NovelToon NovelToon

My Only One

Galang

🌺

🌺

"Om Galang!" Dua bocah lucu yang berada di pinggir lintasan melambaikan tangan. Bersama kedua orang tua mereka sejak awal menonton turnamen motocross hingga akhir.

Anya, dengan rambut ikalnya yang di kuncir dua membuatnya tampak sangat lucu, seperti biasa. Sementara Zennya yang mengenakan topi superheronya juga tak kalah imutnya. Dua bocah berusia lima tahun itu melambai-lambaikan tangan kecilnya saat menemukan sosok yang begitu mereka kenal.

"Hey? Kalian datang?" Galang turun dari podium setelah menerima piala juara kedua untuk turnamen freestyle, lalu berlari menghampiri sahabatnya yang berdiri tak jauh darinya. Bersama suami, dan anak kembarnya.

"Aku pikir kalian nggak jadi datang?" ucap Galang ketika jarak mereka sudah dekat.

Segera saja, Anya merentangkan tangannya meminta di peluk kepada pria muda itu.

"No, Anya!" Dimitri memberi isyarat dengan menggelengkan kepala.

"Om Galang!" Namun bocah itu tak mendengar.

Dan Galang seperti biasa, tak mampu menolak balita yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri ini. Terlebih, Anya memang begitu dekat dengannya, sama seperti kepada ayahnya.

"Anya genit." Rania terkekeh sambil menutup mulut dengan tangannya.

Anak perempuannya memang selalu seperti itu jika bertemu denga Galang. Tidak peduli apa yang tengah di kerjakan oleh pria itu, Anya selalu mampu menyita perhatiannya.

"Kamu benar-benar memanfaatkan masa liburanmu ya?" Dimitri yang dengan terpaksa menyerahkan putrinya kepada Galang, sementara dia bergantian memegangi piala yang di dapatkan oleh asistennya itu.

"Untuk penyegaran Pak, setelah satu minggu bekerja di kantor." Galang menjawab, kemudian tertawa.

"Yeah, ... itu bagus. Menghindarkanmu dari stress." Dimitri mengamini.

"Bapak juga tahu."

"Ya ya ya, ..." Sang atasan mengangguk-anggukkan kepala.

"Mungkin kamu juga harus melakukan hal yang sama biar nggak stress?" ucap Rania kepada suaminya.

"What? No way!" Namun pria itu malah menggelengkan kepala.

"Memangnya kenapa? Mengendarai motor itu bagus buat pikiran. Bikin kamu jadi lebih konsentrasi." jelas Rania.

"Tanpa mengendarai motor pun konsentrasiku sudah bagus Zai. Jangan khawatir."

"Kalau begitu, biar nggak stress?"

"Obat stress ku bisa yang lain."

"Apa?"

Pria itu hanya menahan senyum. Sementara Galang memutar bola mata sambil menggelengkan kepala.

"Om Galang, mau naik motor." Anya merebut perhatian pria itu dengan memegangi wajahnya yang berkeringat.

"Mau naik motor hum?"

Anak itu mengangguk.

"Yeah, i wanna ride. ( ya, aku mau naik)."

"Oke, tapi tunggu sebentar ya? Lintasannya masih penuh. Anya tunggu sebentar oke?" Galang menurunkan Anya dari pangkuannya.

"Oke, promise?" Anak itu menatapnya dengan mata yang berbinar.

"Promise."

***

"Bisa banget ya kamu atur waktunya? Gimana coba, Senin sampai Jum'at kerja di Jakarta. Hari minggu kamu ikut turnamen atau touring?" Mereka bercakap-cakap di bangku penonton, sementara Dimitri membawa dua anaknya bermain-main di lintasan dengan halang rintang itu.

Sebuah perbukitan di daerah Cikole, Lembang menjadi lokasi di adakannya turnamen motocros dan sejenisnya setiap tahun.

"Bisa lah, atur aja." Galang menenggak minuman kalengnya.

"Aku lihat Dimitri kerja aja kadang pusing. Dari pagi sampai malam, kadang ada kerjaan yang di bawa ke rumah juga. Huh, ... kayak nggak ada habisnya." Rania menatap suaminya yang asyik mengejar-ngejar dua anak mereka secara bergantian.

"Itulah resikonya punya usaha seperti keluarga suami kamu. Kalau mau bertahan ya harus begitu. Kalau nggak ya jangan harap bisnisnya bisa jadi sebesar ini."

"Hmm ... iya juga sih. Tapi kasihan."

"Urusin dong kalau kasihan, jangan di tinggal tinggal balapan terus?" Galang tergelak.

"Yey, ... aku cuma seminggu sekali perginya juga? Lagian tinggal sisa berapa tahun coba? Kamu juga tahu sendiri kan?"

"Serius dia nggak protes kamu tinggal balapan?"

"Nggak. Kamu kan tahu dari awal juga? Dia ngerti kan?"

"Ya bagus. Nggak banyak orang yag ngerti kerjaan pasangannya. Malahan, milih pergi dari pada mendampingi dari nol." Galang kemudian terdiam. Menatap cakrawala yang mulai menguning pada sore hari itu.

"Lagi curhat Pak?" Rania tertawa terbahak-bahak.

"Ck! Keceplosan melulu nih kalau ngobrol sama kamu?" Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Emang Ara bener-bener nggak menghubungi kamu lagi ya?" Perempuan itu kemudian bertanya.

"Nggak. Setahun belakangan malah lost kontak sama dia." Galang menjawab.

"Duh?"

"Kayaknya dia serius."

"Apaan?"

"Nggak mau langi menghubungi aku."

"Ckckckck!" Rania berdecak sambil menggelengkan kepala. "Kasihan Kang Dudul dicuekin ayang." Lalu dia menepuk-nepuk pundak Galang.

"Move on aja Lang, kalau gitu ribet urusannya," ucap Rania, tanpa beban sama sekali.

Pria itu menoleh, kemudian mendelik kesal.

"Apaan lagi?"

"Kamu kejam!"

"Kejam sebelah mananya Dudul? Aku ngasih saran lho?"

"Saran kamu menyesatkan."

"Dih?"

"Gitu sih, soalnya kamu mainnya kejauhan. Makanya gampang aja ngasih saran sama orang."

"Lah? Ya gampang lah, ngapain aku bikin susah?"

"Dasar Oneng!"

"Ya pikir aja, udah berapa lama Ara cuekin kamu? coba hitung, ingat-ingat lagi!"

"Umm ...."

"Berapa tahun?"

"Dua tahun." Galang dengan raut sendu.

"Sebelum di cuekin, apa yang dia lakuin ke kamu?"

"Minta putus."

"Terus?"

"Dia pindah kuliah ke Paris."

"Nah kan? Udah ngajak putus, habis itu dua tahun lagi di cuekin? Kode itu Lang, kode!"

"Kode apaan Oneng?"

"Ya kode kalau dia udah nggak mau lagi sama kamu."

"Ah, ... Oneng mah kalau ngomong suka kejam!" Galang menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.

"Tapi fakta."

"Fakta kamu kejam!"

"Lebih baik ketahuan kejam dari pada diam-diam tapi kenyakitkan. Kayak kamu."

"Dih?"

"Move on Dul, masih banya cewek seksi di luaran sana."

"Aku nggak butuh yang seksi."

"Ngibul. Mana ada cowok nggak suka yang seksi?"

"Ada."

"Mana buktinya?"

"Tuh, yang lagi ngejar bocah di lintasan." Galang menyentakkan dagunya, lalu Rania mengikutinya dengan pandangan di mana suami dan kedua nakanya tengah saling berkejaran.

"Kamu ledekin aku ya?" Lalu dia menepuk pundak sahabatnya itu dengan keras.

"Aku kan bicara fakta, Oneng!"

"Fakta apaan?"

"Ya emang faktanya kalau kamu nggak seksi."

"Ish, ..." Rania hampir saja memukul kepala sahabatnya tersebut.

"Bercanda Oneng, hahaha ... Kamu seksi kok, buktinya Pak Dimi sampai klepek-klepek."

"Ah, ... kamu ralatnya telat. Aku keburu kesel."

"Dih, jangan kesel-kesel. Nanti cepet tua, apalagi kalau udah punya anak dua." Pria itu tertawa terbahak-bahak.

"Biarin, tua juga tapi nggak jomblo kayak kamu."

"Duh, kebiasaan bawa-bawa status?"

"Kan fakta Dudul!" Rania menekan kata fakta untuk menegaskan maksudnya.

"Iya iya, serah ajalah, asal Oneng seneng. Apalagi?"

Lalu percakapan mereka harus terjeda ketika ponsel milik Rania berdering.

"Lah, aki-aki nelfonin melulu?" ucap Galang saat melihat kontak penelfon di layar ponsel Rania.

Perempuan itu segera menggeser tombol hijau untuk menjawab.

"Ya Papa?"

"Kalian belum pulang? Ini udah sore lho?" Angga mengingatkan.

"Iya sebentar lagi. Anya belum naik motornya Galang, nanti ngambek kalau nggak di turutin."

"Lah kenapa? Memangnya si Galang nggak ngasih naik motor?" Angga bereaksi.

"Lintasannya masih penuh Pah."

"Masih ada penonton?"

"Masih lah, ini Galang baru aja selesai foto-foto sama fans."

"Cieee ... Si Dudul punya fans?" terdengar suara tawa dari seberang sana.

"Banyak Pah, sampai kesel nungguin dia di sini."

Angga tertawa lagi. "Bilangin suruh cari jodoh, biar nggak sendirian terus touringnya. Kasihan dia jadi nyamuk terus."

"Aku denger lho Om." Galang merebut ponsel dari tangan Rania.

"Apaan?"

"Om udah aki-aki juga sama kejamnya kayak si Oneng?"

"Siapa yang aki-aki?" Angga berujar.

"Itu, akinya Anya sama Zenya."

"Dih, aki-aki gini juga keren tahu?"

"Keren apanya?"

"Ya keren aja pokoknya."

"Om ngaco!"

"Biarin, tapi nggak jomblo kayak kamu." Angga menjawab lagi.

"Yah, ini bapak sama anak sama aja. Udah om lah, jangan nelfon lagi. Bikin kesel orang aja!" Galang dengan raut kesal.

"Lagian siapa yang nelefon kamu? Saya kan nelefon si Oneng, mau nanyain anak-anak juga. Bukan kamu."

"Serah Om lah." Lalu Galang mengembalikan ponsel tersebut kepada Rania yang tertawa terbahak-bahak.

"Oneng?"

"Ya Pah?"

"Nanti pulangnya jangan kesorean, Papa mau ajak si Jejen jalan." Angga berpesan.

"Papa ih kebiasaan!"

"Kenapa?"

"Jangan panggil Zenya Jejen dong!"

"Kenapa? Suka-suka Papa lah."

"Nanti Papinya marah lagi, aku yang kena."

"Masa?"

"Iya. Kalau manggil Zenya tuh yang bener. Jangan Jejen-Jejen melulu?" protes Rania.

"Itu yang gampang Ran."

"Iya, tapi nanti Dimitri marah kalau Papa terus panggil Zenya gitu."

"Emangnya dia berani marah sama Papa?"

"Ya ... ngga akan juga sih, tapi kan ...."

"Ya udah, kenapa ribet sih?"

"Tapi pah ...."

"Lagian kasih nama anak yang susah di sebutin?" Angga menggerutu.

"Dahlah, yang penting cepetan bawa Jejen pulang. Soalnya kalian pasti besok udah pulang ke Jakarta lagi. Ya Papa sebentar ketemu anak-anaknya."

"Iya Pah iya." Lalu percakapan pun berakhir.

"Om Galang? Jalannya udah kosong." Anya berlari ke arah bangku penonton, dan memang benar lintasan tanah itu sudah lengang. Rupanya orang-orang sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu karena hari sudah semakin sore.

"Dih, nggak lupa tuh bocah?" Galang menggerutu.

"Om Galang?" Panggil Anya lagi.

"Iya iya bawel. Mirip emaknya nih bocah ah!" katanya, namun tak urung juga dia menuruti kemauan anak itu seperti janjinya tadi.

🌺

🌺

🌺

Bersambung ...

Masihkah kalian ingat dengan Kang Dudul? 😂😂

ayo kita berpetualang lagi?

langsung klik favorit dong, biar dapat notifikasinya kalau update episode baru.

Lope lope sekebon 😘😘

Bestfriend Complex

🌺

🌺

"Anom?" Zenya berlari ke arah rumah begitu orang tuanya membiarkannya turun dari mobil mereka.

"Kesorean Oneng!" Angga menyambut kedatangan anak menantu juga cucunya dari dalam rumah. Kemudian meraup tubuh kecil Zenya ke dalam pangkuan dan memeluknya dengan erat.

"Jejen lama amat Anom tungguin? Apa aja sih di sana?" Lalu dia beralih kepada sang cucu.

"Nonton Om Galang balapan, habis itu nungguin Anya naik motornya Om Galang." Bocah itu bercerita.

"Anya di mana?" Angga bertanya.

Lalu terdengar suara raungan motor dari arah rumah sebelah.

"Sama Om Galang." Zenya menunjuk ke arah samping.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian Galang muncul dengan menggandeng tangan Anya. Masih dengan riding suitnya yang tampak berantakan. Sementara motornya dia tinggalkan di pekarangan rumah orang tuanya.

"Dari cikole dia ikut kamu?" Angga bereaksi.

"Iyalah, apa lagi? Tahu sendiri Anya susah dibilangin." Galang menjawab.

"Iya, karena kamu selalu nurutin apa yang dia mau kalau ketemu." Pria itu melanjutkan.

"Aki Anom!!" Anya melepaskan tangannya dari genggaman Galang, kemudian berlari ke arah sang kakek.

"Baru ingat sama Anom ya? Kalau sama Om Galang kamu suka lupa?" Angga berjongkok, kemudian menyambut cucu perempuannya. Memeluknya seperti yang dia lakukan kepada Zenya.

Namun, anak perempuan itu hanya tertawa sambil mengeratkan rangkulan tangannya kepada sang kakek.

"Anom mau ke mana? Kok udah rapi gini?"

"Tadinya mau ajak kamu sama Jejen pergi, ...."

"Zen." Rania, Dimitri dan Galang bersamaan mengingatkan.

"Iya Zen."

"Pergi ke mana?" Anya bertanya lagi.

"Ke rumah uyut. Tapi kalian telat, udah keburu sore. Jadinya batal, lagian Jejen ...."

"Zen." Rania, Dimitri dan Galang kembali mengingatkan.

"Iya iya, Zen. Ribet amat dah ah!" Pria itu menggerutu.

"Kenapa cuma Zen yang Anom ajak? Aku nggak?" Anya menunjuk wajahnya sendiri.

"Memangnya Anya mau ikut? Kan biasanya juga nggak mau? Apalagi kalau ada Om Galang?" Sindir Angga sambil mendelik.

"Ikut, Om Galangnya juga mau pulang ke Jakarta." Anya berucap.

"Masa?"

Kemudian anak itu mengangguk.

"Tadi ngobrolnya gitu."

"Iya Lang?" Rania menoleh ke arah sahabatnya.

"Iya."

"Tumben? Biasanya Senin pagi kamu berangkat?" Angga juga bertanya.

"Ada yang harus di siapkan Om, dan besok pembukaan lowongan kerja besar-besaran, jadi semua staff harus ada di sana dari pagi." Galang pun menjawab.

"Oh, ...."

"Kamu sibuk juga dong?" Rania beralih kepada suaminya.

"Tidak, itu hanya urusan staff saja." Pria itu menyanggah.

"Om Andra juga?"

"Tidak, dia menyelesaikan pekerjaan bersamaku."

"Oh, ... kirain?"

"Ya udah, kalau gitu cepat masuk. Sebentar lagi magrib." Angga bangkit sambil menggendong kedua cucunya ke dalam rumah.

"Kamu mau ikut masuk Lang?" tawar Rania kepada sahabatnya.

"Nggak deh kayaknya. Aku harus bersiap-siap." Namun Galang menolak.

"Ya udah kalau gitu, aku masuk ya?" ucap Rania kemudian.

"Hmm ..." Galang pun mengangguk.

Namum dia tak segera pergi, dan malah menunggu di sana sampai sahabat dan suaminya yang merupakan atasannya itu masuk ke dalam rumah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Kalian pulang besok pagi kan?" Maharani berbaur dengan seluruh anggota keluarganya setelah membereskan bekas makan mereka bersama Rania.

"Iya Mom." Dimitri menjawab.

"Kamu cukup santai akhir-akhir ini?" Perempuan itu bertanya kepada sang menantu.

"Tidak juga, tapi masih ada kelonggaran lah. Kalau hanya sebentar bisa di tangani Om Andra." jelas Dimitri.

"Baguslah. Masalahnya kalau malam-malam begini kalian pulang Mama khawatir dengan anak-anak."

"Iya Mom."

"Anya dan Zenya belum mulai sekolah?"

"Minggu depan Mom."

"Mereka mulai di TK?"

"Sepertinya begitu. Mau langsung ke SD kan sekarang tidak bisa."

"Ya nggak lah, masa langsung masuk SD!" Rania muncul kemudian.

"Kalian udah ngantuk belum?" Lalu dia sedikit berteriak kepada anak-anaknya yang berada di halaman belakang bersama kakek mereka.

Namun tak ada yang menyahut.

"Mana ada? Paling mereka begadang lagi. Setiap Kakak menginap kan gitu?" Rega duduk di sofa dekat ibunya, dengan satu kaleng minuman dingin di tangannya.

"Ah, ... iya lupa." Rania menepuk dahinya sendiri.

"Seperti biasa, siapin aja kasur udaranya di sini. Jadi kalau mereka capek bisa tidur sekalian." Maharani menunjuk area di depan televisi yang memang selalu menjadi tempat tidur suami dan kedua cucunya ketika mereka menginap.

"Iya nanti aku siapin."

"Kalau begitu, boleh aku tidur duluan?" Dimitri meminta izin.

"Aku juga Mah. Hari ini ngejar-ngejar Anya sama Zenya rasanya aku capek." ucap Rania setelah melakukan apa yang ibunya katakan.

"Iya, sana tidur. Biar besok nggak kesiangan."

"Nggak apa-apa Mama nunggu Papa sendiri?"

"Nggak apa-apa, ada Ega."

"Oke kalau gitu." Kemudian Rania bergegas menyusul suaminya ke kamar mereka.

***

"Kamu lihat apa sih?" Rania menghampri Dimitri yang berdiri di dekat jendela. Membuka tirainya sedikit, lalu menatap ke arah luar.

Pria itu menyentakkan kepala ke arah rumah di sebelah. Di mana seorang pria yang seumuran Rania tengah bersiap dengan Kawasaki Ninja miliknya.

"Kamu ngintipin Galang?" Rania bereaksi.

"Hanya melihat sedikit."

"Dia kok baru mau berangkat? Udah malam lho ini?" Rania menarik lengan suaminya, kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Emang iya besok ada pembukaan lowongan kerja di Nikolai Grup?" Kemudian dia bertanya.

"Iya."

"Besar-besaran?"

"Iya."

"Emang Nikolai Grup lagi butuh banyak karyawan?"

"Iya. Perusahaan terus berkembang, dan dengan karyawan yang sekarang sudah pasti tidak akan bisa mengejar deadline." Dimitri menjelaskan.

"Nikolai Grup itu perusahaan besar lho, pasti karyawannya juga banyak?"

"Tapi tetap tidak cukup. Belum lagi cabang baru juga akan segera di buka. Terus yang lainnya menyusul."

"Yang lainnya itu apa?"

"Kamu tahu sendiri. Hotel, resort, pembangunan jalan, pabrik-pabrik. Bukan cuma di Jakarta kan?"

"Dih, makin banyak aja usaha kamu?"

"Ya bagus, itu artinya perusahaan semakin maju."

"Nggak pusing apa ngurusin segitu banyak usaha?"

"Ada staff."

"Kan banyak."

"Pusing tidak, tapi yang sulit itu mempertahankan agar perusahaan tetap stabil. Harga saham tidak anjlok, dan semua hal berjalan pada sistemnya." Dimitri mundur kemudian duduk di tepi ranjang.

"Nah caranya gimana?"

"Ya membuat masing-masing cabang usaha tetap berjalan."

"Terus biar bisa terus berjalan gimana?"

"Ya membuat inovasi, memunculkan hal baru, dan meningkatkan kualitas pekerjaan."

"Termasuk nambah pegawai?"

"Itu untuk menjalankan siatemnya Zai."

"Gitu ya?"

"Hmm ... tapi semua orang jadi makin sibuk ya? Contohnya Galang."

"Itu resikonya. Kamu sudah tahu bukan?"

"Iya, tapi kalau di lihat-lihat kasihan."

Dimitri terdiam.

"Dia jadi nggak punya kehidupan pribadi. Nggak sempat ngapa-ngapain selain kerja. Makanya jomblo terus."

"Kenapa kamu jadi memikirkan Galang?"

"Kasihan, kayaknya gara-gara itu Ara mutusin dia?"

"Masa? Memangnya Galang bilang begitu?"

"Ya nggak juga sih. Sampai sekarang nggak ada yang tahu penyebab mereka putus itu apa. Karena pekerjaan kah, atau pendidikan kah. Hubungan jarak jauh atau restunya Om Arfan."

"Apa hubungannya dengan Om Arfan?" Dimitri mengerutkan dahi.

"Ck! Kayak yang nggak tahu aja gimana Om Arfan sama Galang?"

"Memangnya bagaimana?"

"Nggak lihat apa kalau kakak ipar kamu itu kayaknya nggak suka sama Galang."

"Benarkah?"

"Dari sikapnya aja udah keihatan."

"Masa? Aku tidak melihat begitu. Kalau masalah cuek, memang Om Arfan begitu orangnya. Tidak terlalu merespon siapa pun yang tidak terlalu dekat dengannya."

"Tapi nggak gitu juga. Kamu ingat nggak waktu dia ngajarin Galang untuk jadi asisten kamu?"

"Yang mana?"

"Yang waktu dia ngajarin presentase. Dia galak bener, sampai sering mukul segala pakai map?" Rania mengingat saat dirinya berkunjung ke kantor Nikolai Grup sekitar dua tahun yang lalu.

Saat meihat Galang yang waktu itu baru saja masuk secara resmi sebagai staff utama bagi suaminya. Belajar dengan keras di bawah pengajaran Arfan yang memang bertugas dalam pendidikan bagi jajaran staff utama di Nikolai Grup.

Dimitri tertawa.

"Kenapa ketawa?"

"Itu masih belum seberapa."

"Belum seberapa apanya? Itu kejam tahu. Kasihan Galang. Emaknya aja ngga pernah bentak-bentak dia kayak gitu, apalagi mukul?"

"Ini kan masalah pekerjaan. Lagi pula Om Arfan tidak bermaksud memukul, hanya membuat dia atau siapa pun yang di ajarinya memiliki mental yang kuat. Kamu tahu, bekerja di Nikolai Grup itu bukan hanya soal kemampuan inteligensi, tapi juga mental."

"Ya kali itu sama Galang doang?"

"Ya tidak. Kepada demua yang di ajari dia begitu. Termasuk aku dan Kak Dygta."

"Masa? Kamu kan adik iparnya, sementara Kak Dygta istrinya?"

"Tidak ada bedanya. Kalau sedang bekerja dia profesional, tidak akan memandang hubungan keluarga atau apa pun."

"Kejam."

Dimitri tertawa lagi.

"Eh tapi kalau lagi nggak kerja dia baik kan?"

"Baik, memangnya pernah melihat Om Arfan bersikap tidak baik kalau bertemu kita?"

"Nggak sih. Cuma dia kayaknya jaga jarak sama semua orang."

"Memanh dia begitu."

"Huh, ... aneh."

"Kenapa? Memangnya kamu mau suamimu berlagak dekat dengan siapa pun." Pria itu mencondongkan tubuhnya.

"Ya nggak juga sih."

"Dari situ seharusnya kamu mengerti."

"Mengerti soal apa?" Rania pun duduk di sampingnya.

"Soal interaksi denga orang lain, walaupun itu sahabatmu sendiri."

"Maksudnya?"

"Sudah aku bilang bukan kalau kamu jangan terlalu dekat dengan Galang?"

"Lah, kenapa? Dia sahabat aku dari kecil. Kamu nggak suka? Sama Galang juga cemburu?"

"Bukannya begitu, hanya saja ...."

"Udahlah, aku capek, ngantuk juga mau tidur." Rania naik ke tempat tidurnya.

"Lama-lama bosen juga bahas itu terus. Padahal udah tahu gimana, tapi tetep aja nggak ngerti!" Dia pun menggerutu.

"Bukan begitimu Zai, aku hanya ...."

"Stop! Tidur aja, kalau di terusin nanti kita berantem." Rania menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Lho, Zai?"

"Ssttt! Jangan macam-macam."

"Tidak, aku hanya mau satu macam."

"Akunya nggak mau. Ngantuk!" Perempuan itu dengan tegas.

Hmm ... bestfriend kompleks. Pasti begini setiap kali itu di bahas.

Dimitri mengusap wajahnya, kemudian memutuskan untuk tidur.

🌺

🌺

🌺

Bersambung ...

Gimana gimana? 😆😆

like, komen, hadiah, favoritkan!

Note : Aki Anom

Aki \= kakek

Anom \= Muda ( dalam bahasa Sunda )

Aki Anom \= Kakek Muda

Yang terkadang di jadikan panggilan kesayangan bagi sebagian orang, terutama dalam hubungan keluarga seperti Angga dan cucu-cucunya. 😉

Perdebatan Para Jomblo

🌺

🌺

"Sayang, Ara sudah menelfonmu minggu ini?" Dygta menuangkan kopi hitam untuk suaminya, seperti biasa.

"Belum." Arfan menggelengkan kepala.

"Aneh sekali. Kepadaku juga dia tidak menelfon. Kira-kira kenapa ya?"

"Entahlah. Biarkan saja dia begitu, mungkin sedang konsentrasi pada kuliahnya. Bukankah sebentar lagi dia ujian?"

"Iya juga sih. Tapi aku sedikit khawatir.

Sudah beberapa bulan ini dia jarang menghubungi kita." Dygta menyesap lemon tea hangatnya.

"Aku yakin dia hanya sedang fokus pada kuliah." Arfan menatap layar ponselnya, menggeser beberapa foto dari laporan yang dia terima dari orang suruhannya.

"Atau dia menghubungi Tante Mytha ya, tapi lupa menghubungi kita?" Dygta seakan tidak puas dengan jawaban suaminya.

"Ah, ... dia pasti menghubungi Galang." Kemudian perempuan itu meraih ponsel miliknya. Masuk ke aplikasi telefon dan bermaksud melakukan panggilan.

"Siapa yang mau kamu telefon?" Yang akhirnya menyita perhatian Arfan.

"Galang."

"Kenapa menelfon Galang?" Pria itu mengerutkan dahi.

"Ya mau bertanya soal Ara lah."

"Kenapa bertanya soal Ara kepada Galang?"

"Ya siapa tahu Ara menelfon dia, kan bisa saja?"

"Mana mungkin? Mereka kan sudah putus." Pria itu sedikit terkekeh.

"Memangnya kalau putus langsung putus komunikasi ya?"

"Memangnya tidak?"

"Ya kita tidak tahu. Bisa saja mereka masih berkomunikasi, atau saling mengabari?" Dygta menatap layar ponselnya.

"Kenapa sih tidak di angkat? Memangnya pagi-pagi begini Galang sudah sibuk ya?" Perempuan itu menggerutu.

"Jelas sudah sibuk, bukankah hari ini dimulai pembukaan lowongan kerja di Nikolai Grup?" Arfan meyesap kopinya yang mulai dingin.

"Oh iya, aku lupa. Seharian ini Galang pasti sibuk."

"Ya sudah, kenapa juga harus repot-repot menghubungi dia segala sih? Tenang saja, nanti juga Ara akan menghubungi kita." Pria itu dengan tenangnya.

Dygta terdiam sambil menatap suaminya yang begitu tenang. Sikapnya akhir-akhir ini tak sekeras biasanya, dan itu bagus. Tapi membuatnya curiga.

"Kamu tahu sesuatu ya?" Perempuan itu memicingkan mata.

Arfan tak segera menjawab, namun dia malah teus menikmati sarapannya dan tetap asyik menggeser-geser layar ponselnya.

"Sayang!" Dygta meraih tangan pria itu untuk meraih perhatiannya.

"Ya? Apa?" Arfan pun menoleh.

"Kamu pasti tahu sesuatu, aku yakin!"

"Soal apa?"

"Soal Ara."

Arfan menghela napasnya dengan cepat.

"Kenapa diam? Benar ya?"

"Ara sudah dewasa, dan kamu bilang kita harus membiarkannya menjalani apa yang dia mau. Selalu itu yang kamu katakan setiap kali aku melakukan sesuatu untuk Ara." Arfan bereaksi.

"Tapi sikap kamu yang seperti ini terasa mencurigakan."

"Mencurigakan apanya? Bukankah aku menuriti apa yang kamu mau? Lalu di mana masalahnya?"

"Sudahlah, biarkan saja Ara dengan yang dia jalani sekarang. Bukankah bagus jika dia mandiri? Aku yakin dia baik-baik saja. Dia hanya sedang berusaha mengejar cita-citanya."

Dygta masih menatap suaminya.

"Aku masih yakin kalau kamu ada hubungannya dengan keputusan Ara?"

"Apa maksudmu?"

"Aku yakin kamu punya andil soal putusnya hubungan Ara dan Galang." Dygta memperjelas kata-katanya.

"Apa? Kenapa kamu bicara begitu?"

"Kamu tenang sekali waktu tahu mereka putus. Apalagi waktu tahu Ara mau pindah kuliah ke Paris. Kamu tidak melarang, bahkan tidak terkejut sama sekali. Aku curiga, jangan-jangan kamu yang menyuruh Ara kuliah di Paris."

"Kamu ngaco! Mana bisa seperti itu? Ara itu sudah dewasa, sudah tidak bisa di atur lagi seperti waktu dia kecil. Dia punya pemikiran dan niatnya sendiri soal cita-cita, jadi kenapa aku harus melarangnya? Biarkan saja dia mengetahui dunia luar agar pengetahuan dan wawasannya luas."

"Dan soal hubungannya dengan Galang, itu juga tidak ada hubungannya denganku. Mungkin mereka sudah tidak cocok. Jadi kenapa harus di paksakan? Baru pacaran, dan mereka beruntung mengetahui ketidak cocokan dari sekarang. Tidak terlambat setelah menikah."

Dygta terlihat mendengus.

"Kenapa? Kamu masih kecewa karena hubungan mereka berakhir? Sesuka itu ya kamu kepada Galang?"

"Eh, apa itu maksudnya?" Dygta kembali buka suara.

"Hah dasar, kalian para perempuan suka mudah sekali terkesan kalau melihat pemuda seperti Galang." Arfan berujar.

"Memang apa masalahnya? Dia baik, pintar, juga rajin bekerja. Prestasinya membanggakan. Orang tuanya pasti sangat senang karena berhasil mendidik putra mereka hingga dia menjadi sebaik ini. Papi saja terkesan begitu mengenal dia, dan kamu sendiri tahu bahaimana Papi kan?"

"Hmm ...." Arfan menggumam.

"Kamu hanya sentimen kepada Galang."

"Apa?"

"Kamu ...."

"Mommy, udah waktunya kita pergi sekolah." Arkhan dan ketika adiknya yang dari tadi menyimak percakapan orang tua mereka akhirnya menyela.

Dygta dan Arfan tertegun, baru menyadari keberadaan anak mereka disana.

"Umm ...."

"Siapa yang antar? Papa atau Mommy?" Arkhan bertanya lagi.

"Astaga, Papa sampai lupa." Arfan menyesap habis kopinya.

"Lihat, gara-gara Galang kita jadi terus berdebat. Setiap kali pasti seperti itu." Pria itu bangkit dari kursinya.

"Baik anak-anak, hari ini Papa yang antar. Ayo?"

"Serius?" Arkhan bereaksi.

"Iya, kebetulan hari ini waktu Papa senggang."

"Asik!"

"Yeayyy!!" Ke empat anak itu pun berteriak kegirangan.

"Duh, senang sekali kalian ini." Dygta bergumam.

"Pergi dulu Mommy!" Arfan menyeringai karena bisa menghindar dari perdebatan barusan. Kemudian dia mengecup puncak kepala sang istri. Diikuti ke empat anak mereka yang mencium tangan dan pipinya.

"Bekal dan segalanya kalian tidak lupa kan?" Dygta mengingatkan.

"Nggak Mom, punyaku udah aman." Anandita menjawab.

"Aku juga udah." Aksa dan Asha pun menyahut.

"Dah Mommy, pergi dulu." Mereka pun segera pergi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Ada lagi yang harus di siapkan?" Galang kembali memeriksa kesiapan.

Pembukaan lowongan kerja baik secara online atau pun offline sudah dimulai, membuat kantor pusat Nikolai Grup sangat sibuk pada hari itu.

"Tidak, semuanya sudah lengkap." Clarra menjawab. Dia juga sudah dengan penampilan sempurnanya seperti biasa.

"Baiklah, beri tahu saja jika sudah waktunya di buka. Aku lihat orang-orang sudah mulai berdatangan?" Pria itu melihat lewat jendela.

Tampak di bawah sana para pelamar kerja sudah tiba, dan mereka menunggu di tempat yag sudah di sediakan.

"Kenapa sih tidak online saja? Kan lebih mudah, tidak akan terjadi antrian seperti ini. Lagi pula, Nikolai Grup ini perusahaan yang sangat besar. Rasanya konyol sekali jika kita melakukan perekrutan pegawai dengan cara seperti ini." Galang dengan pendapatnya sendiri.

"Well, aku rasa Pak Satria punya tujuannya sendiri mengapa kita melakukan perekrutan semacam ini." Clarra menyerahkan beberapa dokumen pendukung kepada asisten nomor dua dari atasannya itu.

"Bagaimana dengan Dimitri?"

"Dia hanya mengikuti perintah ayahnya. Kamu tahu, Pak Satria tidak akan melepaskan Nikolai Grup kepada anak-anaknya begitu saja. Ada beberapa hal yag akan ikut dia urus."

Galang mengangguk-anggukka kepala.

"Nanti kamu bertugas di depan ya? Sebagai interviewer utama. Staff lain sudah memilih beberapa pelamar yang akan kamu wawancarai, yang akan di tempatkan di beberapa posisi penting. Sementara sisanya ditangani yang lain."

"Hmm ... kenapa juga harus aku yang mewawancara? Kenapa tidak kamu atau Pak Andra?" protes Galang kepada si sekretaris.

"Sekarang itu jadi tugasmu. Memilih kandidat yang tepat untuk bekerja di Nikolai Grup." Clarra tertawa.

"Sepertinya akan sulit." Pria itu bergumam.

"Yang penting masuk kriteria dan standar pekerja Nikolai Grup. Catatannya sudah aku tambahkan di filemu." Perempuan itu menunjuk dokumen di tangan Galang.

"Baiklah."

"Semangatlah Pak, kenapa sih kamu lesu begini? Masih belum bisa move on dari anaknya Pak Arfan ya?" Clarra tertawa.

"Ish ... apa sih kamu ini? Pakai ikut-ikutan segala?" Galang dengan raut kesal.

"Habisnya kamu se lesu ini?"

"Aku hanya kelelahan."

"Bukanya kamu datang semalam ya? Aku rasa kamu tidak akan seperti ini kalau saja kamu memanfaatkan waktu beberapa jam itu dengan benar untuk istirahat. Bukannya malah stalking akun media sosial seseorang."

"Apa? Kamu mengawasi aku ya?" Galang bereaksi.

"Sudah berapa lama kamu bekerja di Nikolai Grup?" Clarra mecondongkan tubuhnya.

"Apa hubungannya? Aku rasa kamu sudah faham kenapa aku tahu. Ingat, semua alat komunikasi staff utama di perusahaan ini ada dalam pengawasan. Jadi ya aku pasti tahu."

"Luar biasa."

"Sudah tahu kan?"

"Tapi jangan sampai mengganggu privasi ya, aku tidak suka!" Galang mengancam.

"Privasi yang mana?" Perempuan itu membalikan ucapan.

"Umm ...."

"Urusan pribadi? Yang mana? Aku pikir kamu nggak punya kehidupan pribadi? Kamu kan jomblo?" Lalu Clarra tertawa.

"Iya, seperti halnya kamu." Galang menjawab. membuat sekretaris nomor satu perusahaan Nikolai Grup itu menghentikan tawanya.

"Sesama jomblo jangan saling mendahului Bu!"

"Kamu!" Clarra membulatkan kedua bola matanya.

"Aku jomblo karena di tinggal pergi, nah kamu?"

"Galang! Cepat kerjakan tugasmu!" Perempuan itu dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan raut wajah yang tidak enak dilihat tentunya.

Namun hal itu membuat Galang tertawa puas karena dia mendapatkan lawan yang tidak terlalu sulit untuk dibalas.

"Pergi sana! Kerjakan tugasmu!" ucap Clarra lagi, berusaha tegas.

"Tenang, aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan baik." Pria itu memilih untuk pergi. Tapi sebelumnya, dia menghentikan langkah beberapa meter di depan Clarra.

"Sekarang aku tahu kenapa kamu jomblo?" Lalu dia menoleh. "Karena kamu galak! Mana ada laki-laki yang suka perempuan galak sepertimu?" Kemudian tertawa.

"Galang! Beraninya kamu?" Membuat Clarra kembali berteriak, dan Galang segera berlari untuk menghindari lemparan file seperti yang pernah di alaminya beberapa bulan yang lalu.

🌺

🌺

🌺

Bersambung ...

Emak-emak pasti kegirangan di temuin sama Kang Jahe.😁😁

ayo gaess, klik like, komen, dan kirim hadiah juga vote nya. Jangan lupa tekan favorit dan kasih rate bintang lima biar novel ini naik ya.

lope lope sekebon😘😘

Aku mau bayangin om Arfan waktu muda aja ah ..😂😂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!