Delapan belas tahun. Sudah selama itu ya?
Benar juga, selama itulah sejak aku merasakan ‘jatuh dari ujung tebing’. Kehidupan membosankan yang stabil, diakhir dengan cara tragis yang asing.
Memang kesempatan kedua ini tidak dimulai dengan indah. Rasanya aku ingin sekali mengumpat pada sosok yang aku sebut papa. Warna-warni kehidupan yang ia bawa untukku terlalu beragam. Terlalu silau. Aku sungguh tidak bisa menyebutnya kehidupan normal.
Sekarang aku bisa bernafas lega.
Harusnya sih seperti itu….
“Kenapa kalian suka sekali mengganggu orang lain?” wajah Harun, dia tersenyum dengan kemarahannya.
“Memangnya kenapa?” Saga bersembunyi di belakang tubuhku.
“Kamu tegang banget sih,” Vian tidak kalah menempel di punggungku.
Senyum Harun bergetar, “Berhenti bersembunyi di belakang Rasyi. Rasyi jadi tidak nyaman.”
Kepala Saga dimunculkan dari balik belakang tubuhku. Ia sepertinya ingin melihat wajahku. Tenang saja, aku masih saja mencoba tersenyum walaupun sedang keringat dingin.
“Tidak tuh. Ra⏤kak Rasyi senyum saja.”
Namanya ini akting, sayangku.
“Itu karena Rasyi terlalu baik, tidak seperti kalian,” Harun, tolong jangan menatapku seperti itu.
Sesedih apapun yang mau kau tunjukkan, kamu seharusnya sudah tahu baik tentang diriku daripada orang lain. Mataku ini sangat rapuh dengan yang tampan-tampan. Walau pembuat onar, si kembar tetap saja punya wajah yang bisa diandalkan.
Harun mendekat, “Menyingkir sekarang juga.”
Vian ikut merengut, “Memangnya kenapa? Sekarang kan kami tidak mengerjai siapa-siapa.”
Duh, Saga pakai mengulurkan tangannya ke depanku seperti mau memelukku saja. Harun kan bisa semakin cemburu.
“Kamu saja yang menyingkir,” Saga menarikku perlahan ke belakang dan menjauhkanku dari Harun, “Kamu yang bikin kak Rasyi tidak nyaman.”
Aduh! Dejavu apaan ini?!
Memang sangat bisa disyukuri dengan si kembar ini tidak membalas dengan teriakan, tapi mereka tetap saja keras kepala. Harun, lelaki manis yang baik hati dan lemah lembut, bisa saja kambuh dengan amarah yang melonjak.
Padahal aku sudah berdamai dengan kedua adik kelas ini, tapi sepertinya di mata Harun mereka masih saja pembuat onar.
“Sudahlah Harun, mereka sedang tidak jahil kok,” aku menunjukkan kedua telapak tanganku ke arah Harun.
Dia tampak sangat sedih.
Inilah kelemahanku. Bagaimana bisa aku bersikap jahat pada lelaki tampan yang aku sudah kenal sejak umur tiga tahun ini? Namun aku tidak suka peperangan~!
“Dengerin tuh~”
“Kalian, senang ya sekarang bisa dibelain Rasyi,” sekarang senyum Harun sekarang hilang!
“Enak dong~ Sekarang pergi sana.”
Mama tercinta yang ada di surga. Apakah kamu mengutukku dengan kehidupan yang memang selalu ribut?
Cita-citaku hanya ingin hidup damai, tenang dan bahagia seperti orang pada normalnya. Bertemu dengan teman hidup yang tampan dan baik hati seperti harapan cewek kebanyakan. Diberkati papa yang selalu siap menghalau semua masalah yang merepotkan.
Namun kalau seperti ini, bagaimana bisa hidup normal?! Semuanya berlawanan dari harapan!
Tolong aku mama~!
Hari ulang tahunku yang keempat belas. Tidak pernah aku bisa melupakan hari itu. Selain akhirnya lepas dari drama keluarga, aku juga mendapatkan scene yang manis.
Di acara sederhana antara teman dan kerabat dekat, sehabis meniup lilin angka itu, ada tamu yang datang terlambat. Lelaki yang aku kenal akrab ini masuk dengan menutup wajahnya. Bukan karena apa, tapi karena hadiah yang dia bawa. Megah dan besarnya buket bunga Aster merah muda.
Lelaki ini memunculkan wajahnya di sudut buket itu. Senyum yang kalem dan segar itu membuatku terpesona dari awal kami bertemu sampai sekarang.
Semua terdiam di tengah-tengah lelaki ini melangkahkan kakinya mendekat.
“Aku tidak akan meminta untuk punya hubungan lebih. Belum,” dia meraih tanganku dan membimbingnya memeluk buket itu, “Aku mau kamu menunggu. Sampai aku bisa jadi pasangan yang sempurna untukmu.”
Mata coklat lelaki yang aku suka itu menghipnotisku.
“Jangan lupa, aku menyukaimu.”
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
Hari yang terik menyilaukan mata terus berlanjut. Di usiaku yang ke sudah enam belas tahun, matahari masih saja menjadi misteri. Siapa yang tahu hari ini ia akan bersinar, atau tertutupi kapas-kapas kelabu yang menangis. Ramalan cuaca pun tidak bisa sepenuhnya benar.
Pemikiran apa ini? Bukannya kedamaian ini yang aku mau?
Ya~ Aku akan mengikuti saja arah angin yang menentukan mendung atau hari cerah itu.
Sekarang….
Wanita ‘berpunuk’ di kepalanya ini mengambil satu persatu lembar kertas yang sudah didiskusikan.
Guru ini merapikan tumpukan kertas penting, mengetukkan ujung bawahnya ke meja yang diletakkan di antara aku dan beliau, “Nah. Sudah selesai, pak. Rasyiqa-nya sudah bisa langsung ke kelas.”
Ha, ha…, kembali lagi aku di posisi ini.
“Kalau bapak punya pertanyaan langsung saja hubungi saya di nomor sebelumnya,” ia berdiri dari duduknya, “Ayo, biar Rasyiqa ibu antar.”
Hah. Apakah memang dua tahun rehabilitasi penuh, untuk menangani Agoraphobia yang aku alami, tidak akan cukup? Sepertinya otakku sudah di program sedemikian rupa untuk takut akan hal itu.
Tidak! Masa kamu termakan gemetar ini, sih?! Nanti tidak ada habisnya! Jangan terpedaya… tapi~!
Pria ini mengarahkan bola matanya ke arahku, “Kenapa? Mau papa antar juga⏤”
“Tidak~” aku langsung berdiri mengaitkan tali tas ransel di kedua pundakku, “Sampai jumpa nanti, papa~”
Dia pasti mau membuatku malu. Bukan hanya karena seakan aku perlu pengawal walau cuma pergi ke kelas, tapi aku seperti membawa megaphone dan mengumumkan kehadiranku pada orang-orang. Wajahnya itu, bagaimana bisa tidak menarik perhatian?
No no no! Aku hanya mau sekolah yang tenang tanpa gosip! Lagi pula, walau fisikku belum dewasa tapi aku sudah kepala empat….
Kenapa aku harus mengingat hal itu lagi? Aku masih muda! Muda!!
Yang terpenting bukan itu! Ini kehidupanku yang kedua kalinya. Diriku diberkati dengan kesempatan bereinkarnasi. Tidak ada yang perlu aku takuti!
“Selamat bersenang-senang,” pria ini hanya memiringkan kepala sambil tersenyum tipis dan manis.
Papa malahan mengatakan hal yang sama dengan debutku di SMP dulu.
Rizki memang mengatakan kalau sudah waktunya aku mulai menormalkan keseharianku. Belakangan ini memang diriku dan lingkungan terasa tenang. Layaknya dia memang ingin sekali aku merasa senang dan damai di dunia yang sering kali kejam ini.
“Rasyiqa pernah sekolah di sebelah kan? Berarti pernah dong sekali dua kali kemari.”
Ups! Seharusnya aku tidak melamun begini! Aku kan sedang berjalan ke kelas bersama guru tadi.
“Iya, bu. Sekali-sekali saya ke kelasnya kak Fares,” atau hanya sekedar mengganggu para kucing.
“Gimana kabar Fares?”
Basa-basi ini pasti akan berkutak disana-sana saja. Hanya karena papa menghubungi sekolah atas nama Fares, semua guru disini jadi tahunya aku kenalan Fares. Kepribadianku terkikis.
“Kak Fares masih kuliah di dekat sini. Ambil jurusan hukum,” aku tersenyum seramah mungkin.
“Kalau Rasyiqa? Sudah ada rencana mau lanjut ke mana?”
Aduh bu~ Rasyiqa ini masih kelas sebelas alias kelas dua SMA. Belum juga masuk kelas. Sudah ke sana saja basa-basinya.
“Saya masih belum yakin bu. Maunya sih jadi akuntan,” ya, seperti di kehidupanku yang pertama dulu, “Tapi belakangan ini saya juga tertarik sama DKV*,” itu mungkin karena aku dapat bakat menggambar entah dari mana. Padahal di kehidupanku dulu aku tidak bisa.
“Wah, semoga bisa pilih yang paling cocok ya,” Iya bu, iya…, “Nah, ini kelasnya Rasyiqa. Langsung masuk saja.”
“Iya bu, terima kasih,” aku melepas pergi guru ini.
Hah, sekarang aku harus bisa menghadapi sendiri.
Memang sangat menguntungkan datang di tengah jam pelajaran pertama. Semua murid pasti sedang disibukkan dengan kelas mereka.
Walaupun ada jam kosong, aku yakin sistemnya sama dengan SMP-ku dulu. Guru lain akan masuk atau sekedar diberi latihan. Kurasa itulah yang menguntungkan di sekolah unggulan. Terlalu baik di sisi pendidikannya sampai aku yakin ada sebagian murid yang mengeluh.
Ayolah, Rasyi! Jangan memikirkan hal lain! Fokus pada apa yang ada di depan!
“Rasyi?” hmm? “Kok tidak masuk-masuk?”
Harun?
Duh! Jangan melamun! Bukan saatnya berfantasi ria!
“Tidak~ Aku cuma tegang,” kaku gerak tubuhku melepaskan sepatu di barisan penuh sepatu.
“Jangan takut,” senyumnya lagi-lagi mencerahkan hari kemarau yang terik, “Yuk, masuk bareng aku,” dia keluar dan mendekatiku.
Baik!
Aku mulai melangkah mendekat dengan kaos kaki putih beralas hitam yang aku kenakan, “Tapi di kelas tidak ada pelajaran?”
“Gurunya tidak datang hari ini. Jadi kami disuruh kerjakan latihan soal.”
“Hmm~” seperti yang baru saja aku pikirkan.
Aku berhasil menyamakan langkahnya yang menemaniku untuk masuk ke dalam kelas.
Oh iya, “Harun, katanya kan kelas kita⏤”
“SURPRISE!!!”
Waaa! Apa?! Kenapa?!!
“Rasyi~”
Loh? “Firna?” aku membalas pelukan tiba-tiba perempuan ini.
Mulutku terbuka lebar. Tercengang. Entah berapa orang banyaknya sudah berkumpul mengitari aku yang baru saja masuk ke kelas bersama Harun. Salah satunya membawa…, kue coklat?!
Tunggu! Ada angin apa sih?! Ulang tahunku kan sudah lewat!
“Wi~ Akhirnya bisa sekelas sama Rasyi lagi~”
“Rasyi makin cantik ya, hahaha.”
“Rasyi~!”
Mereka kan…. Benar juga! Mereka semua teman-temanku yang sekelas denganku di SMP dulu. Walaupun hanya sebagian kecil saja dari seluruh kelas yang penuh, tapi mereka di sini.
“Ini kue selamat datangnya~”
Eh?
Salah satu dari mereka menyalakan korek dan mendekatkannya ke ujung lilin spiral yang tertancap di cake penuh lapisan coklat.
“Tiup! Tiup!” senang wajah Firna masih memeluk pinggang di samping aku berdiri.
Mereka semua sweet sekali~
Benar-benar aku dibuat tidak bisa berkata apapun. Malu dan bersemangat menjalar begitu saja. Tidak bisa aku tahan keinginanku untuk meniupnya. Walaupun lucu meniup lilin di hari yang bukan ulang tahunku, hihihi.
“Fuuh!” kutiup satu lilin itu disusul sorak-sorai semua yang berkumpul, “BTW, kok kalian tahu aku masuk kelas sini?”
“Siapa lagi? Pacarmu yang beritahu~”
Pa, pa pa, pacar?! “Kami tidak pacaran!!” duh! Aku yakin mukaku memerah sekarang!
“Belum saja~”
“Dia malu.”
“Sudah ah!” Firna akhirnya bisa peka, “Ayo potong kuenya!”
Keributan mereka setidaknya beralih ke kue coklat yang tampak mahal tadi.
Aku menggerakkan bola mataku, melirik ke arah lelaki yang sempat dibahas⏤mata kami saling bertemu?!
Malu rasanya sampai aku menghempas pandanganku berlawanan. Saat-saat jantungku berlari seperti ini kembali mengingatkanku akan perayaan ulang tahunku waktu itu. Tentu saja mereka yang sudah tahu kejadian itu akan menganggap kami berpacaran.
Padahal Harun tidak pernah menembak.
Oh?
Lagi pandanganku menatapnya, tak peduli lagi dengan tatapannya lelaki yang masih menatapku itu. Diri ini masih disibukkan dengan pikiranku yang baru saja terpintas.
Kenapa waktu itu Harun hanya mengatakan perasaannya padaku? Kenapa dia tidak mau langsung punya hubungan lebih?
Apa yang dia tunggu?
^^^*DKV (Desain Komunikasi Visual) : cabang ilmu desain yang mempelajari penyampaian komunikasi dengan cara yang visual atau rupa.^^^
Aku mengenal papa sebagai dokter yang jenius. Bahkan saat aku berumur delapan bulan dengan lidah berbahasa indonesia ala dinosaurus, ia bisa paham apa yang aku bicarakan.
Ia bisa duga kalau aku suka dengan Harun tanpa kuberitahu.
Tragedi itu sudah lama terjadi. Aku yakin, Harun pun masih ingat dengan pernyataanku yang tidak langsung itu.
Ya, papa terang-terangan bilang kalau aku menyukai Harun.
“Rasyi~ PR biologi sini.”
Tanganku sibuk menyikut meja menahan dagu. Buku yang sudah aku siapkan sedari tadi langsung kuserahkan ke arah siapapun itu.
“Mikirin apa, si princess?”
“Serius amat.”
Huh, para lelaki baru gede ini malah mendatangiku dengan gombalannya.
Bicara aku tanpa melihat sumber suara, “Pikirin Harun.”
Aku tidak bisa berhenti menggalau. Otakku berputar-putar pada pertanyaan kenapa dan kenapa.
Harun sudah mengatakan perasaannya padaku. Ia juga sudah tahu kalau aku juga menyukainya. Namun, semuanya seakan bukan apa-apa. Kami menjalani kebersamaan selama dua tahun ini layaknya kami teman biasa.
Lelaki itu bukan sedang ragu denganku atau apapun, bukan? Bila dia ragu, dia akan berpikir dua kali untuk menyatakan perasaan pada perempuan yang suka dengannya.
Katanya waktu itu, ia ingin menyiakan diri untuk menjadi pasangan yang sempurna.
Akan tetapi, butuh waktu sepanjang ini? Sempurna seperti apa yang ia maksud untuk capai?
“Cie~”
“Rasyi bisa begitu ternyata!”
“Tidak ada harapan buat aku ya?”
Apa? Kenapa?
Sesaat aku merasakan kedua ujung besi bertegangan tinggi saling bertemu, menunjukkan aliran listrik yang jelas di saraf kesadaranku.
(“Pikirin Harun.”)
Aku berdiri dengan wajah yang aku yakini memerah, “I, itu, maksudnya, aku⏤bukan begitu.”
Bagaimana bisa tadi aku gamblang sekali?! Harun dan aku kan tidak punya hubungan apapun!
“Jangan malu~ Kamu sama Harun cocok kok!”
“Huh, aku tidak restui.”
“Menyerah saja kamu. Rasyi udah sama Harun.”
Jantungku, kacau! “Bukan, Harun itu…!”
“Kenapa denganku?” suara ini… aku menatapnya selagi matanya berkedip, “Rasyi panggil aku?”
Aaaaargh! “Itu aku, tuh…,” Muka ini pasti sudah terpanggang sekarang! “Jangan dibahas~!”
Puaskan saja tawa kalian! Tahu kok, saat salah tingkah pun aku masih manis dan menggemaskan.
Mulutku sudah memanjang dengan kesalnya. Sabarlah jantungku, mereka hanya mau iseng denganmu.
“Ya sudah. Kalian mau ke kantin? Mumpung masih sepi,” untunglah Harun berhati baik mengalihkan gangguan mereka, “Atau mau titip?”
“Traktir?”
Harun tersenyum lebih lebar, “Ogah~”
“Pelitnya~”
Suasana akhirnya kembali normal. Namun aku tidak tahu seberapa merah masih pipiku. Aku hanya berharap Harun tidak tahu dan tidak bertanya apapun.
Harun kembali menatapku, “Rasyi mau titip juga?”
“Oh? Emm…,” Rasyi, berpikirlah normal!
“Cie, salting~”
“Harun tidak gigit, Rasyi.”
“Berisik!” aku memanyunkan kembali bibirku.
Siapa yang aku bohongi?! Tentu Harun sudah tahu kalau seisi kelas menjodohkan aku dengannya. Rasanya seperti dikelilingi puluhan orang papa yang sengaja keceplosan di depan Harun! Aaaaaa!
“Roti coklat gimana?” Harun kembali menenangkan suasana.
Aku harus menjawabnya! Tenang, jantung! “Iya.”
“Oke~” lelaki ramah ini melangkah pergi setelah menerima banyak titipan.
Mengingat wajah yang tersenyum itu… kebingunganku merajalela! Rasa galau ini menerkamku semakin dalam!
Sudahlah!
Daripada menggalau tanpa ujung, aku fokus pada rencana kehidupan normal anak sekolahan saja! Mana kita tahu apa yang akan terjadi kan?
Namun, Rasyi adalah kurungan rumah. Bertemu matahari hanya untuk berangkat, belajar dan pulang. Sebelum ini justru aku sekolah privat. Pengalaman sekolah sekedar taman kanak-kanak dan satu semester di SMP.
Memang mencari teman hidup yang ideal itu penting, tapi aku kan juga harus memuaskan hidupku!
Lalu apa yang bisa aku lakukan? Tiga hari berlalu dan aku masih ‘kasat mata’.
“Dengar tidak, ekskul basket? Si duo pembuat onar buat rusuh lagi!”
“Ekskul kamu sendiri dong.”
“Kenapa lagi, senior tim basket~?”
“Mereka ya diminta tolong baik-baik. Malah nyolot!”
“Oh iya,” Firna bertanya dan memecahkan lamunanku, “Rasyi tidak ikut ekskul?”
Ekskul?
“Kalau Rasyi pasti ikut ekskul gambar tidak sih?”
“Tapi kan Harun ikut sains. Tidak ke sana?”
Ekskul? Benar juga.
Rasyi maupun diriku di kehidupanku sebelumnya tidak pernah ikut ekskul. Kerjaanku itu belajar, belajar, belajar.
Apalagi waktu itu aku harus fokus mempertahankan nilai yang pas-pasan untuk beasiswa. Mana ada namanya orang penanggung biaya ke sekolah yang populer. Hanya dariku dan untukku.
Sekarang, aku bisa lebih santai. Papa kan jenius yang kaya. Tentu saja aku akan membebaskan diri!
“Ekskul di sini apa saja?” aku mulai mengintrogasi.
“Banyak sih. Aku juga gak ingat.”
Oh, sepertinya aku tidak perlu khawatir tidak bisa menemukan apa yang mau aku ikuti. Aku memang mendengar kalau sekolah ini difavoritkan karena tidak hanya akademik, tapi juga minat masing-masing murid dikembangkan dengan baik.
Kak Fares bilang sekolah ini dapat dukungan banyak dari para alumni. Mereka kebanyakan sudah sukses di bidang-bidang ekskul di sekolah ini. Jadi lebih mudah untuk mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai.
Ya, tetap saja nilai itu penting untuk masuk ke sekolah full day* ini. Untungnya papa adalah guru privat yang baik.
“Hmm…,” salah satu temanku ini memainkan jarinya dan menghitung, “Paskibra, PMR, paduan suara, teater, dance, tari tradisional, english debate, menggambar, Sains club…, apa lagi?”
“Musik! Aku dari sana wee.”
Firna ikut mencoba mengingat, “Yang baru, fotografi.”
Ternyata masih berkembang ya. Kebanyakan yang kudengar, ekskul banyak yang dihentikan dan bisa jadi digabungkan dengan lainnya. Namun disini malah semakin banyak.
“Yang olahraga. Basket, bulu tangkis, atletik, sepak bola.”
“Ekskulnya Tiara, yang keterampilan itu.”
“Baru-baru juga ada club matematika kan? Katanya kalau itu jadi, bu Sarah juga mau rekomen buat ekskul bahasa Jerman.”
“Coba ada bahasa korea. Pasti aku ikut!”
Duh. Banyaknya tidak ketolongan. Kalau seperti ini sih, bisa kembung.
Firna kembali memandang ke arah aku yang masih kebingungan, “Rasyi mau ikut apa?”
Ya sudah! Aku akan pilih banyak!!
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
“Terus aku juga mau coba ikut paduan suara. Kata Firna itu asyik walau tidak bisa menyanyi,” aku memainkan bando manis yang ingin kupakai.
“Hmm,” papa masih sibuk memainkan rambutku sesuai permintaanku.
Kudekatkan bando itu ke bibirku, seakan menciumnya, “Rasyi juga mau ikut teater,” aktingku kan lumayan~
Papa tidak berkata apapun selain gerakan tangannya yang masih cekatan. Apa jangan-jangan akhirnya dia bisa bersikap overprotective layaknya sang ayah pada putri tunggalnya?
Kubuka lagi mulutku, “Tidak boleh?”
Nafas papa seakan berat, “Jadi papa jemput jam berapa?”
Oh iya ya. Karena aku mau ikut banyak ekskul, berarti aku sering pulang lebih sore. Biasanya sekolah pulang jam dua. Lalu ada dua jam yang disediakan untuk ekskul.
Berarti, “Selasa jam dua. Senin paduan suara. Rabu english debate. Kamis juga ekskul gambar… bisa jadi jam empat. Jumat ada kelas habis jumatan, pulang jam tiga. Terus ada teater dan Sains club di Sabtu sore jam tiga-an, selesainya jam enam.”
Tangan papa meraih bandoku. Ia memakaikan bando itu di atas rambutku yang sudah dibuat ekor kuda.
“Selesai.”
“Makasih papa~” aku menatapnya, berpikir sejenak, “Tidak boleh ya Rasyi ikut banyak ekskul?”
“Asalkan jangan menyesal kalau sampai sakit nanti.”
Iya! Aku tidak akan merepotkanmu, papaku tercinta yang jahat. Rasyi paham kamu tidak peduli akan apapun selama tidak diimbaskan.
Yah, kusyukuri jalan pikiran papa ini, “Tenang~ Rasyi tidak sakit semudah itu.”
^^^*Full day: sistem *** (Kegiatan Belajar Mengajar) sekolah dengan 8 jam per hari dari Senin sampai Jum’at, dengan berbagai ketentuan dan keputusan di masing-masing sekolah.^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!