NovelToon NovelToon

Lurah Pondokku Calon Suamiku

1. Pertemuan

Sore itu, temanku yang satu kampung datang ke rumahku. Dia berbelanja di warung mamahku. Kebetulan, kami memiliki warung sembako. Walaupun tidak besar, tapi Alhamdulillah warung itu bisa menghidupi kebutuhan keluarga kami. Bahkan berhasil menguliahkan diriku dan juga adik perempuanku satu-satunya di Universitas negeri dan favorit.

Kedua orang tuaku adalah seorang pedagang, orang kampungku bilang, Papahku adalah juragan beras. Selain menjadi juragan beras, seingatku, saat aku masih kecil dahulu, Papahku juga pernah jadi juragan tebu, juragan bawang. Sehingga mendapatkan predikat sebagai orang kaya. walaupun sebenarnya kami hanya keluarga biasa saja. Yang tidak berlebihan tetapi tidak kekurangan. Semua cukup sesuai porsinya.

Mamahku seorang wanita sederhana yang pekerja keras dan sangat handal dalam berbisnis. Koneksi papahku juga luas. Setiap ada pemilihan kepala desa, pasti papahku selalu dicari oleh tim sukses, untuk membantu menggold kan calon mereka. Tetapi Papahku tidak pernah silau dengan jabatan di pemerintahan.

Kebanyakan orang kalau membantu kampanye seperti itu, pasti minta jatah kursi atau balas Budi, tapi Papahku tidak pernah melakukan itu. Papahku adalah orang yang mulia hatinya, dia hanya ingin membantu orang tanpa rasa pamrih. Itulah kehebatan Papahku.

Papahku orang yang sederhana dengan pemikiran yang kolot, dan juga bersifat keras dan galak. Aku bisa dipastikan setiap hari selalu berantem dengan beliau mengingat karakter kami yang sama, sama-sama keras kepala.

Aku juga tidak tahu kenapa, pokoknya ga nyaman aja bawaannya, walaupun sebenarnya kami saling menyayangi dengan cara kami sendiri.

Adikku bernama Rindu. Dia adalah seorang wanita yang supel dan pandai membawa dirinya, dia banyak teman dan banyak koneksi. Berbeda dengan diriku yang cenderung bersifat tertutup dan kalau yang tidak kenal, pasti berpikir kalau aku adalah wanita yang sombong dan tidak suka bergaul dengan masyarakat. Aku lebih suka tidur dan nonton film di hape, daripada sibuk ngerumpi ga jelas bersama tetangga atau teman-temanku.

Sejak aku kecil, tidak ada laki laki yang berani mendekatiku. Karena mereka takut dengan Papahku yang katanya orang kaya dan galak.

Ituulah yang membuat diriku hingga usia dua puluh tahun tapi belum memiliki seorang kekasih ataupun teman lelaki.

Sewaktu aku kecil, Papahku merantau ke Arab Saudi sebagai sopir, demi menyiapkan NASA depan keluarga menjadi lebih baik beliau rela berjauhan dengan keluarga, bahkan kelahiran anaknya saja dia tidak hadir.

Saat itu Papahku menunggu kelahiranku, tapi tak kunjung tiba. Sementara bosnya sudah mendesak beliau untuk segera kembali ke Arab Saudi.

Jadilah anak pertamanya hadir ke dunia ini tanpa kehadiran seorang Papah di sampingnya.

Nenekku bilang, saat papahku di penampungan, bersiap untuk pemberangkatannya, aku lahir ke dunia ini.

Selama semalaman masih juga tak kunjung lahir.

"Nak, ini papah kamu datang, cepat lahir ya nak, kasihan mamahmu sudah semalaman kesakitan. Kami juga sudah rindu untuk memelukmu," ucap nenekku sambil menaruh sarung papahku di perut buncit mamahku yang saat ini masih menahan sakit, akhirnya, seperti ada keajaiban, akhirnya aku lahir ke dunia ini.

Saat aku kelas tiga SD, gantian Mamahku yang merantau ke Arab Saudi sebagai seorang pembantu. Mungkin itulah yang kemudian membentuk karakterku saat ini. Cenderung tertutup dan sulit bergaul. Aku terbiasa hidup sendiri sejak kecil.

Sejak kecil, aku dan Adikku tidak dekat. Karena kehilangan sosok Papah dan Mamah sejak kami kecil. Sejak aku mulai mengingat sesuatu, yang aku ingat hanya sosok Papah yang pemarah dan suka menghukumku. Aku tidak dekat dengan Papahku sejak kecil.

Saat Mamahku pergi ke Arab, Aku tinggal dengan keluarga Nenek dan Kakekku dari pihak Mamah, sementara adikku ikut nenek dari pihak Papahku.

itulah yang menjadi sebab, kami dua bersaudara tapi jauh dan seakan tak ada ikatan persaudaraan. seingatku, kami selalu tidak akur semenjak kecil dahulu.

"Jadi ga besok kembali ke Purwokerto?" tanya temanku sekampung dan juga satu universitas denganku itu, Surya namanya. Dia berhasil membuyarkan lamunanku saat ini.

"Jadilah, memang kenapa?" tanyaku santai

"Aku ikut nebeng ya, biar cepat sampai. Malas kalo harus naik mobil" katanya sambil menatapku.

"Baiklah. Siap-siap saja besok ya. Kita berangkat pagi pagi," dia mengangguk dan kemudian pamit.

"Siapa Nur?" tanya Mamahku saat melihat Aku yang masih berdiam diri di warung.

"Surya Mah, dia mo ikut Aku besok. Mo nebeng katanya," jawabku sambil masuk kamarku.

"Ya sudah, cepat berkemas, biar besok ga terburu-buru." sahut mamahku sambil tersenyum.

Aku segera mencari tasku dan memasukan pakaian, hanya berapa potong saja. Karena aku memang gak lama pulang kampung.

Keesokan harinya, pagi-pagi surga sudah datang ke rumahku, sudah siap dengan tas di punggung.

"Kamu yang nyetir ya, aku ga biasa naik motor ke kota," ucapnya sambil melihat ke arahku yang sedang memakai sepatu.

"Masa lelaki di boncengan perempuan sih Sur? malu dong ah... " protesku sambil cemberut.

"Aku bisa sih naik motor, tapi kalo perjalanan jauh, belum luwes. Kalau kamu kan sudah biasa, PP naik motor. Aku cuma takut, nanti kenapa napa," ucap Surya. Aku sudah selesai memakai sepatuku. Mamahku keluar dan menyerahkan uang bulanan buat bekal hidupku selama sebulan di kota Purwokerto.

Akhirnya kami berangkat, tanpa banyak perbincangan kami pun sampai ke Purwokerto dengan selamat.

"Sur, dimana kostmu?" biar Ku antar sekalian sampe sana," ucapku saat kami memasuki gerbang kota Purwokerto.

"Aku ga ngekos, tapi mondok di pondok pesantren" ucapnya pelan.

"Ya udah, ga papa, dimana pondokmu? Sekalian aku juga mo lihat. Siapa tahu nanti ada minat mo mondok juga, masa kontrak kost ku sudah mo berakhir. Lagi pula, sebentar lagi aku mo wisuda, sayang kalo ambil kontrakan satu tahun," ucapku sambil fokus nyetir.

Walaupun aku perempuan, tapi aku seorang pembalap loh, kalau sudah di motor, pasti bawaannya ngebut. Jarak kotaku ke kota Purwokerto yang biasa ditempuh 4 jam, bisa Ku tempuh hanya 3 jam saja.

Setelah diberi tahukan alamat pondoknya, Aku segera memacu motorku ke alamat yang di maksud. Aku sangat penasaran, pondok seperti apa yang hanya mematok Rp. 20.000 saja perbulan. Kebetulan masa kontrak kost ku sudah mo habis, Aku juga sudah dalam persiapan untuk wisuda, hanya sedang menyelesaikan penelitian dan skripsiku.

Rencana Ku, kali Aku cocok dengan pondok pesantren tersebut, ga ada salahnya, kalau Aku mondok juga.

Saat kami sampai, temanku itu menunjukkan kamarnya yang amat sederhana, hanya dari dinding bambu. Aku lihat banyak santri putra disana, tidak aku lihat satupun santri putri. saat itu Aku terheran.

"Sur, kenapa ga kelihatan santri putri disini?" tanya Ku keheranan.

"Iya, disini memang hanya ada santri putra, kalau Kau nanti jadi mondok disini, Kamu adalah santri putri pertama disini," dia tersenyum padaku.

"Kenalkan ini lurah di pondok ini, namanya Ali. Kenalkan, temanku dari kampung, namanya Nur, " aku hanya tersenyum saja, pada lelaki sederhana itu. ' Lumayan ganteng' bathinku.

Aku hanya tersenyum saat itu. Tanpa mengerti bahwa kelak dia akan menjadi suamiku dan ayah dari anak-anakku.

Dia tampak tersenyum padaku. Aku yang memang cuek hanya sedikit mengangguk saja. Lalu beliau pamitan dengan Surya.

" Terima kasih ya, sudah mo repot nganterin Aku," ucapnya senang.

" Iya sama-sama," lalu Aku pun segera berpamitan dan melajukan sepeda motorku menuju kostku sendiri yang jaraknya aga jauh dari pondok pesantren Surya sekitar setengah jam.

Saat sampai kostku, Aku yang sangat lelah setelah melakukan perjalanan jauh, langsung istirahat. Teman-teman satu kostku datang menyambut kedatanganku dengan senang.

"Aku istirahat dulu ya, cape banget deh,"

"Ya terima kasih oleh-olehnya," Aku hanya tersenyum dan segera masuk ke kamarku.

2. Pindahan

Akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke pondok pesantren temanku yang bernama Surya. Aku senang sekali, kamarku berukuran 4x 4 meter, tapi hanya ditempati olehku sendirian. Karena hanya aku santri putri di sana.

Dengan dibantu teman kost dan beberapa teman kampus ku, Aku akhirnya pindah hari ini. Saat Aku masuk ke kamarku, Aku terkejut karena mendapati sosok lain di sana. Ternyata Aku bukan santri putri pertama disini, tapi yang ke dua.

"Mbak, perkenalan namanya Aini. Asal Purbalingga." Bu Nyai memperkenalkan teman satu kamarku itu. Kami bersalaman,'semoga kami bisa akur ya Allah' bathinku.

" Nur, mahasiswa Fapet semester 7," Aku tersenyum sambil menjabat tangan Aini. Dia gadis cantik bertubuh mungil. Sangat pintar dalam membaca kitab gundul, ternyata dia itu pernah menjabat sebagai ibu lurah di pondok pesantren dia sebelumnya di Purbalingga. Dia ikut kursus di Purwokerto, tapi saya tidak terlalu jelas, kursus apa itu.

"Mari saya bantu beberes barang-barang mba," Aini menawarkan bantuan padaku. Teman-teman yang mengantarkanku untuk pindahan sudah pulang semua. Sekarang hanya tersisa Aku dan Aini.

"Terima kasih ya, sudah di bantuin. Oh ya.. kita mo makan apa nih buat makan malam?" tanyaku.

"Kita beli ayam bakar aja ya, kayanya enak deh."

"Oke deh.. kita sholat dulu yuk, biar nanti tenang makannya," Aini hanya mengannguk lalu keluar bersamaku untuk mengambil air wudhu.

Setelah sholat. Aku minta ijin sama Ibu Nyai untuk pergi keluar sebentar, untuk membeli ayam bakar.

"Ya, hati-hati dijalan. Jangan pulang terlalu malam. Kalau bisa, dimakan di pondok saja." Saran Bu Nyai kala itu.

" Njih Bu, matur suwun," Aini yang menjawab.

Dengan menggunakan motorku, akhirnya kami berboncengan mencari tukang ayam bakar di pinggir jalan.

Purwokerto memang terkenal dengan Ayam penyet, tempe penyet, dan juga banyak makanan angkringan di pinggir jalan yang rasanya enak namun harganya terjangkau untuk ukuran kantong mahasiswa perantau sepertiku dan Aini.

"Aini, kamu betah ga tinggal di pondok?" tanyaku sambil kami menunggu pesanan kami siap.

"Ya, Alhamdulillah. Pak Kiai dan Bu Nyai sangat baik. Saya betah disini," ucapnya pelan sambil tersenyum sumringah, terlihat bahwa dia jujur.

"Semoga kita bisa jadi teman sekamar yang baik ya, " ucap Ku sambil melihatnya. Aini ini gadis yang cantik dengan perawakan mungil. Dia gadis yang periang dan juga ramah.

Di pondok ini, Aini menjadi primadona. Banyak santri putra yang tertarik dengannya. Termasuk Surya, teman sekampungku itu. Yang memperkenalkan pondok pesantren ini kepadaku.

"Kita makan di sini aja ya, enak suasana nya," ucapku, Aini hanya mengangguk.

"Tapi kita makannya harus cepat ya. Takut nanti kemalaman pulangnya. Kan tadi kita cuma ijinnya bentar doang," pesanan Kami datang juga akhirnya. Karena lapar, seharian belum makan dan sibuk dengan pindahkan, makanan sederhana ini terasa sangat nikmat bagiku.

Setelah selesai, kami langsung kembali ke pondok, Aini tampak membuka kitabnya dan mulai belajar. Sementara Aku lebih memilih membuka komputerku dan menyiapkan proposalku untuk memulai penelitianku. Setelah merasa lelah dan mengantuk, Aku mematikan komputerku dan bersiap untuk tidur.

Aini tampak sudah terlelap, Aku menggelar kasurku disampingnya. Tanpa butuh waktu lama, Aku tertidur dengan nyenyak.

Tak terasa, azan shubuh berkumandang, Ku lihat Aini sudah bersiap untuk sholat ke masjid yang ada tepat di depan kamarku. Aku ikut Aini untuk sholat di sana juga.

Saat akan masuk ke masjid, tanpa sengaja Aku berpapasan dengan Pak Lurah pondokku. Dia hanya mengangguk dan Aku balas dengan sedikit tersenyum.

"Ganteng ya mba.. " Aini berbisik padaku.

"Kamu naksir? " tanya Ku padanya.

"Gak lah, yang Aku perhatikan, kayanya Dia tertarik deh sama Mba. Kelihatan dari sorot matanya saat lihatin Nba." Aini tersenyum padaku

"Jangan ngawur Kamu, masa iya, Dia tertarik padaku? Aku ini hanya gadis biasa. Kalau sama Kamu ,baru cocok. Sama-sama pinter dan alim." Aku berkata pelan, karena kwatir ada yang mendengar percakapan Kami.

Setelah sholat shubuh selesai, Kami kembali ke kamar Kami. Aini selalu mengaji bersama Pak Kiai setelah sholat shubuh. Kalau Aku, karena terbilang masih pemula, ga punya kesempatan untuk ngaji langsung bersama Pak Kiai.

Biasanya setelah sholat Maghrib Aku belajar mengaji Alquran bersama Bu Nyai. Beliau sangat baik dan juga sederhana. Berdekatan dengan beliau sangat nyaman dan tidak ada rasa takut atau canggung. Karean beliau walaupun seorang Bu Nyai, tapi gak sombong ataupun galak.

Waktu yang Aku lalui di pondok pesantren terasa menyenangkan, karena teman sekamarku yang baik dan juga bisa bikin Aku nyaman. Aku termasuk orang yang sulit bergaul dan selama Aku kuliah disini, gak banyak teman yang dekat denganku. Hanya beberapa saja.

Saat Aku mau berangkat ke kampus, Aku bertemu lagi dengan Pak Lurah pondok. Dia tampak acuh tapi juga tampak menarik di mataku.

" Mo ke kampus ya? " tanyanya singkat

"Ya Kang," Aku hanya membalas sekilas. Sambil mengeluarkan motorku.

Aku segera berangkat ke kampus, karena kwatir terlambat. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir, yang tengah mempersiapkan tugas akhirku. Kesibukanku adalah mengulang nilai yang belum memuaskan nilainya bagiku.

" Pagi Nur," sapa Nida sahabatku di kampus, dan kebetulan dia ini juga temanku sewaktu di SMP 10 dulu, satu kelas. Yang ajaibnya kami dipertemukan kembali setelah berpisah hampir enam tahun lamanya, tanpa kabar maupun pesan.

Dulu Aku pernah sekolah di sana, tapi hanya satu semester doang, karena Aku harus pindah ke kampungku, karena Aku sakit. Sakit yang tak biasa. Aku sampe pernah koma hampir satu bulan lamanya, sehingga membuat keuangan keluarga jadi berantakan demi kesembuhan diriku.

Orang pintar bilang, Aku mendapatkan gangguan Jin. Waktu SMP dulu Aku suka melamun, di Pondokku dulu, katanya tanahnya bekas kuburan, ada satu makam yang ketinggalan untuk di pindahkan, dan setan itulah yang selalu mengganggu para santri di pondokku yang dahulu.

"Pagi Nid, happy banget nih.. Gimana persiapan penelitian Kamu? sudah siap belum?" tanyaku, kami berjalan beriringan ke kelas. Kebetulan kami ada kelas yang sama,mengulang pelajaran semeter satu yang mendapat nilai D.

" Alhamdulillah semua lancar, gimana dengan Kamu? lancar gak?" Kami duduk di bangku yang berdekatan di kelas. Sambil menunggu dosenku, kami berbincang mengenai proposal penelitian yang tengah kami persiapkan untuk tugas akhir Kami, agar segera wisuda.

"Kamu betah gak di pondok?" tanya Nida sambil menatapku penasaran.

"Alhamdulillah betah banget, Aku punya teman sekamar yang asik dan juga baik," ucapku

"Syukurlah, Aku senang dengernya. Kalau punya teman yang baik, kan jadi ga keganggu. Kamu bisa fokus dengan proposal Kamu, biar nanti Kita bisa wisuda bareng," Kami menyudahi percakapan Kami, karena dosen yang Kami tunggu sudah datang.

Tanpa terasa dua SKS berlalu dengan cepat. Kami pergi ke perpustakaan, karean mau mempersiapkan proposal Kami.

Saat serius membaca buku. Tiba-tiba hapeku berbunyi. Ada panggilan dari laki-laki, yang menjadi sebab Aku memilih tinggal di pondok. Aditya. Dia bilang, orangtuanya berharap punya menantu seorang santri, sehingga memintaku untuk tinggal di pondok. Pada akhirnya permintaan Dia ini kelak akan Dia sesali.

3. Aditya

Aku mengangkat telponku di depan perpustakaan, karena takut mengganggu teman lain yang sedang belajar. "Hallo," sapaku pelan.

"Assalamualaikum Neng, apa kabar? Kamu betah gak tinggal di pondok?" tanyanya antusias.

"Alhamdulillah, betah. Ada keperluan apa nelpon jam segini Kang?" Aku memperhatikan sekitarku, kwatir ada yang melihat atau mendengar pembicaraanku dengan Aditya.

"Neng, panggil Aby aja ya, suka dengernya," Aku kaget mendengar permintaan Dia.

"Kita belum menikah, kenapa harus panggil Aby?" protesku ga mau. Tapi Aditya kekeuh minta di panggil Aby olehku. Akhirnya akupun menyerah.

"Baiklah, A.. Aby," Aku mendengar dia tertawa di sebrang sana, tampak sangat bahagia.

" Neng, mau Aby datang kesitu ga? Aby kangen," ucapnya sayu.

"Jangan, ga enak sama teman-teman. Aku baru pindah ke pondok sehari, masa sudah dijengukin gitu. Nanti dikira Aku anak manja lagi," protesku.

Aditya ini memang lelaki dewasa, yang usianya jauh di atasku, dia keponakan dari Pak Kiai tempat orang tuaku dulu mondok, orang tuanya juga punya pondok pesantren. Dia juga seorang guru. Itu saja yang Aku ketahui tentang Aditya.

Walaupun status Kami bersama, tetapi secara kenyataan Kami bisa dibilang orang asing. Kami ga pernah bertemu selayaknya pasangan normal.

Apabila bertemu Dia selalu berdiri atau duduk sekitar tiga meter jauhnya dariku, dia tidak pernah menatapku secara langsung. Aku ga tahu kenapa, mungkin dia menjaga pandangan dari yang belum mahramnya. Secara, diakan anak seorang Kiai.

"Ya sudah Neng, ga apa apa, Aby kerja dulu ya, tadi Aby kirim pulsa buat Neng, jaga dirimu di sana ya," ucapnya kemudian.

"Ya Aby, terima kasih. Aku juga sedang di perpustakaan, mempersiapkan proposal penelitianku," aku lihat Nida keluar dari perpustakaan dan berjalan ke arahku.

"Udah dulu ya Aby, Assalamualaikum, " Aku langsung menutup panggilan itu tanpa menunggu jawaban di sebrang sana.

"Siapa?" Nida mendekatiku dan bertanya.

" Aditya " jawabku tersipu.

"Aditya yang Kamu ceritakan dulu itu? Yang kamu ketemu di acara Haul itu?" tanyanya lagi penasaran.

"Iya, udah yuk, kita ke kantin aja. Laper nih, bentar lagi ada kelas," Aku masuk ke perpustakaan untuk ambil barang-barangku.

Nida mengikuti di belakangku dan tampak akan bertanya lagi.

"Nur, apa kamu cinta sama Aditya " tanyanya.

"Aku ga tahu, ga pernah benar-benar menyelami perasaan ku sama Dia, jalani ajalah. Kalau memang jodohku,semua akan dipermudah sama Allah," aku hanya tersenyum menatap Nida.

"Aku harap kamu bahagia Nur ," aku tersenyum mendengar sahabatku itu mendoakanku.

" Terima kasih ya, ayo ke kantin, bentar lagi kelas mo mulai," Kami bergegas ke kantin dan makan dengan buru-buru. Mengingat waktu yang mepet. Karena kelas akan segera di mulai.

Akhirnya hari ini berakhir dengan baik. Setelah kelas terakhir Aku memutuskan untuk segera pulang, karena sudah capek sekali. Aku membayangkan akan tidur nyenyak sepulang ke kamarku.

Saat Aku memasuki gerbang pondok, Aku lihat Pak Lurahku yang bernama Ali itu tengah duduk di warungnya Bu Nyai, Dia tersenyum padaku, Aku hanya tersenyum padanya, setelah mengunci ganda motorku. Aku mampir sebentar ke warung, mo beli camilan untuk menemani nanti pas Aku mengetik proposalku.

"Assalamualaikum, mo beli jajan dong," Aku pilih beberapa jajanan warung yang Aku mau dan menyerahkan ke Pak Lurahku, tanpa sengaja, tangan Kami bersentuhan, Aku terkejut, terasa ada aliran listrik menyengatku.

Aku menarik tanganku dengan gugup, sehingga jajan yang Aku pegang jatuh tanpa Aku sadari. Aku lihat Dia mengambilnya dan memasukan ke dalam plastik.

" Berapa?" tanyaku sambil menyodorkan uang 50.000 padanya, tapi dia menggeleng. Dia menolak uangku.

"Tidak usah, biar nanti Saya yang bayar. Anggap sebagai ucapan selamat datang dariku," ucapnya tersenyum sambil menatap ke arahku.

"Jangan gitu Kang, biar Saya bayar, gak apa apa kok," Aku memaksa untuk membayar jajan yang Aku beli. Dari jendela Aku melihat Pak Kiai akan masuk ke warung juga.

"Ya udah terima kasih Kang, lain kali gantian Saya yang traktir," Aku bergegas meninggalkan warung, karena kwatir di tegur Pak Kiai, karena melihatku berbicara dengan Pak Lurahku.

"Sama-sama," Dia memberikan jajan yang Aku beli dan menunduk kan kepalanya, takjim melihat pak Kiai yang masuk ke warung.

"Ada apa Kang Ali?" tanya Pak Kiai terheran-heran melihat Kami tampak berdebat.

"Tidak ada apa-apa Pak Kiai, Dia hanya beli beberapa jajan," jawabnya dan dijawab anggukan oleh Pak Kiai.

Aku berpamitan pada Pak Kiai dan segera masuk ke kamarku. Saat hendak berbaring, ponselku kembali berdering. Aku lihat Aditya menghubungiku lagi. Aku mengangkatnya dengan tergesa. Di warung ada Pak Kiai dan Pak lurah. Aku takut kalau mereka mendengarkan percakapan Kami di telpon. Aku berbicara sambil berbisik-bisik.

Jarak warung dan kamarku hanya dua atau tiga meter. Kamarku hanya semi permanen, satu meter tembok, satu meter papan. Jadi ga kedap suara. Suara apapun dalam kamar, pasti terdengar keluar

"Ada apa by?" tanya Ku sambil berbisik.

"Kangen sama Kamu Neng. Kamu apa kabar? Sudah makan siang belum? " tanyanya aga kwatir.

"Sudah, tadi di kampus. Rencana nya mo tidur, eh.. Aby nelpon," jawabku sambil melihat sekeliling kamarku dari celah jendela. Aku lihat Pak Lurahku melintas di samping kamarku.

"Aby, sudah dulu ya, Neng cape. Mo istirahat, jaga dirimu baik-baik ya, Assalamualaikum, " Aku menutup telponku kembali tanpa menunggu jawabannya. Aku takut kalau Pak lurah mendengar percakapanku dengan Aditya.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda SMS masuk. Aku membukanya dan membaca SMS dari Aditya tersebut.

"Neng, kamu ko selalu menutup telpon dari Aby sih? Aby patah hati loh Neng, kamu tega banget loh," Aku jadi gak enak baca SMS Aditya.

"Maaf Aby, tadi ada Pak lurah pondokku lewat depan kamar. Aku takut dia mendengar pembicaraan Kita, nanti bisa disidang Aku By," Aku membalas SMS nya.

"Siapa sih Pak Lurahnya? masa nelpon aja di sidang,aneh banget ," protesnya.

"Dia ganteng by, printer lagi" balasku jail, niatnya cuma bercanda, mau tahu reaksinya kalau Aku memuji laki-laki lain.

"Gantengan mana. Dia sama Aby?"

"Gnteng dia By," godaku saat itu. Niat ku cuma mau, tahu reaksi dia aja, kalau dengar aku muji cowok lain.

" Masa sih Neng? ganteng Aby kemana-mana kali Neng, coba nanti di adu hapalan alpiyahnya sama Aby, hebat dia atau Aby," entah kenapa, membaca pesan itu, tiba-tiba hatiku merasa mencelos.

"Wah sombong sekali, Aku gak suka," bathinku tanpa sadar.

"Dia pasti menang, karena dia sangat hebat " hatiku aga panas karena kesombongan Aditya, gak tahu kenapa.

"Neng, Kamu keluar aja dari pondok itu. Aby gak suka, Kamu muji laki-laki lain selain Aby" Aku tangkap aroma cemburu dari Aditya. Tapi aneh sekali, Aku biasa aja dengan kecemburuannya padaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!