NovelToon NovelToon

WANITA ITU IBU ANAKKU

Part 1

"Dena, untuk pembukaan uotlet cabang di kota S sejauh mana persiapannya?" tanya wanita muda, cantik dan terlihat anggun itu.

"Sudah fix kok kak, kita tinggal berangkat aja. Semua persiapan sudah oke" ucap Dena sang asisten, yang sudah dianggap seperti adik sendiri oleh wanita muda itu.

"Jadi di hari Sabtu ini kan pelaksanaannya? Jangan dirubah lagi ya" mohon Dena. Wanita muda itu mengiyakan ucapan asistennya.

Ya, wanita muda itu adalah Mutia Arini. Seorang pengusaha bakery sukses dengan produk-produk premiumnya.

Pelanggannya adalah kalangan menengah ke atas. Sudah beberapa outlet cabang yang telah berhasil dibukanya. Ribuan karyawan telah dipekerjakan olehnya. Mutia sangat menjaga kualitas bahan dan pembuatan produk kue-kue yang dijual di outlet-outletnya, dia tak segan turun sendiri dalam proses pembuatan dan pengolahan kue. Semua itu dipelajarinya secara otodidak karena sudah menjadi hobinya, Mutia sebenarnya tidak mempunyai cita-cita sebagai pembuat kue.

"Kak, nanti Langit ikut serta kan?" tanya Dena.

"Ya pastilah. Makanya aku minta kamu buatkan acara di akhir pekan" tukas Mutia.

Langit adalah putra semata wayang Mutia. Putra tampan yang sekarang telah berusia lima tahun, saat ini sedang sekolah di sebuah taman kanak-kanak elit di kota J. Anak yang sangat kritis menanyakan hal-hal terutama yang baru dilihatnya.

"Dena, nanti jam dua belasan kutinggal jemput Langit ya" ujar Mutia.

"Oke kak, aku juga lagi nyiapin pesanan kue dari pak Baskoro nih. Biar cepat beres" tukas Dena.

"Pak Baskoro yang mau punya acara hajatan pernikahan putra sulungnya kan? Yang punya perusahaan blue sky?" ujar Mutia duduk di meja kerjanya.

"Betul... Bu Baskoro inginnya kue kering yang fres kak" Dena hendak meninggalkan ruangan Mutia.

"Iya Den, kualitas harus tetap kita jaga. Kepuasan pelanggan harus kita utamakan" tegas Mutia.

Dena meninggalkan ruangan Mutia untuk mengawasi persiapan pengiriman kue ke keluarga Baskoro.

Tepat jam dua belas, Mutia keluar dari ruangannya. Mutia berpapasan dengan Dena di dekat pintu keluar outletnya. Memang di tempat itu selain untuk kantor dari perusahaan "Mutia Bakery", lantai dasar dimanfaatkan untuk outlet kue oleh Mutia.

Mutia sangat pintar memilih lokasi perusahaannya itu. Selain berada di lokasi perkantoran, perusahaan Mutia tepat berseberangan dengan sebuah mall terbesar di kota J. "Den, aku pergi dulu ya" pamit Mutia. Dena mengangguk.

Mobil Mutia pun telah disiapkan oleh satpam tepat di depan pintu keluar. "Terima kasih pak Sarno" ucap Mutia ramah.

"Sama-sama nyonya" jawab sopan pak Sarno sambil membungkuk.

Meski sudah sukses, Mutia tetap tak sombong. "Mau jemput den Langit nyonya?" tanya pak Sarno.

"Pastilah pak. Mari pak Sarno, saya meluncur dulu" tutur Mutia dengan senyum khasnya, sambil membuka pintu samping kemudi mobil.

Mobil mewah itupun meluncur ke TK Harapan Ceria tempat Langit belajar. Mobil Mutia terparkir di samping sebuah mobil sport keluaran terbaru. Mutia turun dan berjalan terburu karena sedikit telat tiba di sekolah. Di perjalanan sempat terjebak macet, karena ada sebuah kecelakaan lalu lintas.

"Bundaaaaa" panggil Langit sambil berlari menyambut bundanya yang baru datang.

"Maaf sayang, bunda terlambat" ucap Mutia memeluk putra tampannya itu.

"Makasih miss, sudah nungguin Langit" ucap Mutia ke guru Langit.

"Sama-sama nyonya" ucap bu Rani.

"Bun, aku mau makan di resto dekat kantor bunda ya?" ujar Langit saat berjalan menuju mobil mereka.

"Loh, kan Bunda sudah buatin bekal tadi buat Langit. Nanti kita makan sama-sama di kantor bunda ya" Mutia dengan sabar menjawab Langit.

"Padahal aku lagi ingin ayam goreng bun" Langit merengek.

"Padahal bunda tadi sudah buatin kamu nasi kura-kura loh" celetuk Mutia.

Langit menyambut dengan antusias, "Benar bun, kalau gitu nggak jadi ajalah makan di restonya" sahut Langit. Mutia menggandeng tangan putranya itu. Nampak sekali binar bahagia di mata mereka.

Sampai di parkiran, Mutia dihampiri seorang ibu muda dengan make up tebalnya. "Selamat siang, apa anda orang tua dari Langit" sapanya dengan sedikit tak bersahabat.

Langit mulai berlindung di belakang bundanya.

"Tolong ajari anak anda sopan santun nyonya. Kemarin siang anak saya Bintang dipukul oleh anak nyonya. Sekarang anakku dirawat di rumah sakit" jelasnya dengan berapi-api.

Langit semakin mengeratkan pelukannya. Mutia duduk memandang Langit seakan meminta penjelasan.

"Langit, apa benar yang dikatakan aunty itu?" ucap Mutia dengan sabar.

Langit dengan sedikit takut akhirnya berkata, "Aku mempunyai alasan kenapa memukulnya bunda".

"Langit, bunda pernah bilang kalau tak boleh memakai kekerasan bukan?" ucap lembut Mutia.

"Sekarang kita ke rumah sakit untuk menjenguk temanmu" lanjut Mutia.

"Nyonya, kalau memang anak saya bersalah saya minta maaf. Saya tidak tau kalau anda tadi tidak mengatakan" jelas Mutia ke nyonya muda di depannya.

"Saya akan tuntut anda kalau sampai terjadi dengan anak saya nyonya" ucap mama Bintang itu dengan ketus.

Mutia masuk ke dalam mobil dan mengikuti arah mobil sport mewah yang terparkir di depannya. Lihat kendaraannya, sepertinya aku berhadapan dengan orang yang berpengaruh. Batin Mutia.

Sementara Langit terdiam karena takut dimarahi bundanya. "Langit, coba ceritakan ke bunda. Kenapa sampai memukul Bintang temanmu?" tanya Mutia dengan lembut.

Mutia tidak mau asal menyalahkan putranya itu. "Bintang selalu mengejekku bun. Dia bilang aku tidak punya ayah, karena tidak pernah aku dijemput oleh ayah. Padahal ayah kan sudah berada di surga ya bun. Benar kan bun?" Langit menceritakan dengan suara bergetar.

Mutia menghentikan mobilnya saat tepat di lampu merah. Antrian panjang mobil di depannya memberikan sedikit waktu untuk memeluk putranya itu. Mutia terpejam saat memeluk putranya. Untuk saat ini Mutia berasa dihempas di jurang terdalam.

Hal yang sangat ditakutkan olehnya akhirnya terjadi juga, anak semata wayangnya akan menanyakan keberadaan ayah kandungnya.

Selama ini memang Mutia mengatakan kebohongan tentang keberadaan ayah kandung Langit.

Mutia terkaget saat mendengar bunyi klakson mobil di belakangnya.

"Ternyata lampu sudah hijau ya bun. Bunda sih lama sekali memeluk Langit" Langit sudah kembali ceria.

Langit tak ingin bundanya bersedih lagi. Karena setiap membahas tentang ayah, hanya tatapan sedih bundanya lah yang didapat oleh Langit.

Mobil Mutia berhenti di parkiran rumah sakit. Nyonya muda yang juga mama Bintang itu ternyata bernama Catherine. Mutia tau namanya saat perawat menyapanya. Mutia tetap mengikuti langkah Catherine sambil menggandeng Langit.

Saat memasuki riang VVIP rumah sakit, Mutia memandang sekeliling ruangan. Di dalam nampak beberapa orang yang menunggui Bintang teman Langit itu.

Langit menggenggam erat tangan bundanya. "Selamat siang. Perkenalkan saya Mutia, saya adalah orang tua kandung dari Langit temannya Bintang" Mutia memperkenalkan diri.

"Heh, sapa suruh kamu berpidato di sini, saya hanya ingin menunjukkan keadaan putaku yang kemarin dipukul oleh putramu itu" sarkas Catherine ketus.

"Maafkan saya dan putra saya nyonya" Mutia tetap berkata dengan lembut.

"Tidak cukup dengan minta maaf, kamu juga harus bertanggung jawab atas segala biaya anak saya di rumah sakit" imbuh Catherine lagi masih dengan nada ketusnya.

"Baik nyonya, saya akan tetap bertanggung jawab untuk hal itu" kata Mutia dengan nada tegas.

"Cih, sombong sekali kau. Kamu tau, biaya perawatan di rumah sakit ini. Tidak sembarang orang bisa membayarnya" urai Catherine.

"Akan saya usahakan nyonya, sebagai ungkapan permintaan maaf kami" imbuh Mutia.

Tiba-tiba datang seseorang yang masuk ke ruangan VVIP tempat Bintang dirawat. Dengan duduk seenaknya dia memperhatikan punggung Mutia yang sedang berbicara dengan kakak perempuan satu-satunya itu. Kakak yang manja dan suka membuat ulah itu. Meski sudah menikah tidak pernah menghilangkan sifat manja yang kadang juga semena-mena itu.

"Sudahlah kak, lagian Bintang juga nggak kenapa-napa. Kakak aja yang lebay, lebam dikit aja musti masuk rumah sakit" ujar

orang yang baru masuk itu santai sambil minum air kemasan di meja.

"Hei, bocah tengil jangan ikut-ikut ya. Ini urusan kakak sama nyonya ini" umpat Catherine.

"Umpatanmu itu tidak baik loh, ada anak kecil di sini" lanjutnya.

Mutia pun berbalik dan menatap asal suara itu. Seorang dengan wajah tampan sedang duduk di kursi penunggu ruangan itu.

"Sudah pulang aja nyonya, keponakanku aman-aman saja. Jangan mau diakali oleh wanita di sampingmu itu" tunjuk tangannya ke arah Catherine.

"Jangan ikut campur ya" sela Catherine.

Dia malah terkekeh, "Kak, aku ke sini mau jemput Bintang karena disuruh oleh papa. Kalau nggak disuruh mana mau aku kesini. Ogah" celetuknya.

"Bintang sudah dibolehin pulang dari kemarin, kakak aja yang ngeyel kalau perlu dirawat. Mana ada pasien lebih pintar dari dokternya. Bintang ayo pulang!!!" ajaknya sambil menggendong Bintang.

Orang tampan itupun berlalu dengan santainya tanpa memperhatikan Langit yang bersembunyi di belakang bunda Mutia.

"Maaf nyonya Catherine, bolehkah kami pamit undur diri?" ujar Mutia berikutnya.

Catherine masih terdiam. "Maafkan atas segala hal yang telah diperbuat oleh anak saya nyonya. Jika ada hal yang belum terselesaikan silahkan hubungi saya. Saya pamit dulu" Mutia menyerahkan sebuah kartu namanya ke Catherine. Mutia dan Langit pun berjalan keluar dari ruangan VVIP tanpa pasien itu.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

semoga suka dengan karyaku ini ya guyssss 💝

Part 2

Mutia menggandeng putranya sesampai di perusahaan.

Dena yang kebetulan juga berada di lantai bawah menyapa. "Hai Langit, jutek amat mukanya. Pasti bunda nggak beliin ayam goreng ya" tebak Dena.

"Ah, Aunty sok tau" tukas Langit. Langit yang hampir tiap hari ikut ke kantor berlari menuju lift.

Mutia dan Dena menyusulnya. "Langit kamu kenapa sih sayang, dari datang aunty kok dicuekin????" urai Dena menghibur Langit yang tak seperti biasanya.

Dena menatap Mutia, untuk meminta penjelasan. "Ntar aja, biar Langit makan siang dulu. Lagian aku juga lapar ni. Kamu udah makan Den?" tanya Mutia.

"Barusan selesai. Untuk urusan pesanan nyonya Baskoro sudah beres kak" cerita Dena.

"Baiklah, aku ke ruanganku dulu Den. Ayo Langit" Langit dan Mutia keluar dari lift diikuti Dena yang berjalan ke ruangannya sendiri.

"Ayo sayang, sini bajunya bunda gantiin. Habis ini cuci tangan dan kaki" ujar Mutia, dan Langit pun menurut saja.

Karena semua yang disampaikan bundanya itu sudah menjadi kebiasaannya saben hari.

Entah kenapa semua orang tua selalu sering mengucapkan hal-hal yang berulang-ulang, batin Langit.

Langit makan dengan lahap menu yang disiapin bundanya, karena sedari tadi dia menahan lapar harus mampir ke rumah sakit.

"Bun, aku sudah selesai. Boleh mainan sebentar bun? Aku mau ke ruangan aunty, boleh?" ijin Langit.

"Boleh sayang, tapi ingat nggak boleh apaan?" Mutia mengingatkan sang putra.

"Iya...iya...aku tau. Nggak boleh mengganggu aunty Dena yang lagi kerja. Iya kan" tukas Langit.

"Anak pintar" puji Mutia.

Langit berlari kecil menuju ruangan Dena dan langsung masuk saat melihat pintu sedikit terbuka, "Hai aunty" sapa Langit.

"Hai juga ganteng, tumben nyusul ke sini. Pasti Bunda lagi sibuk dengan berkas-berkas di mejanya ya??" celetuk Dena asal nebak.

"Eh aunty kok tau?" ucap Langit sambil menaruh pantatnya di kursi.

"Ya taulah, itu kan sudah menjadi rutinitas bundamu" ujar Dena terkekeh.

"Aunty...aunty...aunty sibuk nggak siang ini?" tanya Langit.

"Nggak kok, kerjaan aunty sudah beres karena semua pesanan sudah selesai pas bundamu jemput kamu tadi. Hayo mau main game ya?" goda Dena.

Hanya gelengan kepala yang ditunjukkan oleh Langit.

Langit Putra Ramadhan itu nama lengkapnya. Langit terdiam, ragu-ragu untuk cerita ke auntynya. Tapi kalau melihat tatapan kesedihan bunda, Langit jadi tak tega.

"Nggak jadi aunty, aku balik aja. Mau tidur di ruangan bunda" seloroh Langit hendak keluar ruangan.

"Padahal aunty penasaran loh" ucap Dena. Langit pun balik mendekati Dena.

"Aku cuma mau nanya ke aunty, tapi jangan bilang bunda ya. Aku nggak mau bunda sedih. Aku sayang sama bunda" ulas Langit dengan muka tertekuk.

"Emang mau nanya apaan sayang?" Dena mendudukkan Langit di pangkuannya.

"Aunty, apa benar ayahku sudah di surga? Kenapa ayah nggak mengajak aku dan juga bunda? Tapi kenapa aku nggak pernah ketemu dengan ayah? Aku juga ingin seperti teman-temanku aunty, yang punya ayah dan bunda" tutur Langit polos.

Dena diam membisu tanpa tau harus menjawab apa.

"Aunty kenapa diam? Jawab dong?" Langit memaksa Dena untuk menjawab.

Sementara di luar pintu ruangan Dena, Mutia sudah berderai air mata mendengar penuturan Langit dengan Dena.

Mutia awalnya hendak memanggil Langit untuk tidur siang tapi malah mendengar obrolan Langit dengan Dena.

Putra semata wayangnya ternyata merindukan seorang ayah, yang Mutia sendiri tidak tau keberadaannya.

Jangankan keberadaan laki-laki itu. Wajahnya saja tidak Mutia kenal.

Dena menjelaskan dengan bahasa yang Langit pahami, "Langit, bunda kan bilang kalau ayah sudah senang di surga. Kalau ayah mengajakmu dan juga bunda, aunty nggak bisa bertemu lagi dong dengan kalian berdua. Aunty kalau sedih gimana?" urai Dena.

"Kata temanku, kalau ayah sudah di surga berarti ayahku sudah meninggal ya aunty? Tapi bunda kok tidak pernah mengajakku melihat makam ayah?" lanjut Langit.

Mutia kembali ke ruangan dengan mata yang sembab tanpa meneruskan niat awalnya untuk memanggil putranya itu. Mutia mencuci mukanya supaya saat Langit kembali ke ruangan tidak tahu kalau bundanya habis menangis.

Terdengar ketukan pintu dari luar, "Bun, bunda ada di dalam?" teriak Langit dari luar ruangan.

"Iya sayang, masuklah!!!" jawab Mutia.

Langit masuk diikuti Dena. "Lekas bobok siang sayang" tatap Mutia ke Langit.

Langit menurut, karena memang matanya terasa sudah mengantuk. Langit pun beranjak ke ruangan yang berada di belakang posisi duduk Mutia.

"Kak, jangan marah ke Langit ya. Tadi Langit bilang ke aku kalau mau lihat tempat ayahnya dimakamkan. Menurutnya kalau ayahnya berada di surga, berarti ayahnya sudah meninggal" jelas Dena.

Mutia menghela nafas panjang. Beban berat serasa di pundaknya sekarang.

"Kak, aku keluar dulu ya" pamit Dena.

Mutia pun menyusul Langit yang masih termenung sambil memeluk guling.

"Kok belum tidur? Mau bunda temenin???" Mutia mendekat ke pembaringan. Langit pun memeluk bundanya.

Mutia tau putranya itu sedang memikirkan sesuatu. Langit pun juga tidak ingin mengatakan apa-apa karena tidak ingin membuat sang bunda bersedih. Lama kelamaan bocah lima tahun itupun terlelap dalam dekapan Mutia. "Maafkan bunda nak", gumam Mutia mengecup kening Langit Putra.

Mutia menerawang jauh saat mendengar dengkuran halus dari nafas putranya yang telah terlelap.

Mutia begitu mengingat kejadian malam itu. Di mana dia ditarik seorang tak dikenal ke dalam sebuah mobil mewah saat berjalan sendirian karena mencari salon untuk merias diri keesokan hari buat persiapan wisuda diplomanya.

Seorang yang tak dia kenal wajahnya karena sekelilingnya gelap. Mutia dipaksa masuk oleh seorang pria ke dalam sebuah kamar hotel. Tanpa menyalakan lampu hotel, Mutia diserang bertubi-tubi oleh laki-laki yang sedang mabuk itu. Dan terjadilah hal yang sangat tidak diinginkan. Keperawanan Mutia bobol saat itu juga. Tragedi malam wisuda, itu menurut Mutia. Mutia bangun pagi-pagi buta dengan badan terasa remuk redam. Mutia meninggalkan laki-laki yang tertidur pulas dengan posisi menelungkup itu. Dengan badan tertatih, Mutia kembali ke kosnya. Mutia tetap mengikuti wisuda meski badannya terasa pegal semua. Laki-laki semalam sungguh beringas, batin Mutia saat itu.

Andai aku kenal mukanya, sesal Mutia. Saat itu Mutia bahkan tidak berpikir panjang kalau akan terjadi kehamilan setelah kejadian itu. Laki-laki brengsek, umpat Mutia dalam hati. Banyak liku-liku yang harus dilalui Maya semenjak saat itu. Liku-liku penuh rintangan yang berujung seperti sekarang. Meski kehidupannya masih timpang tanpa seorang pendamping, tapi kehadiran Langit menjadikan oase tersendiri bagi Mutia. Mutia mendekap Langit yang semakin pulas tertidur.

Sejenak kemudian tidur Langit mulai gelisah, "Ayah..ayah..." panggil Langit mengigau dengan mata tetap terpejam.

"Aku harus bagaimana. Putraku sangat mendamba kehadiran ayahnya?" gumam Mutia bersedih.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

bersambung

Part 3

Mutia meninggalkan Langit yang sudah tertidur pulas. Mutia kembali ke meja kerjanya dan meneruskan aktivitasnya yang tertunda.

Mutia menekan telpon yang ada di sampingnya. "Den, bisa ke ruanganku sebentar?" pinta Mutia.

Tanpa menunggu lama terdengar ketukan pintu, "Masuk Dena!!!" perintah Mutia.

"Ada apaan kak?" tanyanya sambil menaruh pantat di kursi depan Mutia.

"Bagaimana kalau besok sore kita berangkat Dena, kan kuajak Langit ke pantai sebentar sebelum acara?" ujar Mutia.

"Bisa sih kak. Mumpung masih ada waktu sehari, aku bisa bookingkan hotel sama merescedule tiket pesawatnya. Semoga aja masih bisa" celetuk Dena.

"Kamu aturlah Den, Langit kayaknya udah lama nggak kuajak piknik...he...he.." tawa renyah Mutia terdengar, padahal semua itu kamuflase untuk menutupi kesedihannya.

"Kak, jangan marah ya. Aku mau bilang sesuatu" ujar Dena lirih.

"Apaan?" sela Mutia.

Pasti Dena akan bilang tentang Langit, batin Mutia saat itu.

"Bener ya kak, jangan marah??" Dena menegaskan kembali ucapannya.

Mutia pun mengangguk.

"Kak, tolong sekali-kali ajaklah Langit ke makam ayahnya. Langit sangat sedih kak. Dia ingin sekali melihat ayahnya, walau cuma bisa lihat makamnya" tutur Dena.

Mutia terdiam. Selama ini Mutia menyimpan rapat rahasianya. Bahkan Dena Almira yang selama ini tinggal dengannya dan sudah Mutia anggap sabagai adik sendiri pun tidak pernah mengetahui rahasia besarnya itu.

"Akan aku usahakan Den, baiknya kita bersiap pulang" ajak Mutia beranjak dari duduk dan hendak berberes.

"Tunggu Langit bangun dong kak" seloroh Dena tersenyum. Dena keluar ruangan Mutia.

"Bun...bunda di mana?" tedengar panggilan Langit dari kamar.

"Iya sayang, bunda di sini. Bunda lagi berberes nih" tukas Mutia.

Terlihat pintu terbuka dan nampaklah Langit di sana dengan muka khas bangun tidur.

"Anak bunda yang paling tampan ternyata sudah bangun ya? Abis ini kita bersiap pulang ya" kata Mutia meneruskan aktivitasnya. Langit mengangguk dengan sedikit malas.

Mutia dan Dena turun bersamaan. Keluar dari lift, Langit berlari kecil mendahului mereka. Tawa ceria anak kecil itu sudah kembali seperti semula.

Dia seolah lupa yang sudah dibicarakan dengan aunty nya tadi siang. Seperti biasa pak Sarno sudah menyiapkan mobil dan menyerahkan kuncinya ke sang bos.

"Sore nyonya, ini kunci mobilnya" pak Sarno menyerahkan kunci mobil Mutia dengan sopan.

"Sore kakek, kakek kok belum pulang???" Langit menyapa security tua itu.

"Siap aden, abis ini kakek pulang. Kan musti nunggu den Langit pulang dulu, baru kakek menyusul" ujarnya.

Langit dan pak Sarno memang akrab seperti cucu dan kakeknya sendiri.

"Kalau gitu tosss dulu dong. Hati-hati ya kek pulangnya" celoteh Langit sambil melakukan toss dengan pak Sarno.

"Siap laksanakan den" tukas cepat pak Sarno. Mutia tersenyum melihat keakraban Langit dan security itu.

Mutia mengajarkan Langit untuk ramah ke siapapun tanpa memandang kasta sosialnya.

Sejauh ini lumayan berhasil untuk seorang Langit. "Pak Sarno, kami duluan ya" ujar Mutia memasuki mobilnya.

"Baik nyonya, hati-hati. Da...da...den Langit" ucap pak Sarno menutupkan pintu mobil sang nyonya.

Mutia tinggal di sebuah apartemen elit di kota J. Apartemen Royal namanya. Mobil meluncur ke sana. Langit yang duduk di jok belakang berceloteh, "Aunty main tebak-tebakan yuk?" ajaknya untuk mengusir kebosanan.

"Ayok, siapa takut" jawab Dena.

"Aku duluan ya aunty??" tawar Langit. Mutia masih fokus memperhatikan jalan di depannya yang macet.

"Makanan apa cara pesannya musti marah-marah?" ucap Langit.

"Kuhitung sampe sepuluh, kalau belum jawab aunty kalah" Langit pun mulai menghitung.

Sampai hitungan sembilan, Dena pun menjawab "Teriaki" Dena puas dengan jawabannya.

"Kok bisa sih" celetuk Langit merasa kecewa karena aunty Dena bisa menjawab dengan tepat.

"Yeeiiii, aunty betul ya? Satu kosong" seloroh Dena.

"Ayo sekarang giliran aunty" lanjut Langit.

"Siap...Makanan apa yang suka bikin anak nangis??? Ayo tebak. Apa coba?" Dena menoleh ke arah Langit.

Langit berpura-pura berpikir.

"Aunty hitung loh" Dena pun menghitung seperti yang dilakukan Langit tadi.

"Kue coklat" Langit memberikan jawaban.

"Kurang tepat. Mau dikasih tau atau mencoba lagi?" sela Dena.

"Bentar aunty, harusnya benar dong. Kue coklat kalau kebanyakan bisa buat sakit gigi loh" Langit memberi alasan.

"Bunda bantu mau nggak?" sela Mutia. "Apaan bunda?" Langit menunggu jawaban bundanya.

"Kue cubit...ha...ha...." Mutia tertawa.

"Wah, bunda pinter juga ternyata..ha...ha...." Langit memuji bundanya itu.

Sampailah mereka di basement apartemen Royal. Mutia dan keduanya menuju lift, dan naik ke unit apartemen miliknya. Ada bik Sumi yang menunggu. Bik Sumi adalah mantan tetangga Mutia dulu sewaktu tinggal di desa. Karena sama-sama sebatang kara, Mutia mengajak tinggal bersamanya.

"Den Langit, mandi dulu ya. Sudah bibi siapin loh airnya" ajak bik Sumi, sementara bocah kecil tampan itu masih sibuk dengan mainannya.

"Langit..." panggil bunda Mutia.

"Siap bun, Langit mandi dengan bik Sum" jawab Langit yang paham arti panggilan bundanya sekarang.

Mereka berempat makan malam bersama. Bik Sumi yang sudah Mutia anggap sebagai pengganti ibunya yang telah meninggal pun makan di meja yang sama dengan dirinya.

Sementara Dena Almira adalah orang yang Mutia ajak mulai dari jaman susah dulu. Orang yang dengan setia mendampinginya berjuang melewati rintangan-rintangan kehidupannya bersama bik Sumi juga.

Langit tertidur setelah mendengarkan dongeng yang dibacakan oleh Mutia. Mutia menarik selimut untuk putranya. Dia pun beranjak menuju ruang kerja yang berada di samping kamarnya. Mutia sengaja tidak menutup sempurna pintu kamarnya, agar bila sewaktu-waktu Langit bangun Mutia segera tahu. Selama ini Langit sering terjaga di tengah malam dan sering mengigau.

Saat fokus dengan penjualan outlet-outlet nya, bik Sumi masuk mengantarkan sebuah teh panas untuk Mutia.

"Nak, kamu pun perlu istirahat. Jangan diforsir tenaganya" nasehat bik Sumi.

"Bentar lagi selesai kok Bik" tukas Mutia tersenyum.

"Kalau gitu bibi istirahat dulu ya. Oh ya Nak, tadi Dena cerita kalau besok kalian mau berangkat ke kota S. Seumpama Sabtu Minggu bibi pulang ke kampung bagaimana? Bibi sudah lama tidak nengokin makam suami dan anak bibi" ijin bik Sumi.

"Nggak papa Bi. Besok biar dipesankan mobil travel oleh Dena. Biar bibi juga bisa langsung dianter sampe rumah, tanpa sering oper kendaraan" pesan Mutia.

"Makasih Mutia, kenapa kamu sangat baik?" ujar bik Sumi. Mutia hanya tersenyum menanggapi.

Mutia menyusul Langit yang terlelap kembali sehabis mengigau. Mutia pun terbaring di samping putranya itu, pikirannya menerawang jauh ke belakang. Masa lalu yang sebenarnya tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

to be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!