NovelToon NovelToon

Tuan Putri Yang Tersembunyi

Kehidupan yang Keenam Belas

“Aku harus kabur dari sini, aku tidak boleh mati lagi di tempat mengerikan ini.”

Seorang gadis cantik berambut keemasan tengah memanjat tembok tinggi yang dipenuhi tanaman berduri. Sekujur badannya dipenuhi balutan perban akibat luka yang dia terima, lehernya juga dihiasi tanda merah bekas kecupan, sekilas tergurat rasa takut mendalam dari sinar mata hazel nan bening miliknya. Pandangannya terus mengedar ke sekeliling sembari berharap tidak ada orang yang mengawasi pergerakannya.

“Bagaimana pun caranya aku harus pergi jauh dari istana ini.” Disertai tekad kuat di hati, gadis cantik rupawan itu perlahan berlari menjauhi kastil tempatnya tadi berada.

Tidak ada cahaya di garis wajahnya, hanya ada kepucatan mewarnai muka cantiknya itu, sungguh dia berada pada kondisi di mana dirinya nyaris jatuh dan tumbang. Walaupun telapak kakinya terdapat banyak luka goresan, dia tidak mempedulikannya, yang ada di otaknya hanyalah cara menjauh dari tempat yang dia anggap sebagai neraka.

“Yang Mulia Permaisuri melarikan diri! Ayo cepat kejar dia!” Suara sejumlah kesatria bergema dari balik tembok kastil, mereka mengejar gadis yang mereka sebut sebagai Permaisuri itu.

Melewati hutan belantara yang dihuni berbagai jenis binatang buas, gadis tersebut terus menyusuri jalanan yang diisi duri. Berbekal sebilah belati, dia menerobos semak belukar dan menebas segala jenis binatang yang mencoba menghalangi langkahnya. Sementara itu, di belakang punggungnya terdengar jelas derap kaki kesatria yang berupaya mengejarnya. Gaun yang ia kenakan mulai robek sana sini, suara napasnya juga mulai terputus-putus. Sekarang hidupnya berada di ambang kematian, tapi dia tidak menyerah untuk mengubah akhir dari hidupnya kala itu.

“Celaka! Di depanku ada jurang, aku tidak bisa lari ke mana-mana lagi.” Terpaksa gadis itu menghentikan langkahnya tatkala ia melihat tebing yang curam di hadapannya. Para kesatria yang mengejarnya kini tepat berada di belakangnya, mereka berhasil mengejar gadis itu.

“Yang Mulia, Anda tidak bisa lagi kabur dari sini. Tolong menyerah saja dan kembali bersama kami ke kastil,” ujar seorang kesatria.

“Jangan mendekat!” Gadis itu memberi peringatan sambil menodongkan belati tajam yang sedari tadi dia genggam. “Jika kalian mendekat, aku akan melompat ke bawah!” lanjutnya mengancam.

Para kesatria tampak kebingungan, mereka membatu di tempat seraya mencari cara untuk membujuk gadis itu supaya bersedia kembali lagi ke kastil bersama mereka. Namun, mereka kian ditimpa kebingungan sebab saat ini situasinya benar-benar genting. Apabila gadis itu mundur satu langkah lagi ke belakang, maka dia akan terjun bebas ke dalam jurang yang tidak terlihat dasarnya.

“Kami mohon kepada Anda, jangan bersikap bodoh dan membahayakan diri Anda sendiri, Yang Mulia. Anda harus kembali bersama kami, jika tidak nanti Kaisar akan memarahi kami,” tutur para kesatria berupaya membujuk gadis itu.

“Tidak!” Gadis itu menolak tegas disertai nada suara bergetar, perlahan tangannya gemetar hebat. Dari sudut mata indah si gadis berjatuhan bulir-bulir air mata, kedua pipinya basah tergenang butiran air mata kesedihan dan kesakitan. “Aku tidak akan pernah kembali lagi ke tempat yang mengerikan itu. Kalian hanya akan menyuruhku melayani setiap pria yang tidak aku kenali, aku tidak mau lagi … aku tidak mau lagi melakukannya!”

Terlintas di kepala gadis itu sebuah bayangan kelam tentang dirinya yang dibawa dari sebuah kekaisaran yang telah hancur. Dia dulunya adalah seorang Tuan Putri dari kekaisaran paling berjaya dan diberkahi kemakmuran. Nama ia yaitu Xaveryn Graziella, siapa pun kenal nama itu, nama gadis paling cantik yang terlahir dari darah murni seorang Kaisar dan Permaisuri Graziella. Namun, segalanya seketika lenyap, Kekaisaran Saverio melakukan pemberontakan tak terduga lalu membawa Xaveryn ke Saverio sebagai tawanan.

Xaveryn menjadi Permaisuri Saverio, tapi dia tidak pernah mendapat perlakuan sebagai Permaisuri. Kekuatan tersembunyi dari tubuhnya membuat semua orang buta, mereka menyiksa gadis cantik ini hingga memberinya keputusasaan serta ketakutan luar biasa. Sebuah rasa trauma yang mencabik-cabik hatinya terus menerus berdatangan, gadis yang selalu memamerkan keindahan senyumnya sudah mati karena rasa trauma yang dia peroleh.

“Hahaha, apa yang Anda katakan, Yang Mulia? Itu merupakan sebuah kewajiban bagi Anda. Tubuh indah Anda sekaligus kekuatan tersembunyi di inti tubuh Anda, seluruh manusia di muka bumi ini menginginkannya. Lagi pula Anda menikmatinya, bukan? Karena kebanyakan dari pria yang Anda layani adalah pria muda dan penuh karisma.”

Para kesatria terkekeh, mereka menghina Xaveryn secara terang-terangan, mereka tidak pernah menganggap Xaveryn seorang manusia. Seluruh rakyat Saverio menganggap Xaveryn sebagai alat agar mereka memperoleh kekuatan mahadahsyat.

“Aku tidak pernah menikmatinya … semua yang kalian lakukan padaku tidak pernah aku nikmati sekali pun! Aku membenci kalian, aku ingin mengutuk seluruh orang yang menyakitiku dan menyakiti keluargaku. Karena kalian aku jadi kehilangan segalanya, aku takkan lagi menyerahkan tubuhku pada orang lain. Kekuatan ini tidak akan pernah sampai ke tubuh kalian, aku akan membawanya bersamaku ke alam kematian.”

Xaveryn merogoh sebuah pistol dari balik gaunnya, dia menodongkan pistol tersebut ke kepalanya. Suara tawa para kesatria meredup sesaat mereka melihat Xaveryn tidak bermain-main mengancam dirinya. Tidak terhitung berapa kali dia berada pada posisi terjepit antara hidup dan mati, yang dia inginkan saat ini hanyalah mengakhiri hidupnya lalu meninggalkan dunia ini.

“Yang Mulia, letakkan pistol itu! Anda tidak bisa melakukan ini, jika Anda mati maka kami yang menjadi sasaran kemarahan Kaisar. Tolong menurutlah, Yang Mulia!”

Xaveryn tersenyum pahit. “Aku harap aku tidak akan pernah bangun lagi, aku sudah muak mati dan mengulang hidupku berkali-kali tapi tidak ada yang bisa aku ubah satu pun. Aku mengutuk kalian! Manusia biad*b yang menghancurkan hidupku, aku tidak akan memaafkan kalian sampai kapan pun itu.”

DOR!

Xaveryn menarik pelatuk pistol, satu peluru menembus masuk ke kepalanya, dia nekat mengakhiri hidupnya sendiri tanpa ada rasa takut akan kematian. Semua mata membelalak kaget ketika Xaveryn membunuh dirinya lalu terjatuh ke jurang tak berdasar. Samar-samar kedua netra hazel itu masih terbuka, dia merasakan dirinya sedang berada di udara. Setiap tetes darah segar mengalir di sisi kepalanya yang terluka akibat tembakan pistol.

‘Sudah enam belas kali kehidupan, tapi tidak ada satu pun yang berubah, setiap kali aku mati maka aku akan kembali hidup lagi di hari terjadinya pemberontakkan. Aku terbangun di dalam kurungan besi, selalu saja seperti itu. Sebenarnya, apa maksud dewa membiarkanku mengulang kehidupan pada situasi yang sama? Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk mengubah hidupku. Aku hanya mengulangi penderitaan yang sama, lalu apakah setelah ini aku juga akan terbangun lagi di waktu yang sama pada hari pemberontakkan? Aku harap aku tidak usah hidup lagi, aku lelah … sangat lelah ….’

Mengulang Waktu Kembali

“Yang Mulia, ini sudah pagi, sekarang waktunya Anda untuk bangun.”

Sayup-sayup Xaveryn mendengar suara seorang wanita yang tidak asing membangunkan dirinya. Perlahan Xaveryn mencoba membuka mata, pemandangan pertama yang dia lihat adalah wanita berambut pendek sebahu mengenakan seragam pelayan. Wanita tersebut tersenyum lembut sesaat Xaveryn membuka mata, dia jelas sangat mengenal wanita itu.

Sontak Xaveryn pun buru-buru bangkit dari posisi tidurnya, sepasang manik hazelnya membulat sempurna.

“Annita … kau Annita, bukan? Kenapa kau bisa ada di sini?”

Ya, pelayan itu bernama Annita, dia adalah pengasuh Xaveryn yang ditunjuk secara langsung oleh Kaisar untuk mengasuh Xaveryn di menara yang jauh dari kerumunan massa. Raut wajah Annita terlihat kebingungan seketika Xaveryn menatapnya menggunakan tatapan kaget.

“Iya, ini saya Annita, Yang Mulia,” jawab Annita.

‘Bagaimana mungkin Annita ada di sini? Dan lagi, dia terlihat lebih muda, aku tidak pernah sekali pun melupakan wajahnya.’

Xaveryn menunduk tak percaya, mendadak memori buruk menghantam kepalanya, kematian Annita yang tidak pernah dia lupakan seumur hidup. Annita merupakan salah satu orang paling berjasa dalam hidupnya. Annita bahkan rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Xaveryn dari serangan musuh.

“Yang Mulia, Anda harus hidup apa pun yang terjadi, saya akan menjadi umpan dan Anda bisa kabur lewat pintu belakang menara. Anda paham itu? Jangan sampai mereka menangkap Anda.”

“Bagaimana denganmu, Annita?”

“Jangan pedulikan saya, bagi saya keselamatan Anda adalah yang utama karena saya telah berjanji kepada mendiang Permaisuri untuk melindungi Anda.”

Sebuah gambaran ingatan tentang Annita yang bersimbah darah menghampiri Xaveryn lalu membawanya ke menara yang melewati hutan. Ingatan yang menyakitkan baginya tatkala orang yang dia sayangi mati karena melindungi dirinya. Kini Xaveryn pun kembali ke masa di mana dia masih bisa memandang dengan jelas wajah manis Annita yang senantiasa tersenyum kepada dirinya.

“Yang Mulia, ada apa? Mengapa Anda bertingkah aneh? Mungkinkah Anda tiba-tiba hilang ingatan? Oh dewa, ini tidak boleh dibiarkan.” Annita tiba-tiba panik, dia meraba kening Xaveryn untuk mengecek suhu tubuh gadis itu.

“Aku tidak apa-apa.” Xaveryn kembali membelalak kaget, dia baru sadar suaranya terdengar berbeda dan tangannya berubah kecil.

Spontan Xaveryn melompat turun dari tempat tidur, dia bergegas menuju cermin rias besar yang terpampang di kamar. Alangkah terkejutnya Xaveryn menyaksikan bayangan tubuhnya yang kecil, dia meraba-raba wajahnya memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Jelas sekali bahwa Xaveryn kembali menjadi anak-anak. Kemudian Xaveryn mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, pemandangan familiar ini adalah kamarnya saat berada di menara.

“Apa Anda baik-baik saj—”

“Annita, berapa umurku sekarang?” Xaveryn memotong cepat kalimat Annita, dia sangat ingin tahu berapa umurnya saat ini.

“Apakah Anda lupa? Anda berusia lima tahun, Yang Mulia. Padahal baru kemarin Anda berulang tahun, tapi Anda melupakannya begitu cepat.”

Tubuh Xaveryn meluruh ke atas lantai, jantungnya seolah terjepit, perasaan takut dan putus asa kembali menghantui dirinya. Bayang-bayang kematian, pengkhianatan, dan rasa sakit yang dia rasakan selama enam belas kali kehidupannya tidak pernah dia lupakan sedikit pun.

‘Aku hidup lagi, aku kembali ke usiaku lima tahun, tapi mengapa? Mengapa aku kembali lagi? Aku tidak mau hidup, jika aku hidup akhirnya akan tetap sama. Aku akan mati di tangan Kaisar Saverio, mereka menyiksaku lagi, melecehkanku, menyetubuhiku, dan mempermalukanku. Kenapa dewa memberiku kehidupan semenyedihkan ini? Ini adalah kehidupanku yang ketujuh belas, aku sangat frustrasi … aku takut ….’

Annita lekas menyambut tubuh Xaveryn yang hampir terjatuh ke permukaan lantai, badan kecil itu mulai gemetar hebat mengeluarkan peluh membasahi kening. Annita terlihat cemas, dia mencoba memanggil-manggil Xaveryn, tapi tidak ada respon yang diberikan Xaveryn. Gadis berambut keemasan itu tenggelam di memori kelam yang menyelimuti ingatannya.

“Apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba saja Tuan Putri tumbang karena demam.”

Di menara sebesar ini hanya ada mereka berdua saja, terkadang kesatria datang memastikan kondisi Xaveryn dan Annita. Ditambah lagi saat ini tengah hujan lebat, Annita tidak bisa keluar dari menara untuk memanggilkan dokter sehingga Annita terpaksa mengobati Xaveryn menggunakan obat-obatan seadanya saja. Annita mengompres Xaveryn sembari berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada Xaveryn.

Hingga malam menjelang, Annita mulai tenang karena kondisi Xaveryn membaik secara perlahan. Annita kini bisa istirahat sembari menunggu Xaveryn sadar, dia pun keluar dari kamar Xaveryn dan membiarkan gadis itu terlelap di kamarnya. Beberapa jam berselang, Xaveryn terbangun dengan kondisi napas tersengal-sengal, tampaknya dia baru saja bermimpi buruk.

“Lagi-lagi aku memimpikan kehidupanku yang lalu, aku pikir aku takkan hidup lagi setelah aku menembak kepalaku dengan pistol, tapi tidak ada bedanya ….” Xaveryn menekuk lututnya, sekujur badannya masih gemetar mengingat masa lalunya.

Kemudian Xaveryn mengangkat kembali kepalanya, dia mengamati tangan kanannya yang mengeluarkan percikan cahaya biru. Xaveryn tertegun, kedua matanya membulat sempurna seketika percikan cahaya tersebut menyelimuti tangan kanannya.

“Sihir … kenapa aku bisa mengeluarkan sihir ketika aku masih berusia lima tahun? Pada kehidupan sebelumnya aku baru menyadari sihir ini saat aku berumur dua puluh tahun, tepatnya pada saat pemberontakan itu terjadi. Tidak ada sihir di dunia ini, itulah yang aku ketahui karena sihir lenyap pada masa dua puluh ribu tahun yang lalu. Aku adalah satu-satunya orang di dunia ini yang memiliki jumlah sihir melimpah di tubuhku.”

Xaveryn tampak tidak senang dengan keberadaan sihir di tubuhnya karena sihir itulah Kekaisaran Saverio menginginkan dirinya. Sebagai satu-satunya manusia yang memiliki sihir serta yang mempunyai sihir yang tak terbatas di tubuhnya membuat Kaisar Saverio terlena.

“Karena sihir inilah aku kehilangan segalanya, aku tidak mau punya sihir di tubuhku, aku hanya ingin menjadi manusia biasa. Mereka meniduriku untuk menyerap energi sihir milikku, aku benci ketika mengingatnya. Sihir hanya bisa diserap melalui hubungan badan sehingga sebelum aku mati, keberadaan sihir ini perlahan menyebar ke penjuru dunia. Aku dijadikan Permaisuri, tapi di balik itu aku hanyalah alat penambah kekuatan mereka.”

Xaveryn terus bergumam, berkali-kali dia memukul kepalanya sendiri dan menyalahkan dirinya yang menjadi akar permasalahan bagi keluarga serta rakyat Graziella. Tiada henti air mata Xaveryn menetes keluar, betapa besarnya trauma yang dia dapatkan dari kehidupan menyakitkan yang dia jalani selama ini.

“Andaikan saja … andaikan saja aku tidak pernah terlahir ke dunia ini, andaikan saja aku mati saat aku baru dilahirkan, kekaisaran ini takkan pernah hancur di tangan pemberontak. Kenapa dewa mengirimku ke dunia ini? Ibu mati ketika melahirkanku, aku tidak lebih dari seorang Tuan Putri pembawa sial. Aku hanyalah parasit, seharusnya aku mati saja … benar, aku harus mati bagaimana pun caranya itu.”

Percobaan Bunuh Diri

Ketika pagi menyapa, Annita pergi mengunjungi kamar Xaveryn, dia mendapati Xaveryn sedang duduk di depan meja rias. Annita sedari kemarin dibuat heran oleh tingkah aneh Xaveryn yang tidak seperti biasanya. Segera Annita menghampiri Xaveryn, gadis kecil itu tersenyum ramah padanya sambil merapikan rambut yang kusut.

“Bagaimana keadaan Anda sekarang, Yang Mulia? Apakah sudah sepenuhnya pulih?” tanya Annita mengambil alih menyisir rambut Xaveryn.

“Aku jauh lebih baik, maafkan aku membuatmu khawatir tapi sekarang kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi,” jawab Xaveryn.

Annita menghela napas lega, demam Xaveryn telah pulih, tidak ada lagi yang dia cemaskan, justru hari ini Xaveryn tampak lebih ceria dari sebelumnya. Annita selalu menemaninya di menara nan sepi ini, dia tidak paham alasan mengapa Kaisar menaruh Xaveryn jauh dari istana. Bahkan Kaisar tidak pernah mengunjungi Xaveryn sejak gadis itu dilahirkan. Terkadang Annita merasa kasihan kepada Xaveryn, anak yang seharusnya membutuhkan perhatian khusus dari orang tuanya tapi itu semua tidak berlaku bagi Xaveryn.

“Annita, cuaca hari ini cerah, bagaimana kalau kita jalan-jalan ke danau? Lagi pula danaunya berada di belakang menara, jadi tidak ada salahnya kita jalan-jalan sebentar,” ujar Xaveryn.

Ekspresi Annita langsung sumringah, biasanya Xaveryn tidak pernah meminta jalan-jalan, dia hanya berdiam diri di kamar.

“Baiklah, saya akan mempersiapkan beberapa cemilan untuk dibawa ke danau. Ini pertama kalinya Anda melangkahkan kaki ke luar menara.”

Kemudian Annita langsung bergerak mempersiapkan segala hal, mulai dari pakaian hingga makanan yang berencana mereka nikmati di tepi danau. Cuaca yang begitu cerah mendukung rencana jalan-jalan Xaveryn, walau di sekitar mereka hanya ada hutan, tapi hal ini sudah cukup untuk merenggangkan kebosanan di dalam menara.

Setiap langkah yang menapaki menara, hanya ada kesenyapan yang menyapa mereka dan setiap sudut menara ini pada kehidupan lalu Xaveryn diisi oleh puluhan kesatria yang jatuh tak bernyawa akibat serangan pemberontak. Sedikit pun Xaveryn tak sanggup mengalihkan pikirannya dari peristiwa menakutkan itu.

Sesampainya di tepi danau, Annita segera membentangkan tikar kecil lalu menaruh semua makanan yang dia bawa di atasnya. Pemandangan di tepi danau benar-benar luar biasa, seolah pemandangan itu telah dirancang sejak lama.

“Ya ampun, saya lupa membawa sendok. Bisakah Anda menunggu saya di sini sebentar, Yang Mulia? Saya akan ke dalam mengambil sendok.”

Xaveryn mengangguk mengiyakan, Annita pun bergegas masuk lagi ke menara untuk pergi mengambil sendok. Ekspresi ceria Xaveryn perlahan pudar, dia memasang senyum palsu demi membohongi Annita.

“Mati tenggelam bukanlah hal yang buruk, aku tidak berharap bisa membuka mata lagi karena aku hanyalah sumber masalah utama di sini.”

Xaveryn bangkit dari posisi duduk, langkah kecilnya mengarah ke tengah danau disertai pandangan kosong serta tak bercahaya. Xaveryn memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan membenamkan diri ke tengah danau. Satu langkah demi satu langkah, gaun imut yang dia kenakan mulai basah terkena air danau. Xaveryn sungguh tidak mempunyai keinginan untuk hidup, dia sudah sangat lelah menjalani hidup yang dinanti oleh derita di depan mata.

“Aneh sekali, kenapa sendok di dapur menara tiba-tiba menghilang? Aku terpaksa harus membuka stok sendok baru,” gumam Annita baru keluar dari menara.

Ketika pandangan Annita menuju ke arah danau, dia membeku pucat sesaat menyaksikan tubuh mungil Xaveryn tenggelam ke dasar danau. Tanpa berpikir panjang, Annita berlari untuk menyelamatkan Xaveryn.

“YANG MULIA!” Annita melompat masuk ke danau, dengan mengandalkan kemampuan berenang yang cukup baik, Annita berusaha menggapai tubuh Xaveryn yang semakin terbenam menuju dasar. Untung saja Annita berhasil menyelamatkan Xaveryn, tapi badan gadis mungil itu terasa dingin, nyaris tidak ada kesadaran yang tertinggal di tubuhnya.

Bergegas Annita membawa Xaveryn kembali ke menara, dia lekas mengabari pihak istana untuk mengabari masalah ini sekaligus meminta agar dokter datang memeriksa kondisi Xaveryn. Betapa cemasnya Annita melihat kondisi lemah Xaveryn, bahkan dia tidak berhenti gemetar setelah mendapati Xaveryn menenggelamkan dirinya ke dasar danau.

“Sebenarnya, apa yang sedang Anda pikirkan, Yang Mulia? Mengapa Anda pergi ke tengah danau? Apakah Anda benar-benar putus asa karena Kaisar dan saudara Anda tidak mengunjungi Anda selama ini?” Annita menangis sesenggukan di samping badan Xaveryn yang terbujur lemas tak berdaya di atas tempat tidur.

Menunggu beberapa menit, seorang pria tampan berambut pirang dan berkacamata datang bersama dua orang kesatria istana.

“Bagaimana ini bisa terjadi pada Tuan Putri? Apakah beliau masih belum sadarkan diri sedari tadi?” Pria itu buru-buru merogoh alat kedokterannya untuk memeriksa kondisi tubuh Xaveryn.

“Saya tidak tahu, tadi saya meninggalkan Tuan Putri sebentar, tapi ketika saya kembali lagi saya melihat beliau membenamkan diri ke dalam danau,” jawab Annita seraya menangis tersedu-sedu.

Count Reiner Wilmer, dia adalah seorang bangsawan yang berprofesi sebagai dokter, mata berwarna hazel yang dimilikinya merupakan ciri khas bahwasanya dia mempunyai darah anggota keluarga kekaisaran. Reiner tak lain yaitu Adik kandung dari Kaisar Graziella yang kini mewarisi gelar bangsawan Count Wilmer.

“Untung saja kau berhasil menyelamatkan beliau sebelum terlambat, untuk sekarang kondisi Tuan Putri baik-baik saja tapi kau harus mengawasi beliau dengan baik. Aku khawatir Tuan Putri akan melakukan hal yang lebih gila lagi,” tutur Reiner.

“Baik, Tuan, saya akan mengawasi Tuan Putri dengan baik.”

Setelah itu, Reiner melangkah keluar dari kamar Xaveryn, tidak lupa juga dia memberikan resep obat kepada Annita. Tetapi, Reiner tidak sepenuhnya meninggalkan menara, dia memutuskan menginap untuk memantau keadaan Xaveryn.

Pada malam harinya, Annita pergi keluar sebentar mengambilkan makanan untuk Xaveryn. Tanpa dia sadari, Xaveryn telah terbangun dari ketidaksadarannya. Pandangan mata gadis kecil itu masih kosong, sama sekali tidak ada harapan untuk melanjutkan hidup.

“Aku masih hidup,” gumamnya sambil turun dari ranjang. Perlahan dia bergerak menuju balkon kamar, dia melihat ke bawah balkon, yang dia lihat hanyalah hamparan tanah kosong.

“Kamarku berada di lantai empat, jika aku melompat ke bawah pasti aku tidak akan selamat.”

Kepala Xaveryn terangkat, sepasang netra hazel miliknya menatap lurus ke atas langit yang bertabur bintang. Sinar bulan purnama di malam itu mengarah padanya, sebuah senyum hambar terbit di bibir mungilnya.

“Mati di bawah sinar rembulan merupakan sebuah kehormatan, setidaknya orang-orang akan mengenangku sebagai Tuan Putri yang mati ketika bulan purnama,” gumamnya lagi.

Xaveryn memejamkan mata, dia berharap tidak akan bangun lagi di hari esok, segala rasa sakit ini akan dia bawa bersamanya ke alam kematian. Pada saat bersamaan, Annita memasuki kamar Xaveryn, tapi lagi-lagi dia menemukan Xaveryn yang berencana melakukan tindakan bodoh.

“Yang Mulia, apa yang akan Anda lakukan? Jangan berdiri di sana, itu berbahaya bagi Anda. Saya mohon jangan lakukan itu.”

Xaveryn memutar pandangannya seraya tersenyum ke arah Annita, dia pun melompat dari lantai empat menuju dasar tanah.

“KYAAAA, TUAN PUTRI!” Suara pekikan Annita terpecah dan bergema ke setiap sudut menara, dia tidak sempat menangkap atau pun menghentikan rencana bunuh diri Xaveryn.

“Annita! Ada apa?!” Reiner datang begitu mendengar teriakan Annita, dia mendapati Annita

sedang berdiri di tepi balkon sembari menangis.

“Tuan Putri … Tuan Putri melompat ke bawah, saya tidak bisa menghentikan beliau.”

“Apa?” Reiner dan sejumlah kesatria berlari menapaki anak tangga menuju bawah untuk menolong Xaveryn sembari berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada gadis kecil yang berharga itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!