Namaku Anindiyah Qoirunnisa.
Dan aku anak ketiga dari keempat bersaudara, yang pertama Abang ku yang bernama Edi, dan yang kedua bernama Sulaiman, yang ketiga adalah aku, dan yang terakhir adikku yang bernama Riki.
Aku terlahir dari orang yang kurang mampu namun aku tetap bersyukur untuk itu meski kami semua kadang harus puasa demi menahan lapar.
Demi ingin membantu orang tuaku aku harus rela bekerja di usiaku yang masih kecil dan saat itu aku berusia 11tahun, di mana semua anak asik bermain dan bersekolah naas aku harus bekerja dari rumah ke rumah lain, demi kelangsungan hidup biarpun tak seberapa yang aku dapat namun sangat berarti bagi kami sekeluarga.
Jujur dalam hati aku merasa iri pada Abang ku yang pernah merasakan sekolah dasar biarpun tak melanjutkan ke tingkat SMP, paling tidak Abang sudah tau soal tulis menulis. Namun tidak dengan aku, aku hanyalah seorang bocah yang buta huruf di usiaku yang sudah 11 tahun ini.
Namun dengan kegigihanku dan rasa percaya diri kalau aku yakin pasti bisa, agar bisa menulis dan membaca aku mempelajarinya secara otodidak hingga aku bisa menulis membaca dan itu sudah cukup bagiku. Karena kata Ibu, aku cukup bisa masak dan bekerja karena sia-sia jika Ibu, menyekolahkan aku! karena nantinya anak lelaki lah yang akan menjadi raja di rumah makanya Abang di sekolahkan karena nantinya dia yang akan memegang kendali. Dan untuk Abang ku yang nomer dua, Abang ku berkebutuhan khusus jadi cukup hanya diam dan menanti makan saja dari orang rumah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Nin!" teriak Ibu saat aku berada di dalam kamar.
"Iya Bu, kenapa?"
"Mana uang yang kamu dapat hari ini," ternyata Ibu hanya menanyakan uang yang aku peroleh dari hasil membantu mencuci jeruk, dan aku mendapat upah sebesar 10ribu.
dan di tahun 2003 uang segitu sudah cukup banyak. Dan Ibu tak berniat menyuruhku untuk makan malah meminta upah yang seharian ku dapatkan dengan susah payah.
"Ini Bu!" ucapku, dalam hati ingin sekali aku menangis karena merasa Ibu telah pilih kasih kepadaku.
"Oh iya, besok kamu di ajak ke kebun untuk memanen cabe jadi pagi-pagi kamu harus bangun!"
"Iya," jawabku lesu.
"Alhamdulilah, dapat rejeki lagi" lirihku, dengan rasa berat aku masuk kamar lagi.
Dan mengapa selama ini aku tak pernah main di luar rumah dan hanya rebahan di kasur lusuh ku ini, itu karena aku tak punya teman. Dan mereka Anak-anak seusiaku tak mau berteman denganku karena suatu alasan hingga mereka tak mau berteman denganku! menurut mereka aku hanyalah anak orang miskin wajahku dekil dan hitam serta baju dan celana yang aku kenakan ada beberapa yang bolong dan tak layak pakai. Karena aku tak mampu untuk membeli, sedang ibu! Ibu, hanya peduli dengan saudaraku yang lain tanpa menoleh kepadaku.
"Bu, Ibu!" teriak bang Edi pada Ibu dan itu terdengar dari arah kamarku.
"kenapa sih teriak-teriak Ibu gak budeg Ed,"
"Minta duit aku pengen main PS kayak temen-temen Bu!"
"Berapa memangnya,"
"Seribu Bu!"
Aku yang yang mengintip dari sela-sela kamar yang terbuat dari bambu, dapat melihat jelas Ibu yang saat itu sedang memberikan uang pada Bang Edi.
aku termenung sambil memikirkan apa aku bukan anaknya? dan mengapa aku di perlakukan berbeda? semua menjadi satu berputar di dalam otakku.
setelah aku mengintip aku tengkurap sambil sesekali mengelap air mataku yang jatuh tanpa aku pinta.
Andaikan Bapak masih ada, mungkin nasibku tak akan seperti ini! jika aku di suruh memilih di antara dua pilihan maka lebih baik iku ikut bersama Bapak, biar tak merasakan sakit hati karena iri sedang di usiaku masih bocah dan itu manusiawi bukan.
Aku keluar dengan mata yang sembab karena perutku terasa perih di karenakan sedari tadi pagi belum terisi sama sekali.
"Bu," panggilku pada Ibu.
"Apa?" maka seperti itulah jawaban Ibuku terlihat sangat ketus jika bersamaku.
"Ada makanan apa?" aku bertanya di mode lirih.
"Jangan banyak tanya! jika mau makan lihat di tudung itu ada lauk apa!"
Lagi-lagi suara ketusnya yang ia berikan padaku.
Lantas aku berjalan menuju meja kayu yang berukuran lebar dan panjang meja khas orang jaman dulu.
Saat aku membuka hanya ada ikan asin dan sambel terasi karena memang aku yang sedang lapar maka bagiku lauk itupun sudah nikmat.
Saat aku tengah makan tiba-tiba bang edi masuk dan hendak mengambil piring juga, namun yang membuat aku sesak bang Edi mengeluarkan Ikan pindang dari dalam lemari perkakas tanpa menoleh dan menawariku. Apakah aku mau atau tidak! kamu makan dengan apa? tidak sama sekali! perih sakit iri yang tertanam di hati ini kelak akan aku balas. Itulah kata-kata yang aku ucapkan dari dalam batin ini.
...****************...
kisah kelam dan ketidak adilan membuat Anin menjadi tak peduli dengan keluarganya lagi, dan Anin pun akan membalas akan sakit hatinya kelak. Bukan keinginan menjadi pendosa? namun karena kejadian yang sangat menyakitkan hingga membuat ia menikmati dosa-dosa yang ia perbuat dan karena kemiskinan hingga ia melakukan dosa besar. Mampukah ia bertahan dengan segudang kecewa dan sakit hatinya yang ia peroleh dari Ibunya?
Waktu bergulir begitu cepat seiring berjalannya waktu aku tumbuh sebagai gadis remaja dan usiaku pun sudah 15 tahun saat ini. Dan aku tetaplah menjadi Anin yang dulu, bekerja keras demi sebuah keinginan, bertambah usiaku tak mengurangi rasa pilih kasih terhadapku, dan masih tetaplah seperti yang sudah-sudah. Semakin aku mengerti dan semakin aku dewasa aku hanyalah sapi perah bagi mereka! sedang Bang Edi, tak pernah sekalipun terlihat akan membantu perekonomian keluarga.
Aku pun tumbuh menjadi gadis cantik itu kata orang-orang yang melihatku meski kulitku berbeda dengan Ibu dan saudaraku yang lain. Karena aku mempunyai mata yang sayu hidung bangir dan muka yang chubby dan cukup tinggi, karena segi keturunan yang aku dapat dari almarhum Bapak. Namun aku tak pernah merasa risih jika ada yang mempertanyakan jika aku anaknya atau bukan. karena kulitku matang sawo sedang kulit saudaraku yang lain mempunyai kulit putih yang ia dapatkan dari Ibu.
Karena aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang membandingkan aku, jadi buat apa risih..
"Nin, mana uang gaji kamu! bukan kah hari ini hari sabtu itu tandanya kamu sudah gajian?"
Uang dan uang yang ada di isi kepala Ibu batinku. Sambil berlalu masuk kamar dan mengambil uang gajiku yang di pertanyakan.
Jika aku dulu di jauhi karena hitam, dekil, dan lusuh, maka sekarang tak ada lagi yang menjauhiku. Semenjak aku bekerja di pabrik lollipop, sebagian aku sisihkan untuk membeli apa yang di butuhkan perempuan, serta membeli keperluan lain. Meski Ada pun barang yang aku kenakan sudah tak layak pakai, karena aku pun harus bisa berhemat.
"kok cuma segini?" tanya Ibu.
"terus mau Ibu berapa," lantas aku mengeluarkan suara ketusku. Bukan salahku jika aku tumbuh dan menjadi gadis pembangkang dan berani menjawab setiap ucapannya. Ini semua kan salah mereka, yang menanamkan semua terhadapku, apa aku yang harus di salah kan juga.
"Bisa gak kamu bicara dengan nada halus," timpal Ibu.
"Udah lah Bu, jangan menasehati aku, cukup gak cukup itu uang mau buat apa terserah! selama ini kan aku juga gak pernah makan di rumah, masih untung aku inget sama Ibu!" selaku yang memotong setiap perkataannya.
Dulu aku hanya bisa diam dan menunduk jika Ibu berucap kasar saat memarahiku, tapi sekarang! yang ada di otak ku adalah kebencian.
biarlah jika ia marah bodoh amat pikirku.
"Durhaka kamu ya sama orang tua,"
bisa-bisanya Anin berkata kasar padaku. Dan tak menghormati aku sebagai orang tuanya.
Sesalah apapun orang tua tetaplah orang tua yang pernah melahirkan kita bukan, namun rasa hormat itu pudar bagaikan diterpa angin yang menghadang, mungkin kelak kalau rasa sakit ini hilang maka aku bisa menghormatinya lagi. Lagian siapa suruh pilih kasih sekarang malah minta di hormati biar tak kualat katanya..
Lalu aku berjalan ke kamar dan melanjutkan tidurku, dengan senyuman yang menyimpan perih aku berusaha tegar.
...****************...
Seharusnya uang yang di berikan Anin bukan lah jumlahnya yang seharusnya ia berikan padaku. Dan memang selama dia bekerja aku tak pernah melihat Anin makan walau itu hanya sekali. Rasa sayang suamiku terhadap Anin begitu luar biasa hingga aku pun iri melihatnya, sedangkan anakku yang lain tak pernah mendapat kasih sayang dari Bapaknya. Makanya sekarang giliran ku yang memberikannya terhadap mereka tapi tak termasuk Anindiyah nama pemberian dari almarhum suamiku, dengan begitu Anin pun juga akan merasakan apa yang dulu pernah di alami anak-anakku yang lain.
"Ed, Edi!" teriakku pada Edi Abangnya Anin.
"Ada apa sih Buk, teriak-teriak kagak budek telinga Edi Buk."
"Itu aku belikan bakso buruan di makan keburu dingin, dan mumpung Anin masih di kamarnya biar dia tak tau,"
Jahat bukan seorang Ibu bisa seperti itu.
"iya, Buk."
"karena Anin tak ku belikan, jadi hanya kalian berdua yang ibu belikan jadi segeralah Makan."
Karena Riki di asuh oleh orang lain kini hanya mereka bertiga yang ikut denganku.
Di dalam kamar..
Aku hanya merenungi nasib kenapa aku harus menerima ketidak adilan dari orang tuaku, sedangkan apa salahku hingga aku mengalami nasib seperti ini.
tak terasa malam pun tiba aku sudah bersiap untuk mencari uang lagi.
"Mau kemana kamu?" tanya Bang Edi
"Keluar."
"Jangan malam-malam kalau pulang!" hardiknya padaku.
"Tenang saja Bang, paling-paling besok baru pulang." Jawabku dengan nada acuh pada Bang Edi yang selisih 5 tahun denganku umurnya saat ini.
"Kamu ya! kalau di bilangin, gak pernah nurut,"
"Udah, ceramahnya. Kalau sudah aku keluar kasian temenku pada nungguin." Sergah ku padanya, karena aku malas berbicara sesungguhnya.
Di luar rumah.
"Kamu lama banget habis ngapain, Nin?" tanya Niko sambil melirik kearah ku.
"Biasa,"
"Ok, temani aku buat manasi si Rika, nanti aku kasih uang sebagai gantinya. Ucap Niko, lelaki yang lebih tua dariku dan saat ini usianya 20 tahun, sedangkan aku masih 15 tahun terpaut 5 tahun bukan. Namun tak membuat aku mundur demi uang.
Aku yang mengenakan celana panjang dan di padukan dengan hem lengan panjang juga, serta dalamnya terdapat tank top jadi tak ku kancing kan, dan tak lupa juga sandal seharga 10ribu yang aku pakai sekarang. Tak ada bedak yang menempel di wajahku, dan aku ingin tampil apa adanya lagian aku juga tomboi jadi wajar kan.
" Ekhem,"
"Kenapa?"
"Gak papa,"
Biarpun pakaian yang di kenakan Anin terlihat seperti seorang lelaki namun pandangan Niko tak lepas dari Anin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa mampir di karya Author ya🥰🥰
Aku dan Niko segera berangkat karena saat ini sudah jam 19:00 malam. Dan tak ingin pulang larut malam karena esok aku harus bekerja lagi.
Niko sengaja meminta Anin untuk memanasi pacarnya yang bernama Erika. Merasa di permainkan oleh Pacarnya, tepatnya mantan pacar. Karena mereka putus di karenakan Erika atau yang di sapa Rika telah berselingkuh dengan temannya Niko, merasa tak terima karena Erika bilang bahwa dia yang paling cantik dan bisa mendapatkan lelaki yang lebih tampan dari Niko, dan hanya Erika lah yang mau menjadi pacarnya karena Niko adalah orang biasa.
Wah-wah ceritanya pagar makan tanaman dong!.
"Sudah siap Nin, jangan lupa pegangan biar tidak jatuh?" titah Niko pada Anin.
"Tenang saja dan gak perlu bawel kamu." Ketus Anin pada Niko.
"Jutek amat Neng,"
"Bodoh amat."
Dan kini mereka sudah berada di Jalan, dan kini mereka berdua sedang meluncur ke arah lapangan di mana di adakan pasar malam tersebut.
Sesampainya di pasar malam.
Lantas Anin di ajak keliling karena tau bawa Rika pasti berada di tempat pasar malam itu.
"Eh Niko, sama siapa kamu?" tegur Rika pada Niko, karena Rika melihat Mantan Pacarnya dan akhirnya menghampiri Niko dan Anin.
"Ya sama cewek gue lah! emang mau sama siapa lagi."
Sekilas Rika memandangi ku dari mulai ujung kaki hingga ujung kepala, dan tatapan jijik begitu jelas terlihat olehku. Namun aku yang mendapat tatapan jijik dari cewek yang berada di depanku itu ku biarkan saja dan masa bodoh dengan semua.
"Oh, ini ya pacar baru kamu,"
"Ada masalah bagi kamu!" ketus Niko pada erika.
"Tampang kayak preman saja di pacarin, atau jangan-jangan kamu sengaja ya? cari cewek model dia buat manasin aku. Supaya aku mau balik sama kamu, ih ogah banget aku,"
"Eh, siapa juga yang mau balikan sama kamu jangan GR deh kamu," jawab Niko dengan muka yang seperti menahan sesuatu.
"Udah lah Kak Nik, ngapain sih kamu buang-buang tenaga buat dia!" gertak ku pada Kak Niko karena aku sudah muak melihat tingkah mereka berdua. Yang satu sok cantik dan kecentilan, dan yang satu sama sekali tak ada ketegasan.
"Hye, cewek preman! jangan ikut campur urusan orang, dan dari roma-romanya lu masih bocah, sekolah yang bener jangan jadi simpanan orang yang sudah dewasa apalagi Om-Om."
Belum juga di jawab, ini cewek udah nyosor duluan, ku kasih hadiah bogem tau rasa lu, batin ku seraya tak tak terima namun aku harus sabar menghadapi ulet bulu ini.
"Kenapa lu diam, jadi beneran ya apa yang gue bilang tadi,"
Plak..."jaga itu mulut ya! mau saya jadi simpanan mau saya jadi kupu-kupu malam, anda tidak berhak ikut campur urusan saya paham!"
Tanpa di sangka tanganku melayang ke arah Pipi mulus Rika dan memberikan tamparan yang begitu keras, karena ucapannya begitu menyakitkan.
"Udah Nin, malu di lihat orang, mending kita balik ya?"
"Terserah."
Ku lihat Rika mengusap pipinya yang tadi sempat aku tampar, nyaho gak tuh makanya punya mulut di ajari sopan biar gak keluyuran kemana-mana itu mulut.
"Awas lu ya, lihat nanti akan aku balas Tamparan kamu." Teriak Rika karena tak bisa terima karena sudah terkena tamparan oleh Anin.
Rupanya Rika tak terima karena sudah di tampar oleh Anin.
niat ingin memanasi malah ada insiden seperti ini.
Akhirnya Anin dan Niko, pergi ke lain tempat agar tak bertambah runyam masalahnya, dan mereka berdua memilih ke taman untuk mendinginkan otak mereka masing-masing.
Di taman..
"Nin, maafin gue ya, karena gue sudah menyuruh lu buat ngebantuin gue. Dan akhirnya kamu di katain yang tidak-tidak, sekali lagi maafin gue ya,"
"Santai saja kali dan gak perlu kamu minta maaf juga, mungkin saja aku yang tak termakan oleh kata-kata si ulet bulu itu, mungkin dia juga gak akan ngancem aku,"
"Ini untuk kamu yang sudah mau bantuin aku?" Niko memberikan uang dua lembar Lima puluh ribu kepada Anin, karena dia sudah meminjam jasanya untuk membantu Niko.
"Gak kebanyakan ini, Kak?" sambil mendongakkan kepala lalu aku memandangi wajah Niko.
seakan tau apa yang tengah aku pikirkan lantas Niko mengatakan sesuatu agar aku mau menerima uang pemberiannya.
"Sudah terima saja! ini halal kok, jadi kamu jangan kuatir dan masalah uang anggap saja itu tips buat aku karena kamu mau menemani gue jalan, ok."
Akhirnya aku menerima uang sebesar seratus ribu yang di berikan Niko untukku.
"Nin!"
" Iya?"
"Kamu tunggu disini ya, aku mau beli minum,"
"Ok." sambil jemariku membentuk huruf o, aku mengiyakan Niko.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!