.
Ia juga diberi tahu kalau Ben dan Vina ini ternyata adalah sepasang suami istri. Mereka mendirikan toko ramuan di Desa Prista. Tak lama kemudian mereka bertiga akhirnya sampai di Desa. Meski Luan sudah memperkirakan kalau zaman dari dunia ini berbeda dengan dunianya, tetap saja ia sangat terkejut saat melihatnya langsung.
Tidak ada listrik, bangunannya kuno, dan kendaraan yang bisa ia temukan hanyalah kereta kuda. Ia jadi bertanya-tanya sebenarnya di zaman apa dirinya berada. Meski begitu, desa ini sangatlah nyaman. Udaranya sungguh asri, suasananya tenang karena tidak terlalu banyak orang yang beraktivitas di saat senja seperti ini.
Sempat ada yang bertanya tentang dirinya kepada Vina dan Ben. Lalu Ben menjawab bahwa dia menolong Luan saat diserang oleh segerombolan goblin. Ben juga menambahkan kalau Luan hilang ingatan akibat terbentur. Orang tersebut percaya begitu saja dan pergi.
Alis Luan terangkat begitu mendengar kata goblin. Selain itu, ada beberapa hal yang membuatnya penasaran. Salah satunya adalah lampu yang menerangi jalanan desa ini bukanlah lentera atau obor. Dari mana mereka bisa mendapatkan lampu tanpa listrik, begitu pikirnya.
“Kita sudah sampai.” Ucap Vina.
Dihadapan mereka saat ini ada sebuah rumah sederhana yang tidak berbeda jauh dengan yang lain. Letaknya berada dekat dengan gerbang belakang desa. Sebelumnya mereka memasuki desa lewat gerbang utama yang berada di arah berlawanan.
Ukuran rumahnya sedikit lebih besar karena ketambahan tempat untuk menjual ramuan. Di atasnya terpampang nama dari toko tersebut, Aku tidak bisa membacanya, Batin Luan.
“Nah, ayo masuk ke dalam.” Ajak Ben.
Kemudian Vina membukakan pintu dan mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Saat tiba di dalam, Luan langsung disambut dengan aroma yang asing baginya. Sama seperti yang terlihat di luar, dalamnya juga bisa dibilang biasa. Tapi, Luan bisa langsung merasakan kenyamanan yang ada di rumah itu.
“Baiklah, duduklah dulu aku akan membuatkan minuman.” Ucap Vina meminta mereka berdua untuk duduk.
Luan dan Ben pun duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka berbasa - basi ria sambil menunggu Vina membuatkan minuman. “Maaf kalau tempatnya terlalu sederhana, kuharap kau nyaman.” Ucap Ben yang merendah karena sadar rumahnya tidak mewah.
“Tidak apa, meski begitu aku bisa kerasakan kehangatan dan kedamaian di dalamnya.” Ujar Luan mengatakan yang sebenarnya. Tak lama setelahnya, Vina kembali dengan membawa tiga gelas minuman.
“Kalau begitu cobalah ini, kau akan merasa lebih hangat.” Ucap Vina meletakkan segelas minuman hangat di depan Luan.
“Oh, maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, hanya ini yang bisa kusuguhkan. Minumlah selagi hangat.” Desak Vina agar Luan mau menerimanya.
“Baiklah, kalau begitu akan kuminum.” Luan kemudian meminumnya. Saat minuman tersebut mengalir di tenggorokannya, ia merasa tenang sekali. Rasanya hangat dan dapat membuat beban pikirannya hilang. “Enak sekali.”
“Terimakasih, apa sekarang kau sudah tenang?” Tanya Vina memastikan Luan tenang sebelum memulai perbincangan yang lebih berat.
“Iya, terimakasih banyak.” Ia kembali meletakkan gelas tersebut di meja.
“Sekarang, langsung saja kita bahas, mulai darimana kita?” Tanya Ben mengawali pembahasan.
“Iya, pertama-tama tolong beritahu aku, dunia apa ini?”
“Dari sana? Sejauh apa ingatanmu itu hilang?Tapi baiklah, nama dunia ini adalah... Verden.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!