Sebuah dunia yang berbeda. Di mana manusia normal tak melihat akan hal-hal seperti itu. Makhluk astral dan semacamnya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa mengetahui keberadaan mereka. Di mana mereka. Tempat tinggal mereka. Dan bebagai hal apapun tentang mereka. Tak sedikit yang tahu, jika mereka itu ada..
“Papa, itu siapa?” tanya gadis kecil mata biru laut dan berusia empat tahun. Jari telunjuk kecilnya menunjuk sebuah kardus yang cukup besar, yang berada di sebelah tiang listrik. Pria tegap berbalut jas kantornya duduk di samping anaknya dan merangkul pinggangnya lembut.
Pandangannya beralih ke arah yang ditunjuk si kecil. Mendapati sosok bocah bermata satu di wajah dan mulut lebar besar di dagunya. Ia tersenyum kecil dan kembali menoleh sang anak. “Dia temanmu,” jawabnya penuh kasih sayang.
Kepala gadis tersebut memiring, mengamati bocah di dalam kardus, terlihat aneh baginya. Masalahnya dia tidak pernah bertemu anak seusianya dengan rupa yang cukup menggelikan. Namun itu tak mengganggunya.
Mendekat, gadis itu mengulurkan tangan, mencoba membantu bocah lain berambut panjang—kira-kira sepahanya—diiringi dengan senyuman manis khasnya.
“Ayo main, kita main sama-sama!” serunya membuat bocah itu heran.
Perlahan tangan mereka menyatu, bergandengan tangan dan berjalan meninggalkan tempat tersebut. Sang ayah mengikutinya dari belakang, mengawasi gerak-gerik bocah yang bersama anak keduanya.
Sesampainya di taman bermain, gadis itu menarik teman barunya dan mengajaknya bermain prosotan. Beberapa orang menatapnya heran, sementara ayahnya duduk dibangku taman dan berbicara dengan beberapa orang. Salah satunya bertanya, “maaf, anak Anda.. gila?”
“Tidak, dia tidak gila. Justru jenius,” jawab ayah anak itu bangga. Tatapan mereka berubah, seakan-akan berkata jika anak dan orang tuanya sama saja, sama-sama gila. Dengan cepat mereka mengajak anak-anak mereka pergi dari taman bermain. Sunyilah sudah tempat itu. Hanya ada ayah, gadis kecil, dan teman baru gadis itu tentunya.
Sedang asik bermain jungkat-jungkit, gadis tersebut melihat sekeliling. Tak ada orang seperti saat dirinya masuk ke area ini. Meminta temannya untuk berhenti, dia mengajak teman barunya mendekati ayahnya.
“Papa, di mana semua orang?” tanyanya polos. Wajah mungilnya membuat sang ayah gemas, ingin mencubit pipi tembemnya. Tapi ini bukan saatnya untuk bermain-main. Hanya menjawab senyuman, mengelus kepala anaknya dan teman baru itu secara bergantian lalu berhenti di kepala anaknya untuk yang kedua kalinya.
“Belum waktunya kamu tahu, anakku sayang.”
...* * *...
Tujuh tahun kemudian. Gadis itu tumbuh menjadi lebih besar, dan lebih luas ilmu pengetahuan tentunya. Namun, teman masa kecilnya yang ia temukan di kardus masih saja menjadi kecil. Temannya bahkan tidak di kenali oleh banyak orang.
Di kelas, gadis itu semakin dijauhi teman-temannya, padahal dia sendiri sudah care terhadap teman-temannya. Sayangnya setiap dia mendekati mereka, selalu saja ada komentar pedas dari mulut orang-orang.
“Dia orang aneh, loh. Jangan dekat-dekat, deh!”
“Aku tidak aneh!” gertaknya tidak terima dengan ucapan mereka. Itu menyakitkan. Salah satunya anak orang kaya dan berpendidikan. Gadis itu diam menatapnya. Keduanya melempar amarah. Membuat onar.
Tangan mereka beradu di kepala. Mengacak-acak setiap helaian kepala hingga kusut bak orang gila dipinggir jalan. Tak perduli ocehan orang lain. Tak perduli benteng yang mencoba memisah mereka. Sama saja. Tidak ada hasilnya alias sia-sia.
Teman gadis itu menarik blazer sekolahnya dan mampu menghentikan pertengkaran yang semakin lama semakin panas. Gadis itu menatapnya tajam, seakan-akan bertanya mengapa dia ikut campur.
“Kenapa? Dia mengejek kita!”
“Bukan kita, tapi kamu.”
“Siapa?!”
“Kamu yang dianggap aneh, gila, dan tidak waras. Ini semua karena aku.”
“Apa maksudmu?!” gertaknya kesal. Seketika itu juga teman-teman sekolahannya sekaligus guru-guru menahannya agar tidak semakin marah. Mereka menarik gadis itu dan memintanya untuk diam, duduk di kursi bangkunya. Sayangnya tidak berhasil. Gadis tersebut berteriak seperti sedang kesurupan.
Meminta orang-orang untuk menyingkir dari hadapannya karena dia ada masalah dengan sahabat kecilnya. Mendorong beberapa badan dan akhirnya berhasil menggapai tangan pucat bak mayat dalam peti mati. Keduanya meninggalkan tempat itu, meninggalkan berbagai pertanyaan.
Tak jauh dari sana, sampailah mereka di belakang gedung sekolah bertingkat 3 tersebut. Gadis itu menatap tajam sahabatnya. “Aku membelamu! Tapi kenapa malah dihentikan?! Aku tidak terima sahabatku dijelek-jelekkan seperti itu!” serunya tinggi, tidak perduli dengan sahabatnya yang menatap penuh harapan.
Dia meluapkan seluruh emosinya. Gemetar, mengatakan semua uneg-uneg yang dipendam selama ini. Bagaimana rasanya diejek, sahabatnya dijelek-jelekkan seperti itu, hingga rasa menyakitkan bak disengat lebah saat sahabatnya sendiri tidak mau dibantu apalagi dibela olehnya.
Kejadian itu dipertontonkan kepada seluruh siswa yang menyaksikannya. Beberapa dari mereka tertawa terbahak-bahak. Perhatiannya teralihkan. Pandangannya menyebar ke penjuru taman belakang sekolah itu. Ramai. Berbeda dengan saat dia pertama di sini. Dia heran, mengapa ditertawakan?
“Apa yang lucu?!” tanyanya bernada tinggi dengan kedua tangan mengepal hebat. “Haha, gila! Berbicara sendiri!” ledek mereka bergantian. Bahkan tak jarang ada yang menatapnya seperti melihat kecoa. Gadis tersebut memerah telinganya. “Apa maksud kalian?! Aku berbicara dengan dia!” tunjuknya kepada sahabatnya.
Apa yang di dapat? Tawa mereka semakin keras. Semakin lama banyak komentar yang lebih pedas. Mengatainya bodoh, tidak tahu malu, kekanak-kanakan, dan apalah sebagainya. Tapi seorang anak laki-laki dikelasnya mendekatinya, memberikan senyum dingin.
“Yang kau ajak bicara itu.. Sudah mati.”
Duarrr!! Bagaikan bumerang menimpanya. Gadis itu tercenga dengan apa yang dikatakan temannya. Ia bertanya, dari isyarat matanya. Dan dijawab dengan anggukan pelan namun menyakinkan. Segera menoleh ke arah sahabatnya.
“Ya, aku sudah mati. Maafkan aku,” jelas sahabatnya penuh penyesalan.
Hanya diam, yang bisa dilakukan hanyalah diam. Menunggu dirinya bangun dari mimpi buruk. Tapi apa daya, itu semua kenyataan. Tanpa disadarinya, di sekelilingnya bukan hanya ada manusia, melainkan makhluk astral. Memalukan, dia sama sekali tidak menyadari perbedaan.
Tanpa mengucapakan sepatah katapun, dia berlari pulang, meninggalkan gedung sekolah yang sudah didiaminya selama 4 tahun ini, tepatnya dirinya sekarang kelas 4 sekolah dasar. Sahabatnya menatap punggung gadis tersebut yang semakin lama hilang. Setelah itu menoleh ke lelaki yang menyelamatkan sahabatnya sekaligus dirinya sendiri.
“Terima kasih sudah berterus terang. Itu sulit untukku. Dia sahabat terbaikku,” ucapnya tersenyum tipis.
Lelaki itu mengangguk kecil. “Aku tidak mau melihat hubungan persahabatan yang penuh kebohongan. Terutama kebohongan fatalmu,” jawab lelaki itu santai. Ia mendekap tubuhnya karena dinginnya udara di pagi hari.
Hantu gadis kecil itu menyampirkan rambut panjangnya di depan, mengelus-elusnya dan merapikan poni depannya. Poni yang pernah di potong sahabatnya sendiri karena manusia ingin menjadi lebih trendy. Kedua matanya berkaca-kaca, membendung air asin di pelupuk mata.
“Aku tahu. Aku akan menghilang setelah mengucapkan selamat tinggal.”
“Aku tidak perduli. Tapi.. semoga bahagia di sana.”
“Terimakasih.”
Meneteslah sudah air mata sang hantu. Menghilang seketika dalam cahaya terang yang menyilaukan mata. Selamat tinggal, itulah dua kata yang akan diberikan kepada sahabat tercintanya. Yang selalu menghiasi hari-harinya selama ini.
...* * * * *...
HAI! Terima kasih sudah membaca ceritaku~
Sebenarnya ini cerita yang aku buat waktu sekolah dan akhirnya aku putuskan untuk mengunggahnya di NovelToon kesayanganku ini~ Mohon dukungannya, ya!! 💕💕
Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke rumah bergaya Jepang tradisional. Batas berasal dari kayu yang menjulang tinggi menutupi rumah besar tersebut. Pohon rindang berdiri kokoh di belakang rumah karena akar-akarnya yang menancap kuat ditanah.
“Papa! Papa!” teriakan kecil gadis yang berlari dari sekolahannya. Memasuki lingkungan rumah ala zaman kuno, mendekati lelaki berpostur tinggi gagah yang baru saja keluar dari pintu geser yang terbuat dari kayu. Gadis tersebut mendekapnya, menangis.
Sang ayah tidak mengerti harus berbuat apa. Ibunya keluar dari lorong berlantai kayu, menimbulkan suara duk.. duk.. duk.. berulang-ulang.
“Papa.. Kenapa?” tanyanya disela-sela isak tangisnya. Ayahnya menggendong tubuh mungil didekapannya, membawanya ke ruang tamu yang berada tak jauh dari sana.
Di dalam ruang tamu, mereka duduk di sana. Si gadis berambut sepundak itu menangis dalam dekapan ayahnya. Air matanya membasahi yukata—Pakaian tradisional Jepang—ayahnya. Sang ibu meletakkan segelas susu hangat di atas meja dekat keduanya. Tangan kekar ayah meraihnya, meminta anaknya diam dan meminum susu buatan orang tuanya.
Setelah meneguk setengah susu dari gelas, sedikit demi sedikit dia diam. Tidak menangis seperti saat pertama datang. Merasa anaknya sudah tenang, ibunya mengelus kepala gadis tersebut dan mendudukkannya di pangkuan hangat miliknya.
Ayahnya menatap lembut buah hatinya yang kedua. Menggenggam kesepuluh jari-jari lentik nan berdaging, mengecupnya dua kali, mencoba lebih membuat anaknya rileks untuk menceritakan apa yang terjadi.
Merasa baikan, dia pun menceritakan semua yang dialaminya di sekolah tadi. Seluruhnya ia ceritakan. Perasaannya, kekesalannya, dan kesedihannya saat mengetahui yang sebenarnya. Yaitu sahabat kesayangannya telah tiada. Bahkan orang yang belum dikenalinya mengetahui status hantu sahabatnya itu. “Kenapa.. Kenapa Aro tidak bercerita?”
“Aro punya alasan tidak memberitahumu, sayangku.”
“Tapi kenapa? Dia tahu kalau itu menyakitiku. Dia menyebalkan. Aku membencinya,” gerutunya tidak jelas. Ibunya memeluk erat tubuh mungil itu. Memintanya agar berhenti berkata yang tidak-tidak. Karena sahabat hantunya, yakni bernama Aro, memang punya alasan tersendiri.
Dari pintu ruang tamu, berdirilah sosok hantu cantik bermata satu, mulut lebar, dan pakaian yukata yang selalu dikenakannya di dalam rumah ini maupun di jalanan. Itu adalah pakaian pertama yang didapat dari gadis kecil yang sedang meratapi kesedihannya, namun tidak sepenuhnya meratapi.
Pandangan gadis tersebut beralih ke arah Aro. Ia melambaikan tangannya, bermaksud mengundangnya untuk bergabung. Perlahan Aro mendekat. Ada rasa was-was di dalam hatinya. Takut nanti tiba-tiba sahabatnya meluapkan emosinya seperti tadi di belakang gedung sekolah.
“A—ada apa?” tanya Aro hati-hati. Tidak menjawab. Gadis itu melepas pelukan ibunya dan duduk di depannya. Tangan kanannya memukul-mukul lantai tak beralas di depannya.
“Duduk di sini.”
Aro duduk di sana. Menatap kedua mata indah sahabatnya. Jari-jari lentik gadis manusia tersebut mengusap-usap pipi Aro, penuh cinta. Pandangan sayu itu, mengingatkan Aro tentang ibu kandungnya yang membuang dirinya saat berusia 4 tahun di sebelah tiang listrik, di mana tempat itu adalah tempat Aro ditemukan sahabatnya.
Tergagap mendapati respon yang berbeda 360 derajat. Tak lama setelah itu, gadis tersebut menurunkan tangannya dan meletakkannya di atas pahanya sendiri. Ia tetap menatap Aro lekat. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanya gadis itu pelan dengan senyum kalemnya.
Mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan sahabatnya. Aro tidak bisa berkutik lagi. Ia harus bisa menghadapi apa yang akan dilontarkan dari bibir mungil sahabatnya. Apapun yang terjadi, apapun itu, dia harus bisa menjawabnya. Tidak perduli apakah itu pertanyaan basa-basi atau tidak penting. Ia tidak mau mengecewakan sahabatnya lagi. Membuat kesalahan yang amat fatal.
Gadis itu menghirup udara panjang, dan menghembuskannya dari mulut disaat matanya terpejam. Perlahan dia membuka matanya.
“Apa alasanmu menyembunyikan semua?” tanyanya lembut. Aro tidak bereaksi. Di belakang sahabatnya, nampak sudah raut wajah cemas dari kedua orang tua sahabat tercintanya.
Dengan tegas, Aro menjawab lengkap.
“Aku menyembunyikannya karena aku takut kamu meninggalkanku. Mengetahui bahwa diriku hantu dan membuangku seperti sampah. Aku tidak mau mendapatkan hal yang sama seperti itu. Maka dari itu, aku menyembunyikannya hingga suatu saat nanti kamu tahu sendiri.”
Aro meneteskan air matanya saat menjelaskan seluruhnya. Cerita mengenai dirinya dibuang sejak kecil. Tidak ada yang perduli dengan kehadirannya di tiang itu. Semua orang tidak perduli saat itu. Kejadian sekitar 40 tahun yang lalu, melukai hatinya. Hingga suatu hari dia meninggal karena kedinginan dan kepanasan berulang-ulang. Berganti setiap tahunnya.
Mendengar cerita Aro, gadis itu memeluknya erat. Ia menangis, lebih kencang dari tangisan Aro sendiri. “Maafkan aku.. Aku tidak tahu soal itu. Maafkan aku,” sesalnya menangis sejadi-jadinya. Aro tersenyum bahagia, ia bisa mengatakannya.
Setelah saling menangis, mereka melepas pelukan. Saling bertatapan. Namun ada yang berbeda. Bagian tubuh bawah Aro transparan. Gadis itu panik, sangat panik. Ia meminta bantuan pada ayah maupun ibunya, tapi tidak ada yang perduli.
“Aro.. Kakimu..”
“Ya, aku tahu itu.”
“Tapi.. Kenapa?”
Aro menahan tangisnya. Ia tersenyum kecut. “Hei.. Dulu saat aku masih hidup, aku menginginkan sahabat yang menemaniku. Aku ingin ada orang yang perduli terhadapku. Sampai aku meninggal, hanya ada 1 orang yang perduli dan menguburku. Dia ayahmu.”
Berhenti bercerita. Gadis itu menangis. Firasat buruk menghampiri pikirannya. Tentang apakah Aro akan pergi. Tapi menurutnya itu tidak mungkin terjadi.
“Hei.. Ayahmu bercerita dengan aku, di mana aku sudah menjadi hantu. Dialah tempatku bercerita. Sampai suatu hari ayahmu mengajakmu. Dia memperkenalkanmu padaku. Aku takut kamu akan takut. Tapi apa yang terjadi? Kamu begitu senang. Dugaanku salah besar. Kamu manis,” lanjut Aro menyeka air matanya yang mengalir di pipi sahabatnya.
“Setelah itu, kamu menganggapku sahabat, dan aku juga. Hei.. Dewa mengabulkan permintaanku. Dia membawakan gadis manis, cantik, lucu, dan menggemaskan untuk menjadi sahabat hantu mengerikan sepertiku. Aku sangat bersyukur.”
“Hentikan.. Hentikan!”
“Hei.. Sekarang aku bahagia, sangat bahagia. Dewa membuat perjanjian padaku. Jika suatu hari permintaanku dikabulkan, aku harus lebih memujanya, yaitu hidup bersamanya.”
“Ku mohon, Aro.. Hentikan itu!”
“Dengarkan ini, manis tersayang. Aku menyayangimu. Jaga dirimu di sini. Berbaiklah pada semuanya. Tersenyumlah, berikan aku senyuman terbaikmu padaku sebelum aku lenyap.”
Gadis itu menangis keras. Semakin lama tubuh Aro menghilang bersamaan dengan butiran-butiran kecil, seperti kunang-kunang. Ia gelagapan. Namun Aro tidak perduli. Aro terus memberikan tatapan meminta agar dirinya tersenyum untuknya. Gadis itu tahu, jika dia mengabulkannya, Aro akan pergi. Tapi jika tidak, Aro akan sedih.
Ia pun memilih pilihan, yaitu membuat Aro bahagia. Memberikan senyuman tulusnya. Tatapannya mengisyaratkan bahwa dia akan menjaga diri selagi Aro tidak ada, untuk selamanya.
“Terima kasih, terima kasih banyak.. Aku.. Sangat bahagia,” ucap Aro tersenyum senang, menitihkan air matanya.
Perlahan dia menghilang terbawa angin. Gadis tersebut berteriak, memanggil-manggil namanya. Memintanya supaya tidak pergi.
“Aro! Ku mohon jangan tinggalkan aku!” teriaknya menatap Aro yang bersatu dengan alam. Dua kata yang terucap dari bibir Aro.
“Selamat tinggal.”
Aro.. Benar-benar lenyap, tak tersisa sedikitpun darinya. Mengejutkan. Gadis itu menatap tempat di mana Aro berada. Air mata Aro yang tersisa di lantai ia tatap. “Aro.. Kenapa kamu kejam padaku?” gumamnya dengan pandangan kosong.
Sang ayah meraihnya dan mendekapnya dalam-dalam. Telapak tangan kanannya berada di kepala anaknya. Mengucapkan sesuatu dengan pelan, sangat pelan. Anehnya, gadis itu diam. Dan perlahan dia memejamkan mata.
“Maafkan papa. Papa harus menghapus semua ingatanmu tentang Aro dan membuang kemampuanmu. Maafkan papa dan mama, Uno.”
...* * * * *...
“Ayaka! Dibelakangmu!”
Seorang gadis baru saja memperingati teman sekelasnya yang sedang membersihkan gudang olahraga sebagai hukumannya karena membuat onar dikelas sebelah. Jari telunjuk gadis tersebut menunjuk-nunjuk ke arah belakang temannya, namun setelah ditoleh tak ada apa-apa.
“Apa maksudmu, Uno?” tanya temannya yang dipanggil Ayaka dengan dahi mengrenyit heran. Tak biasanya tetangga di komplek perumahannya seperti ini. Dan juga sejak tadi gadis itu tak melakukan sesuatu—seperti mengepel, membereskan bola-bola basket—melainkan hanya diam dibelakang Ayaka.
Gadis bernama lengkap Setogawa Uno itu menjerit tak karuan. Kedua tangannya menutupi matanya dan dirinya meringkuk ke lantai dingin, membuat murid-murid yang sedang berolahraga di gedung olahraga ini terkejut. Mereka berhamburan mendekati Uno.
“Setogawa? Ada apa?” guru pembimbing kelas lain mendekati Uno. Bukannya menjawab, justru Uno semakin berteriak dan menunjuk belakang guru tersebut, membuat beberapa murid kesal dan akhirnya meninggalkannya. Tak lupa Uno dipanggil 'Orang Gila'.
Terpaksa guru itu meminta anak didiknya untuk berolahraga sendiri karena dirinya harus membawa Uno ke UKS. Di belakang mereka ada satu murid yang mengikutinya. “Ah, kamu. Bisa antarkan Setogawa ke UKS? Tolong ya.”
Setelah itu, guru tersebut meninggalkan Uno bersama murid laki-laki berkacamata bulat dengan kaca sedikit kotor akibat debu-debu lorong gedung sekolahan. Terlihat di seragam lelaki tersebut ada nama Tsukidate. Uno menoleh ke belakang, mendapati murid tersebut yang tersenyum tipis padanya.
Tanpa berbasa-basi, Tsukidate berjalan lebih dulu ke ruang UKS, meninggalkan Uno yang sibuk dengan dunia gilanya.
“Eh?! Tsukidate! Tu—tunggu! Jangan tinggalkan aku!”
*** *** ***
Di dalam UKS yang hanya ada kedua murid kelas 2-1, Uno duduk dipinggir kasur putih tipis dengan selimut yang agak kusut, tak lupa bantal warna biru gradasi putih bak langit di hias awan-awan putih bergabung membentuk berbagai hal semisal bayi, gajah, atau lainnya.
Tsukidate menduduki kursi putar warna krim tak jauh dari tempat Uno berada. Ia menghadap ke arah jendela yang saat itu memang mejanya berada di dekat jendela persegi yang cukup lebar, mungkin lebarnya sekitar 1 setengah meter. Pandangannya lurus ke depan, menatap ke jendela.
“Kau.. bisa melihat makhluk halus, ya?” tanya Tsukidate tiba-tiba, dan apa yang didapatnya? Hanya tatapan bingung, takut, dan kaget. Uno sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Dia kira, tak ada yang namanya hantu atau apapun itu.
“Maksudmu hantu? Mana ada," ketus Uno kesal, mencoba menyembunyikan rasa takutnya yang perlahan mengerayahi pikiran. Benda-benda melayang, wajah menyeramkan, darah berceceran, kepala putus, dan sebagainya terlintas di depannya saat Uno memejamkan matanya untuk tidak melihat Tsukidate. Seketika itu juga Uno membuka matanya dan tak berani memejamkannya untuk beberapa saat.
“Lihat, banyak hantu di ruangan ini,” ucap Tsukidate seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh pojok ruangan, begitupun dengan Uno yang belum mengerti dengan kemampuannya. Merinding, Uno merasakannya saat melihat makhluk-makhluk menjijikkan di sekitarnya. Tak jarang ada yang menatapnya penuh nafsu untuk mengganggu.
Uno bergidik ngeri dan meluruskan tatapannya ke Tsukidate, murid laki-laki yang baru diajaknya berbicara. Selama ini Uno bahkan tidak menyadari jika ada murid seperti itu. Wajah yang cool, tampan menawan, berkacamata tipis kotak, dan tentunya nada dinginnya yang menarik perhatian Uno.
Cukup lama dia memandangi paras rupawan murid di depannya. Dan itu membuat sang empu wajah membuang muka, membuat Uno terkejut dan akhirnya hanya bisa menunduk karena malu ketahuan menatapnya.
Tak berbicara apa-apa, Tsukidate beranjak dari kursi berbentuk bulat dan berjalan mendekati Uno. Perlahan kepala Uno terangkat, melihat apa yang akan dilakukan murid tersebut padanya nanti. Dengan datarnya, Tsukidate mengucapkan kalimat yang mengakibatkan Uno harus memasang wajah merah padamnya.
“Setogawa, maukah kau menjadi kekasihku?”
Bagaikan tersengat serangga, Uno menjerit. Namun sigapnya Tsukidate membekap mulut berisiknya. Awalnya Uno memberontak. Tsukidate terus menyuruhnya untuk diam dan tidak bergerak. Sayangnya si Setogawa yang paling cerewet dan susah diatur, membuat kesabaran Tsukidate menipis.
Tsukidate memberikan tatapan tajam, lebih tajam dari ujung katana yang baru diasah atau ujung pisau baru yang siap menyayat daging sapi yang sering ditemukan di pasar. Niat Uno untuk semakin memberontak dan memarahinya nanti pun menjadi ciut bagaikan bayi semut.
Merasa lawannya sudah diam dan tenang, Tsukidate melepas bekapan tanganya dari Uno dan berdiri sedikit menjauh. Ia tersenyum manis sembari menatap kedua mata biru laut milik gadis tersebut. Kacamatanya terlepas setelah tangan kirinya menariknya dari sela-sela daun telinga.
“Aku Tsukidate Akira, siap menjaga Setogawa Uno dari bahaya apapun, sebagai kekasih,” ucap Tsukidate memperkenalkan diri.
Murid lelaki bernama Akira tersebut memberikan hormat pada Uno, yaitu membungkukkan badan 90 derajat, dan beberapa detik kemudian dia kembali tegap untuk menatap Uno yang sedari tadi hanya cengo menyaksikan pernyataan sebagai kekasih pada kedua kalinya.
Setelah sadar dari kebingungan yang membuat otaknya tak beres, Uno menatap tajam Akira. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia beranjak dari pinggir kasur dan mendekati Akira. Berdiri di depan murid berjas cokelat kehitaman yang baru saja di pakainya setelah masuk ke dalam ruang UKS dengan tinggi sekitar 182 sentimeter—Dan Uno harus mendongakkan kepalanya—dengan sangat kesal.
“Jangan paksa aku menjadi kekasihmu! Aku bahkan tidak mengenalmu! Dari mana asalmu selama ini?! Murid-murid tidak pernah melihatmu sebelumnya!” marah Uno menghentak-hentakkan kakinya di lantai marmer putih, mengakibatkan mulusnya lantai tersebut penuh dengan cap sepatu Uno.
Akira diam sebentar sampai Uno tenang. “Bukan masalah untukku jika yang lain tidak bisa melihatku, yang terpenting kau bisa mengetahui di mana aku berada. Itu sudah cukup bagiku,” kata-kata Akira membuat Uno terpaku. Ketajaman matanya perlahan menumpul, dia merenggangkan tangannya. Pandangannya turun ke bawah, tak berani menatap lawan jenisnya lagi.
“Kenapa.. Kenapa kamu bersikeras? Kenapa kamu sangat ingin menjadi kekasihku? Bahkan kamu tidak mengenalku,” tanya Uno lirih. Membalikkan badannya, memunggungi Akira. Telapak tangannya menutupi kedua wajahnya yang memerah.
“Karena aku mencintai Setogawa Uno. Diam-diam aku memperhatikanmu. Cara makanmu yang seperti anak kecil, bicaramu yang tak jelas dan kadang menjadi bahan ejekan, matamu yang mulai melihat hal-hal ghaib. Aku tahu itu, karena aku benar-benar mengerti dan mengenalmu.”
Uno diam, dan diam. Tubuhnya yang menegang perlahan lemas. Ia pun terjatuh. Namun untunglah Akira menahannya dan membawanya ke kursi yang tadi dipakainya. Kali ini Uno tak bisa menyangkal semuanya. Tidak bisa memarahi murid di depannya. Cara Akira menjelaskan benar-benar gila. Bisa mengunci mulut Uno.
Akira mengelus kepala Uno dengan sangat lembut. Gadis pemilik surai pendek cokelat tersebut hanya diam, merasakan kasih sayang yang mengalir dari tangan kiri Tsukidate Akira yang sepertinya sangat mencintainya dan ingin serius. Apa Uno pantas memilih Akira?
“Hei, apa aku terlihat bodoh?” Uno mengangkat pandangannya ke atas, mencoba meraih pandangan Akira yang sepertinya sejak tadi memperhatikan dirinya. Terlihat Akira memiringkan kepalanya heran dengan pertanyaan yang dilontarkan gadis Setogawa di depannya.
Pelan, Akira menggelengkan kepalanya disertai senyum khasnya, yakni senyum kalem. Itu membuat Uno klepek-klepek dan tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan terpesonannya. Bukan karena wajah Akira tanpa kacamata yang sangat tampan, melainkan Uno merasakan perasaan Akira yang mendalam. Ia rasa murid di depannya ingin menjalin hubungan dengannya.
Namun Uno terlalu gengsi untuk menerimanya, walau sebenarnya saat ini ada sedikit rasa suka yang tumbuh di hatinya, masih sedikit kawan-kawan. Dia belum bisa memastikan akan terus menyukai Akira atau membuang bahkan menumbangkan perasaan tersebut.
“Bodoh bagaimana? Aku rasa tidak,” jawab Akira asal. Uno tersenyum, menahan tawanya. Ia menurunkan tangan Akira yang berada di ubun-ubun kepalanya dan kembali mengangkat kepalanya.
“Aku belum selesai, Tsukidate.”
“Apa aku terlihat bodoh.. Jika menolak seseorang sepertimu? Memiliki keteguhan. Tapi aku tidak yakin bisa bersamamu atau tidak. Karena.. Kau tahu.. Aku belum mengerti yang namanya suka. Akan sulit bagimu untuk bersamaku.”
“Tidak, itu tidak sulit. Aku bisa mengajarimu bagaimana rasanya suka dan cinta. Aku tidak akan pernah bosan, Setogawa. Kalaupun aku seperti itu, kamu bisa membenciku. Percayalah, aku bukan lelaki brengsek. Karena ini pertama kalinya aku jatuh cinta,” jelas Akira memberikan kesan yang amat romantis di ruangan UKS penuh dengan makhluk astral yang seperti sedang menonton film aksi bercampur bumbu-bumbu cinta di dalamnya.
Sudah cukup, aku tak tahan lagi. Hati Uno berkecamuk. Ingin marah namun tak pantas. Ingin senang namun belum pasti akan perasaan yang akan diberikan pada Akira. Bingung? Pastinya. Selama 16 tahun ini Uno tidak pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Dan sekarang dia harus berhadapan dengan hal itu?
...* * * * *...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!