Yang bersedia membaca kisah ini. (Jodoh Yang Ketiga) sebaiknya, baca juga (Pernikahan Berujung Luka) sebab ini kelanjutan dari kisah ini.
Selamat membaca.💪💪💪❤❤❤.
Diah Susanti PoV.
Gagal pernikahanku yang terdahulu, aku akui karena aku bukan wanita yang baik. Namun, tidak membuat aku jera.
Aku menikah lagi dengan Alfredo, kami saling mencintai tetapi ternyata, aku di bohongi. Pasalnya, Alfred sudah mempunyai anak, dan istri.
Pernikahan aku yang kedua pun terpaksa bercerai, walaupun kami sudah di karuniai satu anak. Karena aku sadar, tidak ingin merusak keharmonisan rumah tangga mereka.
Walapun sejatinya percerainku yang kedua menjadi pukulan yang keras. Namun, justeru membuat aku bertaubat, dan kembali ke jalan Allah.
Waktu berlalu, satu tahun kemudian, setelah bercerai dengan Alfred, aku menikah dengan Marcello, yakni pemilik pabrik dimana aku bekerja sebagai buruh.
Berawal dari pertemuan aku dengan putri kecilnya, ia sangat menyangi aku. Bak gayung bersambut duda punya anak satu yang kaya raya, tampan, dan luar biasa baik itu, menikahi aku.
"Papa... jangan bobo di sini, Papa bobo di kamar Papa sendiri, saja" rengek Lita anak sambungku. Selama sepekan menikah, kami tidak diberi kesempatan oleh Lita, untuk berdua hingga kami belum bisa melakukan malam pertama.
"No! Lita dong yang bobo sendiri, Mama kan istri Papa" Begitulah anak dan bapak itu selalu merebutkan aku seperti mainan.
"Tuan... sudah biarkan saja dulu" ucapku. Entahlah, selama seminggu menikah, lidahku kelu untuk memanggil suamiku sengan panggilan lain.
Hingga akhirnya aku diberi kejutan, tidak menyangka suamiku mengajakku menginap di hotel.
"Tuan yakin? kita mau menginap di sini? Lita nanti pulang sekolah pasti mencari aku" memang benar adanya, setiap sekolah aku selalu mengantar jemput.
"Biarkan saja, Lita dijemput supir"
"Let's go" begitulah Marsel, jika bicara selalu di campur antara dua bahasa, karena ia tidak begitu lancar bahasa Indonesia.
Ia menggandengku masuk lorong-lorong menuju kamar hotel. Pria tampan itu meliriku tersenyum yang selalu merekah. Ah, pria tampan ini selalu memberi aku kejutan.
Sampailah kami di kamar suites, dengan jendela yang berukuran besar, hampir menyentuh lantai.
Aku buka gorden tampak langit-langit, dan pemandangan kota yang menakjubkan.
"Honey... aku ke kamar mandi dulu" ia mengecup keningku sesaat lalu kekamar mandi.
Aku mengangguk, setelah ia keluar akupun gantian masuk ke kamar mandi. Lantai marmer mewah di lengkapi dengan shower dan bathtub. Sebenarnya tanpa harus ke hotel, kamar Marsel pun sama seperti ini.
"Come here" ia menepuk bantal di sampinya setelah aku ke luar dari kamar mandi. Kemeja dan jas pun sudah dibuka ia hanya mengenakan boxer tanpa kaos terpampang dadanya yang putih kemerahan di tumbuhi bulu hitam.
Aku masih terpaku di pinggir ranjang. Kontan ia menarik tanganku hingga menimpa dadanya.
"Tuan" ia tidak lagi menjawab langsung menyergap bibirku. Aku larut dalam cumbuan mesranya, ia tahu tempat sensitif di tubuhku.
Terjadilah sore pertama, bukan malam pertama, aku serahkan tubuhku kepada suamiku.
Aku seraya berdoa semoga pernikahanku kali ini tidak akan ada lagi saling melukai, seperti pernikahanku yang terdahulu.
"I love you" bisiknya di telingaku.
*I love you too"
Kami sama-sama merasakan nikmanya surga dunia, hingga akhirnya aku tidur dalam pelukanya.
Sore hari aku terbangun dari tidur terasa dingin menyusup kulit, ternyata selimut yang kami pakai berdua jatuh kelantai.
Aku menoleh Marsel tanpa sehelai kain pun di tubuhnya tampak pulas dalam tidurnya.
Segera aku ambil selimut untuk menutup tubuhnya. Satu tangan yang menjuntai ke pinggir ranjang lalu aku betul kan.
Namun, mataku tertuju kepada jari manisnya, terselip cincin kawin tapi bukan yang kami beli berdua sebelum kami menikah.
Aku pegang jemarinya, lalu aku baca lebih dekat, hatiku sakit, ternyata cincin kawin itu bukan terukir namaku, tetapi nama Arabella.
Deg.
Dadaku terasa tersayat sembilu, lalu kembali ku tatap wajah dan tubuhnya yang masih belum berubah posisinya.
Inilah yang aku takutkan siapa Arabella? atau inikah nama istrinya yang terdahulu? pertanyaan ini yang ada dalam pikiranku.
Lalu apakah Marsel masih mencintainya? jika tidak, mengapa ia masih memakai cincin itu.
Air mata ku tidak bisa aku tahan. Aku duduk lemas di lantai bersandar ranjang, mendongak membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ia masih mempunyai istri seperti pernikahanku yang terdahulu?
Ia mengangkat aku ke langit tujuh. Lantas menjatuhkan tubuhnya ke dasar jurang.
Aku menyesali, mengapa begitu cepat menerima lamarannya, tidak menanyakan kemana istri nya yang dulu sebelum kami menikah.
Karena aku pikir, ia pun tidak mau mempermasalahkan siapa aku dan kehidupan ku di masa lalu. Maka akupun percaya sepenuhnya.
Aku menarik napas panjang, ku hembuskan dengan kasar. Apakah aku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang pelakor? jika memang dugaan aku benar bahwa Marsel masih mempunyai istri.
Membayangkan itu napasku semakin sesak. Akankah mama Calista suatu saat akan kembali? dan pada akhirnya aku akan berpisah lagi dan lagi-lagi berstatus sebagai janda.
Segera aku masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuhku. Air mata ku mengalir semakin deras.
Selesai mandi aku ambil air wudhu menjalankan shalat ashar, mengadukan semua kepada Allah.
Ya Allah... ijinkan aku membina rumah tangga hingga akhir hayat, jika memang Marsel adalah jodohku.
Cukup Abim dan Alfredo yang menjadi masala lalu, dan Marsel tetap menjadi masa depanku.
Ah, ingat nama Alfred susah payah aku berusaha untuk melupakan agar dihilangkan rasa cinta di hatiku, dan akhirnya hadir Marsel dalam hidupku.
Aku pikir akan mengobati luka hatiku. Tetapi aku salah, justeru membuat luka hatiku yang sudah mulai mengering kini tergores kembali.
Aku pikir tak akan lagi ada sakit di hatiku, setelah terima Marsel, karena sudah kesekian kalinya ia membujuk aku. Tetapi aku salah, nama Arabella masih terukir di hatinya. Ya Tuhan... betapa bodohnya aku, mengapa tidak aku jadikan pelajaran pernikahanku yang terdahulu.
Hiks hiks hiks aku bersujud, mengadukan segala sakit di hatiku.
"Honey..." rupanya ia mendengar tangkisku, lalu bangun dari tidurnya duduk di sampingku. Di usapnya badanku dengan lembut. Ya Tuhan... semoga akan selalu begini sikapnya kepadaku.
"Honey... kenapa kamu menangis?" ia merengkuh tubuh ku yang masih mengenakan mukena.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya terlalu khusyu berdoa" jawabku. Aku tidak ingin menanyakan masalah ini sekarang, karena aku belum sanggup menerima kenyataan jika rumah tangga yang baru beberapa hari ini akan berakhir.
"Oh ya sudah... aku mandi dulu" Aku hanya mengangguk. Menatap tubuhnya dari belakang, tidak percaya, bahwa pria sebaik dia pun, tega membohongi aku seperti Alfred dulu.
Lalu untuk apa ia menikahiku? apakah karena anak nya, sudah jatuh cinta kepadaku, lantas aku hanya ingin di jadikan baby sitter?
Kak Abim apakah kamu belum bisa memaafkan aku? hingga aku selalu mengalami nasip seperti ini? karena dosaku kepada Abim mantan suamiku terlalu banyak. Kebohongan-kebohongan yang dulu aku lalukan kepada Abim kini berbalik menyerangku.
"Mama... mau kemana?" tanya Lita ketika melihat Diah sudah tampil rapi lalu berlari kecil menghampirinya. Anak itu benar-benar tidak mau jauh dari Diah.
"Mau pergi ke pesta Tante Melati, sayang," Diah mengusap kepala Lita yang sedang mendongak menatapnya.
"Ikut" ucapnya.
"Ayo, salin baju dulu" Diah meraih tangan anak sambungnya.
"Yes!" Lita kegirangan berjalan berjingkrak-jingkrak mengayun-ayun tangan Diah, menuju kamarnya.
"Mau pakai baju yang mana? sayang..." Diah membuka lemari baju.
"Yang ini, bagus, Ma" Lita menunjuk baju muslim bahan brukat kombinasi tile, di tambah motip kembang pada bagian dada.
"Oh, mau pakai kerudungnya tidak?" Diah mengangkat kerudung satu paket dengan baju berwarna pink.
"Pakai, biar sama seperti Mama"
"Baju ini siapa yang membelikan sayang..." selidik Diah, ingin tahu apakah yang membelikan baju muslim ini wanita yang bernama Arabella atau bukan.
"Ini yang beliin Papa, tapi aku yang memilih, bagus kan..." celoteh Calista.
"Bagus... memang, Mom..." Diah ingin menanyakan tentang mana kandung Lita. Namun tidak melanjutkan karena terdengar deritan pintu kamar seperti ada yang membuka.
"Already tidy?" Ternyata Marselo menghampri kekamar. Membuat keduanya menoleh. Diah menatap suaminya yang berpakaian batik berjalan mendekatinya tampak keren.
"Soon" Lita yang menyahut, sementara Diah sedang menalikan baju terusan Lita di belakang.
"You are very beautiful" puji Marsel mengecup pipi Diah yang sedang berjongkok.
"Tuan" Diah malu kepada Lita. Marsel menyunggingkan bibir.
"Ayo" Diah menuntun Lita mereka berangkat di antar supir menuju hotel dimana Melati resepsi.
"Lita duduk di tengah" kata Lita. Mereka sudah berada di dalam mobil. Melihat Marsel dan Diah berdempetan. Lita kemudian menggeser papa dan mama nya.
"No" Marsel tidak mau kalah, tetapi Diah yang bergeser hingga mentok ke kaca.
"Emm... Lita menang" Lita menjulurkan lidahnya ke arah Marsel menggerak-gerakan kedua tangannya di kedua sisi telinga tampak lucu.
Diah tersenyum menatap tingkah Lita.
"Oho" Marsel kemudian merangkul tubuh putrinya. Hari minggu jalanan tidak terlalu macet mereka sampai di hotel. Setelah memberi selamat kepada Melati, Diah pindah memberi selamat kepada Intan.
"Hai kakak ipar" kelakar Intan tersenyum menatap Diah.
"Kakak ipar?" Marsel tampak menghentikan langkahnya tidak mengerti apa yang Intan maksud, karena Marsel belum tahu jika Abim mantan suami Diah.
"Papa ayo" Lita menarik tangan Marsel menyusul Diah yang sudah mendekati pelaminan.
"Selamat ya Tan" Diah memeluk Intan kemudian menyalami Rony. Diikuti Marsel dan Lita.
Mereka tidak sempat basa basi karena di belakang para tamu sudah antri. Setelah foto bersama mereka turun.
"Mama... Lita mau icream" rengek Lita menarik tangan Diah.
"Okay..." Diah mengajak Lita mengantri icream, setelah pamit Marsel, sebab Marsel berniat menemui papa Wahid.
"Selamat siang Om" Marsel berjabat tangan.
"Selamat siang... loh, kok sendirian? Diah kemana?" pak Wahid mengedarkan pandangan, tidak melihat Diah.
"Mengantar Lita ambil makanan dulu, Om" jawabnya.
"Oh iya Sel, kenalkan, ini Johan sahabat saya, dan ini istri nya" papa Wahid memperkenalkan pak Johan.
"Marcello, Om" Marsel menganggukkan kepala.
"Ini suaminya Diah, Han, Ceo pt food" papa menepuk pundak Marsel.
"Oh, suami Diah, mantanya Abimanyu?" tanya Pak Johan.
Deg.
Marselo terkesiap mendengar pertanyaan pak Johan. Mantan Abim? ternyata Diah mantan istri Abim, tetapi kenapa, Diah tidak pernah bercerita? batin Marsel.
"Betul Han" Mereka pun berbincang-bincang.
"Papa, mau icream?" Lita menunjukkan ice di tangannya, menghampiri Marsel kemudian menyantapnya sambil duduk di pangkuan Marsel.
"Buat Lita saja" Marsel membetulkan posisi duduk putrinya.
"Hati-hati makan nya sayang... nanti kena baju Papa" kata Diah kemudian duduk di samping Marsel setelah menyusut mulut Lita dengan tissue.
"Iya Ma" jawab Lita sambil komat kamit menjilati icream, kas anak-anak.
"Papi kamu tadi belum lama pulang Nak, Diah" tutur papa Wahid.
"Oo, Papi sudah kemari ya, Pa?" tanya Diah.
"Sudah, tapi tidak lama" papa yang dulu pernah tidak suka dengan Diah semasa masih menjadi menatunya kini sudah tidak lagi.
Marsel menoleh wajah Diah lambat. Keterlaluan sekali kamu Diah, tega membohongi aku, sudah gitu, memanggil mantan mertuamu masih dengan sebutan papa, memanggil Abim pun kakak! sedangkan memanggil aku,Tuan.
Hati Marsel bergemuruh, perang dengan pikiranya sendiri. Membayangkan wajah Abim yang tampan. Pasti Diah bersemangat datang ke pesta ini karena masih ada rasa cinta denganya.
"Makan dulu Diah, suaminya di ajak" titah pak Wahid.
"Baik, Pa" Diah mengajak Lita makan bersama Marsel.
Setelah mencicipi makanan sedikit, Marsel mengajak anak istrinya pulang.
Jika biasanya Marsel berebut ingin berdekatan dengan Diah. Kali ini Marsel memilih duduk di samping supir. Entah kenapa ia merasa kesal sejak mengetahui bahwa Diah mantan istri Abim.
"Hoamm... ngantuk Ma" mata Lita rupanya sudah lima what.
"Bobok sini" Diah menepuk pangkuannya. Lita pun merebahkan tubuhnya hanya lima menit sudah tidur.
Didalam mobil hening, Diah menatap Marsel dari belakang bertanya dalam hati. Tidak biasanya Marsel diam begitu.
"Sudah sampai Mbak Diah" supir membukakan pintu untuknya, membuat Diah tersadar dari lamunan.
"Iya Mang" Diah menggeser bokongnya perlahan, agar Lita tidak bangun.
"Let me." Marsel menggendong anaknya dari pangkuan Diah. Pria tampan yang di tumbuhi cambang hitam di seputar dagu itu, membuat hati Diah bergetar, setelah Alfred. Namun sayang keduanya belum ada yang saling terbuka mengenai pribadi masing-masing.
Mereka sampai di depan kamar Lita, Marsel masuk ke dalam setelah dibukakan pintu oleh Diah, merebahkan tubuh putrinya perlahan.
Marsel keluar dari kamar, Diah membuntuti, kemudian menutup pintu perlahan.
Keduanya masih saling diam hingga sampai di kamar mereka. Setelah salin baju Marsel merebahkan tubuhnya di ranjang
Sementara Diah, setelah dari kamar mandi, menangkap sosok suaminya sedang tidur, menghadap tembok.
Diah hendak meninggalkan suaminya berniat belajar memasak, makanan kesukaan Marsel sama bibi.
"Diah" panggil Marsel tanpa membuka mata. Yang biasa memanggil Diah honey, kini pangilanya berubah.
Diah balik badan menghampri. "Ada apa Tuan?" Diah berdiri di samping ranjang.
"Berhenti memanggil aku, dengan sebutan Tuan! ngerti!" bentak Marsel. Membuat Diah ketakutan sendiri. Jika dengan Alfred dulu satu kata di jawab dengan ratusan kata oleh Diah, tetapi dengan Marsel, ingin menjawab satu kata pun berpikir.
"Tidur!' perintah Marsel.
"Iy- iya" Diah pun menurut kemudian merebahkan tubuhnya di samping Marsel.
"Ada apa Tu, Bang, Mas, Kak" Diah mengabsen panggilan sambil terlentang menatap cicak yang sedang merayap tetapi bukan di dinding seperti di lagu. Melainkan, sedang berkencan di langit-langit internit.
"Kenapa kamu nggak jujur sama aku?" Marsel tetap terpejam.
"Nggak jujur? nggak jujur masalah apa?" tanya Diah tidak mengerti. Keduanya berbicara dengan posisi semula tidak ada yang berniat menatap.
"Kamu mantan istri Abimanyu kan?!" ketus Marsel menatap Diah horor.
"Iya, terus kenapa?" Diah menjawabnya santai.
"Oh, pantas! semangat sekali kamu mau datang ke undangan, biasanya kalau aku ajak pergi kamu selalu menolak, ternyata kamu ingin bertemu 'mantan!" Marsel menekan kata mantan.
"Astagfirlullah... ya jelas saya bersemangat, karena Melati itu besan aku, tetangga kampung, masih kerabat, pula!" Diah geleng-geleng.
"Jangan banyak bicara! jawab pertanyaan saya, kenapa kamu tidak pernah bercerita tentang masalalu kamu!" Marsel semakin marah.
"Stop! terus saja salahin aku? bukanya sebelum kita menikah, saya ingin jelaskan?! tapi Tuan, selalu memotongnya!" Diah mengeluarkan urat leher.
"Tuan egois!" ketus Diah kemudian keluar meninggalkan Marsel.
.
Dengan perasaan kesal yang membuncah, Diah meninggalkan Marsel. Apa maksudnya, Marsel sampai marah-marah yang tidak masuk akal? Mempermasalahkan Abim yang sama sekali sudah tidak ada hubungan apapun dengannya.
"Bi, saya bantu ya" Diah ke dapur menemui bibi yang sedang memasak.
"Tidak usah Non, nanti saya dimarahi Tuan Marsel" jawab bibi serasa mengaduk-aduk rica-rica ayam kampung ke sukaan Marsel.
"Di marahin? memang kenapa Bi?" Diah mengamati ayam yang baru setengah matang.
"Waktu itu kan Non, mau belajar memasak, terus Tuan melihat, eh... saya di tegur, Tuan Non" tutur bibi rupanya Diah tidak diijinkan untuk memasak oleh Marsel.
Dasar suami aneh! istri mau memasak tapi nggak boleh.
"Bibi, bekerja di sini sudah lama?" tanya Diah. Sudah saatnya ia mencari tahu siapa Arabella.
"Sejak Tuan SMA, Non"
"Wow... sudah lama sekali ya Bi?"
"Kurang lebih, 20 tahunan, Non" jawab bibi kemudian mencicipi masakan dengan sendok, terasa kurang garam, lalu menambahkan ke dalam masakan.
Diah mengangguk merasa ada celah kemudian bertanya kembali. "Berarti Bibi kenal dengan Mama Calista?"
"Kenal Non" bibi kemudian menceritakan setelah Marsel menikah, Arabella tinggal bersama oma selama enam bulan.
Marsel kemudian mengajak pindah ke rumah miliknya sendiri.
"Oh, jadi... nama Mama Calista Arabella ya Bi? Lalu dimana Arabella saat ini, masih di rumah lama, sudah bercerai, atau sudah meninggal?" Cecar Diah.
"Saya tidak tahu Non, tapi saya rasa, kalau meninggal sih, belum" bibi menjelaskan seandainya Bella sudah meninggal, tentu bibi mendengar kabar.
Saat itu Marsel dan Bella ada ART sendiri sedangkan bibi bekerja dengan nyonya Laura.
"Tapi, Lita mengenal mama nya, Bi?" Diah terus bertanya seperti wartawan yang sedang mewancarai nara sumber.
"Tidak Non, saat Tuan Marsel datang ke sini bersama Lita. Lita belum berumur satu tahun. Lita kemudian diasuh Marni" tutur bibi panjang lebar. Tidak terasa rica-rica ayam yang di masak bibi telah matang.
"Oh gitu ya Bi" Diah merasa tidak puas dengan jawaban bibi, kemudian duduk di teras rumah. Ia merasa sepi.
Lita sedang tidur, suaminya marah kepadanya, biasanya jika sepi begini, selalu ngobrol dengan mertuanya, tetapi mertuanya sudah kembali ke Belanda. Sedangkan Marni sibuk setrika baju yang menumpuk.
Kehidupan Diah kali ini berbanding terbalik, dulu ia bak burung yang bebas terbang. Namun kini hidupnya seperti burung di dalam sangkar.
Selalu dicemburui, dicurigai, tidak boleh ini itu. "Ya Tuhan... sesulit inikah untuk merubah hidupnya dari lembah hitam? ada-ada saja cobaan. Mungkinkah ini salah satu ujian?
Diah menarik napas panjang lalu beranjak dari duduknya.
Diah memutuskan naik ke rooptof yang baru pertama kali ia pijak. Diah kagum ternyata di rooptof yang luasnya sama dengan luas bangunan sungguh memanjakan mata.
Lantai keramik putih memantulkan sinar matahari. Berbagai macam bonsai tertata mengelilingi pingiran pagar rooptof. Bonsai tampak berwarna hijau dan sebagian besar sudah berbunga.
Diah menatap gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh. Ia lantas duduk di sofa. Ternyata di rooptof pun ada kursi sofa.
Semilir angin sore semakin membuat Diah betah, bisa melupakan sedikit kekesalanya kepada Marsel.
Ingat Marsel, Diah menjadi berpikir, akan dibawa kemana rumah tangga nya kini? Diah merasa lelah, dan capek memikirkan perjalanan hidupnya.
U**jian berat, yang menghadang langkahku, hingga aku tak akan mampu lagi untuk meneruskan perjalanan ini. Semoga kelak di kemudian hari sang pangeran yang membawaku terbang, benar-benar nyata. Tidak hanya seperti kuda terbang di negeri dongeng. Namun, benar membawaku terbang sampai tujuan, dan berbahagia selamanya.
Diah merebahkan tubuhnya di sofa lalu benar-benar bermimpi ke negri dongeng.
*******
"Mama..." Lita bangun dari tidur keluar dari kamar mencari Diah.
Ceklak.
Anak berusia empat tahun itu membuka pintu kamar Marsel. Ia pikir Diah ada di sana. Ternyata, Marsel tidur sendiri.
"Aaahhh... Mama kemana sih" gumamnya. Kemudian ia menuruni tangga, menemui Mbak Marni yang sedang menyiram tanaman.
"Mbak Marni... Mama kemana?" Lita cemberut sambil menggaruk kepalanya. Tampak rambutnya acak-acakan kas bangun tidur.
"Mbak nggak tahu Non, bukanya di kamar?" Marni balik bertanya, meletakan selang lalu menghampiri Lita yang sudah mulai menangis.
"Nggak usah menangis, kita tanya Bibi yuk" Marni menuntun Lita menghampiri bibi yang sedang mencuci piring.
"Bi, lihat Non Diah, nggak?" tanya Marni.
"Nggak, satu jam yang lalu habis dari sini, tapi terùs kemana saya nggak tahu, saya pikir ke kamar" tutur bibi.
"Hua aaa... Mama kemana?" Lita lalu duduk di lantai dapur sambil menjerit-jerit. Ia menggerak-gerakan kedua kakinya, kas anak kecil.
"Non, jangan duduk di sini. Di sini kotor Non" Marni dan bibi membangunkan Lita.
"Biarin... Mbak pergi sana! cari Mama! hua aaa..." kedua tangan Lita menepis-nepis berulang kali tangan Marni yang sedang berjongkok di depannya.
Marni dan bibi berusaha menenangkan tetapi tangis Lita semakin kencang.
Tak tak tak.
"Ada apa ini, berisik sekali?!" Marsel menuruni tangga mendekati Lita matanya masih memerah kas bangun tidur.
"Non Lita mencari Non Diah, Tuan" tutur Marni.
"Memang kemana Diah?" Marsel baru ingat tadi mereka bertengkar.
"Saya tidak tahu Tuan, sudah pergi sejak satu jam yang lalu" kata Bibi yang masih membujuk Lita.
Deg
Marsel membuka handphone, klik aplikasi Wa, lalu mencari nama honey. Ia menggeser tombol beberapa deringan tidak diangkat-angkat.
Marsel mulai kesal.
Kemana sih Diah, baru ditinggal tidur sebentar sudah pergi.
"Mungkin Mama sedang belanja sayang... sekarang Lita sama Papa yuk" Marsel pun mengasunkan tangan berniat menggendong Lita yang sedang terisak-isak.
"Nggak mau! Papa jahat! tadi Papa marahin Mama kan?! hua aaa"
Deg.
Marsel terkejut, mungkinkah Calista mendengar keributan tadi siang?
"Nggak... Papa nggak marah sama Mama kok, siapa yang bilang?" Marsel berjongkok di depan putrinya.
"Bohong, tadi Papa marahin Mama" rupanya Lita tadi siang saat Marsel bertengkar mendengarkan dari balik pintu.
"Ya sudah... kita cari Mama, yuk" Marsel merapikan rambut anaknya yang menutup wajah.
"Kemana?" Lita mulai tenang.
"Kemana saja, sekarang... Lita mandi dulu sama Mbak Mar" titah Marsel.
Lita menganggukan kepala kemudian mandi ditemani Mbak Marni.
Sementara Marsel masuk ke dalam kamar. Membuka lemari memeriksa pakaian Diah. Ia pun sama seperti Lita kalang kabut sendiri.
Pakaiannya ada semua, terus kemana perginya? rupanya Diah, benar marah.
Marsel ambil jaket dari lemari lalu mengenakan. Ia Bergegas ambil kunci motor yang digantung. Kali ini ia ingin naik motor saja, agar lebih mudah dan leluasa untuk mencari istrinya.
"Ready"
Marsel menghampiri Lita kekamarnya yang sedang dibedaki oleh Marni.
Lita tidak menyahut, masih cemberut tapi menurut.
"Hai... jangan cemberut dong, katanya mau mencari Mama," Marsel menuntun putrinya keluar rumah.
"Papa jahat, Mama dibentak- bentak, nanti kalau Mama sampai pergi, Papa harus tanggungjawab" ancamnya seperti orang dewasa.
"Iya, Iya, sudah... naik" titahnya. Marsel menjalankan motornya, setelah Lita duduk di depanya. Motornya sudah disiapkan oleh mamang.
Ia menyusuri jalan, tidak tahu jika yang dicari sedang bermimpi jalan----jalan di jemput pangeran ke negeri dongeng.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!