SMA Karuma. Nama sekolah itu, aku sangat menyukainya. Terlihat halaman parkir sedikit lebih luas. Aku berjalan lagi, gedung basket. Teringat suara suporter SMA Karuma bersorak mendukung tim kebanggaannya. Lalu aku duduk di tribun. Terlihat para pemain basket SMA Karuma berusaha mencetak angka. Sang kapten mendrible bola, lalu diberikan pada pemain nomor 11. Pemain nomor 11 berlari menuju ring, namun dihadang pemain lawan. Terlihat olehnya pemain nomor 7 berdiri bebas, diumpankanlah bola itu pada pemain nomor 7. Terdengar keras pelatih berteriak "SHOOT!!!". Entah apa yang dipikirkan pemain nomor 7 itu, dia tidak segera memasukkan bola. Aku, dan mungkin semua pendukung SMA Karuma berharap cemas pada pemain nomor 7 itu. Namun, Aku merasa dia sedang melihatku. Tersenyum padaku. Dan... aku tertawa kecil. Itu semua hanyalah masa lalu.
Aku beranjak dari tempat duduk tribun, meninggalkan sunyi senyap gedung basket disore hari itu. Aku mulai berjalan lagi melewati kantin. Banyak kejadian di tempat itu, aku tertawa kecil lagi. Lalu aku menuju toilet di lantai 3. Di situ, di tempat itu, aku tidak mau berlama-lama. Aku benci tempat itu.
Sejak aku pindah ke sekolah itu, saat itu kelas 10, semester 2. SMA Karuma adalah hidupku, duniaku yang kedua, setelah aku hampir mati. Emm... atau mungkin sudah mati, tapi Tuhan menyuruhku untuk hidup kembali.
Aku melanjutkan perjalanan mengelilingi sekolah itu. Lalu terlihat Sofie melambaikan tangan padaku.
"Tania!! Sudah dijemput!"
"Oke."
Aku segera menuju gerbang SMA Karuma. Beberapa detik kemudian, aku melihat seseorang dari gerbang sekolah dengan senyuman yang khas, dan sangat tampan, berlari ke arahku. Aku memanggilnya, lalu seseorang itu memelukku. Aku memeluknya juga dengan erat. Sambil memejamkan mata, Aku menangis karena menahan pahitnya merindu, namun aku sangat bahagia.
...***...
Aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku, lalu aku terbangun. Sofie terlihat cemas melihatku. Aku menangis lagi malam ini.
"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Sofie,
Aku mengangguk. Lalu Sofie memelukku, sambil mengusap kepalaku.
"Ayo tidur bareng aku aja!?"
"Hm," aku mengangguk dan segera mengikutinya menuju kamarnya.
"Kamu pasti akan baik-baik aja. Semuanya akan baik-baik aja," kata Sofie menenangkan.
Aku terdiam sejenak.
"Aku cuma bingung, sebenarnya ada apa denganku? Mimpi itu, selalu datang tiap malam. Kadang membuatku menangis, kadang membuatku bahagia," kataku.
...***...
Pagi-pagi sekali aku bangun. Segera aku berangkat ke sekolah. Hari ini hari Senin, aku bertugas menjadi petugas upacara, petugas pengibar bendera. Aku dan Sofie selalu berangkat bersama, namun ini hari Senin, aku selalu berangkat lebih dulu.
Tepat pukul 7 pagi. Upacara dimulai. Sepuluh menit kemudian, tiba giliran petugas bendera untuk mengibarkan bendera. Sukses. Kami kembali ke tempat. Lalu dilanjutkan pada amanat pembina upacara. Aku terdiam dan menunduk. Suara kepala sekolah yang tadi terdengar sangat jelas, tiba-tiba menghilang dari pendengaranku. Harusnya tiap petugas bersikap tegap dan siap, namun aku terus menunduk. Samar-samar aku mendengar, Uci berbisik menyuruhku untuk bersikap tegap. Namun kepala dan telingaku penuh dengan suara gaduh, teriakan, dan tangisan. Lalu aku mengeluarkan suara, suara yang terdengar ketakutan. Ya, aku memang sedang ketakutan. Tanganku bergetar hebat. Lalu aku menjerit sesaat. Nafasku terengah-engah. Namun tiba-tiba suara-suara gaduh itu berhenti. Sunyi.
Masih dalam kondisi menunduk, aku membuka mata. Aku melirik ke arah sekitar. Semua mata tertuju padaku. Melihatku dengan tatapan takut, tatapan jijik, tatapan yang... ah, aku sendiri tidak bisa menjelaskan. Tubuhku lagi-lagi bergetar hebat. Aku tidak bisa mengendalikannya. Semua peserta upacara semburat menjauh, termasuk Uci dan Karin, petugas bendera yang lain. Aku merasa sakit, hingga aku menjerit. Terlihat samar-samar seorang murid laki-laki berlari ke arahku, menangkap tubuhku yang akan jatuh. Lalu aku mendengar Sofie memanggil namaku, dan...
semua gelap.
...***...
UKS. Kulihat Sofie didepan mata, terlihat cemas. Lalu dia membantuku untuk bangun dari kasur.
"Ayo ke kelas, Sof!" ajakku,
"Yakin? Kamu sarapan aja dulu. Aku udah bawain sarapan, masakan spesial dari Bu Ida."
Bu Ida adalah pemilik kantin langganan kelas 11 IPA 3, kelas mereka. Aku menatap makanan yang dibawa Sofie.
"Kenapa cuma diliatin!? Ayo cepat di makan." Sofie menyodorkan makanannya padaku.
"Tapi, Sof, ini kan sudah jam pelajaran," kataku sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 8.
"Iya tahu. Aku udah ijin ke Bu Farida. Bu Farida nyuruh kamu untuk istirahat, bahkan nyuruh untuk pulang. Karena aku yakin kamu nggak akan mau kembali ke asrama, jadi lebih baik kamu istirahat aja di sini, sampai pergantian jam. Oke!?"
Aku hanya mengangguk lemah pada Sofie.
Saat aku memakan makanan yang dibawa Sofie, ku lihat dia memandangku.
"Kenapa?" tanyaku.
Sofie tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyaku lagi.
"Makan yang banyak. Biar tetap sehat, kuat, dan cantik," jawab Sofie.
Aku tertawa sampai tersedak. Sofie langsung panik melihatku tersedak.
"Kamu nggak masuk kelas? Aku nggak apa-apa kok ditinggal di sini, aku bisa masuk ke kelas sendiri nanti," kataku.
"Enggak. Kenapa sih? Nggak boleh nemenin? Lagipula males banget di kelas, pusing banget, ngantuk. Kasilah sahabatmu ini untuk bersantai sejenak," jawab Sofie.
"Oke-oke, silakan," kataku sambil melanjutkan makan.
"Btw tadi kenapa? Belum sarapan?" tanya Sofie.
"Udah kok, sarapan sama roti yang semalem kamu beli," jawabku.
"Kepanasan? Tapi emang lagi terik aja sih matahari hari ini, sampai pusing," jawab Sofie.
"Siapa yang bawa aku k UKS? Nggak mungkin kamu kan!?" kataku bercanda.
"Aku gendongin kamu ya jatuh duluan," jawab Sofie.
"Terus siapa?" tanyaku lagi.
"Itu si A---" jawaban Sofie terputus.
"Tania, kamu sudah sadar?" tanya dokter Lina.
"Sudah dokter, tapi masih lemas banget," jawabku.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu aja. Sudah sarapan kan?" tanya dokter Lina.
"Sudah, dok. Saya pastikan aman," sahut Sofie.
Dokter Lina masuk ke ruangannya.
SMA Karuma ini sekolah favoritku. Jujur aku belum pernah mendengar sekolah ini sebelumnya, sampai suatu saat Bu Ariani mengajakku sekolah di sini karena beliau juga bekerja di sini.
...***...
Jam pelajaran keenam, Tania dan Sofie baru masuk kelas.
"Enak banget nggak ikutan pelajaran di awal tadi," kata Reza, troublemaker di kelas.
"Ya udah sana kamu yang ke kelas!" kata Sofie.
"Dia abis dihukum aja karena nggak ngerjain tugas, makanya sirik," kata Lupita.
"Dasar!" kata Sofie lalu duduk di bangkunya.
"Tania, kamu nggak apa-apa?" tanya Lupita.
"Lemas aja sih, tapi sudah nggak apa-apa, aku sehat," jawabku.
Aku menoleh ke arah Sofie yang melihatku nelangsa.
"Kenapa?" tanyaku.
Sofie menggelengkan kepala lalu tersenyum.
...***...
Selasa.
Hari ini kelas 11 IPA 3 sedang olahraga. Seperti biasa, setelah berlari memutari lapangan sebanyak lima kali, murid perempuan lebih memilih untuk ngerumpi. Sedangkan murid laki-laki ada yang bermain futsal, ada yang bermain basket.
Sofie mengajakku ke gedung basket. Mereka duduk di pinggir lapangan, menyaksikan pertandingan basket kelas 11 IPA 3 melawan 12 IPS 1. Kebetulan jam olahraga kelas mereka bersamaan. Jadi, tiap selasa kedua tim itu selalu mengadakan pertandingan, ya, meskipun hanya untuk main-main. Perlu diketahui, 12 IPS 1 ini selalu kalah melawan tim dari kelas 11 IPA 3. Entahlah, mungkin kelas 11 IPA 3 dipenuhi pemain inti basket SMA Karuma. Tapi ada sang kapten di kelas 12 IPS 1, permainannya tidak bisa dianggap remeh.
Aku sangat suka menonton pertandingan basket, futsal, dan voli. Kelihatannya permainan-permainan itu sangat menyenangkan. Lalu aku tersadar, sedari tadi Sofie memandangi seseorang di tengah lapangan itu.
"Sofie..." panggilku sedikit lirih, namun tidak ada jawaban.
Sekali lagi aku memanggilnya, masih tidak ada jawaban. Lalu aku mengguncang tubuhnya dengan keras.
"Apa? Ini lagi seru-serunya."
"Seru? Seru nonton pertandingan, atau seru nonton si... Arka?"
Sofie spontan menoleh padaku. "Gimana kamu bisa tahu?"
Aku tertawa kecil melihat ekspresi Sofie yang ketangkap basah seperti itu.
"Kadang aku mikir, kalau kamu itu benar-benar seorang indigo. Bisa tahu segala hal yang aku nggak tahu. Makanya murid-murid lainnya jadi takut lihat kamu, bahkan takut dekat-dekat," kata Sofie.
Aku hanya tersenyum mendengar itu. Karena memang kenyataannya, murid-murid SMA Karuma takut melihat dan mendekat padanya, karena rumor yang beredar aku adalah seorang indigo. Tapi aku merasa bukan seorang indigo. Aku bahkan tidak pernah melihat sosok makhluk gaib disekitar, meskipun sebenarnya mereka benar-benar ada.
"Tania, menurutmu Arka itu gimana?"
"Hah? Gimana apanya?" tanyaku.
"Ganteng ato enggak?"
Aku tertawa kecil. "Kamu suka?"
Sofie menggaruk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal. "Engga tau deh."
"Terus Devan gimana?"
"Masih, Devan itu pacarku, kalau Arka cadangan."
Aku sedikit terkejut. "Cadangan?"
"Kalau nanti enggak berjodoh sama Devan, aku bakal cari Arka. Karena aku yakin, jodohku pasti diantara mereka berdua. Kalau bukan Devan ya pasti Arka, kalau bukan Arka sudah pasti Devan. Hehehe."
Aku menahan tawa mendengar semua itu. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Sofie ini adalah perempuan yang sangat teramat pemalu, dan juga sangat pendiam. Sejak aku pindah ke sekolah ini, teman pertamaku adalah Sofie. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada mereka. Teman-teman menuduhku bahwa diriku yang membuat Sofie menjadi seperti saat ini. Jadi nggak tahu malu, menjadi lebih pemberani. Lalu Sofie pun mengiyakan pernyataan teman-teman.
(flashback : kelas 10)
"Aku tahu auramu menyeramkan, tapi aku merasa ada aura lain yang tertular ke Sofie. Tapi aneh juga, aura lain itu justru nggak pernah kamu lakukan. Sepertinya sifatmu sekarang ini bukan sifatmu yang asli."
Kata-kata itu yang masih teringat di kepalaku. Yang mengatakan hal itu adalah ketua kelasnya saat ini di kelas 11. Dulu mereka sekelas di kelas 10. Selain Sofie, Rio adalah teman kedua yang meyakinkan ke teman-teman lainnya, bahwa aku tidak seaneh yang mereka bayangkan. Tidak ada teman-teman yang tahu selain aku, bahwa Rio adalah benar-benar seorang indigo.
...***...
Hari Jum'at ini, kelasku sering sekali ada jam kosong. Namun kali ini, Bu Ratna, guru mata pelajaran Fisika, memberikan tugas.
"Tumben banget bu Ratna ngasi tugas. Biasanya ditinggal gitu aja. Ah, susah pula ini," keluh Sofie.
Lalu Sofie beranjak dari bangkunya menuju bangku Arka.
"Arka, kamu kan jago banget Fisika, bias nggak ngajarin aku? Aku nggak paham nih," kata Sofie pada Arka yang serius mengerjakan tugas Fisika itu.
Sofie terus merengek minta diajarkan. Sepertinya Arka terganggu dengan suara Sofie, lalu... "Kenapa berisik banget sih? Kamu kan bisa minta bantuan Tania," kata Arka.
Aku tersenyum pahit mendengar kalimat Arka barusan. Lalu Sofie menjawab, "Kamu lihat kan, dia terlihat sibuk. Dia nggak akan mau ajarin aku."
Arka masih bersikukuh tidak ingin mengajari Sofie. Lalu Sofie kembali ke bangku, di sebelahku.
"Sini aku bantuin!" kataku pada Sofie sambil tersenyum.
Lalu aku menjelaskan apa yang harus dijelaskan untuk tugas ini pada Sofie. Sofie masih cemberut karena gagal mendekati 'lelaki cadangan'nya itu.
Aku merasa terus berbicara. Lalu aku menulis deretan angka-angka. Tiba-tiba tanganku bergetar hebat. Aku menulis berbagai macam tulisan, berbagai macam angka. Aku melihat angka 1357 dikepalaku. Aku terus menulis angka itu di buku Sofie. Lalu aku juga menulis kata-kata yang sama sekali tidak terpikirkan oleh siapapun, termasuk diriku sendiri. Semua yang aku lihat dalam kepalaku, aku tulis di buku tulis Sofie. Samar-samar aku mendengar ada yang meneriaki namaku. Teriakan itu makin kencang, memintaku untuk berhenti. Namun aku tidak bisa berhenti. Aku seperti tidak sadarkan diri. Aku terus mendengar suara-suara gaduh, teriakan-teriakan, bahkan aku mendengar suara decitan kendaraan, suara petir. Lalu...
"TANIA STOOOP!!!", suara itu benar-benar menghentikanku.
Lalu aku melihat sekeliling. Melihat teman-teman sekelasku yang memperhatikanku. Aku melihat Arka yang berekspresi bertanya. Sedangkan Sofie yang meneriakiku tadi, dia begitu terlihat cemas, lalu dia memelukku sambil menahan tangis.
...***...
Sore ini aku tidak langsung pulang ke asrama, aku duduk di bangku depan ruang Sekretariat. Berpikir apakah sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja? atau aku baik-baik saja? Bahkan diriku sendiri tidak tahu jawaban pasti akan pertanyaan itu. Terlalu sakit jika harus memikirkan kondisiku saat ini.
"Tania," panggil seseorang dari belakang.
"Bu Ariani!?"
"Kenapa belum pulang, nak?" tanya beliau.
"Tunggu Sofie rapat, Bu," jawabku.
"Kalau sudah segera pulang ya, Ibu duluan, dari tadi kurang enak badan," katanya.
Aku sedikit panik.
"Ibu sakit apa? Aku belikan obat ya? Aku belikan makanan ya? Pasti Ibu belum makan," kataku.
Bu Ariani tertawa kecil.
"Ibu cuma butuh istirahat, tadi sudah minum obat di UKS, sekarang mau segera pulang, udah ya, kamu cepat pulang," kata Bu Ariani.
Aku menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.
Bu Ariani ini juga tinggal di asrama sekolah sama sepertiku. Bedanya beliau di asrama guru, aku di asrama murid pastinya.
Aku melihat beliau dari belakang, pertanyaanku hanya satu, siapa dia?
Aku bahkan tidak berani bertanya padanya, makanya aku memilih untuk tinggal sendiri di asrama dari pada bersama beliau lagi.
Setauku beliau yang menyelamatkanku. Dari apa? Itu pun aku juga tidak tahu.
...***...
(POV 3)
Seorang laki-laki sedang memainkan bola basket di lapangan SMA Karuma. Permainan yang indah. Beberapa kali dia melakukan dunk. Namun permainan itu terhenti karena seorang wanita paruh baya memanggilnya.
"Rei!!", panggil wanita itu.
Ya, nama seseorang yang sedang bermain basket itu adalah Rei.
"Tante pulang dulu. Kamu yakin nggak pulang ke rumah tante?", tanya wanita itu yang ternyata tantenya.
Rei tersenyum. "Aku yakin, tante."
"Kalau ada apa-apa, langsung cari ke rumah tante, langsung pulang ke rumah tante. Nanti tiap bulan, tante akan kirim uang."
"Terimakasih, tante. Nggak perlu repot-repot. Aku kan juga kerja."
Tantenya menghela napas.
"Ya sudah. Cepat kamu ke ruang konseling. Guru konseling sudah nunggu, nanti kamu akan diantar ke kelas barumu. Tante pulang dulu. Dan... jaga kesehatanmu, Rei."
"Oke, tante. Aku janji akan jaga kesehatan. Tante hati-hati di jalan ya!? Salamin buat Om Haris sama kak Yanuar."
Rei diantar ke kelas oleh guru BK yang diketahui bernama Bu Ariani. Kesan pertama saat melihat bu Ariani adalah cantik. Rei terkesan dengan kecantikan bu Ariani. Meskipun sudah terlihat seperti seorang ibu berusia 40 tahun, namun kecantikannya seperti masih berusia 30 tahun. Dan ketika Rei iseng bertanya usia Bu Ariani, beliau mengatakan bahwa usianya saat ini adalah 57 tahun.
Ketika sampai di kelasnya, Rei berhenti sejenak di ambang pintu kelas. Dia melihat sekitar kelasnya, dan berkata pada dirinya dalam hati, "Rei... ayo kita mulai dari sini!".
...***...
(POV 1)
Hari Selasa selalu menjadi hari favorit bagi murid perempuan 11 IPA 3, atau mungkin semua murid perempuan SMA Karuma yang mendapat jadwal pelajaran olahraga. Karena jam untuk nongkrong di kantin menjadi bertambah.
Setelah melakukan pemanasan dan berlari mengelilingi bangunan sekolah SMA Karuma, aku dan Sofie pergi ke kantin. Sebelum kami masuk ke kantin bu Ida, kami melihat murid-murid lain yang berada di kantin berlari keluar dengan terburu-buru. Murid-murid itu seperti penasaran dengan sesuatu. Aku dan Sofie saling berpandangan. Lalu teman sekelas kami, Weni, datang ke kantin.
"Wen, ada apa sih? Anak-anak kok pada lari-larian gitu? Mau kemana mereka?" tanya Sofie pada Weni.
"Kayaknya mau nonton basket juga."
"Basket? Emang ada pertandingan?" tanyaku.
"Ya kayak biasanya, kelas kita lawan kelas 12 IPS 1. Dan kalian tahu!? Kita biasanya menang kan lawan kelas itu, sekarang... bahkan masih babak pertama, udah kalah telak," kata Weni yang terlihat serius.
"Kalah telak? Berapa emang skornya?" tanya Sofie.
"13-80."
Aku dan Sofie saling pandang karena terkejut tidak percaya.
"Ini kamu nggak mau ikutan nonton, Wen?" tanyaku.
"Nontonlah. Pertandingan keren begitu, masa' nggak nonton. Aku beli camilan dulu, buat nonton pertandingan."
Karena penasaran, Sofie langsung menarikku menuju gedung basket. Selama perjalanan, aku melihat kelas-kelas banyak yang ditinggalkan murid-muridnya sebagian. Murid-murid yang lebih memilih tinggal di kelas, antara tidak suka dengan basket atau takut dimarahi guru pengajar mereka.
Tidak pernah aku duga, gedung lapangan basket ramai oleh penonton. Mereka seperti sedang menyaksikan pertandingan besar. Ini kan cuma pertandingan kelas 11 IPA 3 melawan 12 IPS 1, pertandingan yang biasa dilakukan tiap hari selasa jam pertama dan kedua. Penontonnya pun mungkin hanya dari murid-murid laki-laki kelas masing-masing. Terkadang, Tania dan Sofie juga setia nonton permainan 11 IPA 3 yang menurutnya sangat fantastis.
Tiba-tiba Weni sudah ada di sebelahku. Lalu dia mengajak kami berdua untuk duduk di tribun. Weni, Sofie dan aku mendapat duduk paling belakang, karena bangku depan sudah terlihat sangat sesak.
Aku melihat papan skor, 30-103. Aku masih tidak percaya, kelasku bisa kalah telak seperti itu. Aku mendengar banyak teriakan para murid perempuan. Aku tidak peduli. Namun yang membuatku takjub adalah permainan kelas 12 IPS 1 yang menjadi sangat hidup. Sang kapten tim basket SMA Karuma pun terlihat lebih bersemangat dari pertandingan-pertandingan sebelumnya ketika melawan kelas 11 IPA 3. Tunggu! Ada seseorang yang tidak pernah aku lihat di kelas 12 IPS 1.
"Itu siapa? Aku belum pernah lihat anak itu," kata Sofie yang ternyata juga menyadari keberadaan murid laki-laki itu.
"Kayaknya dia anak baru kelas 12 IPS 1. Ya, karena dia, kelas itu jadi beringas kayak gini. Kebanyakan dia yang masukin bola. Dia sering banget ngelakuin three point. Lompatannya juga keren banget, lay upnya... wah like a pro lah tuh anak. Arka kayak kalah level sama anak itu. Padahal selama ini Arka dapet predikat pemain terbaik. Bisa-bisa kegeser. Itu pun kalau anak baru itu masuk tim Karuma," jelas Weni.
"Arka bener-bener nggak berkutik, kasian dia," kata Sofie nelangsa.
Arka memang terlihat tidak berkutik. Tapi ekspresi muka Arka justru terlihat sangat kagum pada permainan anak baru itu.
"Wen, jangan-jangan dia pemain timnas!? Kenapa bisa sehebat itu?" tanya Sofie,
"Kamu suka nonton basket, kan? Tau pemain-pemain timnas, kan? Ada nggak mukanya dia? Enggak ada, Sofie."
"Timnas U-19 mungkin!?" Sofie terlihat ngeyel,
"Ah! Yang bareng Evan Dimas itu ya?"
"Aku serius, Weni. Evan Dimas kan pemain sepak bola. Lagi pula Evan Dimas usianya sekarang, berapa!?"
Weni menghela napas, "Anak baru itu nggak pernah main untuk timnas maupun klub."
Weni ini juga pemain basket SMA Karuma. Pengetahuan basketnya sangat diacungi jempol. Bahkan semua pemain basket profesional di dunia ini, nyaris dihafalnya. Semua pertandingan basket selalu dia tonton, meskipun tim favoritnya tidak sedang bertanding.
...***...
Setelah hari ini penuh dengan kejutan, aku pulang dan membersihkan diri.
Aku duduk di bingkai jendela kamar. Malam ini awan sedang mengeluarkan tangisannya. Entahlah apa yang sedang awan tangisi, hingga larut seperti ini pun dia tidak kunjung berhenti. Aku tidak peduli airnya mengenaiku. Ya, kamarku berada di Asrama Perempuan Karuma, lantai tiga. Dari kamar, aku bisa melihat megah sekolahku, mewahnya lapangan sepak bola milik SMA Karuma, serta menjulangnya menara masjid SMA Karuma.
Kembali lagi tentang tangisan awan, alias hujan. Aku juga tidak terlalu mengerti, setiap hujan turun, perasaanku menjadi tak karuan. Seakan-akan ada ikatan batin diantara kami. Oke, yang ini terlalu berlebihan.
Jam dalam ponsel menunjukkan angka 2, ya, saat ini sudah pukul 2 pagi, dan aku belum bisa tidur. Tidak. Lebih tepatnya aku takut untuk tidur. Entah sejak kapan aku mulai bermimpi yang aneh-aneh. Terkadang mimpiku itu bisa membuat Sofie terbangun dari kamarnya yang berada di sebelah kamarku. Aku benar-benar tertidur, jika mataku sudah kehabisan energi.
Aku segera menutup jendela, karena hujan semakin deras, dan petir mulai meraung-raung tak jelas. Aku menuju kasur, duduk sambil memeluk bantal. Mataku tertuju pada bola basket milikku. Aku tersenyum, kenapa aku suka sekali dengan bola itu!? Padahal aku nggak bisa main bola, apalagi basket, pikirku.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!