Seorang Ibu baru saja selesai masak, dengan wajah berseri ia meletakkan semua makanan yang baru saja ia masak di atas meja makan. Terlihat ada 5 piring, dan gelas berisi air putih di atas meja. Ibu tersebut menolehkan wajahnya ke sisi kiri, ruang makan yang ternyata terhubung dengan ruang Tv keluarga, dan terlihat 1 pintu kamar. Rumah bergaya klasik modern dengan warna cat krem muda.
“Azzam, Rabbani, Yusi.” Ucap Ibu tersebut memanggil dengan lembut, bibirnya tersenyum manis, kedua mata menatap ketiga orang anak yang berjalan ke arahnya. 2 anak laki-laki berusia 19 dan 21 tahun, dan 1 lagi anak perempuan berusia 16 tahun.
“Iya, Bu.” Sahut ketiga anaknya serentak.
“Sudah waktunya kita untuk makan malam, Ibu akan jemput Ayah di kamar. Jika kalian lapar, kalian boleh makan terlebih dahulu.” Ucap Ibu tersebut, sebut saja Laras. Tangan kanan Laras mengarah ke kamar yang tak jauh dari ruang Tv keluarga. “Ibu ke kamar dulu.”
“Kami akan tunggu Ibu, dan Ayah.” Sahut ketiga anaknya sekali lagi dengan serentak.
“Baik. Ibu akan segera kembali.”
Dengan cepat Laras melangkahkan kedua kakinya menuju kamar yang berada di lantai 1 yang langsung terhubung dengan ruang Tv keluarga dan ruang makan. 5 menit kemudian Laras keluar dengan seorang pria paru baya, rambut di penuhi rambut putih, syal melingkar di jenjang leher, dan baju yang di kenakan semuanya serba panjang dan tebal.
Melihat Laras mendorong pelan kursi roda yang dinaiki seorang pria paruh baya seperti sedang sakit-sakitan, Rabbani segera berdiri. Rabbani mengayunkan kedua kakinya dengan cepat mendekati Laras.
“Aku saja yang mendorong Ayah.” Ucap Rabbani, ia segera menukar posisi Ibunya yang tadinya mendorong kursi roda Ayahnya yaitu Deni, kini Laras berdiri di sisi kanannya.
“Tidak perlu nak.” Sahut Deni, kedua mata melirik ke sisi kiri.
“Ayah tenang saja, Ibu sudah capek masak. Ini saatnya peran Rabbani untuk mengantarkan Ayah ke meja makan buat kita makan bersama di sana.”
“Kamu memang keras kepala.” Sahut Laras, tangan kanan menepuk bahu kanan Rabbani.
Rabbani mendorong kursi roda yang di duduki Deni, sedangkan Laras berjalan di samping kanan Rabbani.
Rabbani adalah putra kedua dari Deni dan Laras. Wajah tampan, kulit hitam manis bersanding dengan sifat dan sikap baik yang ia miliki. Namun, sifat dan sikap baik Rabbani malah di pikir buruk oleh Abang dan Adeknya, yaitu Azzam dan Yusi. Semua semata-mata hanya untuk harta, itulah yang tersirat di dalam pikiran Azzam dan Yusi.
Dari kejauhan terlihat 2 pasang mata menatap Rabbani tajam, tatapan tersebut dari kedua anak Laras, yaitu Azzam dan Yusi. Bukan hanya tatapan saja yang tajam, tapi bibir mereka berdua juga saling mengumpat satu sama lain.
“Lihat itu, Rabbani. Dia selalu cari muka sama Ayah. Aku sangat yakin jika semua perbuatannya semata-mata hanya untuk harta warisan.” Bisik Yusi, kedua mata masih terus menatap tajam Rabbani dan Laras.
“Iya. Aku juga pikir begitu, dasar manusia SERAKAH. Aku sangat yakin jika dirinya akan meminta bagian lebih besar dari kita. Awas saja jika Ayah dan Ibu tidak berlaku adil pada kita berdua.” Sahut Azzam berbisik.
Azzam dan Yusi saling menyikut saat Rabbani, Laras dan Deni mendekati ruang makan yang langsung terhubung ruang Tv keluarga dan kamar milik Laras dan Deni.
Laras menghentikan kedua kakinya, kedua tangan menarik kursi utama dan digantikan dengan kursi roda yang duduki Deni.
“Loh! Kenapa kalian berdua belum makan?” tanya Laras kepada Azzam dan Yusi.
“Yusi tidak enak jika makan sendiri tanpa di temani oleh Ayah dan Ibu.”
“Iya, Azzam juga.”
Bibir Laras mengulas senyum manis, kepala menggeleng, kedua tangan menciduk nasi bubur ke dalam mangkuk kaca, “Dasar, punya anak sudah besar-besar tapi kenapa sikap dan sifatnya masih seperti anak kecil. Bagaimana kalau nanti kalian jauh dari Ayah dan Ibu?”
“Itu tidak akan terjadi. Yusi akan terus bersama dengan Ayah dan Ibu.”
“Azzam juga.”
“Sudah-sudah. Nanti lagi kita mengobrol nya, sudah saatnya makan malam sebelum semua masakan Ibu menjadi dingin.” Ucap Laras memutus percakapan mereka.
.
.
.
🍃🍃1 jam kemudian. 🍃🍃
Deni menyuruh Laras mengambil amplop berwarna coklat yang berada di dalam brankas miliknya yang berada di dalam kamar. Dengan langkah cepat Laras berjalan ke arah Deni, memberikan amplop berwarna coklat yang terlihat tebal.
Azzam, dan Yusi saling memandang satu sama lain, bibir mereka melempar senyum manis seolah sudah mengerti isi dari amplop berwarna coklat tersebut. Rabbani sendiri malah sibuk menyusun piring yang baru saja dicucinya ke dalam rak lemari piring gantung.
‘Aku sangat yakin jika itu adalah surat warisan yang akan di bacakan oleh Ayah. Baguslah Ayah membacakannya sekarang, berarti Ayah sadar jika hidupnya sudah tidak lama lagi. Aku anak pertama, sudah pasti hak 'ku lebih banyak dari Rabbani dan Yusi.’ Batin Azzam.
‘Pasti itu surat warisan buat kami. Harta Ayah, ‘kan banyak. Aku anak perempuan satu-satunya, dulu sebelum Ayah mengalami sakit keras, Ayah sangat menyayangiku. Aku yakin jika harta milikku akan jauh lebih banyak dari abang-abangku yang sudah memiliki usaha sejak dini.’ Batin Yusi.
Deni menatap punggung Rabbani yang sedang berdiri di depan lemari gantung piring, kedua tangan masih terus merapihkan piring, mangkuk dan gelas.
“Rabbani. Tolong hentikan sejenak pekerjaan kamu, dan duduk di sini. Ayah ingin menyampaikan sesuatu buat anak-anak Ayah.”
“Baik, Ayah.” Sahut Rabbani, kedua tangan segera menutup pintu lemari piring, kedua tangan yang masih basah di keringkan di serbet yang menggantung di atas wastafel.
Suasana terlihat tenang dan damai, Laras sebagai seorang istri berdiri di belakang kursi roda Deni, bibirnya terus tersenyum manis kepada anak-anaknya.
Deni perlahan mengeluarkan beberapa lembar berkas-berkas terlihat penting dari amplop berwarna coklat. Setelah semua berkas keluar dari dalam amplop berwarna coklat, Deni menatap satu persatu wajah dari ketiga anaknya, dan berakhir pada Azzam.
“Anak-anakku, berkas yang Ayah pegang ini adalah berkas tentang warisan buat Azzam, Rabbani dan juga Yusi. Selagi Ayah masih bisa bernafas dan berbicara walau hanya sedikit, dan tidak tahu kapan Ayah akan kembali ke sisi Allah. Ayah akan meminta tolong kepada Ibu untuk segera membacakan surat warisan yang sudah Ayah tulisan buat anak-anak Ayah.” Ucap Deni, tangan kanan yang gemetar berusaha memberikan surat yang berisi warisan kepada Laras yang berdiri di belakangnya, “Istriku, tolong bacakan isi surat ini buat anak-anak kita.”
“Baik suamiku.” Sahut Laras segera mengambil surat warisan dari tangan Deni. Laras menarik nafas panjang sebelum membaca surat warisan yang berada di tangan kanannya. Tatapan serius ia alihkan ke masing-masing wajah anak-anaknya yang terlihat serius dan tegang.
Laras menarik tatapannya, ia mulai menurutkan pandangannya menatap surat warisan yang berada di hadapannya. Baru saja melihat isi surat warisan yang di buat oleh suaminya, Laras membulatkan kedua matanya dengan sempurna.
Tatapan Laras membuat Azzam dan Yusi mulai merasa tak nyaman, membuat mereka terus bertanya-tanya di dalam hati.
...Bersambung.......
Tatapan serius ia alihkan ke masing-masing wajah anak-anaknya yang terlihat serius dan tegang. Laras menarik tatapannya, ia mulai menurutkan pandangannya menatap surat warisan yang berada di hadapannya. Baru saja melihat isi surat warisan yang di buat oleh suaminya, Laras membulatkan kedua matanya dengan sempurna.
‘Apa Mas Deni tidak salah memberi surat warisan? Kenapa di sini surat warisan Rabbani lebih besar ketimbang surat warisan Azzam. Bukankah anak pertama seharusnya memiliki harta yang lebih besar dari anak kedua dan ketiga. Sebaiknya aku tanyakan perihal ini kepada Mas Deni.’ Batin Laras. Ia mengalihkan pandangan keliru ke wajah suaminya yang sedang tersenyum kepadanya.
“Mas.”
“Aku sudah tahu, pasti kamu ingin bertanya perihal surat warisan yang aku buat, ‘kan?” sambung Deni menyela ucapan Laras.
Laras mengalihkan pandangan bingung kepada Rabbani, Azzam dan Yusi. Tangan kanan yang masih memegang kertas dan amplop coklat ia genggam sangat erat.
“Ada apa Bu?” tanya Yusi.
“Iya, apakah isi surat itu tidak benar?” tanya Azzam.
“Jika tidak memungkinkan untuk membaca suratnya, sebaiknya tidak perlu di baca 'Bu. Aku juga tidak perduli mengenai surat warisan yang akan Ayah berikan kepadaku.”
Azzam, dan Yusi menatap tajam Rabbani, sudut bibir mereka bergerak seperti sedang menahan amarah, kedua tangan yang di letakkan di bawah meja mereka kepal dengan erat.
‘Ck. Masih bisa dia berbicara santai seperti itu di depan Ayah dan Ibu. Awas saja kamu, Rabbani.’ Gerutu Azzam di dalam hati.
‘Dasar, sih tukang cari muka. Aku sangat yakin jika warisan miliknya pasti lebih besar dari kami. Terlihat dari raut wajahnya. Awas saja kamu, Abang Rabbani.’ Gerutu Yusi di dalam hati.
Laras mengalihkan pandangannya ke kumpulan kertas berwarna putih yang berada di genggaman tangan kanannya. Sebelum membaca surat warisan, ia terus menarik nafas panjang sebanyak 2 kali.
“Istriku, cepat bacakan. Nanti aku akan menjelaskan kepada anak-anak kita.” Ucap Deni memberi perintah sekali lagi pada Laras.
Laras mengangguk, kedua tangannya mulai mendekatkan surat warisan ke hadapannya. Laras pun mulai membaca isi dari surat warisan tersebut.
...****************...
...ISI SURAT WARISAN DARI DENI....
“Anak-anakku yang tercinta, Azzam, Rabbani dan Yusi. Kalian bertiga adalah permata dan berlian yang pernah mengisi semangat hari-hariku yang sempat gundah dan terpuruk. Bukan hanya kalian bertiga, aku juga sangat bersyukur karena Allah mengirimkan aku bidadari dunianya kepadaku. Bidadari duniaku adalah Ibu kalian bertiga, yaitu Laras.
Istriku, dan anak-anakku yang tercinta. Jika surat wasiat ini sudah di bacakan, berarti hidupku sudah tidak akan lama lagi. Maafkan Ayah tidak bisa selalu menemani kalian sampai memiliki keturunan, istri dan suami buat pelindung hidup kalian.
Buat istriku tercinta, maafkan aku.
Surat warisan buat Azzam
Buat Azzam anakku, Ayah sudah memberikan kamu tanah seluas 30.000 Ha, dan perkebunan yang ada di kota “B” seluas 25. 740 Ha.
Surat warisan buat Rabbani
Buat Rabbani anakku, Ayah sudah memberikan kamu Villa beserta tanahnya seluas 35.000 Ha, dan usaha Ayah sebagai seorang kolektor barang antik sudah Ayah alihkan ke kamu, di kota Bandung.
Surat warisan buat Yusi
Buat Yusi anakku tersayang, karena kamu adalah anak perempuan. Ayah tidak bisa memberikan kamu banyak warisan karena suatu saat kamu pasti akan ikut pergi bersama suami kamu. Tapi Ayah sudah memberikan kamu warisan tanah seluas 25.000 Ha yang ada di pinggiran kota “M” dan 1 pusat perbelanjaan yang terbesar yang ada di kota "M".
Ayah harap kalian semua bisa merasa puas dengan keputusan Ayah.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Laras menarik nafas dalam-dalam, ia menatap wajah suaminya yang tersenyum manis memandang anak-anaknya.
“Terimakasih istriku, kamu sudah bersedia membacakan semua isi surat warisan yang sudah aku buat. Sekarang silahkan kamu bagikan kepada anak-anak kita, suruh mereka tanda tangan.” Ucap Deni memberi perintah kepada Laras untuk membagikan surat warisan yang sudah dibuatnya kepada masing-masing anaknya.
Braak!
Azzam berdiri, tangan kanannya dengan kuat menggebrak meja makan, tatapan suram mengarah pada Deni.
“Kenapa Ayah tidak membagikan surat itu dengan adil?” Azzam menepuk dadanya, “Kenapa tidak Azzam saja yang melanjutkan bisnis usaha kolektor Ayah.” Azzam mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rabbani, “Kenapa harus anak itu, anak yang selalu suka cari muka kepada Ayah.”
Laras menghempaskan amplop coklat dan surat warisan di atas meja. Kedua kaki Laras terus melangkah mendekati Azzam. Tangan kanan Laras dengan cepat menaik.
Plaak!!!
Laras mendaratkan tamparan keras ke pipi kanan Azzam, “Berani sekali kamu meninggikan nada suara seperti itu kepada Ayah kamu, Azzam.”
“Ibu.”
“Cukup Ibu.” Ucap Rabbani berusaha menahan kedua tangan Laras seperti hendak melayangkan tamparan kembali pada Azzam.
Azzam mendorong bidang dada kekar milik Rabbani, “Alah! Jangan sok baik kamu. Bukannya kamu senang mendapatkan ini semua.”
“Bang. Aku tidak seperti itu, jika kamu ingin bertukar surat denganku, aku bersedia kok. Lagian aku juga sudah memiliki usaha yang ada di Jakarta, meski itu hanya usaha kecil-kecilan.” Sahut Rabbani. Rabbani melepaskan kedua tangannya, ia berbalik badan, kedua kakinya melangkah menuju surat warisan yang terletak di tengah meja.
“Stop.” Ucap Deni meninggikan nada suaranya yang sedikit serak. Deni mengarahkan tatapannya kepada Azzam.
“Azzam. Jika di hitung sekali lagi dengan pengacara, surat tanah kamu dan usaha yang Ayah berikan tetap lebih besar milik kamu. Ayah sengaja membagi seperti itu karena tidak semua daerah dan kota bisa memiliki usaha yang kalian inginkan. Semua usaha itu sudah Ayah teliti. Ayah juga tahu mana yang cocok buat kalian pegang dan mana yang tidak. Jadi Ayah harap keputusan surat warisan ini sudah berlaku adil, kalian tinggal melanjutkan apa yang sudah Ayah kerjakan. Hanya satu pintaku, jangan buat apa yang sudah Ayah gapai dengan susah payah berakhir tragis.”
“Ta-tapi Ayah, Azzam ingin menjadi kolektor barang antik dan yang lainnya seperti Ayah.” Sambung Azzam memberontak ucapan Deni.
“Azzam. Kamu tidak cocok memegang usaha itu, kedua tangan kamu hanya cocok untuk berkebun. Ayah sangat senang sewaktu kamu sedang menanam bunga yang indah di taman rumah kita. Bukannya kamu sudah merasakan betapa hebatnya kedua tangan kamu yang ahli dalam berkebun. Ayah yakin suatu hari nanti kamu akan menjadi pengusaha teh dan lainnya yang cukup terkenal.”
“Kalau Yusi! Kenapa Yusi hanya mendapatkan warisan paling sedikit? Tidakkah Ayah kasihan kepada Yusi jika suatu hari nanti Yusi hanya tinggal dan memiliki usaha seperti itu.” Sambung Yusi.
Deni mengalihkan kedua matanya menatap wajah Yusi yang sedang cemberut. Bibir yang putih seperti di beri beda mengulas senyum manis melihat anak bungsunya cemberut seperti anak kecil. “Putriku. Kamu sekarang baru berusia 16 tahun, masa depan kamu masih panjang. Ayah sengaja membuat usaha seperti itu karena kamu adalah seorang wanita yang terlihat cantik dan pintar memilih barang bagus sejak kamu berusia 1 tahun. Ayah harap suatu hari nanti kamu akan mendapatkan suami yang lebih baik, kaya, mapan dan pekerja keras.” Sahut Deni dengan santai, kedua matanya perlahan menatap Laras, Azzam, dan Rabbani. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengarahkan tatapan serius kepada anak-anaknya, “Aku berharap usaha yang sudah aku rintis belasan tahun akan berkembang pesat di kedua tangan kalian, anak-anakku.”
“Ayah, aku tidak masalah jika aku tidak mendapatkan warisan. Warisan milikku biar aku berikan kepada Abang Azzam saja. Sedangkan aku biar mengurus usahaku sendiri yang ada di kota Jakarta.” Ucap Rabbani. Ia sengaja berkata seperti itu karena dirinya tidak ingin berkelahi dengan saudara kandung hanya karena harta warisan. Karena harta bisa di cari, tapi saudara kandung tidak bisa di cari.
Deni memainkan kedua tangannya memutar roda kursinya, kepalanya menggeleng, “Jangan kecewakan Ayah, Rabbani.”
Melihat Deni mendorong kursi rodanya sendiri dengan kedua tangannya, Laras segera berlari mendekati Deni. “Mas. Berhenti di situ.” Ucap Laras berusaha menghentikan suaminya yang terlihat susah mendorong kursi roda dengan kedua tangan yang menggerakkan roda kursi duduk.
“Kamu memang bidadari duniaku.”
...Bersambung ......
🍃🍃Di dalam kamar. 🍃🍃
Laras duduk di pinggiran ranjang, kedua tangan memijat lembut kedua kaki Deni yang sedang duduk lurus. Laras terus menatap suaminya yang sedang menyandarkan tubuh di kepala ranjang.
“Mas.”
“Hem!” Sahut Deni, ia membuka perlahan kedua matanya, “Ada apa istriku?” tanya Deni lembut.
Laras menghentikan pijatannya, ia duduk dengan benar menghadap Deni. “Mas. Kenapa harus Rabbani yang meneruskan usaha Mas, kenapa tidak Azzam?” tanya Laras kepada Deni, kenapa harus anak kedua yang harus meneruskan usaha yang sudah lama ia rintis. Sedangkan anak pertama masih ada.
Deni menarik tangan kanan Laras, ia membelai lembut punggung tangan kanan Laras, “Istriku. Mungkin kamu bingung dengan semua surat warisan yang aku berikan kepada anak-anak kita. Tapi tidakkah kamu mengerti, anak pertama kita yaitu Azzam sudah aku berikan tanah dan juga perkebunan teh yang cukup luas dan terkenal. Karena aku melihat Azzam ahli di bidang perkebunan, tinggal Azzam saja yang harus meneruskan usaha yang sudah aku buat. Alasan kenapa aku memberikan perkebunan teh kepada Azzam, pasti kamu tadi sudah mendengarkannya. Sedangkan Rabbani, dia tidak aku berikan apa pun kecuali Villa yang ada di kota Bandung. Tentang usaha Kolektor barang antik yang aku rintis, cuman Rabbani yang mengerti tentang barang antik, dan barang langkah lainnya. Karena cuman Rabbani yang ahli di dalam bidang ini. Aku sudah berusaha adil, istriku. Aku harap kamu bisa mengerti keputusanku, aku memberikan karena mereka mampu dan ahli di bidangnya masing-masing.” Sahut Deni lembut.
Laras menghela nafas, wajah ia tundukkan ke bawah, “Aku pikir karena semenjak kelahiran Azzam membawa bisnis Mas menjadi lebih maju, maka Azzam lah yang cocok buat usaha Mas. Iya, aku percaya dengan keputusan Mas.”
“Terimakasih.” Sahut Deni. Tangan kanan Deni menepuk ranjang kiri yang kosong, “Mari temani aku duduk, sadarkan kepala kamu di bahuku, agar aku dan kamu bisa mengenang semua usaha kita yang tengah berjuang pada tahun itu. Aku ingin mengenang semua perjalanan hidup kita selama berumah tangga sebelum ajal menjemput 'ku.”
Tanpa di sadari Laras meneteskan air matanya, hatinya terasa teriris saat mendengar ucapan seperti salam perpisahan kepadanya. Laras menyeka kasar air matanya, ia merangkak ke ranjang dan duduk di sisi kiri suaminya dengan kepala ia sadarkan di bahu kiri Deni.
Deni membelai puncak kepala istrinya. Deni memulai ceritanya saat menikah dengan Laras di tahun 1998.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
🍃🍃Kembali ke tahun 1998.🍃🍃
Selasa 7 juli 1998. Laras dan Deni baru saja menikah, pernikahan mereka sempat tidak di setujui oleh pihak keluarga Laras karena status derajat yang jauh berbeda. Laras seorang anak kaya raya, sedangkan Deni hanya seorang anak yatim/piatu yang mempunyai usaha emas.
Karena Laras sangat mencintai Deni, dan Laras adalah anak semata wayang dari keluarga terpandang di kota “M”, kedua orang tua Laras terpaksa merestui hubungan mereka karena Laras mengancam akan bunuh diri jika dirinya tidak menikah dengan Deni.
Hampir satu tahun Laras menikah dengan Deni, mereka belum juga dikaruniai seorang anak, bisnis miliknya juga merosot. Deni dan Laras sempat tidak makan karena mereka tidak memiliki uang dan simpanan beras di dapur. Rasanya Laras ingin berlari kepangkuan kedua orang tuanya untuk memohon belas kasih dan meminta sedikit uang kepada kedua orang tuanya yang lebih dari cukup yang ada di kota “M”. Namun, Laras harus menahannya agar kedua orang tuanya tidak menyepelekan Deni.
Minggu 12 September 1999. Kedua orang tua Laras datang mengunjungi rumah Laras dan Deni yang hanya terbuat dari separuh batu dan separuh kayu. Kedatangan kedua orang tua Laras hanya untuk memberikan semua harta mereka kepada Laras, karena kedua orang tua Laras tak sanggup melihat anaknya menderita.
Dengan besar hati Laras menolak pemberian kedua orang tuanya, Laras hanya ingin meminta sedikit uang saja buat modal usaha baru yang akan di rintis Deni. Deni ingin menjadi seorang Kolektor barang antik, karena sebenarnya memang itu keahlian Deni. Cuman karena terkendala di uang, Deni hanya bisa membuka usaha jual/beli emas.
Seiring berjalannya waktu, usaha Deni mulai di kenal banyak kalangan atas. Banyak orang kaya yang mulai mencari Deni, hanya untuk membeli koleksi barang antik miliknya.
Menjelang kehamilan pertama Laras di pertengahan tahun 2000, Deni di tipu oleh salah satu pengusaha yang melarikan beberapa barang antik bernilai 1 M.
Keputusasaan melanda hati Deni dan Laras, dimana tengah mengandung anak pertama yaitu Azzam yang sudah memasuki bulan 3.
Seperti nasib sial yang terus menimpa mereka, Laras di beri kabar tentang kedua orang tuanya yang telah meninggal dalam kecelakaan mobil. Hal itu membuat Laras drop dan hampir mengalami keguguran, di sela kejadian buruk menimpa mereka, datanglah seorang pengacara utusan mendiang kedua orang tua Laras.
Tanpa sepengetahuan Laras, kedua orang tuanya memberikan warisan yang cukup banyak untuk menambah modal usaha Deni, dan untuk biaya persalinan anak pertama Laras yaitu Azzam.
Satu tahun sudah berlalu, Sabtu, 11 Agustus tahun 2001. Lahirlah anak pertama Laras dan Deni, seorang anak laki-laki berwajah tampan. Laras dan Deni menamai anak pertama mereka dengan nama Azzam. Kelahiran Azzam seperti membawa keberuntungan mereka berdua. Usaha yang susah payah di rintis Deni tiba-tiba berkembang pesat, membawa namanya sampai terkenal hampir ke Luar Negeri.
Usaha Deni pun semakin lama semakin berkembang sampai sekarang, 12 Februari tahun 2022.
...****************...
.
.
.
🍃🍃Kembali ke tahun 2022.🍃🍃
Setelah mengenai perjalanan dan perjuangan Deni dan Laras. Deni memberi kecupan manis di dahi istrinya, tatapan penuh cinta ia tunjukkan saat memandang wajah Laras yang masih terlihat lebih muda dari dirinya.
“Apa kamu tidak menyesal menikah denganku?”
Laras menggeleng, air mata kesedihan tercampur aduk menjadi satu saat memandang wajah Deni yang tampak tua dan lemah. “Sampai detik ini aku tidak pernah menyesal bersanding dan hidup bersama kamu, suamiku.” Laras melingkarkan kedua tangannya di tubuh Deni, wajah ia benamkan di bidang dada kekar yang mulai layu, “Rasanya aku ingin ikut pergi bersama kamu, suamiku. Entah bagaimana nasibku jika kamu sudah tak lagi di sampingku.”
Deni menempelkan jari telunjuknya di bibir Laras, “Jangan berkata seperti itu, kita masih memiliki anak-anak yang baik. Walau sekarang mereka sudah besar dan memiliki kehidupan masing-masing, tapi mereka masih bisa menyempatkan diri untuk mengunjungi kita. Kamu akan bahagia bersama anak-anak kita yang luar biasa hebatnya.” Ucap Deni, ia memberi kecupan sekali lagi di dahi Laras.
Laras tertawa renyah di depan suaminya, tangannya mendorong pelan bidang dada kekar Deni, “Sudah, ah.”
“Loh, kenapa rupanya jika aku terus mencium kening istriku yang licin ini?”
“Sudah malam, sebaiknya kita istirahat saja.” Ucap Laras menarik selimut.
“Baik.” Sahut Deni merebahkan tubuhnya di sisi kiri Laras, Deni memutar arah posisi tidurnya, memeluk Laras, “Selamat malam istriku.” Ucap Deni, tangan kanan menekan tombol lampu kamar berpindah ke mode redup.
.
.
🍃🍃Di ruang tamu. 🍃🍃
Terlihat seorang pria memakai jaket dan topi mengendap-endap berjalan di dalam gelapnya ruang tamu, sesekali ia menoleh ke belakang. Kemudian langkahnya semakin cepat saat melihat pintu utama sudah di depan mata. Diam-diam pria tersebut membuka kunci pintu, kedua kakinya pun melangkah dengan cepat meninggalkan rumah.
...Bersambung.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!