Hari ini adalah hari bersejarah untuk sahabatku Arjuna wijaya putra. Akhirnya, sahabat baikku ini melepas masa lajangnya. Dia menikah dengan Dafina yang telah dipacarinya selama hampir tiga tahun.
Sebagai sahabat sejak kecil, aku tahu benar kisah cinta mereka. Lucu kalau dibayangin, Dafina sering kali cemburu padaku karena kedekatan kami. Padahal kedekatan kami hanya sebatas sahabat juga bisa dibilang kakak adik juga.
Haah, sudahlah tak akan habis bicara soal persahabatan kami dan kisah cinta mereka. Yang pasti aku turut bahagia untuk mereka. Semoga aku juga cepat menyusul, hee. Tapi sama siapa, jomblo akut gini.
Suasana pernikahan disalah satu ballroom hotel mewah itu, sekejab berubah menegangkan. Entah apa yang terjadi, aku yang baru saja datang bersama kedua orang tua mendadak bingung dan bertanya - tanya.
Suasana pernikahan bukanya berlangsung mewah dan meriah yaa. Tapi kenapa ini, malah riuh dan ribut gini. Ada apa sebenarnya?
Aku pun bertanya pada Gina adik Arjuna yang memyambut kedatangan kami. Gina pun menampakkan ekspresi cemas karenanya. Ternyata calon mempelai wanita dan keluarganya belum datang juga, harusnya mereka sudah datang sejak satu jam yang lalu.
Akupun merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, segera aku menepis pikiranku yang tidak - tidak. Bisa saja ada sesuatu yang membuat mereka terlambat.
Saat ini aku dan orang tuaku duduk mengamati tamu - tamu yang hadir disana. Raut wajah mereka penuh ketegangan apalagi, saat aku liat Arjuna yang kelihaatan nampak stres dan kacau. Ingin rasanya aku menertawakan wajahnya. Lucu sekali.
" Mbak, ikut aku sebentar. Mama ingin bicara sama mbak.!" ajak Gina yang tiba - tiba menghampiriku. Aku pun pamit pada ibu dan bapak. Tanpa rasa curiga sedikitpun aku menurut saja ketika Gina menarik tanganku untuk mengikutinya keluar dari tempat itu.
" Ma, ini mbak Hana.!" kata Gina. Aku pun tersenyum dan menyalami beliau lalu mencium punggung tangannya. Tapi, mengapa mendadak perasaanku tidak enak yaa. Tante Shinta mamanya Arjuna tersenyum penuh arti padaku.
" Hana, maukah kamu menggantikan Dafina dan menikah dengan Arjuna?" tutur beliau penuh harap sambil menggengam tanganku erat.
Deg,
jantungku serasa keluar dari rongga dadaku. Apa aku tidak salah dengar. Lelucon macam apa ini? wajahku berubah pucat, lidahku pun kelu untuk menjawabnya.
Seketika kebimbangan menyelimuti hatiku. Menikahi sahabatku hhah tidak mungkin. Tapi saat melihat wajah tante Shinta yang penuh harap dan wajah Arjuna yang begitu gusar. Aku jadi merasa kasihan. Yaa, Allah apa yang harus aku lalukan.?
Sejenak aku berfikir, aku dan dia telah bersahabat sejak lama. Kami saling mengenal puluhan tahun lamanya. Hingga aku dan dia saling mengetahui kekurangan dan kelebihan masing - masing.
Akan tetapi, sebagai wanita mungkin aku akan disebut wanita paling bodoh sedunia. Mengapa? Tentu saja jika aku menolaknya.
Lihat saja dia seorang laki - laki tampan dan rupawan. Hidung mancung, alis tebal yang menaungi mata dengan tatapan tajam itu. Rahang yang kokoh, juga bibir yang tidak terlalu tebal dengan belahan ditengahnya. Sangat serasi dengan belahan dagunya. Sempurnanya wajah itu.
Dan lagi, dirinya seorang Plan Manager disalah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang industri tekstil. Sempurna sudah dia sebagai calon Imam. Idaman bukan., eh!
Lalu orang tuaku datang, bersama dengan papanya Arjuna begitu pun sahabatku itu juga datang.
" Nak, jika kamu ingin menikah dengan nak Arjuna, ibu dan bapak mengijinkan dan merestui." tutur ibu mendekatiku dan mengusap kepalaku yang tertutup hijab itu.
" Tapi, bu _" belum sempat melanjutkan kata - kataku. Tindakan Arjuna terlebih dulu membuatku kaget. Dia berlutut didepanku, meraih tanganku dalam genggaannya. Mata hazelnya menatap dalam mataku. Dari sana aku melihat kegundahan dan kekecewaan dalam hatinya.
" Han, tolong bantu aku dan keluargaku keluar dari kekacauan ini. Aku mohon.!"
Aku mematap wajah orang tuaku, orang tua Arjuna dan Gina satu persatu. Wajah - wajah penuh harapan pada ku. Aku pun tak tega dibuatnya.
Menarik nafas dalam, aku menganguk. Antara yakin dan tidak yakin. Akan kah sebuah baik - baik saja dan apakah ini keputusan yang tepat. Entahlah.
Semua orang pun bahagia mendengarnya. Mamanya Arjuna pun langsung memelukku. Begitupun Gina yang sangat bahagia, karena memang aku dan dia cukup dekat.
Kulihat Arjuna memaksakan bibirnya tersenyum, ada luka yang begitu menggores hatinya. Malang benar nasibnya.
Kini Arjuna kembali ketempat akad nikah, untuk mengucap ijab qabul. Bapak sendirilah yang akan menikahkan kami. Tapi mungkin pernikahan siri dahulu, mengingat buku nikah yang dibawa pak penghulu bertuliskan nama Dafina bukan aku sebagai mempelai wanita.
Aku, telah didandani secepat mungkin oleh tim MUA. Tapi, gaun yang akan dikenakan Dafina saat resepsi tidak muat dibadanku. Sempat aku berfikir, mungkin Allah tak mengijinkan pernikahan ini terjadi.
Sayangnya, itu hanya anganku saja. Pada kenyataannya masih ada gaun muslim yang dibawa tim MUA didalam mobilnya.
Selesai dirias, aku masih harus menunggu sampai akad nikah selesai baru aku boleh keluar. Jantungku berdetak kencang saat aku mendengar Arjuna mangucapkan ijab qabul dalam satu tarikan nafas. Dan para saksi bersorak SAH. Demi apa pun aku benar - benar gugup. Sampai - sampai keringat membasahi telapak tanganku.
Namun, entah mengapa pikiranku masih pada perempuan yang posisinya aku gantikan saat ini. Perempuan macam apa yang lari dari acara akad nikahnya.? Aku tidak habis pikir.
Aku rasa keputusan ini memang sangat gila. Meski tak mampu membungkam mulut para tamu undangan. Tapi, ini pilihan yang terbaik. Dari pada membubarkan mereka karena membatalkan acara it, pasti akan lebih memalukan lagi.
Gilanya lagi kenapa musti aku yang berkorban demi keluarga mereka. Haah, sudahlah anggaplah takdir sedang mempermainkanku. Astafirullah, ngomong apa aku ini?
Saat itu, Gina datang menjemputku untuk menuju tempat akad nikah tadi. Begitu sampai, disana aku duduk disamping sahabatku yang sekarang menjadi suamiku.
Rasanya aku ingin menangis saja, debaran jantungku yang tak terkendali. Karena kini aku berhadapan dengan dia. Aku terpaku lagi gugup, hingga bingung apa yang harus aku lalukan.
Arjuna meraih tangan kananku seakan mengerti kecanggungan yang mendera. Dia memasangkan cincin dijari manisku. Tak ayal membaut tangan yang sedari tadi dingin menjadi gemetar.
Sekilas aku melihat ada lengkungan senyum dibibirnya, tapi senyumnya hampa. Dia berusaha menutupi luka yang semua orang ketahui. Dia sedang pura - pura kuat, berlagak tegar. Padahal dari sorot mata hazelnya, dia sangat rapuh dan hancur. Kasihan.
" Salim dulu nak.!" perintah pak penghulu padaku.
Arjuna mengulurkan tangannya, lalu kusambut tangannya. Kucium punggung tangannya, takzim. Blitz menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini. Pernikahan yang sejatinya, " bukan pernikahan impianku."
Juru foto meminta Arjuna untuk mencium keningku, seperti pasangan normal pada umumnya. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya.
Aku memejamkan mata, saat bibir sahabat baikku ini mendarat dikeningku. Yaa Allah, dicium sahabat sendiri tanpa ada rasa sedikitpun dihati kayak ada geli - gelinya gitu.
" Maaf sudah melibatkanmu dalam masalahku dan keluargaku.!" bisik Arjuna
Aku hanya menganguk, mendadak lidahku kelu untuk sekedar bilang " YA ". Aku membuka mata, kupersiapkan diri melewati serangkaian acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istri sahabat baikku sendiri.
Memang tak ada yang salah, banyak orang yang mengalami hal seperti ini. Menikah dengan sahabatnya sendiri. Tapi, aneh bagiku, aku dan Arjuna bersepakat tak akan membiarkan ada cinta dalam persahabatan kita.
Namun, Allah berkehendak lain. Kami malah disatukan dalam sebuah ikatan suci, melalui sebuah drama dan skenario yang rumit.Takdir Tuhan memang luar biasa.
Terima kasih, selamat membaca.
Sore itu, setelah akad nikah dan beberapa prosesi lainnya. Kami semua berkumpul disalah satu kamar hotel yang dilihat dari dekorasinya adalah kamar pengantin untuk Arjuna dan Dafina, tadinya.
Kami dan keluarga berkumpul untuk berdiskusi, mengenai kelanjutan pernikahan ini. Akan kah diteruskan atau berhenti saat ini juga. Sebelum semua terlalu jauh.
" Nak, Hana benar serius dengan pernikahan ini.?" tanya om Aryo papanya Arjuna melihatku.
" Pa, mana ada pernikahan main - main. Pernikahan mereka sah dan halal menurut syariat islam." sanggah tante Shinta.
Hening beberapa saat, hanya helaan nafas panjang yang terdengar. Orang tuaku hanya diam. Entah apa yang mereka pikirkan.
" Kita Daftarkan saja pernikahan mereka, pak. Kami sebagai orang tua Hana, tidak mau putri kami menyandang status janda karena menggantikan pengantin wanita nak Arjuna. " tutur Bapak penuh harap.
" Iya, kita daftarkan pernikahan mereka agar sah dimata hukum negara." timpal tante Shinta kemudian.
" Kalau mereka serius, Aku pasti akan mendaftarkan pernikahan mereka. Tapi, takutnya mereka tidak cocok dan tidak bisa saling menerima. Taukan akan seperti apa persahabatan jika sudah melibatkan hati. Pasti akan ada yang terluka nantinya."
" Jadi apa gunanya mereka dinikahkan, jika untuk dipisahkan. Beri kesempatan dulu pada mereka untuk menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang mereka tidak cocok.!" Ucap bapakku tegas untuk melindungi harga diriku.
Aku mengerti sekarang, om Aryo sebenarnya tidak menyetujui pernikahan yang tak terduga ini. Beliau hanya terpaksa menerima untuk menutupi aib keluarga mereka. Lalu apa gunanya aku berkorban sebanyak ini.
Masih terus berdiskusi, memikirkan nasib pernikahan ini kedepannya. Hingga kesimpulannya pernikahan kami akan didaftarkan. Untuk memperkuat tali silaturahmi.
Lagi pula benar kata ibu, kami menikah karena sebuah takdir. Jadi seandainya kami harus berpisah pun harus karena takdir juga. Bukan karena perdebatan ini.
Nggak kebayang gimana menjalani biduk rumah tangga bersama dia. Bagaimana jika aku yang jatuh cinta sama dia. Sedangkan dia tidak, mengapa aku tadi menerima. Ahhh
Aku menghela nafas, kudongakkan pandanganku melihat kearah Arjuna yang juga menatapku. Namun, dengan cepet dia mengalihkan pandanganya. Tampak jelas dari gelagatnya dia sangat terpaksa dengan pernikahan ini. Sedikit kecewa dalam hati. Dia tak berbicara barang sepatah kata pun sedari tadi.
Nasib macam apa yang Engkau takdirkan padaku ini, yaa Allah ?
Malam pertama berada dikamar pengantin, dengan taburan bunga mawar diatas ranjang pengantin. Harum bunga mawar menguar, memanjakan indra penciuman. Bercumbu mesrah, saling mencurahkan cinta dan kasih. Romantisme dan impian setiap pasang pengantin baru. Sayangnya hanya sebatas angan ku.
Kenyataannya, aku tidur sendirian dikamar ku. Yaa, aku memilih untuk pulang bersama kedua orang tua ku. Bukan tanpa alasan, karena aku tak melihat upaya sedikitpun dari Arjuna untuk menerima ku.
Setelah membersihkan diri, aku duduk dipinggiran ranjang. Memandangi cincin yang kini menghiasi dan melingkar dijari manisku, kekecilan pula. Ngenes banget.
Sejatinya pernikahan ini tidak diinginkan oleh kami. Terlebih Arjuna tentunya, makanya aku menolak untuk menempati kamar pengantin dihotel itu. Aku lebih memilih pulang saja, dengan alasan ingin memahami keadaan, bahwa aku memang tidak diinginkan suamiku.
Ckleek,
Aku menoleh kearah pintu yang baru dibuka. Terngagah melihat Arjuna masuk dan memghempaskan tubuhnya dikasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku.
Dia tidak canggung sama sekali, berbeda denganku yang langsung berdebar - debar. Rasa yang sungguh aneh.
" Ngapain, Elo kesini ? Jangan bilang mau tidur disini ?" tanyaku bersikap sewajar mungkin seolah kami tetap sahabat seperti kemaren.
" Iya, keberatan ?"
Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang dipikirkannya. Tapi, nihil aku tak mendapat apa - apa.
" Yakin banget, mau tidur disini? Dikamar ini gak ada Ac, apalagi kamar mandi. Cuma ada tuu." Aku monyong cantik kearah kipas angin bututku.
" Tapi, diluar mulai hujan. Pasti dingin sih. Ehh, selimutnya cuma ada satu."
Arjuna berdecak, " minta dulu sama ibu, sana."
" Yaa, gak enak lah Jun. Apa nggak mikir gimana perasaan orang tua Gw ? Pengantin baru pakai selimut satu - satu. Yaa, setidaknya kita terlihat baik - baik saja didepan mereka."
Arjuna mengerutkan keningnya, " Harus yaa, seperti itu.?"
" Yaa, kali Jun. Orang tua mana sih yang tega melihat putrinya menikah dengan cara seperti ini. Orang tua Gw, dah ngorbanin keinginan mereka menikahkan Gw dengan cara normal dan dengan orang yang Gw cintai. Setidaknya Elo hargailah pengorbanan mereka.!"
" Terutama pengorbanan Gw, !"
" Iya, maafin Gw yaa.!" ucapnya santai, dasar kalau bukan sahabat dah aku unyeng - unyeng.
Aku mengamatinya lekat. Saat ini dia tengah bersandar diheadboard tempat tidur sambil memainkan ponsel ditangannya. Tampak santai, seolah baik - baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga dirinya. Harga diri yang telah dikoyak oleh orang terkasih. Ehmm, kasihan.
" Aku tahu ini berat buat Elo, Jun. Tapi, apa pernikahan kita ini akan serius kedepannya."
Arjuna hanya memejamkan matanya, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung.
" Apa untuk menghargai keluarga saja, kita harus bertahan.?"
" Anggap saja begitu.!"
Hidup memang sebuah pilihan. Kadang kala kita lebih memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Arjuna yang harus rela mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang tua kami. Juga demi martabat dan nama baik.
Yang masih membuatku penasaran mengapa bapak dan ibu mengijinkan aku menikahi Arjuna dengan cara seperti ini.
" Haahh, gara - gara drama pernikahan Elo, mimpi pernikahan dan rumah tangga Gw seketika hancur. Sebagai perempuan Gw juga pingin rasanya dilamar, menikah karena saling memcintai. Menjalani romantisme pengantin baru. Hingga mengarungi bahtera rumah tangga sampai maut memisahkan."
Hening, Arjuna menoleh padaku.
" Sayangnya, Gw malah mendadak nikah sama Elo kaya gini. Sama sekali nggak pernah Gw bayangin dan Gw duga sebelumnya. Heehh, Terpaksa menikahi sahabat sendiri. Lucu bukan.!" Aku tersenyum kecut.
" Gw nggak yakin, seandainya kita mampu bertahan, apakah pernukahan ini akan seindah harapan.!"
Arjuna tetap bungkam, entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Aku tak mengerti.
Aku memandangi cincin dijari manisku, dengan cepat Arjuna menarik tanganku, memutar cincin itu.
" Kekecilan, yaa?"
" Hu'um, agak sempit sih!"
Wajar saja. Mahar pernikahan yang sekarang melingkar dijari manisku memang bukan disiapkan untukku. Arjuna masih berusaha melepas cincin itu.
" Jangan dilepas!" seruku seraya menarik tanganku.
" Nanti darahnya nggak bisa ngalir lancar. Mana? siniin cincinya. !"
Arjuna masih menarik tanganku. Namun aku kembali menariknya.
" Apapun yang terjadi jangan dilepas.!" sungutku menyembunyikan tanganku kebelakang.
Arjuna memutar bola matanya malas. " Besok aku cari yang pas. Sekarang lepas dulu, mana cincinya.?"
" Nggak."
" Farhana.!" tegurnya lirih.
Aku menggeleng sambil menjahuinya. Dia terkekeh melihat ku. Sampai akhirnya suasana pun mencair seperti duli. Kami mengobrol dan bercanda layaknya sahabat seperti biasanya. Tanpa membahas ataupun menyinggung status kami sekarang ini.
Tapi, tetap saja sedikit aneh. Arjuna sahabat baik ku berubah status menjadi suami halalku. OMG, mimpikah.?
Terima kasih, semoga suka.
Malam semakin larut, setelah obrolan koyol antar sahabat. Aku dan Juna memilih untuk tidur, berbagi ranjang dan saling memunggungi. Sunggu menggelikan.
Aku berusaha memejamkan mataku tapi tak bisa terlelap. Masih terlalu sulit menerima kenyataan ini. Ingatanku kembali menerawang kemasa lalu. Banyak hal yang terjadi, sejak SMP sudah bersahabat dengan Arjuna. Banyak hal yang dilalui canda tawa, sedih duka, dilewati bersama.
Lebih dari 12 tahun kami bersahabat, aku kira kita akan bersahabat selamanya. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Kami malah disatukan dalam satu ikatan suci pernikahan.
" Belum tidur?" tanya Arjuna yang menyadari gerak - gerikku.
" Haah, belum. Gak bisa tidur."
Arjuna berbalik menghadap padaku. Begitu juga aku. Hingga, kini kami saling berhadapan dengan batas guling ditengah - tengah. Mulutku terngagah dan mataku terbelalak, saat dia menyingkirkan guling itu. Dan lebih kaget lagi saat dia bergeser mendekat padaku.
" Mau apa,..?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Susah payah aku menelan salivaku, sambil bergeser ketepi tempat tidur.
Arjuna tersenyum geli, melihat ekspresi dan tingkahku. Konyol memang.
" Aku tuu sekarang suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak.!" seringai jail nampak dibibir merahnya.
Haahh, pakai AKU KAMU segala lagi.
" Aku _ Aku belum siap Jun." kataku terbata. Lha malah ikutan Aku - kamu juga. eh.
Arjuna tertawa pelan, sepertinya dia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersamaan dengan jantung yang debugnya kian menggila saja. Padahal dia juga sering menggodaku. Tapi, kenapa ini berbeda rasanya. Astafirullah, ini benar - benar memalukan.
" Mama, mau kamu tinggal dirumah." kata Arjuna seolah mengusir kecanggungan.
" Seorang istri itu harus ikut kemana pun suaminya tinggal.!" sambungnya pelan berbalik menatap langit - langit kamarku.
Istri, Apa dia bilang tadi Istri. eh
Aku mengangguk, sekuat tenaga bersikap biasa saja. Tapi, aku mendadak kaku. Apa karena dia sekarang suamiku yang harus aku hormati.
" Gimana perasaanmu sekarang.? tanya Arjuna sekelebat menoleh padaku.
" Aneh, serasa jadi orang asing gitu.!"
Arjuna berdehem, tanda dia juga merasakan hal yang sama.
" Kita terjebak. Untuk menjalaninya sulit, mengakhirinya pun nggak enak sama orang tua kita." Aku menghela nafas.
" Jalani saja. Seiring waktu karena terbiasa bersama, cinta akan datang dengan sendirinya."
Eeaaa... ngomongin cinta sama sahabat sendiri yang terang - terang udah bersepakat nggak boleh ada yang namanya jatuh cinta diantara kita.
Seketika membuat aku membayangkan, bagaimana kalau hanya aku yang cinta sedangkan dia tidak. Sebab nggak akan mudah bagi Arjuna melupakan Dafina yang meninggalkannya tanpa alasan.
Membayangkan, perasaan yang tak terbalas itu sangat menyakitkan dan menyedihkan. Bukan ?
" Gimana kalau aku nggak kuat.?"
" Harus kuat.!"
" Gimana kalau aku menyerah.?"
" Gampang, tinggal lambaikan tangan kearah kamera.!"
" Buukk."
Satu bantal kulemparkan kewajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga.
" Gak takut dosa? Sahabat mu ini sekarang sudah sah jadi suami kamu lho.!" Dia terkekeh dan membuatku semakin kesal karenanya.
" Gak lucu.!" sungutku mendelik menatap tajam Arjuna.
" Nggak usah marah, cepet tua lho bu Dosen. Ntar keriputnya muncul lho.!"
Nyebelin banget sih, memang.!
Aku berbalik, tidur memunggunginya lagi. Hanya keheningan yang tercipta setelahnya. Mungkin dia sudah mulai terlelap. Entahlah.
Mataku tertuju pada cincin berlian yang melingkar dijariku. Cincin yang tertera nama Dafina didalamnya. Tapi, cincin itu tadi yang aku perjuangkan dari Arjuna yang ingin melepasnya.
Sesak, memang.Tapi, bagiku ini sebagai bukti, kalau aku tak mau main - main dengan pernikahan ini. Sekalipun tanpa cinta.
Apalagi namanya kalau bukan takdir Allah.? Melamar, nama undangan, tulisan dekorasi hingga buku akta pernikahan yang dibawa pak penghulu pun nama Dafina. Ehh, tapi nikahnya sama aku. Terkadang takdir memang tak bisa ditebak. Tuhan yang berkehendak.
*****
Pagi itu begitu bangun, serasa mimpi Arjuna sahabat baik yang terkadang menyebalkan itu, kini adalah suamiku. Rasanya sungguh aneh, sahabat tapi menikah. Kaya film aja.
Namun, kini keadaanlah yang memaksaku menerimanya sebagai suami yang harus aku patuhi dan hormati. Harus ku terima dengan ikhlas, takdir ini.
Anggaplah menang lotre, menikah tiba -tiba. Dapat suami ganteng, mapan pula. Lebih beruntung lagi kalau saling cinta. Ah, sudahlah. Manusia memang selalu meminta lebih dari yang telah diberikan sang pencipta.
Aku berjongkok di depan kran teras samping rumah, mengaliri tangan dengan air yang mengalir dari kran itu. Jari manisku bengkak dan merah, terasa sangat nyeri dan sakit. Aku meringis, saat mencoba melepaskan cincin itu.
" Ngapain?" tanya Arjuna yang tiba - tiba datang dan berdiri disamping kiriku.
" Nggak, ngapa - ngapain kok." jawabku kaget lalu kutarik tanganku, kusembunyikan kebelakang punggungku.
Kali ini Arjuna benar - benar memaksa ku. Tanganku ditarik, mencengkeram pergelangan tanganku kuat. Sampai - sampai memerah karenanya.
" Aauuuww... sakit kali Jun.!" pekik ku lalu perlahan dia melepaskan cengkaramannya dan melihat jari manisku.
" Keras kepala sih. Dibilangin lepas dari semalam nggak mau, jadi gini kan." Sungutnya, tapi sidianya malah berlari masuk rumah lagi.
" Aneh kamu Jun, tiba - tiba datang terus masuk lagi. Ehh, sekarang datang lagi. Mau apa sebenarnya." tanyaku saat dia balik lagi dan membawa sabun ditangannya.
" Pakai bawa sabun, emang mau ngapain.?" sambungku.
" Mandiin kamu."
" Haah, gak perlu repot aku dah mandi tadi." sahutku cepat, kutelan ludahku susah payah. Melihat seringai jail dibibirnya.
Dianya malah ketawa, nggak tahu apa jantung ini gak bisa dikendalikan. Jadi aneh gini sih. Lalu Arjuna menarik tanganku lagi, menuntunku kembali kebawah kran. Kami sama - sama jongkok, dia mulai menyabuni tanganku. Aku berdesis saat dia memutar cincin itu, mencoba untuk melepasnya. Sakit banget.
" Tahan yaa.!" titah Arjuna.
Aku hanya mengangguk, dia masih fokus untuk melepas cincin itu. Bodoh memang, aku merutuki diriku sendiri. Bisa - bisanya jantungku berdebar tak terkendali gini. Padahal sebelumnya gak begini. Aku tak pernah merasakan perasaan aneh ini selama kita bersahabat. Ah, mungkin karena aku sekarang istrinya. Semoga hatiku masih bisa dikendalikan yaa.
" Masih sakit, nggak?"
"Haah, "
Arjuna menoleh padaku, tatapan kamu bertemu sepersekian detik. Aneh, perasaan canggung seketika menyerbu diri ini. Pernikahan ini benar - benar mengubah segalanya. Menghancurkan persahabatan kami. Aku tak suka dengan situasi ini.
" Auww, sakit!" pekikku pelan.
" Lepas " dia memperlihatkan cincin yang sudah lepas dari jariku. Lalu mematikan kran.
Arjuna pergi membawa cincin itu, sedang aku masih terpaku disana. Pikiranku nyalang kemana - mana.
Cincin yang semalam ku perjuangkan semalam, akhirnya lepas. Mungkin ini pertanda aku juga harus rela jika Arjuna pergi, nantinya. Berhenti dari pernikahan ini. Sejak awal cincin itu memang bukan untuk ku, jadi wajar jika lepas dari jariku.
" Masih bengong disitu, mau mandi lagi? Sini aku mandiin."
Astaga aku melamun sampai gak sadar tuu orang datang lagi. Aku berdiri lalu meninggalkannya tanpa sepatah kata. Marah dan kecewa hinggap dihati ini. Mungkin benar Sia - sia saja pengorbanan ku untuknya.
Terima kasih,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!