NovelToon NovelToon

MIMPI LEILA: Tiga Kemungkinan

BAB 1 : AWAL DARI SEGALANYA

Aku hanya seorang wanita. Iya, seorang wanita yang sudah berkepala tiga yang sedang berusaha menikmati kenyataan pahit dunia ini.

Lima tahun selama masa sekolah aku harus merasakan bagaimana rasanya enggang untuk datang ke sekolah. Bagaimana perasaan ketakutan itu terus menghantuiku. Hingga keluargaku memutuskan untuk pindah ke kota sebelah dan ku pikir, aku bisa membuka lembaran baru, tapi tidak.

Aku salah, ini semakin buruk.

Tulang punggung keluarga kami telah pergi. Aku yang sebagai anak satu-satunya memutuskan memendam impianku untuk berkuliah. Banting tulang untuk menghibur wanita yang telah melahirkanku. Aku ingin sekali melihat senyum sehangat matahari itu. Sangat ingin.

Karena terlalu berfokus kepada pekerjaan yang perlahan mulai berkembang. Ibu mulai tidak murung lagi. Dia mulai membuka dirinya, meskipun dia tersenyum. Akan tetapi, senyuman itu tidak sama seperti dulu. Hingga aku memutus mengambil beberapa kesempatan kencan buta bersama seorang teman.

Meskipun percobaan pertama gagal, tapi yang kedua, ketiga, dan seterusnya aku akhirnya bertemu dengan seorang pria yang aku pikir kami bisa melangkah kejenjang yg lebih serius, tapi sekali aku salah.

"Aku hamil, Al!" pekikku yang tidak tahan untuk memberitahukan berita besar ini.

"... Bercanda lo ga lucu, tau ga," menatap curiga kepada kekasihnya sejenak dan kembali menatap ponselnya, "Ayo ke mall. Udah mau mulai nih filmnya." Jawabnya tanpa melihatku.

"Aku hamil. Ini, ini anak kita." Meraih tangan kekasihnya, untuk sekali lagi melihatnya lebih serius.

"Ga mungkin, lo kan udah minum obat waktu itu. Iya, kan?" Berhasil mengalihkan pandanganya dan menatap penuh perhitungan kepada kekasihnya.

Aku hanya bisa mengulum bibir bawahku tak berani melihatnya. Dia akhirnya menatapku. Perlu beberapa detik dia sadar dan menarikku dengan kasar. "****! Ikut gue!"

"M-mau kemana?"

"Ke dokter, masih tanya lagi!" Jawabnya dengan ketus.

Aku yang mendengar itu tanpa bertanya lebih lanjut merasa orang yang paling bahagia di dunia ini. Tapi, seakan dunia sedang mempermainkanku. Sekali lagi itu salah.

"Usia kandungan mbaknya diperkirakan lima minggu."

Kami sekarang ditempat dimana semua wanita yang sedang hamil memeriksa kandungannya.

"Saya mau aborsi, Dok," ucap pria yang berdiri di sampingku dengan entengnya.

"Apa?! Al! Kamu gila ya!" Sontak aku langsung berdiri dan membentaknya.

"Ngapain gue gila?" Menatapku dengan alis yang sebelah terangkat, "nih anak bawa sial tau! Coba lo pikir ya, lo hamil di luar nikah, terus lo itu cuma—!"

Aku tidak ingin mendengarnya lagi dan lekas pergi, tapi pria yang berhasil mematahkan hati itu mencegahku.

"Gugurin ga!"

"Kamu tuh kenapa sih?! Ini tuh bayi kita! Kenapa kamu mau gugurin?!" Bukan hanya hatiku yang sakit, mataku juga. Pandanganku terasa semakin kabur dengan air mata yang sudah membendung.

Melihat responku, pria yang aku akrab aku panggil Al itu bisa aku lihat rahangnya semakin mengeras diikuti seberapa keras dia mencengkram pergelangan tanganku sekarang. "Lo juga kenapa ga pakai obat, hah! Bukannya lo biasanya pakek obat?!"

Aku yang biasanya memang meminum vitamin dan sering kali membeli obat juga untuk mencegah kejadian tidak dinginkan terjadi, dan benar saja. Hari itu, dia ingin melakukannya bersamaku.

"Kan aku sudah bilang. Kesehatanku akhir-akhir ini buruk dan dokter menyarankanku untuk tidak minum lagi. Kalau tidak... Kalau tidak aku ga bisa hamil lagi. Gimana kalau ini kesempatan terakhir aku hamil?!" bentakku tak tertahankan lagi dengan sikapnya yang selalu mau menang sendiri.

"Yah udah tinggal adopsi apa susahnya, sih."

Semudah itu dia mengatakannya, "k-kamu... Al, ini anak kita," rasa sakitnya jauh lebih sakit sekarang.

"Anak kita, anak kita, lo mungkin diluar sana sama cowok lainkan. Lo diam-diam main di belakangkan sama gue, dan lo jebak gue dengan alasan ini anak gue kan, iya kan?!" bentaknya tak mau kalah dari volume suaraku.

"Al! Darimana pemikiran sempitmu itu?! Kamu yang menyadap ponselku. Kamu yang hampir setiap saat selalu disisi. Gimana aku bisa selingkuh coba?" Aku mengambil napas panjang dan melanjutkan ucapanku. "Kamu tahu sendiri juga kalau aku sibuk sama usahaku dan ibu sendiri di rumah. Aku selingkuh dari mananya coba. Coba katakan!"

Pertengkaran kami tiba-tiba mulai menjadi tontonan publik sekarang. Bisikan-bisikan tidak mengenakan dan penuh tanda tanya bisa aku dengar.

"Ya, mana tahukan lo main diam-diam dibelakang gue pas lagi kerja. Oh ya, itu pasti anak karyawan lo itu kan. Ga nyangka gue lo suka yang sama brondong ya." Lihat sekarang senyuman meremehkan itu semakin membuatku ingin meninjunya sekarang juga, tapi bisikan orang-orang semakin bisa aku dengar sangat jelas.

Tatapan meremehkan itu. Aku sangat membencinya, pikirku yang benar-benar ingin mengakhiri semua, "Al!"

"Apa, huh? Apa? Udah ya. Gue ga mau tanggung jawab."

Aku menatap dengan tatapan rasa tidak percaya.

"Nih bayi bukan anak gue dan gue ga mau tanggung jawab. Titik!"

Yah, itu akhir percintaan yang awalnya terasa manis berakhir dengan pahit. Mungkin juga salahku juga yang mau saja melakukannya, tapi perkataan dokter terus menghantuiku dan perkataan Al yang menolak kehamilanku.

Berjalan bulan ketujuh usia kehamilan. Aku terbangun di rumah sakit dengan perasaan nyeri tak tertahankan dibagian perut. Aku tiba-tiba sudah memakai pakai pasien rumah sakit dan berita itu membuatku berhasil terbungkam.

"Maaf, kami harus menjalankan operasi jika tidak nyawa Anda tidak bisa terselamatkan dan maaf, bayi Anda tidak bisa kami tolong."

Persetanan dengan pria terkutuk itu. Aku bisa hidup sendiri dan bahagia dengan malaikat kecilku yang akan segera datang ini. Itu pemikiran awalku, tapi seketika semuanya runtuh mengetahui sebuah fakta bahwa perutku tidak lagi membuncit, bekas sayatan disana yang perban kasa, dan aku tidak tahu harus merespon bagaimana perkataan orang yang baru saja membawa kabar buruk itu.

Merasakan putus asa mulai hadir kembali. Ini bukan seperti perasaan yang aku alami selama sekolah, akan tetapi perasaan bagaimana bunga mimpimu yang begitu indah terpaksa dihancurkan oleh fakta yang tidak kamu sukai.

Usaha yang aku bangun perlahan mulai menurun. Ibu mulai muak dan marah. Mulai berhutang kesan kemari hanya untuk memenuhi kesenangan duniawinya dan membuatku harus bekerja lebih ekstra untuk melunasinya. Hingga suatu hari karena salah seorang yang sudah muak dengan hutang ibuku yang terus ibu tenggat. Dia memutuskan menabraknya.

Aku sendirian pada akhirnya.

Seperti kebanyakan semua orang memiliki masa jayanya masing-masing. Itu aku yang dulu dan sekarang aku memutuskan bekerja disalah satu bar dengan penghasilan kecil dengan setiap waktu pulang kerja menghabiskan waktu dengan hiburan virtual membaca sebuah novel.

Aku pikir aku terlalu tua untuk membaca sesuatu seperti ini, tapi ini adalah obat bagiku. Setidaknya. Genre transmigrasi adalah genre paling terkenal untuk sekarang. Pada awal aku membacanya terdengar konyol. Bagaimana bisa jiwa seseorang yang terutama sudah mati berpindah ke tubuh seseorang di dimensi lain. Terlebih lagi ke dunia novel yang sebelumnya dia baca sebelumnya. Terdengar aneh, tapi yang lebih aneh lagi.

Aku membacanya.

Untuk pertama kalinya aku mempunyai keinginan. Aku ingin menjadi seorang penulis seperti karya-karya yang novel yang sudah aku pernah baca. Ini hanya hobiku dan semua yang aku rasakan selama sisa hidupku aku tuangkan ke dalamnya.

Hanya bermodalkan handphone dan begadang di kamar yang gelap dengan satu-satunya sumber cahayanya.

Entah keberuntungan apa yang aku dapatkan. Aku berhasil meraih peringkat teratas. Hingga beberapa penerbit mulai melirik. Tentu aku senang, terlebih lagi bagaimana aku bisa menolaknya. Aku mulai menulis dan menulis semua yang ada di otakku. Hingga aku memutuskan berhenti bekerja dan fokus dalam buku series yang sedang aku kerjakan sekarang.

Nama pena yang aku gunakan membuatku semakin terkenal. Aku sudah mengirim lima karya yang nantinya akan diatur oleh para penerbit yang rencanakan akan diterbitkan segera.

Aku mengambil setahun cuti untuk menenangkan pikiranku. Menjadi seorang penulis tidaklah mudah. Terkhususnya kau harus menjadi semua karakter bersamaan. Mentalku sedikit goyah—selalu—,tapi aku berhasil melewatinya.

"... Sangat tenang."

Aku berdiri melihat sejauh mata memandang danau yang luas dengan senja yang menghiasi langit. Hingga siapa sangka jika itu adalah pemandangan terindah yang akan terakhir aku lihat.

Berita mengenai kematianku mulai menyebar terutama aku adalah seorang penulis novel yang sedang naik daun. Semua orang yang mulai penasaran mulai membeli karya dari seseorang yang sudah meninggal dan membuat novelku semakin laris. Hingga semua orang penasaran dengan series yang sedang aku kerjakan.

"Yaa, siapa yang bisa mengira akan berakhir seperti ini."

Aku memandang jauh bagaimana perasaan seperti melayang dan terasa ringan memenuhi diriku.

"Setidaknya aku sudah menyelesaikannya. Jadi, aku tidak punya penyesalan. Lalu, dimana tempat pengadilannya? Aku akan dimasukkan kemana nanti? Surga? Atau neraka?"

Suara seperti bunyi notifikasi mengudara.

Ding!

[KARENA AMAL KARMA YANG TELAH ANDA KUMPULKAN. ANDA MENDAPATKAN KESEMPATAN KEDUA.]

Dua kalimat itu tiba-tiba muncul di depanku. Seperti hologram berbentuk bidang datar berwarna biru muda dengan tulisannya berwarna putih yang membuatku cukup tercengang.

"I-ini tidak lucu sama sekali. Tolong, aku ingin tahu dimana aku akan diletakkan. Dimana arah ke neraka?"

Yah, karena aku selalu berpikiran masuk ke neraka karena sudah membuat karyawanku yang dulu terpaksa aku pecat.

Pasti mereka punya dendam padaku.

Dirinya yakin, hanya seorang wanita biasa dengan amal yang bisa diperkirakan sedikit dengan dosa yang begitu banyak. Setidaknya dia mengetahui dengan jelas dimana dia harus ditempatkan sekarang.

[MENCARI DUNIA YANG AKAN DITEMPATI.]

1%

2%

3%

"Kenapa malah mengunduh? Apa sinyal di akhirat selambat ini ya?"

20%

45%

"Oh! Cepat! 5G ya?!"

75%

88%

99%

"Lah? Kok berhenti? Ayo kurang satu persen lagi, ayo!"

100%

[MENDAPATKAN DUNIA YANG COCOK UNTUK DITEMPATI.]

[MEMULAI PERPINDAHAN JIWA.]

"Tunggu! Dimana Nera—?!" belum selesai mengucapkannya, aku sudah dipindahkan ke sebuah tempat dimana pohon yang menjulang tinggi dan kabut tipis yang berhasil membuat bulu kudukku merinding.

"Dimana ini? Ini bukan neraka?"

Melihat bagaimana hutan ini terlihat cukup lebat dan tak menemukan keberadaan makhluk hidup lain disekitarnya.

"Jangan katakan... Ini tidak seperti yang aku pikirkan itu, kan?"

Ding!

Suara itu lagi.

Bidang datar transparan berwarna biru muda dengan tulisan berwarna putih itu muncul lagi.

[SISTEM INI ADALAH MATA PENGHUBUNG DEWA KEMATIAN. KARENA KEGIGIHAN ANDA YANG INGIN MEMASUKI NERAKA. DEWA KEMATIAN MULAI PENASARAN DENGAN ANDA.]

"Siapa?!"

Aku benar-benar tidak ingin mengalami nasib konyol seperti ini, sungguh. Sudah cukup hidup selama tiga puluh tahun dengan semua cobaan itu.

Tidak lagi.

BAB 2 : WINE DAN EMERALD

Pada tahun keemasan. Pada bulan ke-13, dimana salah satu desa di Kerajaan Everuz. Disisi paling selatan kerajaan itu terdapat desa yang makmur yang hidup berdampingan dengan Hutan Berkabut, yang terkenal akan keangkeran, dan hutan sakral yang dimana disetiap tahun yang sama diadakannya Festival Lampion.

Festival yang dimana semua orang di desa harus berkeliling dimalam hari, tepat saat bulan baru lahir. Semua orang membawa lampion mereka memutari desa tersebut dan setelahnya berbaris dengan menyanyikan lagu yang tidak pernah berubah selama dari generasi ke generasi. Melodi yang mendayu hati siapa pun yang mendengarnya berhasil menghilangkan keresahannya sejenak.

Setelah melakukan semua urutan itu. Semua orang akan berkumpul di tanah lapang tak jauh dari Hutan Berkabut. Menundukkan kepala dengan lampion yang sudah didoakan mereka terbangkan.

Satu persatu cahaya kuning keemasan mulai terbang satu persatu. Semua orang menatap takjub langit malam yang gelap sekarang bertaburan ratusan lampion yang menghiasi malam tak berbintang itu.

Ada satu peraturan yang tidak boleh semua orang yang tinggal di desa itu langgar.

"Disaat bulan baru akan lahir dan ribuan cahaya menghiasi langit malam.

Bisikan angin yang tidak bisa didengar oleh siapa pun akan datang perlahan, membawa ratusan lampion terbang masuk ke dalam Hutan Berkabut.

Siapa pun dilarang mengikuti cahaya kuning keemasan itu."

Pernah suatu hari pria paruh baya yang terlalu terlena dengan festival membawa botol alkoholnya untuk datang ke Hutan Berkabut. Dengan wajah merah padamnya pria itu dengan percaya diri melanggar pantangan itu.

"Hanya pengecut yang tidak berani masuk ke dalam Hutan Berkabut."

Seperti arti namanya. Hutan Berkabut itu sudah ada dari para sesepuh di desa itu ada. Bahkan di musim panas sekali pun, kabut di hutan itu tidak menipis sama sekali. Malahan semakin tebal yang membuat semua orang semakin heran.

"Hahh... Memangnya kenapa tidak boleh masuk, hah?!"

Pria yang sudah mabuk itu berhenti melangkah akhirnya. Menyipitkan matanya melihat sesuatu yang aneh ada disekitar Hutan Berkabut.

Pria itu menggosok matanya merasa tidak percaya apa yang dia lihat.

Seseorang sedang berjalan mengelilingi Hutan Berkabut dengan gaun hitam dan tak lupa dua selendang tipis yang warnanya senada dengan gaunnya dia seret. Membawa lentera berukuran sedang berbentuk seperti tempat lampu yang ada di alun-alun desa yang terlihat sangat unik bentuknya.

Karena merasa ada yang mengawasinya sosok itu berhenti dan menoleh melihat pria yang seperti mulai sadar dari minumnya.

Pria itu tidak bisa melihat wajahnya. Akan tetapi, dari penampakannya dia sepertinya seorang perempuan. Kain tipis berwarna hitam yang menutupi seluruh wajahnya, senada dengan pakaiannya yang membuat warna netra milik perempuan itu bisa pria itu lihat dari kejauhan.

Warna merah pekat yang bersinar menatapnya dengan tajam. Apa yang tidak pria itu sadari adalah lentera yang dia bawa sama sekali tidak dia sentuh. Itu melayang begitu saja di depannya dan yang lebih mencengangkan lagi bagi pria itu adalah jalur yang sudah wanita itu ambil seperti menjadi aliran sungai berwarna merah pekat.

"A-ak-AAAAAAKKKKHHHHH!!!!!!!!!! HANTUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!!!!"

Semua orang berpikir itu nyata. Sosok perempuan berjubah hitam, pemilik netra merah ruby itu adalah sosok Penjaga Hutan Berkabut.

Itu adalah cerita lama yang berhasil membuat semua orang menaati peraturan itu, hingga satu anak kecil melanggarnya tanpa dia sadari.

"T-tolong...," deru napas anak kecil bersurai semerah minuman memabukkan itu berusaha lari dan meminta bantuan dan tanpa dia sadari masuk ke dalam hutan yang semua orang jauhi.

Karena tidak berhati-hati anak kecil itu tersandung akar pohon yang menguar. Apa yang mendarat pertama kali adalah wajahnya yang masih memiliki sisa lemak bayi di kedua pipinya.

Wajahnya yang tergores dengan beberapa tanah dan kerikil masuk ke dalam hidung dan mulutnya. Anak kecil itu berusaha bangkit tidak mempedulikan keadaannya.

Tap! Tap! Tap!

Langkah kaki yang terdengar gusar semakin terdengar mendekat. Anak kecil itu bangkit kembali dengan berharap pertolongan dari seseorang yang akan segera dia temui di depannya.

Saat dia berjalan dengan salah satu kakinya kecilnya yang seperti disalah satu lututnya memiliki luka. Terbukti terasa perih saat angin malam menyapu tubuh kecilnya.

Anak kecil itu berusaha membawa tubuhnya untuk jauh lebih masuk ke dalam hutan dan bersembunyi dibalik pohon besar di depannya. Yang tanpa dia sadari dia melewati jamur yang mengelilingi Hutan Berkabut. Tanpa dia sadari juga dibelakangnya jamur itu bersinar berwarna biru terang dan perlahan memperbaiki sihir pelindung di hutan itu.

Anak kecil itu akhirnya bisa mengistirahatkan punggungnya dan mengatur napasnya lebih tenang sekarang.

"Dimana anak s**l*n itu berada?! Cih! Merepotkan saja!"

Anak kecil itu bisa mendengar gumaman wanita yang telah mengejarnya sampai sejauh ini perlahan berjalan menjauh dari tempatnya bersembunyi. Demi apa pun, dia sekarang sedang menahan napasnya dan bisa mendengar jelas gema detak jantungnya dengan hawa dingin yang perlahan menyelimuti tubuh kecilnya.

Setelah merasa yakin jika dirinya itu benar-benar aman. Anak kecil itu memberanikan diri untuk mengintip dari balik pohon. Melihat desa dari tempatnya duduk dan seorang wanita yang bersurai coklat kemerahan itu menjauh dengan kesal karena dirinya.

Anak kecil itu akhirnya bisa bernapas lega sekarang. Baru saja dia sadari jika disekitarnya itu berkabut dan ternyata dia ada di Hutan Berkabut.

"A-aku harus pergi."

Anak kecil itu berusaha bangkit setelah merasa cukup aman. Akan tetapi, sesuatu yang lebih menakutkan dari mimpi buruk itu ada di depannya.

"Hanya anak kecil ternyata."

Deg!

Detik itu juga anak kecil bersurai seperti minuman memabukkan itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tidak berani untuk mengangkat kepalanya yang posisinya dia membungkuk siap untuk berdiri.

Dari suaranya dia yakin jika itu adalah seorang perempuan. Melihat dari bagian tubuh bawah wanita itu. Anak kecil itu bisa melihat jubah dan dua selendang hitam tipis yang dia pakai. Aura yang mengintimidasi membuat anak kecil itu tidak bisa melakukan apa pun.

Perempuan yang awalnya tidak dia ketahui siapa itu membuatnya seketika bergedik ngeri. Dia ingat apa yang dikatakan oleh orang-orang yang sering datang dan pergi dari rumah itu.

"Ada Penjaga di Hutan Berkabut."

Jika kata saudaranya, "Dia yakin seratus persen itu dia."

Perempuan yang tidak siapa pun pernah melihat rupanya itu melirik kesamping, benda bidang berwarna biru muda terang yang menampilkan sebuah pemberitahuan yang terkadang membuat telinganya sakit.

Ding!

[DEWA KEMATIAN SEDANG MENGAWASI ANDA.]

[DEWA KEMATIAN MERASA PENASARAN DENGAN TINDAKAN ANDA SELANJUTNYA.]

Itu yang tertulis disana dan tidak seorang pun bisa melihatnya kecuali dirinya.

Perempuan itu merasa aneh sekarang. Pasalnya beberapa tahun terakhir Dewa Kematian itu jarang sekali mengawasinya. Awalnya dia pikir jika Dewa itu sibuk mengurusi jiwa-jiwa yang telah mati. Akan tetapi, sekarang dia muncul karena seorang anak kecil di depannya ini.

Aneh.

Apa yang menarik dari seorang anak kecil di depannya ini?

Perempuan yang tidak dia ketahui telah membuat anak kecil yang malang itu membeku ketakutan sekarang malah merendahkan tubuhnya. Mencondongkan wajahnya yang tertutup kain tipis.

"Apa kau tersesat?" Tanya ramah perempuan yang terjebak di dunia ini entah berapa lama dia tidak menghitungnya lagi.

Tidak diketahui bagaimana dia bisa mati dan malah merasa Dewa Kematian adalah seorang penguntit sekarang karena sering mengawasinya.

Oh, dia melupakan sesuatu.

Kabut putih yang—beruntungnya tidak berbau ini—membuatnya bersyukur dan selalu rutin memberi sihir pelindung di Hutan Berkabut.

Karena tidak mendapat respon dari anak kecil yang semakin menundukkan wajahnya itu membuat perempuan bernama Leila itu merasa khawatir.

"Apa perutmu sakit?"

Leila akhirnya sadar akan sesuatu. Dia membuka penutup wajahnya itu dan memperlihatkan bagaimana ekspresi yang mengkerut karena bingung dan tatapan penuh tanda tanya kepada sang anak.

"Nak? Apa perutmu sakit? Butuh ke toilet?

Anak kecil itu menyadari perubahan suasana disekitarnya. Aura yang tadinya mengintimidasi sekarang berganti lebih berwarna dan terkesan lembut. Anak kecil itu mengumpulkan keberanian dan mengangkat kepalanya, tapi matanya terpejam rapat tidak berani menatap balik orang yang mengajaknya bicara itu.

Melihat wajahnya yang kotor dan luka itu membuat Leila cukup tersentak. Tangannya terangkat dan dengan memegang ujung selendang yang bersih.

Leila berniat membersihkan kotoran dan luka anak itu. Menyadari tangan Leila yang mendekati wajahnya anak kecil itu sontak menjauh dan mereka saling memandang. Anak itu sontak terkejut lagi dengan wajah dari Penjaga Hutan Berkabut di depannya.

Wajahnya yang terkesan dewasa dengan wajahnya yang sedikit lonjong dengan tatapan lembutnya ingin berniat baik padanya. Netra biru azure-nya yang terkesan lembut dengan surai se-coklat batang pohon bergelombang, membuat kesan dimata anak kecil itu orang baik.

"Kau kotor," tutur Leila membersihkan tanah yang masih menempel diwajah anak kecil itu.

"Bagaimana kau bisa sekotor ini, hm?" Timpal Leila yang anak kecil yakini sebagai Penjaga Hutan Berkabut, dia rasa mungkin(?)

"A-aku, aku jatuh," cicit anak kecil bersurai semerah minuman memabukkan itu.

Leila yang masih bisa mendengarnya dan menyadari dilutut anak itu juga terluka. Tangannya terulur dan ingin menyembuhkan luka itu, tapi suara geraman dari dalam hutan membuat tangannya terdiam.

"Disini berbahaya. Sebaiknya kau segera pulang."

Leila tetap melanjutkan penyembuhan luka anak itu dan menatapnya dengan tatapan yang lembut. Surai semerah wine itu membuatnya berhasil bernostalgia.

"Mau kakak antar ke luar hu—"

GGGRRRRR!!!!!!!

Geraman tidak suka kembali lagi mereka berdua dengar. Anak itu semakin menunduk dan mengambil langkah mundur. Tubuh kecilnya yang bergetar hebat bisa dengan jelas Leila lihat.

"Aku antarkan ya."

Leila menggandeng tangan yang lebih kecil dari miliknya. Kabut yang menghalangi pemandangan mereka sekarang perlahan menipis dan terlihat desa di depan mereka. Mereka sudah berada di perbatasan hutan. Tepat di luar lingkaran jamur yang mengelilingi hutan ini.

"Lain kali hati-hati ya. Jangan sampai masuk ke dalam hutan lagi," tutur Leila karena dia tidak yakin untuk kedua kalinya seseorang bisa selamat dari hewan buas yang tersembunyi di dalam hutan ini.

"T-terima kasih," cicit anak kecil itu membuat Leila gemas.

Leila pikir itu adalah terakhir kalinya dia akan melihat anak itu, tapi untuk kedua dan ketiga hingga seterusnya. Leila sering mendapatkan pemberitahuan dari sistem tentang orang asing yang selalu melewati dinding pelindungnya.

"Tunggu sebentar... Surai semerah minuman memabukkan. Pemilik netra hijau seperti kristal emerald yang penuh dengan misteri, itu dia?!"

Wanita yang baru menyadari jika dia terjebak di dunia lain. Dimana dunia lain ini adalah novel yang sebelumnya dia mati selesaikan.

Novel series yang membuat dia selalu begadang dan berakhir dengan mabuk nantinya. Sekarang dia ada di dalamnya.

Cerita yang dimana sosok perempuan yang dia ambil dari visual dan sifat dari temannya itu harus berjuang dengan semua konflik yang dia buat dan bertemu dengan penjahat diakhir buku yang bukan seorang, tapi tiga orang penjahat yang memiliki wajah yang sama.

Leila menjuluki ketiga penjahat itu dengan , karena mereka memiliki surai merah yang sama dia miliki dikehidupannya dulu.

"Setelah begitu lama aku baru sadar kalau aku di dalam dunia novelku sendiri?!"

Ding!

[DEWA KEMATIAN PENASARAN DENGAN CERITA BARU YANG AKAN ANDA BUAT SETELAH INI.]

.

.

.

Wehehehe... Gimana?

BAB 3 : TELUR HITAM

Untuk bab kali ini sedikit lebih panjang dari sebelumnya

Selamat membaca, readers ^^

Satu pukulan manis mendarat di dahi anak laki-laki bersurai semerah wine. Rambutnya yang berantakan tak terawat yang membuat menutupi sebagian wajahnya.

"Darimana saja kau?! Aku khawatir tahu!" Bentak anak laki-laki lainnya yang fisiknya serupa dengan orang yang baru saja dia pukul.

"M-maaf, maaf, aku tadi keluar sebentar."

"Sebentar katamu! Jangan pikir aku tidak tahu ya. Kau keluar tadi sebelum tengah malam dan kau kembali di pagi buta ini, huh?!" Urat-urat dileher mulai terlihat semakin dia memikirkannya.

"M-maafkan aku. Aku salah."

"Jangan ulangi lagi, ingat!"

"B-baik. Tapi, kau juga kenapa belum tidur. Aku kira kau sudah tidur sama seperti dia," menunjuk kembaran lainnya yang sudah terlena dalam mimpinya.

"Aku menunggumu."

Anak yang baru saja dijitak kepalanya itu menatap tidak percaya, "menungguku atau kau diam-diam membaca buku lagi?"

Karena tidak bisa bohong anak itu berbalik, "... Ayo tidur."

Mereka berdua mulai berbaring diatas karpet yang sudah menemani mereka semenjak di dunia ini. Kamar yang cukup besar, tapi terasingkan ini adalah dimana bekas mereka melihat wanita yang telah melahirkan mereka menghembuskan napas terakhirnya.

"Apa kau merindukan ibu?"

Entah darimana pemikiran itu. Salah satu dari mereka bertanya sembari menatap langit kamar yang sudah penuh debu tebal dengan beberapa sarang laba-laba di sudut ruangan.

"Tidak sesering dulu, kenapa?"

"Aku rindu, ibu."

"... Aku juga."

Terserah mereka bangun jam berapa dan makan atau tidak. Buang air besar dan air kecil dimana pun tidak ada yang peduli pada mereka.

Manor tua yang letaknya cukup jauh dari desa itu adalah tempat mereka berteduh. Pemiliknya adalah seorang wanita bersurai merah kecoklatan yang sering pulang malam dengan bau tajam yang tidak mereka bertiga sukai. Selalu membawa pria baru yang dia bawa ke lantai atas yang terkadang membuat mereka bertiga mendengar suara-suara yang aneh.

Tanpa kepedulian yang seharusnya seorang bibi punya. Dia bahkan sering lupa—sengaja—memberi mereka makan. Bahkan bisa mereka hitung dengan tangan berapa kali mereka mandi sekarang.

Ini hari yang cerah dan hari yang Leila tunggu-tunggu.

Ding!

[SISTEM AKAN MEMASUKI MODE AUTOPILOT. DALAM RADIUS SELURUH HUTAN BERKABUT SEMUA ANCAMAN AKAN SEGERA DIPAKSA KELUAR.]

"Akhirnya, aku bisa ke ibu kota lagi, yeah!"

Ini adalah mode yang dimana semua gangguan yang akan masuk ke dalam Hutan Berkabut akan dibuat linglung dan membuat mereka tanpa sadar kembali berjalan keluar hutan.

Leila tidak ingin siapa pun masuk ke dalam hutan sembarangan. Mengingat sesuatu dibelakangnya ini susah sekali diajak kerja sama.

⟨KEMANA?⟩

Suara yang terkesan berat dengan dengusan yang membuat kabut disekitar perlahan tersingkir dan tanpa dia sadari itu membuat semua disekitar lingkungan di dalam Hutan Berkabut perlahan lebih terlihat jelas sekarang.

Danau tenang berwarna biru kehijauan yang berisikan makhluk-makhluk magis yang sedang berenang dengan eloknya. Sirip mereka yang mengkilap karena terkena pantulan sinar matahari, ditambah dengkuran yang mereka buat seperti seekor kucing.

Hutan yang dipenuhi pepohonan pinus dan beberapa titik dipenuhi oleh pohon hyperion dan pohon coast redwood california yang menjulang tinggi. Tingginya bahkan melebihinya tinggi menara ikonik di Negeri Paman Sam itu.

Tubuhnya yang berdominasi warna putih dengan surainya yang terlihat lembut membuat siapa pun ingin mengelusnya.

Paruhnya yang seperti burung pemakan daging dengan matanya yang tajam seakan bisa melihat jauh puluhan kilometer. Kedua telinganya yang turun seperti seekor kelinci yang lucu. Jangan lupakan keempat tanduk yang berukuran besar dan kecil itu siapa pun bisa tertipu melihatnya berpikir jika itu adalah telinganya yang lain.

Dia mempunyai sepasang sayap seperti seekor burung merpati dengan keempat kakinya yang seperti reptil. Ekornya yang sama panjang dari ujung sayap kanan ke kiri itu berbulu lembut, berbentuk seperti seekor kucing, dan jangan lupakan netra kuning keemasannya yang terlihat begitu berharga seperti selayaknya permata, menatap dirinya penuh ketidaksukaan jika dia harus keluar hutan.

Leila mendesah paruh. Sangat sulit lepas dari pengawasan sosok dibelakangnya ini.

Masih Leila ingat dengan jelas setelah menghabiskan beberapa hari di dunia ini dia mengelilingi hutan lebat ini. Hal yang membuatnya tercengang tentunya melihat seekor hewan bertubuh raksasa sedang terbaring lemas dengan cairan berwarna emas yang terlihat mengkilap seperti emas dan kental seperti madu.

Mahkluk yang dia kira hanya ada di cerita fiksi itu benar-benar terbaring lemas di depannya sekarang. Melingkarkan lehernya yang panjang untuk melindungi sesuai yang terlihat mengkilap di depan matanya.

Apa itu emas?

Tapi, kenapa warnanya sangat gelap?

Pertanyaan itu menggema didalam pikirannya hingga suara khas notifikasi diikuti hologram transparan muncul di depannya.

Ding!

[DEWA KEMATIAN PENASARAN DENGAN TINDAKAN ANDA SELANJUTNYA.]

Okay, Dewa gabut itu muncul lagi.

Tidaklah seorang Dewa itu sibuk. Bukannya sibuk mengawasi makhluknya fana ini.

Menyadari sesuatu semakin mendekatinya. Makhluk itu yang awalnya memejamkan matanya kini terbuka lebar dengan pupil kuning menyalanya terlihat seperti sinar matahari tenggelam yang disaat-saat terakhirnya.

Geraman penuh ketidaksukaan Leila dapatkan. Tubuh yang tiba-tiba menyusut semenjak datang kesini tidak bisa memberikan perlawanan seperti selayaknya orang dewasa.

Leila mengambil langkah mundur perlahan dan tak lupa memberi tahunya jika dia tidak akan mendekati lebih jauh lagi.

"Sistem, apa kau bisa melakukan sesuatu selain melaporkan Dewa Kematian itu?" Cicit Leila disini berusaha memutar otak dan selamat dari cengkraman hewan buas itu.

Ding!

[MAKHLUK BERJENIS NAGA DI DEPAN TIDAK MENYUKAI KEHADIRAN ANDA.]

"Tanpa kau beritahu pun aku juga tahu! Tidak kah kau bisa berguna sedikit!" Batin Leila berteriak tidak suka dengan sistem barunya ini.

⟨SIAPA KAU MAKHLUK YANG TIDAK AKU KETAHUI?! MAU APA KAU DATANG KE TANAH KELAHIRANKU INI?!⟩

Pertanyaan bertubi itu tiba-tiba Leila dengar. Suaranya yang paruh membuat Leila menoleh ke sana kemari.

⟨AKU BICARA PADAMU MAKHLUK ANEH!⟩

Merasa dikatain aneh Leila menghentakkan kakinya tidak suka dan mencari sumber suara itu berasal.

"Heh! Aku bukan makhluk aneh ya! Aku punya nama! Namaku Leila! Siapa kau?! Tunjukkan wajah songongmu itu! Rasakan tinju seorang Leila ini!" Sepertinya Leila melupakan bentuk dari tubuh barunya di dunia ini. Tubuh anak kecil berusia lima tahun itu terlihat sangat imut jika dia semakin kesal.

Naga yang melihat sesuatu yang baru muncul di depannya sebelum ajalnya menjemput itu mengernyit keheranan. Dari bahasa yang dia gunakan seperti bahasa para makhluk fana itu gunakan. Akan tetapi dari nada bicara terdengar berbeda, terlebih bagaimana bisa seorang anak kecil bisa berada dalam tanah kelahirannya?

⟨ADA GERANGAN APA KAU DATANG KEMARI, WAHAI MAKHLUK YANG TIDAK AKU KETAHUI****?⟩

Tidak ada intonasi yang menuntut dan marah padanya lagi. Leila merasa bersyukur. Akan tetapi, hologram biru baru lainnya muncul.

[‼️SELAMAT‼️]

[ANDA MENDAPATKAN SKILL BARU 'MEMAHAMI BAHASA ASING'.]

Melihat perberitahuan baru itu membuat Leila tercengang bukan main.

Apa yang baru dia dapatkan?

Naga berwarna hitam yang memiliki noda kotor disetiap hampir seluruh tubuhnya ini merasa ajalnya tidak akan lama lagi dan memikirkan sebuah telur yang adalah sisa dari harapannya setelah para makhluk fana itu menembus dinding pelindung yang dia buat untuk memisahkan dimensi antara kehidupan mereka berdua.

Masih dia ingat sangat jelas. Hanya satu makhluk fana yang bisa datang kemari. Hanya satu dan dia tidak melanggar kontrak diantara mereka berdua.

Kontrak darah yang membuat manusia yang keras kepala dan gigih itu tidak akan pernah bisa melanggarnya. Masih dia ingat ciri khas makhluk fana itu sebelum wujudnya perlahan berubah mengikuti ciri fisik dari tubuhnya, karena menginginkan kekuatan dari para ras naga.

⟨WAHAI MAKHLUK YANG TIDAK AKU KETAHUI.⟩

Waktunya tidak lama lagi.

Apa dia bisa mempercayai makhluk yang bukan termasuk dari makhluk fana itu untuk menjaga telur ini?

"A-aku, aku... Aku bisa jelaskan. Aku hanya seorang penulis gabut yang tiba-tiba mati dan dikirim ke dunia ini yang dalam pengawasan si stalk—"

Ding!

"Maksudku !" Petik Leila di akhir kalimat yang hampir saja keceplosan menyebut Dewa Kematian itu stalker, bisa-bisa aku mati lagi.

Mendengar jawaban dari makhluk yang tidak naga itu ketahui dari ras apa merasa terkejut bukan main. Dia menjawabnya dengan lantang meskipun dengan perasaan takut yang tidak bisa dia sembunyikan.

Jika apa yang dia katakan benar dan makhluk kecil di depannya diawasi oleh seorang Dewa yang dimana makhluk magis sepertinya ini sangat menghormatinya. Maka, mungkin saja dia bisa mempercayainya untuk telur ini.

⟨AKU, NAGA PUTIH AGUNG. PENJAGA DARI TANAH KELAHIRAN DARI SEMUA MAKHLUK MAGIS DI DUNIA INI, INGIN KAU MENJADI PENGGANTIKU SAMPAI NAGA BARU INI SIAP UNTUK MENJADI PENJAGA SELANJUTNYA.⟩

Suaranya yang tidak bergetar sedikitpun menatap Leila dengan yakin dengan luka yang dia derita sebelum Leila sampai di dunia ini.

"T-tunggu dulu! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku punya hak untuk menolaknya! Kau tidak bisa memaksaku!" Melihat tatapan naga itu semakin tidak bercahaya membuat Leila semakin kalut, "hei! Kau dengar, kan?!"

Naga yang berwarna hitam itu perlahan menutup matanya. Dia tidak bisa ingin membusuknya tubuhnya diatas tanah suci ini. Dia memilih berdiri sembari memberikan sebuah telur bersisik hitam pekat mengkilap itu kepala gadis kecil yang tidak dia ketahui namanya itu.

Leila tanpa sadar menangkap telur yang sangat besar untuk tubuh kecilnya itu. Tidak jauh dari tempat mereka pertama kali bertemu. Naga hitam pekat itu dengan cairan berwarna kuning keemasan yang dia kira apa itu seperti adalah sesuatu yang tidak mungkin seperti dia pikirkan, bukan?

Naga hitam itu yang terlihat sangat lesu itu berusaha membawa tubuhnya kedalam air danau yang dingin. Perlahan dengan pasti menenggelamkan seluruh tubuhnya yang kini hanya menyisahkan kepalanya yang panjang menoleh kebelakang melihat gadis kecil itu terus berteriak padanya terduduk dengan memegang telur yang terlihat sebesar dirinya itu.

⟨AKU PERCAYA PADAMU. WAHAI MAKHLUK—⟩

"AKU PUNYA NAMA!" Leila mengambil napas dalam-dalam menatap naga yang seperti akan menghilang dari pandangannya itu. Matanya terasa sangat panas sekarang, "NAMAKU LEILA! INGAT ITU BAIK-BAIK TUAN NAGA!"

Mendengar suara khas anak kecil ditambah suaranya yang kini pecah karena tangisnya yang perlahan mulai menerima semua kejutan ini.

Mati secara tiba-tiba.

Membuka mata kembali setelah mengetahui jika sebuah sistem menemani di dunia fantasi ini.

Terlebih melihat kematian mahkluk yang bisa berkomunikasi dengannya membuat tidak bisa menahan derai air mata dengan sebuah telur besar sedang dia pegang.

Naga itu terkekeh mendengarnya dan menjawab, ⟨SEBAGAI TAMBAHAN INFORMASI. AKU TIDAK MEMPUNYAI JENIS KELAMIN.⟩

"E-eh?!"

Perubahan wajah Leila kecil terlihat sangat menghibur diakhir hayatnya. Naga hitam itu perlahan menenggelamkan seluruh tubuhnya tanpa sisa dan perlahan air danau bercahaya. Peri kecil yang hidup dalam air perlahan memutar bangkai naga itu. Perlahan membawa bangkai dari penjaga hutan itu semakin ke tengah danau dan Leila tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

⟨HEI! APA KAU DENGAR? JANGAN MENDIAMKAN AKU! AKU TIDAK SUKA!⟩

"Ah! Iya? Apa?"

Leila kembali tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Sepertinya dia melamun mengingat kejadian dimasa lalu.

⟨AKU BERTANYA 'MAU KEMANA KAU?'⟩

"Ohh, aku. Aku mau ke ibu kota. Mengirim naskah ini," menunjuk sekeranjang yang penuh dengan kertas-kertas yang menumpuk dengan ujung jarinya yang terlihat kotor karena tinta hitam yang selalu menemaninya.

Makhluk berwarna putih itu merendahkan kepalanya dan menyipitkan matanya tidak suka.

⟨TIDAK BOLEH.⟩

Meskipun tidak ada penekanan, tapi Leila sangat sadar jika naga putih di depannya ini tidak ingin dirinya keluar.

Tangannya terangkat dan mengelus surai seperti kucing tetangganya dulu yang sering main ke tempat tinggalnya.

"Tidak akan lama. Aku janji. Ini hanya sebentar seperti biasanya."

⟨TIDAK, TIDAK BOLEH! KAU TIDAK BOLEH PERGI!⟩

Ah, betapa menggemaskannya naga kecil di depannya ini, "bagaimana jika aku membawa sesuatu dari ibu kota sebagai gantinya?"

Naga itu memberikan jawaban non-verbalnya—menggelengkan kepalanya. Terakhir kali dia ingat jika naga menggemaskan di depannya ini sangat menyukai bibit bunga matahari yang dia bawa dan dia rawat sampai sebesar rumah berlantai dua.

"Aku janji, ini hanya sebentar oke."

⟨SEBENTAR BAGIMU, TAPI TIDAK BAGIKU.⟩

"Aku sudah membuat pelindung otomatis disekitar pintu masuk—Hutan Berkabut. Tidak akan ada seorang pun yang bisa masuk begitu saja. Jadi, jangan khawatir."

Tutur kata yang Leila katakan berhasil menghasut naga putih yang setinggi gedung lima lantai itu harus mengalah. Lagi pula Leila juga selalu menghabiskan waktunya selain mengurus semua seisi penghuni hutan atau yang semua makhluk hidup di dalamnya sebut sebagai 'Tanah Suci' ini. Juga menghabiskan waktunya menulis yang tidak akan pernah bisa dia lepaskan kebiasaannya itu.

"Kalau begitu." Leila yang memakai pakaian serba hitam itu sudah berganti dengan gaun berwarna biru dipadukan dengan warna putih, dan tak lupa juga sebuah jubah besar berwarna merah gelap yang menutupi tubuhnya, "aku berangkat. Jangan menjahili para peri sungai selagi aku pergi. Jadi, anak yang baik, Ryuu."

Melihat bagaimana Leila masih menganggapnya sebagai anak kecil. Ryuu mendengus tidak suka.

"Oh ya, dan terkhusus kau Tuan Rakun yang suka mencuri persediaan makanan selagi aku pergi." Leila menunjuk kepada seekor rakun yang dia temui mabuk setelah disogok botol alkohol oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab dan meninggalkannya dipinggir hutan.

Rakun yang berwarna abu-abu dengan sekitar matanya yang berwarna hitam seperti seekor panda, dan pada pola garis hitam abu-abu pada ekornya menjadi daya tarik tersendiri.

Rakun yang tidak bisa bicara itu menunjukkan dirinya sendiri yang merasa dibicarakan oleh Leila.

Melihat reaksi yang Rakun berikan membuat Leila semakin membenarkan ucapannya, "ya, kau! Siapa lagi yang suka mengambil makanan kucing yang sering aku simpan jika aku pergi ke desa, huh!"

Siapa yang mengira jika hari itu Leila akan pulang lebih lama dari Ryuu dan semua penghuni Tanah Suci yang sudah mengenalnya tahu.

.

.

.

Warna telur Ryuu kayak telur busuk ga sih, item gitu 😭😂

Ryu be like: "HEE!!! //menatap tajam// LEILAAA!!!"

Tuh kan badannya aja gedhe, tapi tukang ngadu, hahaha...

See you next chapter guys 👋😽

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!